Minggu, 13 September 2015

BUDAYA MINUM DAN IRONI HIDUP DI BALI


oleh Dwi S. Wibowo
Berawal dari kebiasaannya meminum kopi sembari membuat sketsa, Putu Sudiana yang karib disapa “Bonuz” mencoba merenungkan makna hidupnya sebagai seniman yang berbaur dalam lintasan tradisi dan situasi sosial yang berlangsung di Bali. Sebagai destinasi pariwisata yang mendunia, menjadi klise memang jika membicarakannya sebagai pulau surga yang tersisa di bumi. Arus kedatangan wisatawan yang terus meningkat setiap tahun, secara perlahan tapi pasti mengubah lanskap sosial pulau dewata. Jalanan yang dulu lengang, kini disesaki mobil-mobil yang terjebak kemacetan, pantai Kuta yang dulu senyap kini justru hingar bingar oleh deretan bar dan bermacam hiburan malam.
Melalui sebuah pameran yang mengusung tajuk “Because Life is Delicious” di Kubu Art Space Lodtunduh, Bonuz memberikan tawaran sudut pandang untuk melihat pulau kediamannya ini. Dalam pameran yang digelar di ruang seni milik komposer Wayan Gede Yudane sejak 29 Juli hingga 29 September mendatang ini, Bonuz menampilkan karya-karya di luar kebiasaannya sebagai pelukis abstrak. Karya-karyanya kali ini, lebih banyak diinspirasi oleh benda-benda yang lekat dengan budaya minum; gelas, cangkir, dan botol. Lebih dari itu, ia tidak ingin sekedar terjebak pada lukisan alam benda (still life), sekian pesan coba ia lampirkan disana.
Baginya, salah satu hal yang paling nampak dari perubahan lanskap sosial masyarakat Bali dewasa ini adalah maraknya budaya minum (minuman beralkohol) tersebut. “Kita melihat botol minuman telah menjelma menjadi simbol yang tidak bisa dilepaskan dari sebuah komunitas, dan bagaimana lingkup pergaulan di dalamnya terbentuk,” ungkap pelukis kelahiran Nusa Penida tersebut. Sehingga tidak aneh jika dalam setiap pertemuan selalu ada deretan botol-botol minuman, seolah sudah menjadi bagian tidak terpisahkan dari ritual komunikasi sosial semacam itu. Tren tersebut tentu dilatarbelakangi oleh pengaruh budaya yang dibawa oleh turis asal mancanegara, meskipun jika diulik lebih mendalam, masyarakat Bali juga memiliki tradisi minum sebagai medium sosialisasi yang klasik yaitu metuakan (meminum tuak). Oleh karena itu, menjadi menarik untuk menilik karya-karya yang ditampilkan oleh Bonuz melalui perspektif budaya minum tersebut.

Dalam tradisi masyarakat Bali, kebiasaan metuakan telah berkembang menjadi medium sosialisasi yang efektif di berbagai ruang komunikasi yang tersebar ke pelosok. Sebagaimana sifat minuman bekadar alkohol lainnya, tuak digunakan untuk mencairkan ketegangan suasana sehingga memungkinkan pembicaraan dapat lebih lancar dan mengalir. Tuak juga menjadi bagian penting dalam setiap ruang komunikasi formal yang berkembang dalam masyarakat tradisional Bali, seperti pertemuan banjar ataupun penyelesaian konfilk adat. Hal ini juga dikarenakan masyarakatnya yang berlatar budaya agraris dan komunal. Tuak merupakan minuman beralkohol kadar rendah yang diproduksi secara tradisional dari bahan nira yang difermentasi dalam rentang waktu tertentu. Tuak boleh disebut sebagai kearifan lokal dalam konteks di atas karena merupakan minuman yang diproduksi dengan memanfaatkan unsur-unsur alam lokal sekaligus untuk menunjang kultur lokal (metuakan) tersebut. Meskipun secara lebih luas, Bali tidak hanya dikenal memiliki tuak sebagai produk budaya minumnya, melainkan juga arak dan kopi yang juga sama populernya.
Di luar konteks tradisi tersebut, tren budaya minum yang berkembang, terutama di kalangan muda Bali hari ini lebih disebabkan oleh kultur hedonisme yang ditularkan melalui laku para wisatawan. Terbukanya ruang interaksi antara masyarakat lokal dengan wisatawan pada akhirnya menimbulkan pertautan-pertautan budaya antar keduanya. Hal tersebut juga dikarenakan menjamurnya ruang pertemuan dua kultur tersebut, yaitu berbagai pusat hiburan, bar, café ataupun yang lainnya di Bali. Secara umum, ada yang positif, sebagian juga negatif. Seperti tren budaya minum ini misalnya, bisa dinilai dari beberapa segi sekaligus. Positif, jika sebagaimana dalam tradisi lokal, digunakan sebagai medium bersosialisasi, dan mungkin negatif jika semata-mata mengikuti hasrat hedonisme.
Di titik ini, sudut pandang yang ditawarkan oleh Bonuz menjadi relevan, bahkan bisa menjadi kritik yang luas melalui 24 karya yang ditampilkan dalam pameran ini. Seperti dalam salah satu seri lukisannya yang menampilkan deretan botol berhadapan dengan gelas-gelas anggur dan dibumbui dengan kalimat verbal “tuak vs wine”. Melalui pesan tersebut, kita sudah bisa menangkap makna lukisan tersebut secara lugas. Namun dalam konteks realitas yang terjadi di Bali, tarikannya bisa diperluas hingga ke persoalan agraria dan pemanfaatan lahan. Di pesisir utara pulau Bali, sejak tahun 90-an terjadi perubahan kultur tanam secara besar-besaran. Lahan-lahan pertaniannya berubah menjadi ladang anggur, hal tersebut disebabkan oleh masuknya industri wine (anggur) yang mayoritas dimiliki kalangan ekspatriat yang bermukim di Bali. Kehadiran industri wine tersebut, tentu secara perlahan menggeser eksistensi minuman tradisional di mata para penikmatnya. Namun tidak hanya itu, lagi-lagi masuknya modal melalui industri pariwisata juga pelan tapi pasti menggeser eksistensi masyarakat lokal. Dengan mengatasnamakan pembangunan infrastruktur penunjang pariwisata, terjadi pengalihan fungsi dan kepemilikan lahan secara masif. Masyarakat secara sukarela melepas kepemilikan tanahnya karena tawaran finansial yang menggiurkan.
Stigma sosial yang melekat pada pulau Bali sebagai surga terakhir di bumi, barangkali membentuk anggapan banyak orang bahwa pulau ini adalah tempat tinggal terbaik. Alam yang indah, penduduk lokal yang ramah, makanan yang enak, dan kehidupan yang berlangsung dengan nyaman sebagaimana yang tertera dalam brosur-brosur wisata.  Namun realitas seringkali justru bertolak belakang dengan visual ideal yang dibayangkan. Bali hari ini telah mengalami berbagai perubahan sosial secara fluktuatif, pulau surga ini tidak lagi seperti yang diidamkan sejak dulu; persoalan ekologi, kesenjangan ekonomi, dan degradasi nilai tradisi sudah lazim dibicarakan dan dicari solusinya. Maka tidak heran jika lahir anekdot sosial di sini, “ jaen idup di Bali (nikmat hidup di Bali)”, yang kemudian dijawab, “yen suud ngadep tanah (kalau sehabis jual tanah)”. Barangkali itulah gambaran sosial masyarakat Bali hari ini, perlahan meninggalkan prinsip tradisi untuk mengejar kenikmatan duniawi. Mungkin, mereka ingin menjadi turis di rumahnya sendiri.
*)tulisan ini pernah dipublikasikan di majalah sarasvati edisi september 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar