Senin, 28 Desember 2015

MENAKAR PERISTIWA KEKERASAN DI BALI



Oleh Dwi S. Wibowo

Selain citra surgawi yang melekat pada pulau dewata, ternyata Bali juga menyimpan sejumlah luka yang berakar pada berbagai peristiwa kekerasan. Peristiwa-peristiwa tersebut tidak hanya terjadi pada kurun waktu belakangan ini saja, melainkan telah tercatat dalam sejarah bahwa bali memiliki riwayat panjang mengenai sejarah kekerasan. Sebagai pulau kecil yang terbagi menjadi banyak wilayah kerajaan, sejak era Bali kuno memiliki potensi konflik yang tinggi akibat pergesekan kepentingan antar penguasa.

Seiring berjalannya waktu, ternyata peristiwa-peristiwa kekerasan tersebut seolah terus terjadi secara periodik. Hampir tiap dekade, peristiwa kekerasan itu berulang dengan motif dan pelaku yang berbeda. Untuk merefleksikan hal tersebut, Tony Raka gallery menginisiasi sebuah pameran besar dan mengajak para perupa Bali untuk ikut serta merenungkan sejarah kekerasan yang berlangsung sekian lama di pulau ini. Dengan mengusung tajuk “Bali Art Intervention #1: Violent Bali”, pameran yang digadang-gadang bakal digelar berkelanjutan ini seperti memberi interupsi sosial lewat medium seni.

Di tengah proses reduksi citra bali sebagai pulau surga untuk kepentingan promosi wisata oleh pemerintah daerah, pameran ini justru hadir sebagai antitesis dengan menawarkan sisi lain, untuk tidak menyebutnya sisi gelap, pulau dewata. Arif B. Prasetyo yang didapuk sebagai kurator dalam pameran ini, sedianya ingin mengundang sebanyak mungkin perupa. Total ada 85 perupa yang diundang, namun hingga batas akhir pengumpulan karya, hanya sekitar 60 perupa yang sanggup menggarap tema ini. Menurutnya, di Bali, sulit memang untuk mencari perupa yang suntuk menggarap persoalan-persoalan sosial sebagai fokus berkaryanya. Kebanyakan dari para perupa ini, justru lebih gemar mengejar aspek estetis dan artistik pencapaian karyanya.


Hal itu juga yang melandasinya menyodorkan tema-tema sosial dalam gelaran pameran di Bali ke depannya. Mengapa demikian? Bali nampaknya sedang dalam posisi yang riskan, di satu sisi seolah dikeluarkan dari peta seni rupa kontemporer Indonesia, baik secara pasar maupun wacana. Namun di sisi lain, posisi Bali sebagai wilayah yang diakses secara internasional memiliki potensi membangun jaringan dengan medan seni rupa di luar negeri, terutama di kawasan Asia timur.

Arah pergerakan seni rupa di kawasan Asia sudah semakin menunjukkan keberpihakkannya pada persoalan-persoalan sosial dan politik. Indikasi tersebut tentu tidak bisa dilepaskan dari aspek politik lokal di negara-negara tersebut, maupun geopolitik global yang mulai berpusat di kawasan Tiongkok, Jepang dan Korea. Pasca krisis ekonomi di Eropa, yang juga berimbas pada krisis kebudayaan, kekuatan pondasi seni Eropa yang dibangun sejak era Renaisans seolah runtuh dan tak berarti apa-apa di hadapan ringkihnya sistem perekonomian mereka saat ini. Dengan kekuatan modal yang dimiliki oleh negara-negara di kawasan Asia timur, terutama Tiongkok, untuk membangun pusat seni dunia sepertinya bukan hal mustahil.

Di samping itu, negara-negara Asia juga memiliki goncangannya sendiri di tingkat lokal dan regional. Sebagian negara Asia tersebut mulai menjalankan sistem pemerintahan yang represif terhadap rakyatnya, dengan tujuan untuk menjaga kestabilan politik. Hal ini menimbulkan dampak yang luas, termasuk dalam dunia seni rupanya. Tekanan terhadap rakyat dan seniman justru menimbulkan protes halus lewat karya seni. Sehingga tak mengherankan jika terjadi gelombang pergerakan seni rupa Asia yang menyoroti persoalan sosial politik di negara-negara tersebut.


Meski lepas dari tekanan orde baru, bukan berarti Indonesia terbebas dari berbagai persoalan politik yang melanda negeri ini. perebutan kekuasaan masih menjadi polemik yang tak berkesudahan, bahkan seolah mengesampingkan persoalan kemiskinan yang lebih nyata terlihat. Bali melihat ini sebagai sebuah potensi pergerakan yang besar, tentu dengan langkah-langkah bertahap dalam sekian tahun kedepan. Dan pijakan awal itu telah kita lihat saat ini lewat pameran Violent Bali. Meski tidak secara spesifik merujuk pada satu peristiwa kekerasan yang terjadi di Bali, keenam puluh perupa yang terlibat menunjukkan penjelajahan dalam cakupan yang lebih luas. Melihat kekerasan di Bali tidak hanya pada kekerasan fisik, melainkan juga psikologis yang dilakukan secara terselubung. Saya mencatat ada beberapa karya yang menunjukkan gejala tersebut, ada yang dikerjakan perseorangan, juga ada yg kolektif.

Salah satu karya yang paling menarik perhatian adalah milik bayak yang menghadirkan instalasi dengan mengokupasi salah satu sudut ruang galeri. Bayak menyajikan instalasi mekanis dengan sebuah lukisan, dan sebuah televisi yang menampilkan film legendaris “Pemebrontakan G30S PKI”. Bayak menarik akar kekerasan tidak hanya di Bali saja, melainkan dalam cakupan Indonesia pada masa orde baru. Melalui film garapan Arifin C. Noer itulah rezim Soeharto melakukan propaganda mengenai peristiwa kekerasan tahun 1965. Anak-anak sekolah dasar dijejali visual-visual kekerasan lewat adegan silet-menyilet jenderal dan pembunuhan sadis. Pasca film yang dibuat tahun 80-an tersebut, pandangan sejarah total berubah. Yang ada dalam benak masyarakat hari ini adalah kekejian PKI membunuh tujuh jenderal, bukan sebaliknya bahwa militer mendorong rakyat untuk saling bunuh sehari pasca gestapu. Film itu adalah klaim sepihak yang dilakukan rezim Soeharto untuk menyelamatkan mukanya di hadapan rakyat Indonesia, terutama di hadapan generasi yang lahir pasca peristiwa tersebut.

Dalam karya lukis, “Noda Merah 1965” milik Alit Suaja patut direnungkan juga saat ini. Potret seorang kakek yang mengenakan label PKI di lengan kirinya adalah sebuah realitas hari ini. Para penyintas yang selamat dari pembantaian tahun 65 masih dapat kita temui hari ini, mereka adalah saksi sekaligus korban. Luka yang mereka alami mungkin saja tidak hanya secara fisik saat peristiwa itu berlangsung, melainkan bertahun-tahun sesudahnya terus dihakimi oleh publik secara sosial. Selain tu, karya kolektif dari Upadana, Valasara, Budi Tomfreak, dan Ruth juga memberi tampilan menarik dengan memadukan video art dengan storry reading. Dalam karya yang diberi tajuk “Pseudo Estetic” itu perupa kolektif ini menyoroti pencitraan terhadap Bali yang dilakukan terus tanpa melihat persoalan-persoalan yang secara nyata berlangsung dalam masyarakat. Alam dan sosial menjadi lanskap yang berbeda, keindahan alam Bali ternyata menyimpan sejumlah persoalan sosial yang menunggu dituntaskan. Ibarat api dalam sekam, jika dibiarkan maka berpotensi membesar.

Dari 60 perupa yang turut menyumbang karya dalam pameran ini, setidaknya dapat terlihat berbagai sudut pandang menakar kekerasan yang terjadi di Bali dari masa silam hingga masa kini. Dari sana mungkin kita bisa menyusun sebuah diorama dalam benak, bagaimana peristiwa-peristiwa itu selama ini senyap  di balik citra surgawi yang melekat di pulau kecil ini.

Tulisan ini merupakan review pameran Bali Art Intervention: Violent in Bali, pernah dimuat di Bali Post Minggu edisi desember 2015