Minggu, 23 September 2012

LOYALITAS PADA UKURAN

LOYALITAS PADA UKURAN
kritik terhadap pameran XXL : State of Indonesian Art
oleh dwi s. wibowo
agus suwage, monumen penjaga hankamnas (photo by dyah merta)

         12 Agustus lalu, Jogja Contemporary menggelar sebuah pameran di Sangkring Art Space yang merangkul sekitar 15 perupa top list di Indonesia. Perlu dicatat, toplist atau yang berada di urutan teratas dalam daftar perupa-perupa paling tersohor, paling sukses, dan paling diburu kolektor. Mereka ialah Agus Suwage, Arahmaiani, Budi Kustarto, Eko Nugroho, Handiwirman, Heri Dono, Jumaldi Alfi, M Irfan, Mella Jaarsma, Nasirun, Nindityo Adipurnomo, Putu Sutawijaya, Tisna Sanjaya, Ugo Untoro, dan Yusra Martunus. Bukan bermaksud sinis, tapi barangkali pada pameran yang diberi tajuk ‘XXL : State of Indonesian Art’ sang kurator, Valentine Willie ingin memberikan gambaran aktual terkait perkembangan seni rupa di Indonesia. Ia sendiri telah malang melintang di dunia seni rupa Asia tenggara, dan Indonesia yang memiliki cukup keanekaragaman karakter perupa jadi salah satu wilayah yang diamatinya beberapa tahun belakangan ini.

Selasa, 31 Juli 2012

MONUMEN (bagi) REVOLUSI PERANCIS

Monumen (bagi) Revolusi Perancis

A friend who dies, it's something of you who dies. (gustave flaubert)

“Mereka baru selesai bercinta!”
“tidak, perempuan itu membunuhnya sebelum bercinta!”
            Revolusi perancis tidak hanya meninggalkan bond-bond hutang belanja maria antoinette dan comte d’artois saudaranya yang dianggap sebagai pemborosan besar-besaran terhadap keuangan kerajaan, yang memantik amarah rakyat perancis kala itu. Revolusi perancis, sekali lagi tidak hanya meninggalkan cerita tentang pendudukan rakyat terhadap penjara bastille setelah pertempuran selama empat jam. Bastille sendiri menjadi simbol bagi apa saja yang dibenci oleh keluarga kerajaan pada ancien regime. Juga tidak semata meninggalkan kisah keperkasaan jenderal napoleon bonaparte sebagai penguasa perancis pasca revolusi. Di samping cerita tersebut, yang sebagian besar orang menandainya sebagai tugu-tugu besar revolusi perancis, masih terdapat sebuah cerita lain yang mungkin bagi sebagian orang tersebut tidaklah begitu penting untuk diketahui. Di tengah-tengah proses revolusi yang tengah berjalan, ternyata terselip sebuah kasus pembunuhan yang bermula dari sebuah skandal (seperti saya ilustrasikan dalam dialog di awal tulisan ini). Pembunuhan ini bukanlah pembunuhan biasa, melainkan terkait erat dengan salah seorang penggerak revolusi, marat namanya. Pembunuhan tersebut melibatkan charlotte corday, seorang perempuan yang (sebenarnya) berasal dari kubu lawan politik marat yang pro revolusi. Beberapa sumber menyebutkan bahwa akses yang diperoleh corday untuk mendekati marat semata-mata karena ia memiliki daftar nama-nama orang yang menjadi musuh rakyat, namun saya menarik asumsi bahwa di antara mereka tentulah ada hubungan yang lebih dari sekedar yang telah saya sebut di atas, apalagi marat tahu benar darimana corday berasal. Marat sendiri awalnya merupakan seorang ilmuwan dan dokter yang kemudian beralih menjadi seorang jurnalis semasa revolusi, tulisan-tulisannya yang berapi-api dan pro rakyat membuatnya harus kerap bersembunyi karena mendapat banyak serangan dari pihak lawan politiknya secara brutal. Hingga akhirnya ia dibunuh oleh corday pada 13 juli 1973.

Jumat, 29 Juni 2012

DONGENG SEBELUM TIDUR ‘YUDI’


DONGENG SEBELUM TIDUR ‘YUDI’
‘catatan singkat untuk pameran tri wahyudi, 1-8 juni di bentara budaya yogyakarta’
Oleh dwi s. wibowo
kudaku binal seperti laju kue keretaku (photo taken on jogjanews.com)
           
                    Cicak itu cintaku, berbicara tentang kita, yaitu nonsens. (GM, dongeng sebelum tidur)
            Semasa kanak, dongeng apa yang kerap dibacakan orang tua anda tiap kali menjelang tidur? Dongeng dari khazanah lokal seperti kisah Angling Dharma? Atau dongeng horor tentang Frankenstein yang membuat bulu kuduk merinding? Ataukah dongeng Aladin dari Negeri 1001 malam? Apapun itu, tentu kisah-kisah yang terdapat dalam dongeng tersebut kemudian begitu melekat dalam benak pembaca sekalian. Ruang memori kanak-kanak yang masih lapang memungkinkan kisah-kisah tersebut memenuhinya dan menimbulkan suatu efek paradoksal yang tumbuh dan berkembang seiring pertumbuhan tingkat kedewasaan seorang anak. Dampak utama yang sering nampak ialah pada pembentukan pola pikir anak tersebut, meski baru dapat terlihat ketika ia menginjak usia dewasa. Barangkali menarik membicarakan persoalan efek dongeng terhadap perkembangan psikologis anak secara lebih lanjut, namun saya rasa itu keluar dari kompetensi saya yang kali ini lebih ingin membicarakan efek dongeng terhadap kehidupan perupa. Mengapa demikian? Saya tertarik ketika berkunjung ke pameran tunggal Tri Wahyudi di Bentara Budaya Yogyakarta pada tanggal 1-8 Juni yang diberi tajuk ‘The Journey Before Bedtime’, yang saya terjemahkan menjadi Perjalanan Sebelum Tidur. 

Kamis, 31 Mei 2012

RUMAH IMPIAN DAN KENANGAN


RUMAH IMPIAN DAN KENANGAN
catatan pada sebuah karya willis turner henry, rumah dan lampion
oleh dwi s. wibowo
 
                                                           
Another summer day, Has come and gone away
In Paris and Rome, But I wanna go home (Michael buble, home)

Sejauh apapun burung bulbul itu terbang untuk mencari makan dan berpetualang, ketika langit mulai gelap ia akan tetap kembali ke sarangnya sendiri. Sarang yang telah dengan susah payah ia bangun dari ranting-ranting dan seresah yang ia kumpulkan sendiri. Peristiwa ini kemudian mengingatkan saya pada peristiwa lainnya yang tak kalah puitis, pernah ada seorang kawan yang bercerita tentang sebuah kejadian di tahun 1943 dalam sebuah perjalanan, seorang penyair sambil menghisap rokok dalam-dalam membacakan sebait puisinya berulang-ulang di trotoar //kemah kudirikan ketika senjakala, di pagi terbang entah kemana, rumahku dari unggun timbun sajak, di sini aku berbini dan beranak//. Penyair itu bernama Chairil, Chairil Anwar, mungkin kebanyakan orang lebih mengenalnya sebagai si binatang jalang dari kumpulannya terbuang. Ya, Chairil memang si binatang jalang dari kumpulannya terbuang karena ia, meski kita turut sejauh apapun silsilahnya tetap tak akan kita temukan sebuah hubungan yang positif yang berkait dengan sikap hidupnya. Chairil tidak lahir dari satu kebudayaan manapun, melainkan dari sebuah hibriditas, dari percampuran macam-macam budaya. Ia lahir di medan tahun 1922, dari ibunya yang kerabat dekat Sutan Syahrir masih mengalir darah minang yang begitu kental. Namun setelah orang tuanya bercerai, ia menggelandang saja di Jakarta. Jadi seandainya mau diturut, budaya mana yang dominan membentuk sikapnya?

Rabu, 30 Mei 2012

WOODCUT PERFORMANCE SYAHRIZAL PAHLEVI


WOODCUT PERFORMANCE SYAHRIZAL PAHLEVI
oleh dwi s. wibowo
                                                                            photo courtesy by sangkring
Di tahun 1960, seorang seniman bernama Yves Klein telah meletakkan batu pertama ihwal performance art. Lewat salah satu aksinya yang bertajuk Saut dans le vide, Ia melompat dari balkon gedung berlantai dua ke arah jalan raya yang lengang. Aksi tersebut diabadikan oleh fotografer Harry Shunk. Setelahnya, performance art kemudian makin banyak ditampilkan oleh seniman-seniman di eropa kala itu. Sebutlah Carolee Schneeman, Wolf Vostell, Allan Kaprow, Robert Whitman, hingga yang paling kontroversial dan legendaris Yoko Ono, istri personil The Beatles John Lennon. Di tahun 1962 untuk pertama kalinya Yoko Ono menampilkan performance art-nya yang paling kontroversial yakni Cut Piece, aksinya sangatlah sederhana ia hanya duduk bersimpuh di lantai panggung menyanding sebuah gunting hitam di depannya kemudian ia meminta pada setiap penonton untuk maju satu persatu dan mulai memotong bagian-bagian baju yang ia kenakan. Penonton yang tak hanya perempuan pun maju satu persatu dan melakukan apa yang diminta oleh Yoko Ono, bahkan seorang partisipan lelaki pun pada akhirnya memotong tali bra milik Yoko Ono hingga ia terpaksa memegangi cup bra miliknya dengan kedua tangan agar payudaranya tak kelihatan. Itu bagian dari pertunjukan, dan itulah resiko yang dihadapi seorang performer (sebutan untuk pelaku performance art) ketika berhadapan dengan partisipan yang berada di luar perencanaan. Aksi ini diulanginya lagi pada tahun 2003 di Paris.

Sabtu, 19 Mei 2012

MEREKAM WAJAH-WAJAH: JURNALISME VISUAL SYAHRIZAL PAHLEVI

MEREKAM WAJAH-WAJAH: JURNALISME VISUAL SYAHRIZAL PAHLEVI
catatan sepulang bertemu pahlevi
oleh dwi s. wibowo 



Puluhan sketsa yang tercetak pada selembar kanvas itu bukanlah wajah-wajah korban pembunuhan ataupun korban bencana alam yang dipotret oleh syahrizal pahlevi, melainkan wajah-wajah sahabatnya yang ia kenal saat menjalani residensi di Vermont studio center sejak  februari hingga april 2011 lalu. Vermont sendiri merupakan sebuah kota kecil di bagian utara amerika, sekitar 7 jam perjalanan darat dari kota new york.  Secara historis, sejak didirikan tahun 1984 oleh pasangan seniman Jonathan Gregg dan Louise Von Weise, Vermont studio center konsisten memberi fasilitas bagi seniman-seniman dari berbagai belahan dunia untuk merasakan atmosfer berkarya kota Vermont. Dan Levi, begitu seniman grafis kelahiran Palembang tahun 1965 ini kerap disapa, menjadi salah satu seniman yang beruntung mendapat kesempatan residensi di sana secara cuma-cuma.

Sabtu, 14 April 2012

1, 2, 3, 4, ..., ..., DAN SETERUSNYA ....


1, 2, 3, 4, …, …, DAN SETERUSNYA….
Catatan apresiasi terhadap pameran NUMBERS IN THE SKY(11 april-2 mei 2012) , Agus ‘Baqul’ Purnomo
oleh dwi s. wibowo

Usai melewati pintu masuk ruang pamer Jogja Contemporary-Sangkring Art Space, dimana terpampang karya-karya Agus ‘Baqul’ Purnomo, saya kembali teringat masa taman kanak-kanak saya ketika waktu itu dua guru mengajar berhitung “1, 2, 3, 4, …, 9, 10”. Satu sampai dengan sepuluh. Dalam benak waktu itu, saya membayangkan bahwa di dunia ini hanya ada angka-angka tersebut, dan sepuluh sebagai puncak nominalnya. Namun demikian, di lain hari saya juga mulai mempertanyakan mengapa untuk rentang nilai pada pelajaran menyanyi atau menggambar waktu itu guru saya menyebut bahwa 100 adalah nilai tertinggi.

Minggu, 08 April 2012

BENTANG IMAJINASI DAN REKONSTRUKSI ALAM MIMPI


BENTANG IMAJINASI DAN REKONSTRUKSI ALAM MIMPI
Catatan atas beberapa karya Citra Sasmita
Oleh dwi s. wibowo

Di tahun 1939, seorang perempuan dari negeri yang (waktu itu) masih menganut paham sosialis pernah melukiskan sosok dirinya yang sakit dan terbaring di ranjang, dan di atasnya terbaring juga sesosok skeleton yang kakinya terbalut rangkaian dinamit. Lukisan itu, (bagi saya) adalah representasi dari dunia yang dibangun oleh perempuan tersebut dalam sebuah upaya rekonstruksi. Karena dunia yang tengah dibangunnya, bukanlah dunia yang secara fisik nyata dan dapat kita lihat sehari-hari, namun dunia yang dibangunnya tersebut adalah dunia yang secara realita kerap kita jumpai namun tak ada dalam kenyataan. Dimanakah dunia macam itu kerap kita jumpai?

Kamis, 29 Maret 2012

ELLA, KAU TERGETAR PADA APA YANG SEBENTAR


ELLA, KAU TERGETAR PADA APA YANG SEBENTAR
Sekedar catatan/kesan terhadap “Impermanence 36 Hours” karya Ella Wijt
oleh dwi s. wibowo
 
Kita semua tahu, tak ada daging dalam televisi. Aih, jangan percaya televisi diciptakan dari darah. Jangan salahkan lelaki yang rambutnya tidak bisa di sisir. (Afrizal Malna, Bush dan Rambut yang Tak Bisa Disisir)

         Seni rupa, sebagaimana (potongan) puisi di atas adalah suara-suara zaman yang ingin didengar. Saya berikan ilustrasi berupa potongan puisi Afrizal malna di atas “Bush dan Rambut yang Tak Bisa Disisir”. Afrizal menanggapi issue pertentangan antara Bush (Amerika)

MINUM KOPI, BICARA KOPI

MINUM KOPI, BICARA KOPI
-sekedar catatan sepulang dari pembukaan pameran ‘Secangkir Kopi’ Kelompok Palang di Sangkring Art Project
 oleh dwi s. wibowo

            Awalnya saya cukup heran ketika membaca poster tentang opening pameran ini yang mengusung tema ‘secangkir kopi’ berikut juga judul pameran ini, yang menurut para pesertanya ide ini digagas oleh putu sutawijaya selaku pemilik lokasi pameran. Yang kemudian direspon oleh 7 perupa muda yang semuanya berdarah bali-meski tidak semua lahir dan besar di bali- yakni oka astawa, putu harimbawa, wayan agus novianto, wayan adhiyoga pramartha, ketut suryawan, ari marutha, dan kadek suardana dengan karya yang setema

DARI JAWA KE JAVA : POLITIK DIASPORA IDENTITAS


DARI JAWA KE JAVA : POLITIK DAN DIASPORA IDENTITAS
Catatan diskusi dari pameran tunggal “Seeing Java” Dadang Christanto di Sangkring Artspace
oleh dwi s. wibowo

            Ini sore yang cerah, sesuatu yang “tumben” karena beberapa waktu belakangan hujan terus turun mengguyur Yogyakarta. Segera saja saya manfaatkan cucaca yang bersahabat ini untuk berangkat ke sangkring artspace, semata untuk menaikmati karya rupa yang tengah dipamerkan disana dengan tajuk “seeing java” beberbekal informasi di facebook bahwa sore ini pula akan diadakan diskusi dengan si perupa, tak lain dadang christanto seorang perupa kelahiran jawatengah tahun 1957 yang kini lebih banyak menghabiskan waktunya di Australia. Moderator yang sekaligus juga curator pameran, wahyudin membuka sesi diskusi

PLEONASME KAIN-KAIN KUSUT

Pleonasme Kain-Kain Kusut
 respon terhadap pameran tunggal anggar prasetyo TEXTURE I STRUCRURE
 oleh dwi s. wibowo

Kain-kain itu basah dan kusut, lalu ditempelkannya pada lembar-lembar kanvas yang tergantung pada dinding Tembi Contemporary Galery, barangkali karena di luar hujan masih cukup deras makanya kain-kain itu tidak di jemur di halaman, melainkan tersangkut pada kanvas milik anggar prasetyo. Namun itu bukanlah kain sebenarnya, melainkan deretan lukisan yang tengah dipamerkan di galeri tersebut. Begitu kira-kira yang dapat saya tangkap dari pameran texture I structure,