Kamis, 29 Maret 2012

DARI JAWA KE JAVA : POLITIK DIASPORA IDENTITAS


DARI JAWA KE JAVA : POLITIK DAN DIASPORA IDENTITAS
Catatan diskusi dari pameran tunggal “Seeing Java” Dadang Christanto di Sangkring Artspace
oleh dwi s. wibowo

            Ini sore yang cerah, sesuatu yang “tumben” karena beberapa waktu belakangan hujan terus turun mengguyur Yogyakarta. Segera saja saya manfaatkan cucaca yang bersahabat ini untuk berangkat ke sangkring artspace, semata untuk menaikmati karya rupa yang tengah dipamerkan disana dengan tajuk “seeing java” beberbekal informasi di facebook bahwa sore ini pula akan diadakan diskusi dengan si perupa, tak lain dadang christanto seorang perupa kelahiran jawatengah tahun 1957 yang kini lebih banyak menghabiskan waktunya di Australia. Moderator yang sekaligus juga curator pameran, wahyudin membuka sesi diskusi
dengan sedikit pengantar tentang proyek pameran tersebut yang juga akan diiringi dengan penerbitan buku esai-esai yang terkait pameran tersebut. Yang antara lain akan diisi oleh, adi wicaksono dan juga goenawan mohamad. Kemudian ia memantik peserta dengan satu kata kunci yang di ungkapkan Goenawan mohammad dalam esainya, yakni bahwasanya dadang disebutnya sebagai sosok malang sumirang. Merespon wahyudin, microphone pun segera berpindah tangan ke dadang.
            Dadang christanto mengawali pemaparannya perihal karya yang ia gelar dalam pameran tersebut dengan mengutarakan persoalan identitas yang ia hadapi, bahwasanya ia sebagai seorang seniman yang lahir dan besar di jawa namun kini tinggal di luar negeri diharuskan melihat kembali wajah jawa sebagai sebuah entitas yang utuh. Tentu, memori yang lama ia tinggalkan- dalam hal ini semata menjadi jauh karena persoalan jarak- akan berat untuk ia gali kembali. Ditambah lagi persoalan bahwa selama ia menetap di luar negeri, ia dihadapkan pada wajah Indonesia yang bhineka, sebagaimana ketika ia sesekali pulang ke Indonesia dan mampir ke bali kemudian melihat wajah bali sebagai suatu entitas tersendiri sekaligus mandiri, namun sebagai mana jawa ia ada dalam satu tubuh keindonesiaan. Atau ketika ia mengunjungi berbagai belahan dunia ia melihat beberapa identitas jawa di sana. “java cafĂ©”, “javan”, dan penyebutan-penyebutan kata jawa lainnya dalam percakapan dunia yang ternyata membuatnya sadar bahwa jawa adalah sebuah entitas yang begitu dikenal di luar negeri sana dan berbeda dengan yang selama ini ia lihat berdasar memori masa kanaknya. Pengalaman-pengalaman ini seolah membuatnya merasa jadi sangat berjarak dengan jawa, tempat dimana ia dilahirkan dan tumbuh besar. Keberjarakannya ini bukan justru menjadi point pendukung dalam proses penciptaan karyanya tersebut, seperti kerap kita jumpai dalam karya-karya perupa lain yang malah sering dengan sengaja menciptakan jarak untuk membangun objektivitaas terhadap objek karyanya, bagi dadang ini justru menjadi masalah baru baginya. Muncul pertanyaan dalam dirinya “siapa saya?”, “mana identitas yang terlampir dalam diri saya?”, yang malahan menjebak ia pada suatu situasi stagnasi -mungkin vacuum- dalam proses penciptaannya tersebut. Hinggaia memutuskan untuk berangkat dari karyanya yang lampau yang kemudian ia garap ulang sebagai sebuah entitas baru yang menurutnya menjadi penglihatan baru atas jawa tersebut.
            Tema yang diusung dalam pameran ini “seeing java : gunung manusia lumpur”, menurut dadang ialah sebuah fase dalam proses kreatifnya, bahwa dalam hidupnya di jawa ia sempat merasa dekat sekali dengan ketiga elemen tersebut-sekali lagi berdasar memori masa kanaknya. Yang kemudian membawanya kembali menelisik sekian tahun lalu ketika isu lokalitas begitu menjamur dan penemuannya akan medium-medium local dalam penciptaan karya, yang baginya merupakan suatu bagian dari penciptaan identitas. Bagaimana medium-medium local tersebut mewakili region asal si perupa, dan bagaimana kemudian perupa dari region-region lain memandang media local tersebut yang barangkali di tempat asalnya tidak ada. Pandangan-pandangan ini yang kemudian ingin dimunculkan kembali oleh dadang dalam suatu bentuk yang sepenuhnya baru.
            Dalam sesi tanya jawab, hairus salim menanggapi pertama, baginya muncul sebuah permasalahan mengapa harus jawa dan bukan Indonesia? Bukankah Indonesia juga merupakan sebuah persoalan baginya? Mengapa harus “seeing java”, dan bukan “seeing Indonesia”?. Bagi dadang, Indonesia memang suatu permasalahan juga, bisa saja ia mengangkat persoalan Mesuji, atau aceh barangkali atau persoalan-persoalan di daerah lain. Namun baginya, jawa yang ia tarik dengan kacamata sejarah telah menjadi sebuah persoalan yang central. Dimana orang-orang jawa menurutnya adalah yang paling menderita, seperti misalnya pada masa colonial yang menjadi korban terbanyak dari system tanam paksa ialah orang-orang jawa. Yang kemudian membawanya pada interpretasi terhadap karyanya sendiri, bahwasanya tumpukan kepala dalam instalasinya ialah penggambaran tanam paksa tersebut, dimana kata yang ia gunakan bukanlah “jawa” melainkan “java” seperti yang diucapkan orang belanda jama dahulu. Ditarik lagi ke masa kerajaan-kerajaan jawa, orang-orang jawa juga telah begitu menderita oleh tekanan-tekanan yang dilakukan oleh kerajaan dalam bentuk upeti dan sebagainya. Ia menangkap juga bahwa pada masa itu terjadi persoalan kebudayaan –agama pada khususnya, dilihat sebagai efek social- dimana ada peralihan dari animism ke hindu-budha kemudian ke islam yang tentu persoalan ini memberi dampak yang tidak sedikit dalam perkembangan masyarakat jawa. Orang jawa yang selalu menerima berbagai kebudayaan luar untuk kemudian di”jawa”kan dalam konteks akulturasi menjadi cerminan bahwa jawa merupakan entitas luhur yang susah dikalahkan oleh invasi entitas lain. 
            Muncul tanggapan lain dari kuss indarto, ia mengutarakan persoalan estetika dan mempertautkannya dengan falsafah jawa “mulur mungkret” dari sosrokartono. Menurutnya, estetika yang dipegang dadang merupakan estetika yang “mulur mungkret” yang ada kalanya memanjang da nada kalanya menyusut, hal semacam ini memang tidak semata terjadi pada dadang saja, bahkan hampir bisa jadi cerminan stereotip orang jawa secara antropologis. Dadang, sekali lagi dengan tenang menjawab bahwa estetikanya seperti dalam budhhism yang membentuk suatu roda dimana ada kalanya naik, dan adakalanya turun –bukanlah pada pencapaian, melainkan rhytm. Dalam diskursus ini kemudian muncul tanggapan lain yang menyebut bahwa estetika yang “mulur mungkret” atau yang secara Buddhism barusan bisa jadi malahan suatu mentuk metode yang tanpa metode atau self method dimana hanya dadang yang tahu bagaimana caranya, dan tidak pernah dimetodekan untuk dapat dipahami orang lain. Kemudian dadang memberi sampel untuk diskursus ini, bahwasanya di suatu ajang kompetisi seni belakangan ini ada suatu karya yang menjadi pemenang semata karena si perupa memberikan penjelasan yang jelas tentang rincian karya dan metode yang digunakan sebagai lampiran karya. Yang menurut dadang, barangkali dengan cara memetodekan cara itulah akhirnya si perupa tadi dapat memukau juri.
            Kemudian kembali ke soal identitas tadi, seorang peserta menanggapi lagi bahwa apa yang dilakukan dadang ialah suatu bentuk politik identitas. Semacam upaya untuk menyatakan bahwa dirinya ada dan mewakili komunitas yang ada. Diamini benar oleh dadang bahwa ia memang melihat ruang pameran sebagai sebuah gedung parlemen, perupa sama halnya anggota parlemen yang menampung suara rakyat, katanya. Politik identitas inilah yang juga sengaja dimunculkan dadang dalam karyanya tersebut, bagaimana ia menarik pandangan terhadap jawa tidak dengan kacamata romantic namun lewat lensa post colonial. Ini menjadi unik, mungkin sama seperti yang dilakukan sastrawan pramoedya ananta toer yang memandang sejarah sebagai ‘sesuatu’ untuk menyuarakan suara-suara yang terpendam. Menjadi unik lagi, bagi dadang yang seorang perupa ketika ia tidak lagi mengangkat masalah-masalah urban atau kaum modern sementara ia tinggal di dunia modern. Atau mungkin inilah bentuk keberjarakan yang dimaksud dadang sebelumnya, bukan semata keberjarakan geografis namun juga keberjarakan masa dan kultural, yang membuatnya lebih objektif -sekaligus leluasa- dalam membangun imaji-imaji tentang objek karyanya. Saya menangkap juga bahwasanya politik identitas yang tengah dilakukan dadang bisa jadi menjadi upaya untuk kembali, ia ingin tampil kembali sebagai si anak hilang, namun dengan membawa pulang oleh-oleh dari dunia modern yang barusan ia kunjungi. Mungkin semacam itulah. Dadang tidak lagi menjadi ‘orang jawa’ tulen yang tinggal di wilayah dunia ke-3 melainkan ia telah kembali dari dunia ke-2 atau barangkali ke-1 dan mengadopsi cara pikir mereka. Karena bagi dadang, jawa merupakan sebuah kemuraman seperti yang ia bilang tergambar dalam bayangannya. Jelas, bahwa dadang tidak lagi bisa disebut ‘orang jawa’ tulen.
            Jerry padang menanggapi persoalan di atas justru tidak sebagai bentuk pollitik identitas melainkan sebuah diaspora identitas. Siapa dadang? Dia keturunan cina, lahir dan besar di jawa, tapi tinggal di Australia. jadi apa yang dilakukan dadang ialah sebuah bentuk diaspora identitas. Ia tersusun dari berbagai identitas yang melekat pada dirinya dan itu pulalah yang coba dimunculkan dadang ketika menanggapi jerry padang ketika ia bilang bahwa “ya, saya cina” yang kemudian ia ilustrasikan dengan peristiwa 98 ketika masa itu terjadi pembantaian terhadap etnis cina di Indonesia. Diskursus ini kembali dibalikkan oleh jerry bawa teks ini kurang tepat dibicarakan di jawa, dimana orang cina disini sudah bicara dalam bahasa jawa dan menyerap budaya jawa. Semestinya teks ini dibawa ke wilayah dimana orang cina masih berbicara dalam bahasa cina kalau memang karya ini dikasudkan untuk politik identitas. Kemudian dadang, menanggapi bahwa persoalan politik dan diaspora identitas telah ia alami sejak kecil. Bagaimana ia dari keluarga keturunan cina tumbuh bersama anak-anak jawa. Dan itulah yang secara sadar mempengaruhinya dalam berproses kreatif. Cara dadang memandang jawa sebagai suatu entitas secara berjarak, menjadikan ia lebih objektif namun menjebaknya pada posisi yang bias. Mungkin inilah cara pandang manusia post-java. Malang sumirang yang berkhianat.
Yogyakarta, 21 januari 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar