Oleh Dwi S. Wibowo
Selain citra surgawi yang melekat pada pulau dewata,
ternyata Bali juga menyimpan sejumlah luka yang berakar pada berbagai peristiwa
kekerasan. Peristiwa-peristiwa tersebut tidak hanya terjadi pada kurun waktu belakangan
ini saja, melainkan telah tercatat dalam sejarah bahwa bali memiliki riwayat
panjang mengenai sejarah kekerasan. Sebagai pulau kecil yang terbagi menjadi
banyak wilayah kerajaan, sejak era Bali kuno memiliki potensi konflik yang
tinggi akibat pergesekan kepentingan antar penguasa.
Seiring berjalannya waktu, ternyata peristiwa-peristiwa
kekerasan tersebut seolah terus terjadi secara periodik. Hampir tiap dekade,
peristiwa kekerasan itu berulang dengan motif dan pelaku yang berbeda. Untuk
merefleksikan hal tersebut, Tony Raka gallery menginisiasi sebuah pameran besar
dan mengajak para perupa Bali untuk ikut serta merenungkan sejarah kekerasan
yang berlangsung sekian lama di pulau ini. Dengan mengusung tajuk “Bali Art Intervention #1: Violent Bali”,
pameran yang digadang-gadang bakal digelar berkelanjutan ini seperti memberi
interupsi sosial lewat medium seni.
Di tengah proses reduksi citra bali sebagai pulau surga
untuk kepentingan promosi wisata oleh pemerintah daerah, pameran ini justru
hadir sebagai antitesis dengan menawarkan sisi lain, untuk tidak menyebutnya
sisi gelap, pulau dewata. Arif B. Prasetyo yang didapuk sebagai kurator dalam
pameran ini, sedianya ingin mengundang sebanyak mungkin perupa. Total ada 85
perupa yang diundang, namun hingga batas akhir pengumpulan karya, hanya sekitar
60 perupa yang sanggup menggarap tema ini. Menurutnya, di Bali, sulit memang
untuk mencari perupa yang suntuk menggarap persoalan-persoalan sosial sebagai
fokus berkaryanya. Kebanyakan dari para perupa ini, justru lebih gemar mengejar
aspek estetis dan artistik pencapaian karyanya.
Hal itu juga yang melandasinya menyodorkan tema-tema sosial
dalam gelaran pameran di Bali ke depannya. Mengapa demikian? Bali nampaknya
sedang dalam posisi yang riskan, di satu sisi seolah dikeluarkan dari peta seni
rupa kontemporer Indonesia, baik secara pasar maupun wacana. Namun di sisi
lain, posisi Bali sebagai wilayah yang diakses secara internasional memiliki
potensi membangun jaringan dengan medan seni rupa di luar negeri, terutama di
kawasan Asia timur.
Arah pergerakan seni rupa di kawasan Asia sudah semakin
menunjukkan keberpihakkannya pada persoalan-persoalan sosial dan politik.
Indikasi tersebut tentu tidak bisa dilepaskan dari aspek politik lokal di
negara-negara tersebut, maupun geopolitik global yang mulai berpusat di kawasan
Tiongkok, Jepang dan Korea. Pasca krisis ekonomi di Eropa, yang juga berimbas
pada krisis kebudayaan, kekuatan pondasi seni Eropa yang dibangun sejak era
Renaisans seolah runtuh dan tak berarti apa-apa di hadapan ringkihnya sistem
perekonomian mereka saat ini. Dengan kekuatan modal yang dimiliki oleh
negara-negara di kawasan Asia timur, terutama Tiongkok, untuk membangun pusat
seni dunia sepertinya bukan hal mustahil.
Di samping itu, negara-negara Asia juga memiliki
goncangannya sendiri di tingkat lokal dan regional. Sebagian negara Asia
tersebut mulai menjalankan sistem pemerintahan yang represif terhadap
rakyatnya, dengan tujuan untuk menjaga kestabilan politik. Hal ini menimbulkan
dampak yang luas, termasuk dalam dunia seni rupanya. Tekanan terhadap rakyat
dan seniman justru menimbulkan protes halus lewat karya seni. Sehingga tak
mengherankan jika terjadi gelombang pergerakan seni rupa Asia yang menyoroti
persoalan sosial politik di negara-negara tersebut.
Meski lepas dari tekanan orde baru, bukan berarti Indonesia
terbebas dari berbagai persoalan politik yang melanda negeri ini. perebutan
kekuasaan masih menjadi polemik yang tak berkesudahan, bahkan seolah
mengesampingkan persoalan kemiskinan yang lebih nyata terlihat. Bali melihat
ini sebagai sebuah potensi pergerakan yang besar, tentu dengan langkah-langkah
bertahap dalam sekian tahun kedepan. Dan pijakan awal itu telah kita lihat saat
ini lewat pameran Violent Bali. Meski
tidak secara spesifik merujuk pada satu peristiwa kekerasan yang terjadi di
Bali, keenam puluh perupa yang terlibat menunjukkan penjelajahan dalam cakupan
yang lebih luas. Melihat kekerasan di Bali tidak hanya pada kekerasan fisik,
melainkan juga psikologis yang dilakukan secara terselubung. Saya mencatat ada
beberapa karya yang menunjukkan gejala tersebut, ada yang dikerjakan
perseorangan, juga ada yg kolektif.
Salah satu karya yang paling menarik perhatian adalah milik
bayak yang menghadirkan instalasi dengan mengokupasi salah satu sudut ruang
galeri. Bayak menyajikan instalasi mekanis dengan sebuah lukisan, dan sebuah
televisi yang menampilkan film legendaris “Pemebrontakan G30S PKI”. Bayak
menarik akar kekerasan tidak hanya di Bali saja, melainkan dalam cakupan
Indonesia pada masa orde baru. Melalui film garapan Arifin C. Noer itulah rezim
Soeharto melakukan propaganda mengenai peristiwa kekerasan tahun 1965.
Anak-anak sekolah dasar dijejali visual-visual kekerasan lewat adegan
silet-menyilet jenderal dan pembunuhan sadis. Pasca film yang dibuat tahun
80-an tersebut, pandangan sejarah total berubah. Yang ada dalam benak
masyarakat hari ini adalah kekejian PKI membunuh tujuh jenderal, bukan
sebaliknya bahwa militer mendorong rakyat untuk saling bunuh sehari pasca
gestapu. Film itu adalah klaim sepihak yang dilakukan rezim Soeharto untuk
menyelamatkan mukanya di hadapan rakyat Indonesia, terutama di hadapan generasi
yang lahir pasca peristiwa tersebut.
Dalam karya lukis, “Noda Merah 1965” milik Alit Suaja patut
direnungkan juga saat ini. Potret seorang kakek yang mengenakan label PKI di
lengan kirinya adalah sebuah realitas hari ini. Para penyintas yang selamat
dari pembantaian tahun 65 masih dapat kita temui hari ini, mereka adalah saksi
sekaligus korban. Luka yang mereka alami mungkin saja tidak hanya secara fisik
saat peristiwa itu berlangsung, melainkan bertahun-tahun sesudahnya terus
dihakimi oleh publik secara sosial. Selain tu, karya kolektif dari Upadana,
Valasara, Budi Tomfreak, dan Ruth juga memberi tampilan menarik dengan memadukan
video art dengan storry reading. Dalam karya yang diberi tajuk “Pseudo Estetic” itu
perupa kolektif ini menyoroti pencitraan terhadap Bali yang dilakukan terus
tanpa melihat persoalan-persoalan yang secara nyata berlangsung dalam
masyarakat. Alam dan sosial menjadi lanskap yang berbeda, keindahan alam Bali
ternyata menyimpan sejumlah persoalan sosial yang menunggu dituntaskan. Ibarat
api dalam sekam, jika dibiarkan maka berpotensi membesar.
Dari 60 perupa yang turut menyumbang karya dalam pameran
ini, setidaknya dapat terlihat berbagai sudut pandang menakar kekerasan yang
terjadi di Bali dari masa silam hingga masa kini. Dari sana mungkin kita bisa
menyusun sebuah diorama dalam benak, bagaimana peristiwa-peristiwa itu selama
ini senyap di balik citra surgawi yang
melekat di pulau kecil ini.
Tulisan ini merupakan review pameran Bali Art Intervention: Violent in Bali, pernah dimuat di Bali Post Minggu edisi desember 2015