Selasa, 15 September 2015

SENI LUKIS TRADISI DI AMBANG SENJA


oleh Dwi S. Wibowo
Di tengah arus perkembangan seni kontemporer di Indonesia, ternyata di sejumlah tempat para pelukis tradisi masih ngotot bertahan dan menolak untuk dianggap seni pinggiran. Di Bali, sebuah pameran yang mengusung seni lukis tradisi gaya Ubud digelar di ruang seni Bale Banjar Shankara (Sanur) dengan tajuk ‘Ubud Style Balinese Paintings’. Alih-alih sekedar menyusun direktori kecil tentang khasanah seni lukis tradisi gaya ubud, pameran ini justru mengakomodir sebuah kelompok yang terbilang sudah cukup tua sekaligus pernah malang melintang, bahkan jatuh bangun terdepak zaman.
Mereka adalah Kelompok Seniman Suamba, sebuah kelompok yang sudah berkembang di Ubud sejak dekade 70-an. Mengalami pasang surut dalam rentang usia yang panjang tersebut, kini mereka memiliki anggota sejumlah 30 seniman yang semuanya bermukim di seputar kawasan Ubud. Namun dalam pameran yang digelar sejak 1 Agustus hingga 1 September ini, kelompok yang diketuai oleh I Wayan Arka tersebut hanya menampilkan empat seniman terbaiknya yaitu I Made Reta, I Wayan Murja, I Made Karsa, dan I Ketut Suwela.
Seni lukis tradisi gaya Ubud telah memiliki catatan sejarah yang panjang meskipun tidak sepopuler seni lukis tradisi Bali lainnya, seperti seni lukis tradisi gaya Kamasan ataupun seni lukis tradisi gaya Batuan. Sejarah seni lukis tradisi yang berkembang di Bali barangkali akan lebih banyak merujuk pada seni lukis tradisi Kamasan yang secara dominan mengangkat cerita wayang dan panji. Perkembangan tersebut seiring dengan situasi sosial dan politik yang terjadi pada masa era Bali kerajaan yang dipimpin oleh kerajaan Gelgel (klungkung) sebagaimana seni lukis tradisi Kamasan tersebut berasal. Cerita wayang dan panji dalam seni lukis tradisi Kamasan menjadi bagian dari politik kebudayaan yang dijalankan oleh kerajaan, sehingga terjadi proses penciptaan dari kalangan seniman yang bersifat masif, sekaligus persebarannya.
Setelah runtuhnya kuasa politik kerajaan Gelgel di Bali, yang kemudian mengambil tongkat estafet kepemimpinan adalah kerajaan Ubud. Dengan pola yang serupa, raja Ubud juga melakukan politik kebudayaan terhadap rakyatnya melalui seni lukis tradisi yang dimilikinya. Berbeda dengan seni lukis tradisi Kamasan yang didominasi oleh cerita wayang dan panji yang diangkat dari narasi kitab suci ataupun lontar-lontar sastra, seni lukis tradisi Ubud justru berakar pada kehidupan masyarakat yaitu dengan lebih banyak menampilkan lukisan berlatar cerita rakyat ataupun gambaran hidup keseharian masyarakatnya. Salah satu ikon seni lukis Ubud yang paling tersohor adalah I Gusti Nyoman Lempad, yang juga masih termasuk kerabat Puri Ubud.
Perkembangan seni lukis tradisi Ubud tidak bisa dilepaskan dari sejarah kolonialisme, pasca penerapan politik etis Belanda di Indonesia yaitu dengan menjalankan Baliseering pada era 1920-an, terjadi perubahan arah seni tradisi di Bali, termasuk seni lukis tradisi. Perubahan pada seni lukis tradisi Ubud adalah yang paling kentara, terutama dikarenakan oleh pengaruh yang dibawa oleh dua seniman ekspatriat yang menetap di Bali yaitu Walter Spies dan Rudolf Bonnet. Kedua seniman eropa inilah yang mulai memperkenalkan seni lukis modern pada para pelukis tradisi di Ubud, dari segi material mereka mulai menggunakan cat sebagai medium melukis, meskipun tidak seratus persen meninggalkan material yang mereka gunakan sebelumnya, yaitu tinta.

Selain material, Bonnet dan Spies juga memberi pengaruh pada cara pembentukan anatomi dan komposisi lukisan dalam seni lukis tradisi Ubud. Jika sebelumnya anatomi manusia dalam lukisan tradisi masih mengambil bentuk wayang yang datar, pada era ini bentuk anatomi mulai mendekati sempurna dengan membentuk perspektif ruang. Selain itu, pada era ini juga ornamen dekoratif yang khas pada seni lukis tradisi mulai ditinggalkan. Bonnet dan Spies juga menginisiasi sebuah gerakan seni rupa Pita Maha bersama dengan Tjokorda Gede Agung Sukawati pada dekade 1930-an. Melalui gerakan itulah, seni lukis tradisi gaya Ubud menyebar semakin luas dan berkembang menjadi mahzab estetik yang menggabungkan antara unsur tradisional Bali dengan sentuhan modern khas Eropa.
Keempat seniman dalam pameran yang dihelat ruang seni Bale Banjar Shankara merupakan generasi terkini dari para penekun seni lukis tradisi gaya Ubud yang telah memiliki pamor luas tersebut. Masing-masing dari mereka memiliki kekhasan karakteristik teknik dan tema yang mewakili khasanah seni lukis tradisi gaya Ubud yang didominasi oleh lanskap mitologis yang berakar pada cerita rakyat maupun gambaran kehidupan sehari-hari masyarakatnya. Seperti dalam lukisan-lukisan I Made Reta misalnya, tema ritual keagamaan tampil secara dominan melalui lukisan monokrom bermedium tinta cina. I Made Reta merupakan salah satu seniman yang masih mempertahankan teknik tradisi menggunakan tinta cina untuk membentuk efek gelap terang (chiaroscuro), teknik tersebut dikenal dengan nama Sigar Mangsi. Karakteristik lukisan I Made Reta tersebut diperolehnya melalui penggabungan teknik yang dipelajarinya dari banyak guru melukisnya, mereka antara lain Ida Bangus Suryana, Wayan Suaka dari Katik Lantai, dan Wayan Garih dari Pengosekan Kelod.
I Wayan Murja tampil dengan mengeksplorsari dunia mistik dari berbagai mitologi yang berkembang dalam masyarakat Bali. Dalam salah satu lukisannya, pelukis kelahiran tahun 1965 ini mengangkat satu fragmen kisah Rajah Pala dengan menghadirkan figur menyeramkan di hadapan sepasang bayi. Suasana mistis sekaligus dibangun olehnya melalui latar yang serba gelap, khas karakter lukisannya. Tema-tema lukisan yang berlatar pada sastra lisan berupa cerita rakyat ataupun mitologi termasuk yang paling menonjol di kalangan pelukis tradisi Ubud, proses transformasi dari sastra ke lukisan ternyata justru memberi landasan bagi para pelukis tersebut sehingga memungkinkan melakukan tafsir yang luas terhadap cerita tersebut.
Mengamati lukisan-lukisan I Made Karsa sama halnya berwisata menuju Bali masa lalu. Lukisan-lukisannya lebih banyak menggambarkan potret kehidupan sehari-hari masyarakat Bali tempo dulu. Jika dilihat sekilas, barangkali lukisannya tidak ada bedanya dengan lukisan-lukisan tradisi lainnya yang diproduksi secara masif. Namun yang menjadi karakteristik khasnya adalah penggunaan teknik khas Pengosekan dalam membangun gradasi pada setiap figur dalam lukisannya yang kebanyakan berwarna cerah, sesuai dengan narasi keriangan masyarakat yang dilukiskannya.
Mengangkat potret dari peristiwa kesenian yang berlangsung hampir setiap hari di Bali, I Ketut Suwela lebih banyak melukiskan tarian-tarian tradisional. Sejak industri pariwisata mulai berkembang di Bali, kesenian (tarian) merupakan komoditas utama yang disajikan untuk menarik wisatawan. Hal itu membuat, peristiwa seni tersebut berlangsung tanpa mengenal waktu, dan hampir berjalan setiap hari di berbagai lokasi. Kondisi itulah yang juga berpengaruh pada nasib seni lukis tradisi Bali, termasuk para penganut gaya Ubud, perkembangan mereka berjalan beriringan dengan kondisi pariwisata yang terjadi di Bali. Di ruang-ruang galeri ternama, mereka hampir tidak mendapat tempat, padahal kekayaan khasanah seni lukis tradisi ini memiliki riwayat panjang. Barangkali, inilah gambaran usia senja mereka.
*)tulisan ini pernah dipublikasikan di majalah seni sarasvati edisi september 2015


Tidak ada komentar:

Posting Komentar