Di tengah arus
perkembangan seni kontemporer di Indonesia, ternyata di sejumlah tempat para pelukis
tradisi masih ngotot bertahan dan menolak untuk dianggap seni pinggiran. Di
Bali, sebuah pameran yang mengusung seni lukis tradisi gaya Ubud digelar di
ruang seni Bale Banjar Shankara (Sanur) dengan tajuk ‘Ubud Style Balinese Paintings’. Alih-alih sekedar menyusun
direktori kecil tentang khasanah seni lukis tradisi gaya ubud, pameran ini
justru mengakomodir sebuah kelompok yang terbilang sudah cukup tua sekaligus
pernah malang melintang, bahkan jatuh bangun terdepak zaman.
Mereka adalah
Kelompok Seniman Suamba, sebuah kelompok yang sudah berkembang di Ubud sejak
dekade 70-an. Mengalami pasang surut dalam rentang usia yang panjang tersebut,
kini mereka memiliki anggota sejumlah 30 seniman yang semuanya bermukim di
seputar kawasan Ubud. Namun dalam pameran yang digelar sejak 1 Agustus hingga 1
September ini, kelompok yang diketuai oleh I Wayan Arka tersebut hanya
menampilkan empat seniman terbaiknya yaitu I Made Reta, I Wayan Murja, I Made
Karsa, dan I Ketut Suwela.
Seni lukis
tradisi gaya Ubud telah memiliki catatan sejarah yang panjang meskipun tidak
sepopuler seni lukis tradisi Bali lainnya, seperti seni lukis tradisi gaya
Kamasan ataupun seni lukis tradisi gaya Batuan. Sejarah seni lukis tradisi yang
berkembang di Bali barangkali akan lebih banyak merujuk pada seni lukis tradisi
Kamasan yang secara dominan mengangkat cerita wayang dan panji. Perkembangan
tersebut seiring dengan situasi sosial dan politik yang terjadi pada masa era
Bali kerajaan yang dipimpin oleh kerajaan Gelgel (klungkung) sebagaimana seni
lukis tradisi Kamasan tersebut berasal. Cerita wayang dan panji dalam seni
lukis tradisi Kamasan menjadi bagian dari politik kebudayaan yang dijalankan
oleh kerajaan, sehingga terjadi proses penciptaan dari kalangan seniman yang
bersifat masif, sekaligus persebarannya.
Setelah
runtuhnya kuasa politik kerajaan Gelgel di Bali, yang kemudian mengambil
tongkat estafet kepemimpinan adalah kerajaan Ubud. Dengan pola yang serupa,
raja Ubud juga melakukan politik kebudayaan terhadap rakyatnya melalui seni
lukis tradisi yang dimilikinya. Berbeda dengan seni lukis tradisi Kamasan yang
didominasi oleh cerita wayang dan panji yang diangkat dari narasi kitab suci
ataupun lontar-lontar sastra, seni lukis tradisi Ubud justru berakar pada
kehidupan masyarakat yaitu dengan lebih banyak menampilkan lukisan berlatar
cerita rakyat ataupun gambaran hidup keseharian masyarakatnya. Salah satu ikon
seni lukis Ubud yang paling tersohor adalah I Gusti Nyoman Lempad, yang juga
masih termasuk kerabat Puri Ubud.
Perkembangan
seni lukis tradisi Ubud tidak bisa dilepaskan dari sejarah kolonialisme, pasca
penerapan politik etis Belanda di Indonesia yaitu dengan menjalankan Baliseering pada era 1920-an, terjadi
perubahan arah seni tradisi di Bali, termasuk seni lukis tradisi. Perubahan
pada seni lukis tradisi Ubud adalah yang paling kentara, terutama dikarenakan
oleh pengaruh yang dibawa oleh dua seniman ekspatriat yang menetap di Bali
yaitu Walter Spies dan Rudolf Bonnet. Kedua seniman eropa inilah yang mulai
memperkenalkan seni lukis modern pada para pelukis tradisi di Ubud, dari segi
material mereka mulai menggunakan cat sebagai medium melukis, meskipun tidak
seratus persen meninggalkan material yang mereka gunakan sebelumnya, yaitu
tinta.
Selain
material, Bonnet dan Spies juga memberi pengaruh pada cara pembentukan anatomi
dan komposisi lukisan dalam seni lukis tradisi Ubud. Jika sebelumnya anatomi
manusia dalam lukisan tradisi masih mengambil bentuk wayang yang datar, pada
era ini bentuk anatomi mulai mendekati sempurna dengan membentuk perspektif
ruang. Selain itu, pada era ini juga ornamen dekoratif yang khas pada seni
lukis tradisi mulai ditinggalkan. Bonnet dan Spies juga menginisiasi sebuah
gerakan seni rupa Pita Maha bersama dengan Tjokorda Gede Agung Sukawati pada
dekade 1930-an. Melalui gerakan itulah, seni lukis tradisi gaya Ubud menyebar
semakin luas dan berkembang menjadi mahzab estetik yang menggabungkan antara
unsur tradisional Bali dengan sentuhan modern khas Eropa.
Keempat
seniman dalam pameran yang dihelat ruang seni Bale Banjar Shankara merupakan
generasi terkini dari para penekun seni lukis tradisi gaya Ubud yang telah
memiliki pamor luas tersebut. Masing-masing dari mereka memiliki kekhasan
karakteristik teknik dan tema yang mewakili khasanah seni lukis tradisi gaya
Ubud yang didominasi oleh lanskap mitologis yang berakar pada cerita rakyat
maupun gambaran kehidupan sehari-hari masyarakatnya. Seperti dalam
lukisan-lukisan I Made Reta misalnya, tema ritual keagamaan tampil secara
dominan melalui lukisan monokrom bermedium tinta cina. I Made Reta merupakan
salah satu seniman yang masih mempertahankan teknik tradisi menggunakan tinta
cina untuk membentuk efek gelap terang (chiaroscuro),
teknik tersebut dikenal dengan nama Sigar
Mangsi. Karakteristik lukisan I Made Reta tersebut diperolehnya melalui
penggabungan teknik yang dipelajarinya dari banyak guru melukisnya, mereka
antara lain Ida Bangus Suryana, Wayan Suaka dari Katik Lantai, dan Wayan Garih
dari Pengosekan Kelod.
I Wayan Murja tampil
dengan mengeksplorsari dunia mistik dari berbagai mitologi yang berkembang
dalam masyarakat Bali. Dalam salah satu lukisannya, pelukis kelahiran tahun
1965 ini mengangkat satu fragmen kisah Rajah Pala dengan menghadirkan figur
menyeramkan di hadapan sepasang bayi. Suasana mistis sekaligus dibangun olehnya
melalui latar yang serba gelap, khas karakter lukisannya. Tema-tema lukisan
yang berlatar pada sastra lisan berupa cerita rakyat ataupun mitologi termasuk
yang paling menonjol di kalangan pelukis tradisi Ubud, proses transformasi dari
sastra ke lukisan ternyata justru memberi landasan bagi para pelukis tersebut
sehingga memungkinkan melakukan tafsir yang luas terhadap cerita tersebut.
Mengamati
lukisan-lukisan I Made Karsa sama halnya berwisata menuju Bali masa lalu. Lukisan-lukisannya
lebih banyak menggambarkan potret kehidupan sehari-hari masyarakat Bali tempo
dulu. Jika dilihat sekilas, barangkali lukisannya tidak ada bedanya dengan
lukisan-lukisan tradisi lainnya yang diproduksi secara masif. Namun yang
menjadi karakteristik khasnya adalah penggunaan teknik khas Pengosekan dalam
membangun gradasi pada setiap figur dalam lukisannya yang kebanyakan berwarna
cerah, sesuai dengan narasi keriangan masyarakat yang dilukiskannya.
Mengangkat
potret dari peristiwa kesenian yang berlangsung hampir setiap hari di Bali, I
Ketut Suwela lebih banyak melukiskan tarian-tarian tradisional. Sejak industri
pariwisata mulai berkembang di Bali, kesenian (tarian) merupakan komoditas
utama yang disajikan untuk menarik wisatawan. Hal itu membuat, peristiwa seni
tersebut berlangsung tanpa mengenal waktu, dan hampir berjalan setiap hari di
berbagai lokasi. Kondisi itulah yang juga berpengaruh pada nasib seni lukis
tradisi Bali, termasuk para penganut gaya Ubud, perkembangan mereka berjalan
beriringan dengan kondisi pariwisata yang terjadi di Bali. Di ruang-ruang
galeri ternama, mereka hampir tidak mendapat tempat, padahal kekayaan khasanah
seni lukis tradisi ini memiliki riwayat panjang. Barangkali, inilah gambaran
usia senja mereka.
*)tulisan ini pernah dipublikasikan di majalah seni sarasvati edisi september 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar