Berawal dari
kebiasaannya meminum kopi sembari membuat sketsa, Putu Sudiana yang karib
disapa “Bonuz” mencoba merenungkan makna hidupnya sebagai seniman yang berbaur
dalam lintasan tradisi dan situasi sosial yang berlangsung di Bali. Sebagai
destinasi pariwisata yang mendunia, menjadi klise memang jika membicarakannya
sebagai pulau surga yang tersisa di bumi. Arus kedatangan wisatawan yang terus
meningkat setiap tahun, secara perlahan tapi pasti mengubah lanskap sosial
pulau dewata. Jalanan yang dulu lengang, kini disesaki mobil-mobil yang
terjebak kemacetan, pantai Kuta yang dulu senyap kini justru hingar bingar oleh
deretan bar dan bermacam hiburan malam.
Melalui sebuah
pameran yang mengusung tajuk “Because Life
is Delicious” di Kubu Art Space Lodtunduh, Bonuz memberikan tawaran sudut
pandang untuk melihat pulau kediamannya ini. Dalam pameran yang digelar di ruang
seni milik komposer Wayan Gede Yudane sejak 29 Juli hingga 29 September mendatang
ini, Bonuz menampilkan karya-karya di luar kebiasaannya sebagai pelukis
abstrak. Karya-karyanya kali ini, lebih banyak diinspirasi oleh benda-benda
yang lekat dengan budaya minum; gelas, cangkir, dan botol. Lebih dari itu, ia
tidak ingin sekedar terjebak pada lukisan alam benda (still life), sekian pesan coba ia lampirkan disana.
Baginya, salah
satu hal yang paling nampak dari perubahan lanskap sosial masyarakat Bali
dewasa ini adalah maraknya budaya minum (minuman beralkohol) tersebut. “Kita
melihat botol minuman telah menjelma menjadi simbol yang tidak bisa dilepaskan
dari sebuah komunitas, dan bagaimana lingkup pergaulan di dalamnya terbentuk,”
ungkap pelukis kelahiran Nusa Penida tersebut. Sehingga tidak aneh jika dalam
setiap pertemuan selalu ada deretan botol-botol minuman, seolah sudah menjadi
bagian tidak terpisahkan dari ritual komunikasi sosial semacam itu. Tren
tersebut tentu dilatarbelakangi oleh pengaruh budaya yang dibawa oleh turis
asal mancanegara, meskipun jika diulik lebih mendalam, masyarakat Bali juga
memiliki tradisi minum sebagai medium sosialisasi yang klasik yaitu metuakan (meminum tuak). Oleh karena
itu, menjadi menarik untuk menilik karya-karya yang ditampilkan oleh Bonuz
melalui perspektif budaya minum tersebut.
Dalam tradisi
masyarakat Bali, kebiasaan metuakan
telah berkembang menjadi medium sosialisasi yang efektif di berbagai ruang
komunikasi yang tersebar ke pelosok. Sebagaimana sifat minuman bekadar alkohol
lainnya, tuak digunakan untuk mencairkan ketegangan suasana sehingga
memungkinkan pembicaraan dapat lebih lancar dan mengalir. Tuak juga menjadi bagian
penting dalam setiap ruang komunikasi formal yang berkembang dalam masyarakat
tradisional Bali, seperti pertemuan banjar ataupun penyelesaian konfilk adat. Hal
ini juga dikarenakan masyarakatnya yang berlatar budaya agraris dan komunal.
Tuak merupakan minuman beralkohol kadar rendah yang diproduksi secara tradisional
dari bahan nira yang difermentasi dalam rentang waktu tertentu. Tuak boleh
disebut sebagai kearifan lokal dalam konteks di atas karena merupakan minuman
yang diproduksi dengan memanfaatkan unsur-unsur alam lokal sekaligus untuk
menunjang kultur lokal (metuakan)
tersebut. Meskipun secara lebih luas, Bali tidak hanya dikenal memiliki tuak
sebagai produk budaya minumnya, melainkan juga arak dan kopi yang juga sama
populernya.
Di luar
konteks tradisi tersebut, tren budaya minum yang berkembang, terutama di
kalangan muda Bali hari ini lebih disebabkan oleh kultur hedonisme yang
ditularkan melalui laku para wisatawan. Terbukanya ruang interaksi antara
masyarakat lokal dengan wisatawan pada akhirnya menimbulkan pertautan-pertautan
budaya antar keduanya. Hal tersebut juga dikarenakan menjamurnya ruang
pertemuan dua kultur tersebut, yaitu berbagai pusat hiburan, bar, café ataupun
yang lainnya di Bali. Secara umum, ada yang positif, sebagian juga negatif. Seperti
tren budaya minum ini misalnya, bisa dinilai dari beberapa segi sekaligus.
Positif, jika sebagaimana dalam tradisi lokal, digunakan sebagai medium
bersosialisasi, dan mungkin negatif jika semata-mata mengikuti hasrat
hedonisme.
Di titik ini, sudut
pandang yang ditawarkan oleh Bonuz menjadi relevan, bahkan bisa menjadi kritik
yang luas melalui 24 karya yang ditampilkan dalam pameran ini. Seperti dalam
salah satu seri lukisannya yang menampilkan deretan botol berhadapan dengan
gelas-gelas anggur dan dibumbui dengan kalimat verbal “tuak vs wine”. Melalui
pesan tersebut, kita sudah bisa menangkap makna lukisan tersebut secara lugas.
Namun dalam konteks realitas yang terjadi di Bali, tarikannya bisa diperluas
hingga ke persoalan agraria dan pemanfaatan lahan. Di pesisir utara pulau Bali,
sejak tahun 90-an terjadi perubahan kultur tanam secara besar-besaran.
Lahan-lahan pertaniannya berubah menjadi ladang anggur, hal tersebut disebabkan
oleh masuknya industri wine (anggur) yang mayoritas dimiliki kalangan
ekspatriat yang bermukim di Bali. Kehadiran industri wine tersebut, tentu
secara perlahan menggeser eksistensi minuman tradisional di mata para
penikmatnya. Namun tidak hanya itu, lagi-lagi masuknya modal melalui industri
pariwisata juga pelan tapi pasti menggeser eksistensi masyarakat lokal. Dengan
mengatasnamakan pembangunan infrastruktur penunjang pariwisata, terjadi
pengalihan fungsi dan kepemilikan lahan secara masif. Masyarakat secara
sukarela melepas kepemilikan tanahnya karena tawaran finansial yang
menggiurkan.
Stigma sosial
yang melekat pada pulau Bali sebagai surga terakhir di bumi, barangkali
membentuk anggapan banyak orang bahwa pulau ini adalah tempat tinggal terbaik. Alam
yang indah, penduduk lokal yang ramah, makanan yang enak, dan kehidupan yang
berlangsung dengan nyaman sebagaimana yang tertera dalam brosur-brosur wisata. Namun realitas seringkali justru bertolak
belakang dengan visual ideal yang dibayangkan. Bali hari ini telah mengalami
berbagai perubahan sosial secara fluktuatif, pulau surga ini tidak lagi seperti
yang diidamkan sejak dulu; persoalan ekologi, kesenjangan ekonomi, dan
degradasi nilai tradisi sudah lazim dibicarakan dan dicari solusinya. Maka
tidak heran jika lahir anekdot sosial di sini, “ jaen idup di Bali (nikmat hidup di Bali)”, yang kemudian dijawab,
“yen suud ngadep tanah (kalau sehabis
jual tanah)”. Barangkali itulah gambaran sosial masyarakat Bali hari ini,
perlahan meninggalkan prinsip tradisi untuk mengejar kenikmatan duniawi.
Mungkin, mereka ingin menjadi turis di rumahnya sendiri.
*)tulisan ini pernah dipublikasikan di majalah sarasvati edisi september 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar