Kamis, 29 Maret 2012

PLEONASME KAIN-KAIN KUSUT

Pleonasme Kain-Kain Kusut
 respon terhadap pameran tunggal anggar prasetyo TEXTURE I STRUCRURE
 oleh dwi s. wibowo

Kain-kain itu basah dan kusut, lalu ditempelkannya pada lembar-lembar kanvas yang tergantung pada dinding Tembi Contemporary Galery, barangkali karena di luar hujan masih cukup deras makanya kain-kain itu tidak di jemur di halaman, melainkan tersangkut pada kanvas milik anggar prasetyo. Namun itu bukanlah kain sebenarnya, melainkan deretan lukisan yang tengah dipamerkan di galeri tersebut. Begitu kira-kira yang dapat saya tangkap dari pameran texture I structure,
pameran tunggal karya-karya pelukis kelahiran Cilacap 38 tahun silam, Anggar Prasetyo. Ia demikian lihai memainkan ilusi optikal pada karya-karyanya, membuat seolah-olah karya dua dimensinya adalah karya tiga dimensi yang kalau tidak disentuh, tentu pengunjung pameran tak akan tahu apakah itu berupa permukaan kasar atau halus.
            Karya-karya Anggar Prasetyo yang dipajang dalam pameran bertajuk Texture I Structure menampilkan berbagai bentuk kekusutan kain-kain yang sebenarnya mungkin saja kita jumpai ketika kita tengah mencuci baju kemudian menjemurnya di tengah terik matahari. Namun bentuk-bentuk tersebut, yang barangkali bagi sebagian orang merupakan hal biasa, dapat ditangkap oleh Anggar Prasetyo sebagai sebuah eksotika yang dapat diolahnya ke dalam ruang rupanya yaitu lukisan. Dan melahirkan karya-karya yang mengagumkan. Yang menuntut pengamatan ekstra dari setiap pengunjung pameran hingga harus rela mendekatkan kepalanya ke arah karya agar dapat meastikan apakah karya-karya tersebut memiliki kontur kasar atau tidak. Atau justru mereka harus rela berdecak kagum dan merasa sial telah tertipu oleh ilusi dari karya-karya tersebut.
            Namun selain eksotika dari kain-kain kusut, Anggar juga lihai melihat peluang dari permainan gradasi warna dan garis, lihatlah pada sebagian karyanya yang bertajuk Horizontal Line IV yang dibangun dari garis-garis sejajar yang berjumlah ratusan itu yang terbuat dari benang-benang yang disusun berdekatan dengan jarak masing-masing sekitar 2 centimeter dengan beberapa benang yang putus dan disambung dengan ikatan hingga menipu mata kita, seolah-olah itu adalah sebuah gugusan bintang, atau pada karya yang berjudul Line Colour Composition VIII yang memanfaatkan media kawat-kawat besi yang membentuk pettak-petak dan segitiga dengan latar warna kuning cerah.

Ideologi Formalis
            Sebagaimana pandangan umum bahwasanya bagi kaum formalis, persoalan seni adalah persoalan sesuatu yang tampak atau ditampilkan dalam karya seni itu dan bukanlah gagasan-gagasan yang berada di belakangnya, atau yang diwakili oleh simbol-simbol tertentu dalam karya seni tersebut, demikian pula idelogi yang dianut oleh Anggar Prasetyo yang dikutip dari wawancaranya dengan Hardiman “bagi saya, persoalan seni rupa adalah persoalan (elemen) seni rupa itu sendiri. Karenanya, mengolah elemen visual adalah cara untuk menekankan bahwa seni rupa itu untuk mata” . dia seolah menolak bahwa dalam karya seni juga dibutuhkan sebuah gagasan yang hendak disampaikan oleh si perupa melalui berbagai teknik yang ditujukan kepada khalayak. Baginya, persoalan seni rupa, adalah bagaimana memanjakan mata dengan eksotika-eksotika yang dapat ditangkap indera penglihatan, entah melalui permainan warna, kontur, ataupun gradasi. Hampir sama seperti ketika kita berjalan-jalan ke mall dan melihat gadis-gadis yang mengenakan pakaian serba warna-warni yang tentu memanjakan mata kita.
            Mungkin bagi Anggar, persoalan ini tidak semata ditutupnya dengan menampilkan ilusi-ilusi optikal dalam karyanya melainkan dengan permainan teknik melukis tingkat tinggi yang tentu membutuhkan kecermatan dan ketelitian dalam menggarap setiap detail dari objek lukisannya. Dengan teknik pemilikan warna permainan gradasi dan juga shading yang mengagumkan. Namun tentu bukan tanpa celah, upaya anggar dalam menampilkan pemandangan kain-kain kusut ataupun tekstur-teksur lainnya (seperti kayu dll) tentu bukan tanpa alasan, jelas ada yang melatarbelakangi mengapa ia memilih tekstur kain-kain kusut dalam beberapa karyanya yang bertajuk Drapery Texture, sebuah potret yang bagi sebagian orang nampak biasa atau justru menjadi sebuah pemandangan yang kerap dilewatkan demikian saja. Seperti yang dikatakan Hardiman (esais) bahwasanya Anggarpun menampilkan suasana kontras lewat karya Texture Composition yang dibangun lewat sekumpulan bidang seragam dengan texture beragam  dan warna yang beragam pula, kontras bisa kita rasakan pada tampilan tekstur yang licin, halus, maupun kasar, juga pada warna yang cemerlang, pudar, terang, maupun gelap.
            Beragam permukaan benda diamati, dikaji dan ditampilkannya dalam lukisan hanya demi memanjakan mata dengan berbagai pemandangan. Anggar Prasetyo tentu tidak main-main dengan ideologi yang dianutnya (yang menurutnya telah dianut sejak 1996) bahwasanya konsentrasi dan keseriusannya menggarap bidang-bidang visual dalam setiap lukisan yang dilahirkannya, dan tentu melepaskan dirinya dari persoalan isi ataupun persoalan metaforis lewat simbol-simbol yang mewakili gagasan tertentu, anngar telah mampu membebaskan dirinya dari batasan-batasan tema. Berbanding terbalik dengan dunia seni rupa kontemporer kini yang justru lebih terpikat pada persoalan sosial ataupun politis untuk melatarbelakangi lahirnya karya. Keterjebakkan ataupun pengkotakan tematis macam inilah yang hendak dijauhi oleh seorang anggar. Ia lebih ingin menumpahkan warna membentuk pemandangan-pemandangan dari benda-benda yang diamatnya dari sekeliling kehidupannya sehari-hari.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar