Rabu, 15 Juli 2015

RITUS SUNYI DALAM RIUH MANUSIA URBAN


I Wayan Suja_Trafic Light_2015_oil on canvas_120x150 cm

Oleh Dwi S. Wibowo
Arus pariwisata yang demikian deras menghujam Bali, mau tidak mau menimbulkan dampak sosial yang tidak sedikit. Persinggungan antara wisatawan asing yang datang membawa modernitas dengan penduduk setempat yang masih berbasis tradisi telah melahirkan suatu lanskap multikultur. Secara kasat mata, dampak tersebut nampak dari berkembangnya beberapa daerah pedesaan menjadi kosmopolitan, lengkap dengan gemerlap lampu reklame yang saling berebut pandangan. Hal tersebut sekaligus berimbas pada tumbuhnya mentalitas urban pada masyarakat Bali yang semula memegang teguh nilai-nilai spiritual.
Tegangan antara hasrat menjadi manusia kosmopolit dan tarikan nilai-nilai spiritual mustahil untuk dihindari, sehingga dari sana lahirlah masyarakat spiritual yang khusyuk namun semu. Fenomena tersebut menggelitik sejumlah perupa yang berasal dari Bali untuk meresponnya dengan menghelat pameran yang bertajuk “Spiritualitas Urban”. Tidak hanya memandang fenomena urban yang berlangsung di Bali, mereka juga mengajak serta para perupa dari Bandung untuk urun rembug dengan menghadirkan fenomena serupa yang terjadi di kotanya.
Pameran yang dihelat di Sudakara Art Space Sanur hingga 10 Agustus tersebut melibatkan sejumlah perupa Bali, mereka antara lain Wayan Suja, Wayan Upadana, Made Muliana “Bayak”, Made Wiguna Valasara, Jaya Putra dan Ngakan Ardana. Sedangkan perupa Bandung yang turut andil dalam pameran ini ialah Willy Himawan, Dadan Setiawan, Guntur Timur, Muhammad Regie Aquara, dan Imam Sapari. Masing-masing dari mereka menawarkan berbagai persoalan yang terkait dengan proses asimilasi antara yang tradisional dan yang modern, baik berupa kontradiksi visual yang seringkali mengulik pandangan, hingga renungan yang lebih mendalam terhadap perubahan kultur yang tengah mereka saksikan.
Lahirnya masyarakat urban tidak dipungkiri sebagai imbas langsung dari berkembangnya sistem ekonomi kapital yang terjadi di berbagai wilayah. Seperti diungkap Wayan Seriyoga Parta, penulis dalam pameran ini yang mengetengahkan isu bahwa meluasnya jangkauan modal multinasional hingga ke sektor pedesaan, telah menumbuhkembangkan desa-desa metropolitan. Di Bali, desa-desa metropolitan tersebut membentang dari Kuta, Sanur, hingga ke Ubud. sedangkan di Bandung, fenomena serupa dapat dijumpai di kawasan Dago dan Lembang. Perubahan struktur sosial tersebut sekaligus menunjukkan perubahan perilaku masyarakat yang semula kolektif menjadi masyarakat baru yang justru mengarah pada sifat-sifat individualistis.
Pola perilaku masyarakat tersebut menjadi kriteria utama untuk menandai suatu masyarakat yang telah berkembang menjadi urban. Individualitas terbentuk melalui kesadaran akan potensi diri dan tuntutan profesionalitas yang terikat pada kepentingan tertentu, yang berujung pada ironi dalam masyarakat kita. Di Bali, dapat disaksikan pola perubahan perilaku masyarakat yang dipacu oleh derasnya arus pariwisata. Kedatangan wisatawan asing menjadi magnet ekonomi sekaligus magnet gaya hidup yang menarik masyarakat lokal pada pola hidup pragmatis yang memuja individualitas dan budaya instant. Fenomena tersebut dipotret oleh Wayan Suja melalui dua karyanya yaitu “Traffic Light” dan “Because We Need Something That Keep Fresh”. Kedua lukisan tersebut menampilkan ironi sekaligus paradoks yang terdapat pada perilaku masyarakat Bali dalam laku spiritualnya.
Lukisan “Traffic Light” menampilkan sebuah pemandangan dari balik kaca mobil yang menampilkan kemacetan lalu lintas perkotaan, uniknya di atas dashboard mobil Wayan Suja menempatkan sebuah simbol spiritualitas berupa sesaji canang sari dengan beberapa butir permen di atasnya. Seolah menjadi ironi, bahwa di tengah ruwetnya kemacetan lalu lintas masih tersisa sedikit kesunyian spiritualitas manusia. Sedangkan pada lukisan “Because We Need Something That Keep Fresh,” masih dengan idiom canang sari, ia mencoba menawarkan sebuah potret perilaku masyarakat yang berubah pragmatis. Ironi tersebut dihadirkan melalui gambaran lemari pendingin yang sebenarnya berfungsi untuk mengawetkan bahan makanan, berubah menjadi alat pengawet bagi elemen organik yang terdapat pada canang sari seperti bunga dan dedaunan. Menurut Suja, perubahan perilaku tersebut diakibatkan oleh meningkatnya mobilitas masyarakat dalam berbagai usaha mengejar kemakmuran material sehingga menggeser esensi dari laku spiritualis mereka.
MUHAMMAD REGGIE AQUARA_Summertime_2015_Acrylic on canvas & Butterfly Taxidermy_63 cm X 71 cm

Ironi serupa juga dihadirkan oleh Made Muliana ‘Bayak’ dengan fokus pada meningkatnya perilaku konsumerisme pada masyarakat Bali. Arus pariwisata sekaligus menjadi pintu bagi masuknya berbagai produk industri yang dengan segera menjadi bagian dari kebutuhan masyarakat lokal. Efek paling kentara dari perilaku konsumerisme tersebut adalah tersisanya sampah berupa plastik kemasan produk industri yang berserakan dimana-mana. Fenomena tersebut menggugah Bayak untuk membangun satir dengan melukis di permukaan sampah-sampah plastik tersebut, menghadirkan figur-figur yang lekat dengan tradisi spiritual Bali. Dalam karya “Bali Legacy,” figur penari disandingkan dengan latar yang tersusun dari bentangan sampah-sampah plastik kemasan. Seni, termasuk juga tarian merupakan suatu laku spiritual yang dihayati oleh masyarakat Bali sebagai bagian dari persembahan yang indah kepada pencipta. Namun pada prakteknya, pariwisata lagi-lagi mengubahnya menjadi sekedar atraksi yang menarik.
Spiritualitas urban tidak hanya terbatas pada tegangan antara modernitas dan tradisional dalam konteks sosial masyarakatnya semata, melainkan dapat ditarik juga pada persoalan dialog dengan alam. Sebagai representasi dari semesta, alam menghadirkan sebuah dimensi mistis yang membawa manusia pada aspek spiritualitasnya sebagaimana tergambar dalam karya-karya Dadan Setiawan dan Muhammad Regie Aquara. Dua karya Dadan Setiawan dengan seri “Lost in IG Series” melukiskan sebuah pemandangan alam dengan suasana yang kelam. Dalam kedua karya tersebut, Dadan juga mengkombinasikan pemandangan tersebut dengan kotak-kotak piksel warna di bagian tengah lukisan. Piksel-piksel warna tersebut menjadi dimensi tersendiri yang menyedot perhatian siapapun yang melihatnya, dan melontarkannya balik pada pemahaman bahwa alam senantiasa menyimpan misteri. Namun hadirnya kotak-kotak piksel warna tersebut sekaligus menjadi kontradiksi visual antara yang natural dan industrial, mengingat piksel warna adalah produk dari kemajuan teknologi di bidang fotografi pada mulanya.
dadan setiawan_#toughfull #openminds #realize #isallinyourhead (lost in IG series)_2015_oil on canvas_90x90cm

Potret tegangan antara yang tradisi dan modernitas nampaknya tidak begitu muncul dalam karya-karya perupa yang berasal dari Bandung. Karya-karya mereka justru lebih menunjukkan kecenderungan sudut pandang yang mengarah pada tegangan antara alam dan modernitas. Perbedaan karakteristik karya antara perupa yang berasal dari Bali dan Bandung tersebut pada akhirnya memberi pemahaman bahwa kedua kota tersebut memang memiliki masalah yang juga berbeda. Dimensi urbanitas yang terbentuk pada masyarakat di kedua kota tersebut berasal dari latar belakang yang berbeda sehingga menghasilkan lanskap yang berbeda pula. Bali yang identik dengan spiritualitas Hindu yang melekat dalam tradisinya berbenturan dengan modernitas yang dibawa oleh arus pariwisata, dimana tradisi mengalami pergeseran menjadi semata identitas kultural tanpa esensi. Sedangkan Bandung yang memiliki dimensi spiritualitas dari religi (muslim) maupun penghayat keyakinan (sunda wiwitan) mengalami benturan dengan modernitas yang lahir dari arus pembangunan kota yang begitu cepat tanpa memperhatikan aspek ekologi sebagai lingkungan hidup.
Sebuah karya yang lebih esensial dihadirkan oleh Wayan Upadana melalui video instalasi berjudul “Memoscape.” Dengan menggabungkan video dokumenter dengan gunungan resin untuk membangun dimensi, Upadana menawarkan renungan tentang esensi spiritualitas yang berasal dari alam dengan metafora gunung dan lautan. Melalui video dokumenter yang ditayangkan lewat televisi, ia ingin mengkritisi peran media tersebut dalam membentuk mentalitas urban masyarakat melalui berbagai tayangan. “Dalam karya ini saya ingin audience merasakan kembali kehadiran alam di media televisi, untuk memberikan kedekatan emosional dan bagaimana ‘ingatan’ memberikan stimulan pada perasaan orang yang melihatnya,” ungkapnya.
Pameran “Spiritualitas Urban” ini menawarkan sebuah renungan tentang kondidi transisi yang terjadi dalam masyarakat kita melalui potret dua kota, yaitu Bali dan Bandung dimana kedua masyarakat di kota tersebut mengalami tegangan antara menghamba pada urbanitas yang gemerlap atau menahan diri pada ruang-ruang sunyi spiritualitas. Kebudayaan dan kehidupan suatu masyarakat selalu bergulir dan secara terus menerus melakukan penyesuaian bentuk dengan zamannya. Ironi, paradoks, ataupun kontradiksi visual dalam spiritualitas masyarakat urban yang kita lihat hari ini adalah sebuah keniscayaan yang terus mengada.
 *) Tulisan ini pernah dipublikasikan di majalah Sarasvati edisi Juli 2015

Selasa, 07 Juli 2015

Ngundhuh Wohing Parikan

Amanah Idola (3)

Oleh Dwi S. Wibowo
Mengintip Galeri Nginjen adalah mengintip jungkir baliknya dunia lewat permainan atas beberapa teks parikan yang diplesetkan oleh Heirda Vicitra. Beberapa seniman muda lainnya, berkesempatan untuk memindahkan parikan-parikan nakal itu menjadi sebuah gambaran yang mengulik mata dan menggelitik pikiran. Mereka adalah Vicha, Hasan, dan Yonaz.
Parikan, dalam khazanah bahasa Jawa adalah sebuah petuah yang disusun melalui pola pengulangan rima, hampir sama dengan pantun, bedanya, dalam parikan tidak ada sampiran. Pada praktiknya, dalam masyarakat jawa, parikan bergerak sebagai idiom yang hingga kini masih terus digunakan dalam percakapan sehari-hari, bahkan seringkali menyentuh bagian paling intim dari kehidupan manusia; religi.
Membaca parikan-parikan yang telah diplesetkan oleh Heirda Vicitra, kita akan dituntun untuk melihat kenakalan sekaligus kecerdikannya dalam memandang fenomena sosial hari ini. Dengan jeli,  ia memainkan teks-teks parikan tersebut dan menautkannya dengan gelagat kebanyakan orang yang setiap hari kita saksikan di mana-mana. Barangkali, saat pertama tercipta, parikan juga adalah sebuah respon dari berbagai fenomena sosial yang terjadi pada jamannya.
Selama ini, kita terbelenggu pada pemaknaan dan penggunaan teks parikan secara kaku. Seolah-olah, parikan hanya pas jika digunakan dalam percakapan bahasa jawa ataupun dalam konteks pembicaraan yang menaut ke-jawa-an di dalamnya. Tapi hari ini,  kita bakalan nyengir-nyengir sendiri kalau membaca parikan-parikan Heirda Vicitra. Nyengir karena merasa lucu, mungkin karena geli, mungkin karena tidak habis pikir, atau bahkan nyengir karena merasa tersindir. Nah!
jer basuki mawa selfie

Parikan-parikan Heirda Vicitra memang meluncur begitu saja, seolah spontan, tapi bakalan panas di telinga karena mengandung satir yang tidak main-main. Kejeliannya memandang fenomena sosial, pada akhirnya melahirkan kritik yang ironik melaui parikan-parikan yang diplesetkannya. Pilihan Heirda Vicitra untuk bermain dengan parikan bisa dibilang menarik, mengingat cakupannya yang luas meliputi berbagai gelagat yang dilakukan hampir semua orang. Sehingga kritik yang disampaikan olehnya melalui satir atau sindiran dalam parikan tersebut, hadir sebagai kritik yang pedas manis. Pedas di lidah, tapi manis di hati.
Media sosial, gadget, barang-barang branded, dan sosialita dunia selebritis adalah hal-hal yang sudah tidak mungkin dilepaskan dari gaya hidup kita hari ini. Tanpa semua itu, seolah dunia hampa. Fenomena itulah yang kemudian diliteralkan oleh Heirda Vicitra melaui parikan-parikan plesetannya. Piranti teknologi, konsumerisme, dan budaya populer telah menjelma menjadi bagian tidak terpisahkan dari kehidupan kita. Semua itu mustahil dihindari di tengah arus informasi dan komunikasi yang begitu cepat dapat kita akses hari ini. Waktu bersama gadget kesayangan menjadi sangat berarti, bayangkan saja, dalam semenit ada berapa informasi dari berapa situs yang kita akses sekaligus. Dan bayangkan juga saat kalian mandi, berapa informasi yang kalian lewatkan di media sosial? Cuma gara-gara mandi, bisa jadi kudet alias kurang update.
Media sosial adalah jurang paling nista yang bisa menjerumuskan manusia ke dalam lembah kenarsisan. Yang paling menyesaki media sosial belakangan ini adalah foto-foto selfie yang diunggah dari berbagai penjuru nusantara. Semua aktifitas yang kita kerjakan pokoknya tidak boleh terlalui tanpa selfie, meskipun cuma sekali, dan setelah itu segera edit lalu unggah ke medsos. Semua berlomba-lomba untuk menghadirkan dirinya dalam media sosial melalui foto-foto selfie yang diunggahnya, sehingga sesulit apapun medan yang dilalui, tetap harus selfie. Inget peristiwa turis yang kecebur jurang gara-gara selfie? Cuma demi eksistensi, sampai-sampai nyawa jadi taruhan. Masyaallah! Jer basuki mawa selfie, setiap pencapaian membutuhkan selfie.
rawe-rawe rantas malang golek utangan

Instagram adalah media yang paling populer disambangi para selfie mania. Instagram memang memberi ruang khusus untuk foto, lain dengan facebook atau twitter yang justru maksa jidad berkerut karena kita dituntut untuk mengungkapkan sesuatu secara tertulis. Instagram menawarkan sesuatu yang lebih menyenangkan, dengan foto kita bisa mengungkapkan sesuatu. Tinggal cari objek, foto, edit, lalu unggah. Dan selanjutnya serahkan pada followers, mau nge-like boleh, mau comment boleh, asal jangan unfollow saja. Kalau kata Heirda Vicitra, “sepi ing pamrih, rame in... stagram.”
Melalui karya-karya Vicha, kita bisa melihat bagaimana teks-teks parikan yang telah diplesetkan itu menjelma menjadi gagasan visual yang menarik. Dengan teknik kolasenya, kita akan dituntun untuk melihat bagaimana media sosial dan juga internet telah menjelma jadi kebutuhan primer yang bahkan melampaui kebutuhan sandhang dan pangan. Sehari tanpa kuota, serasa di neraka. Tapi sehari tanpa makan? tuh buktinya orang pada bisa puasa, bahkan sebulan juga tahan.
Internet adalah dunia yang maha luas melampaui jagat raya. Selain kebutuhan eksistensi, media sosial juga mengumbar nafsu manusia untuk menjelajahi berbagai kemungkinan gaya hidup; dari yang paling susah sebagai hippies, sampai yang paling menggiurkan sebagai sosialita. Semua itu ditunjang oleh arus kapitalisme yang mengalir 24 jam di seantero situs yang bisa diakses. Hamparan iklan dan bayangan hidup a la selebritis holywood dengan seabrek barang mewahnya sudah terbiasa kita saksikan melalui media sosial. Hal tersebut, mau tidak mau juga menyeret kita pada keinginan untuk memiliki barang-barang serupa. Beruntung bagi yang bisa membeli yang asli, dan bagi warga kelas menengah cukuplah dengan barang kawe.
amanah idola (7)

Ketidakterpisahan kita dengan barang-barang mewah tersebut terangkum dalam beberapa karya Yonaz. Melalui seri karya ‘Amanah Idola’ dari satu sampai tujuh, kita akan melihat beberapa teks parikan Heirda Vicitra yang telah malih rupa. Terlihat Johny Depp lengkap dengan topi melingkar tengah mengacungkan jari telunjuknya ke atas, di baliknya sebagai latar adalah hamparan teks parikan hasil plesetan Heirda Vicitra “manunggaling kawula Gucci” yang menyitir teks asli yang berbunyi “manunggaling kawula gusti”. Teks tersebut adalah sebuah ungkapan untuk menggambarkan keterikatan manusia dengan sang gusti alias yang ilahi, namun dengan gubahan kata gusti menjadi Gucci, barangkali kita bisa menarik makna yang sama bahwa manusia juga memiliki keterikatan pada barang-barang bermerek Gucci. Bahkan tidak hanya Gucci, mungkin juga Louis Vuitton, atau juga Channel.
Sedangkan pada karya-karya Hasan yang merespon parikan milik Heirda Vicitra, kita akan melihat bagaimana respon publik terhadap berbagai fenomena sosial yang sudah lebih dulu digarap oleh Vicha dan Yonaz. Pada akhirnya, kita harus mengakui bahwa telah terjadi banyak pergeseran kebutuhan dalam hidup kita. Sebagaimana disebutkan di atas, bahwa internet berikut ekor-ekornya telah merangsek menjadi kebutuhan primer dalam kehidupan kita, mau tidak mau kita harus menghitung ulang pengeluaran yang secara nominal pasti meningkat sebagai konsekuensi mendasar. Bagi kalangan masyarakat menengah ke atas, barangkali barang-barang branded sekelas Gucci ataupun piranti elektronik plus kuota unlimited bukanlah sebuah persoalan besar. Lain dengan masyarakat kelas bawah yang jangankan memiliki barang tersebut, memimpikan kawenya saja merasa tidak layak. Meskipun demikian, apapun kelas sosialnya, konsumerisme tetaplah gaya hidup yang kontraproduktif.

Sebagaimana digambarkan dalam karya-karya Hasan, ada dua parikan Heirda Vicitra yang dialih visualkan, yaitu “rawe-rawe rantas, malang-malang golek utangan” dan “asu gedhe menang kerahe, amarga durung tau mungsuh Darthvader”. Bagi mereka yang berasal dari kelas bawah, hutang menjadi solusi untuk memenuhi kebutuhan yang sebenarnya diluar jangkauannya. Sedangkan bagi mereka yang berada di kelas atas, juga tidak lepas dari persoalan narsistik atas modal sosial yang dimilikinya, sebagaimana anjing besar yang menang gonggongan. Pada akhirnya, melalui pameran ini, kita diajak untuk bercermin; melihat ke dalam diri. Masihkah keinginan-keinginan itu, menjangkiti raga kita? Mari kita saling bertanya, tanpa perlu panas telinga. 

*)tulisan ini merupakan bagian dari commision work Artjog 2015, simulasi galeri yang dikerjakan oleh Indieguerillaz

Kamis, 02 Juli 2015

Imajinasi dari Riwayat Tubuh yang Berserak




oleh Dwi S. Wibowo
Setiap tubuh memiliki narasinya masing-masing, termasuk deretan tubuh yang terpajang dalam pameran My Exquisite Corpse yang dihelat Biasa Part Space, Seminyak, Bali. Sayangnya, tubuh-tubuh tersebut tidak lagi utuh sebagai figur, melainkan telah terpotong dan tersusun secara acak menyerupai rangkaian loker yang menyimpan berbagai memori perihal transposisi antar bagian tubuh tersebut.
Berangkat dari pemahaman tentang exquisite corpse, yaitu sebuah teknik kolase untuk mengkonstruksi tubuh surrealis, pameran ini mencoba melangkah lebih jauh dengan melibatkan para pemirsanya untuk turut andil dalam menyusun narasi-narasi baru berbahan potongan karya para seniman.
Pameran ini melibatkan tiga belas orang seniman dari berbagai kota, mereka antara lain Asakoo Alexandra, Bayu Widodo, Citra Kemala, Davina Stephen, Iwan Sastrawan, Made Bayak, Made Wiguna Valasara, Nadira Julia, Natisa Jones, Prabu Perdana, Resatio Adi Putra, Spencer Hansen, dan Wayan Suja. Masing-masing dari mereka melukis sesosok tubuh yang terbagi menjadi empat panel.
Setiap pemirsa yang hadir dalam pameran ini tidak hanya berhak memotret ataupun menikmati karya melalui pandangan, melainkan bebas berinteraksi dengan karya. “Mereka boleh menukar, menggeser, bahkan mengubah susunan tubuh dan membentuk figur-figur baru,” tutur Naomi Samara, kurator  pameran tersebut.
Ia juga menambahkan bahwa melalui interaksi semacam itu bisa lebih mendekatkan pengunjung dengan karya, sekaligus menghidupkan suasana pameran. Selama ini terdapat jarak antara pemirsa dengan karya melalui larangan menyentuh karya ataupun yang lainnya. Dalam pameran ini, seluruh pemirsa bebas menyentuh karya, bahkan memindah dan menukar posisinya. Interaksi antara pemirsa dan karya juga melahirkan beragam kemungkinan baru terhadap pemaknaan atas tubuh-tubuh tersebut.
Selama ini dalam berbagai pameran, interaksi hanya dibatasi melalui pandangan, sehingga proses pemaknaan terhadap karya menjadi terbatas. Meskipun, dalam posisi semacam ini, otoritas seniman dalam menyampaikan gagasan menjadi mutlak. Sedangkan dalam pameran ini, pemirsa bebas mengacak karya, sehingga proses pemaknaan menjadi lebih luas karena transposisi antar bagian tubuh pada akhirnya melahirkan figur-figur baru yang bahkan di luar imajinasi seniman. Suatu dekonstruksi visual atas tubuh untuk melahirkan figur yang baru.
Penggabungan antara dua atau lebih potongan karya menjadi sebuah figur baru juga menjadi peleburan gagasan dari masing-masing seniman yang selama ini terbatas pada satu bidang kanvas. Dalam pameran ini, semua gagasan menjadi cair tanpa adanya batasan ruang. Sebagaimana tajuk dalam pameran ini, yang sebenarnya lebih merepresentasikan pameran ini sebagai sebuah peristiwa seni yang melibatkan pemirsa secara aktif.
Setiap seniman dalam pemeran ini menampilkan masing-masing sesosok tubuh yang dipecah menjadi empat panel kanvas. Naomi, sebagai kurator sepertinya juga memberi kebebasan secara penuh kepada para seniman untuk menghadirkan figur apapun tanpa membatasinya dalam kerangka tema tertentu. Selain batasan teknis berupa format dan ukuran medium kanvas yang digunakan. Sebagaimana karya Wayan Suja yang bertajuk ‘I’m An Artist, Not A Hero’ menampilkan potret dirinya secara utuh, meski hanya berbalut cawat. Karya Bayu Widodo yang bertajuk ‘Ibu Bumi’ menghadirkan sesosok figur berlumur dedaunan, atau Made Bayak yang mereduksi sosok Bhutakala melalui karya ‘Bhutakal Plastic and The Highest Conciuousness’.

Surealisme dan Pemaknaan Atas Tubuh
Exquisite corpse merupakan salah satu teknik yang dipopulerkan oleh gerakan surealisme di Prancis pada era 1920-an. Istilah lain dari teknik ini adalah exquisite cadaver, berangkat dari gagasan mengenai penciptaan tubuh yang utuh dari kombinasi antara beberapa potongan tubuh yang saling berbeda. Exquisite corpse Menjadi salah satu teknik yang paling populer dalam gerakan yang digawangi oleh Andre Breton tersebut.
Titik awal dari teknik ini juga bermula dari sebuah aktivitas yang sangat interaktif dengan melibatkan beberapa seniman sekaligus. Yaitu dengan membagi bidang gambar menjadi empat dan membagikan kesempatan pada keempas seniman berbeda untuk melukis tiap bagian secara bersamaan tanpa saling tahu apa yang dilukis oleh yang lain. Saat usai, barulah keempat bidang gambar tersebut disatukan menjadi kesatuan tubuh yang mungkin tak karuan bentuknya. Namun begitulah hakikat surealisme, mencari kemungkinan penciptaan sejauh yang tak ada dalam kenyataan.
Surealisme muncul sebagai gerakan lanjutan dari arus dadaisme yang berkembang sebagai respon terhadap perang dunia satu. Dadaisme sendiri merupakan bentuk penolakan terhadap kemajuan logika dan peradaban secara berlebihan yang justru menimbulkan perang dengan sekian juta korban jiwa. Jika dadaisme adalah gerakan yang cenderung politis, maka surealisme cenderung lebih mengarah pada penolakan rasionalitas pemikiran yang berkembang di Eropa. Antitesis yang ditawarkan oleh gerakan surealisme adalah dengan mengeksplorasi dunia bawah sadar manusia dimana segala keajaiban mungkin terjadi, dengan ditopang psikoanalisa Sigmund Freud.  
Jika ditarik pada aspek historis tersebut, tentu pameran ini telah melangkah lebih jauh. Baik secara motif (tendensi) maupun konteksnya. Pemaknaan Figur atau tubuh yang hadir hari ini tentu berbeda dengan pemaknaan tubuh pada saat gerakan surealisme ini baru menetas. Tubuh hari ini tidak hanya menjadi tubuh biologis, namun juga menjadi tubuh sosial yang dilampiri begitu banyak label. Pemaknaan tubuh hari ini selalu berangkat dari latar belakang sosial dan waktu, sehingga melahirkan pertanyaan-pertanyaan menyangkut status sosial, riwayat hidup, atau bahkan silsilah keluarga. Dan selalu berujung pada persepsi publik berdasarkan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut. Maka tidak heran jika seseorang bisa memiliki citra berbeda di mata banyak orang.
Termasuk dalam pameran ini, kita seperti diajak untuk melihat bagaimana pemaknaan sekaligus bentuk tubuh dalam lukisan-lukisan itu disusun oleh seorang pemirsa, dan dengan segera akan dibongkar lagi oleh pemirsa yang lain. Sebagaimana seseorang dibentuk citranya oleh publik yang bersinggungan dengannya, dan akan segera didekonstruksi ulang oleh publik-bublik baru yang dijumpainya. Hari ini, proses sosial semacam itu berlangsung lebih cepat karena ditunjang oleh dunia maya yang memungkinkan orang saling berinteraksi tanpa saling bertemu. Citraan-citraan yang terbangun atas tubuh itu menjadi lebih cepat pula direduksi oleh publik maya yang nirbatas. Dan pameran My Exquisite Corpse ini, saya kira, merefleksikan proses sosial tersebut.

*)tulisan ini pernah dipublikasikan di Bali Post minggu, 28 Juni 2015

Rabu, 01 Juli 2015

Antara Jati Diri dan Tradisi dalam Lilitan Benang



 
photo courtesy griya santrian
Oleh Dwi S. Wibowo
Sesosok kepala mendongak keluar dari lubang closet yang tepat menghadap cermin, cermin itu retak, wajahnya memantul bias dengan rimbun daun yang berserak terlilit benang, sekaligus terpatri pada sebuah pertanyaan kelu yang sulit menemu jawab; I am…?
Itulah karya instalasi I Wayan Arnata dengan judul ‘Introspeksi Diri’ yang dipamerkan di Griya Santrian Gallery bersama karya-karya lainnya. Karya instalasi tersebut, setidaknya menjadi titik tolak untuk memandang pameran yang mengusung tajuk “Integrity” tersebut secara menyeluruh.
Dalam pameran tunggal pertamanya ini, I Wayan Arnata sepenuhnya mengetengahkan gagasan tentang diri. Konsepsi personal yang melekat pada dirinya sebagai seniman yang mengalami ulang alik kehidupan, di satu sisi hidupnya lekat dengan persoalan adat dan tradisi di Bali, di sisi lain profesi seniman yang dipilihnya menuntut pemikiran modern. Persoalan tersebut tentu menimbulkan friksi dalam dirinya yang menunggu untuk dituntaskan, dan seni rupa ternyata justru memberi jalan untuk menuangkan permasalahannya ke dalam ruang kreasi yang otentik.
Selain karya instalasi tersebut, I Wayan Arnata juga menampilkan tidak kurang dari 23 lukisan yang semuanya menggunakan medium utama benang. Penggunaan benang dalam karya-karya I Wayan Arnata bukan semata-mata bentuk eksplorasi media untuk mengejar sensasi di tengah kelaziman medium cat dan kanvas.
Dalam berbagai hal, benang selalu dianggap sebagai metafora dari suatu rentang waktu yang panjang, sebuah jenjang yang menghubungkan suatu masa dengan masa selanjutnya. Filosofi itu pulalah yang melatar belakangi pelukis asal Sukawati tersebut untuk menggali ruang tradisi dan di sanalah, ia menemukan benang sebagai peretas jarak antara dirinya dan tradisi yang ada di sekitar dirinya.


Menggali khasanah tradisi ibarat kembali ke dalam jati diri. Begitu pula yang dilakukan oleh I Wayan Arnata, ingatan personal masa kecilnya dengan sang kakek menuntunnya pada proses kreatif yang ditekuninya kini, yaitu menggunakan teknik tradisional Ngodi (teknik kreasi benang tradisional Bali). Kakeknya merupakan seorang Sangging (empu) yang menguasai berbagai teknik pembuatan sarana upacara dan ritual. Ingatan dan pengalaman yang ditempuhnya sejak kecil itulah yang begitu melekat, sehingga hingga kini ia terus melakukan pengamatan sekaligus kajian terhadap teknik ngodi tersebut.
Keberanian Arnata dalam menggali berbagai potensi artistik dari medium-medium yang digunakannya selama ini, terutama benang, tidak terlepas dari kehidupannya sehari-hari yang begitu lekat dengan kegiatan tradisi. Dalam berbagai kegiatan tradisi di Bali, setiap orang dituntut memiliki keterampilan untuk menciptakan ornamen penghias upacara. “Dari kegiatan adat itulah saya seringkali memperoleh gagasan visual dalam berkarya, termasuk medium benang itu sendiri. Sesuatu yang justru dihindari oleh kebanyakan seniman Bali yang memilih tinggal di luar,” ungkapnya.
Tidak hanya menerapkan teknik ngodi secara utuh, I Wayan Arnata juga terus melakukan inovasi terhadap teknik tersebut. Mengingat bahwa teknik tersebut pada prakteknya memiliki banyak keterbatasan, oleh karena itulah lahir kesadarannya untuk terus melakukan inovasi dalam mengembangkan karya-karyanya. “Dalam teknik ngodi, benang hanya berfungsi sebagai garis. Sedangkan dalam lukisan saya, benang lebih berfungsi sebagai pembentuk tekstur dan penentu corak dari objek lukisan,” tambahnya.
Sejak masih menempuh studi di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, Arnata telah dikenal sebagai seniman yang gemar melakukan eksplorasi medium. Hal tersebut diungkapkan dalam catatan pengantar oleh Mikke Susanto, seorang kurator sekaligus rekan seangkatannya saat kuliah, “Arnata tidak hanya melakukan eksplorasi teknik dengan medium cat, melainkan juga dengan bahan-bahan non-konvensional seperti kain, kayu, dan benda lainnya.” 

Kejeliannya melihat peluang dalam menggunakan medium non-konvensional juga sempat mengantarnya meraih beberapa penghargaan, antara lain tiga kali menyabet posisi finalis Philip Morris Award pada pertengahan dekade 90-an dan pemenang Adhi Aji Sewaka Nugraha Baligrafi dari museum kontemporer Nyoman Gunarsa pada tahun 2013 lalu.
Sebagian besar karya pada pameran ‘Integrity’ mengangkat tema-tema tentang diri yang bernuansa kontemplasi. Hal tersebut merupakan buah dari berbagai pergulatan personal yang dihadapinya sebagai seniman. Termasuk pertanyaan mengenai integritasnya dalam menjalani profesi pilihannya tersebut. Sebagaimana karya instalasi “Instrospeksi Diri” yang mempertanyakan posisi dirinya dalam belantara kehidupan, sekaligus dalam medan seni rupa kontemporer Indonesia. Seolah berbagai penghargaan dan pengakuan publik belum cukup memberinya jawaban.
Seperti diungkapkan oleh Bakti Wiyasa, I Wayan Arnata membutuhkan waktu yang cukup lama menunggu momen untuk menggelar pameran ini. Setidaknya terhitung sejak empat tahun lalu, Arnata mulai mempersiapkan karya-karyanya. Sebuah karya bertarikh 2011 dengan judul “Djagoer”  menjadi titik awal untuk melihat proses berjalan hingga pameran ini berhasil digelar. Karya berukuran 150 x 400 cm itu tersusun dari 20 panel wajah aneka wujud yang disusun berjajar dan membentuk sebuah efek dramatis.
Sontak karya tersebut merebut perhatian pengunjung yang datang ke pameran tersebut, tidak hanya karena ukurannya yang maksimal, melainkan dalam karya tersebut terlampir sebuah pernyataan yang sangat kuat dari seniman, bahkan terkesan emosional. “Djagoer” dalam bahasa Bali berarti ‘hantam’, sehingga dapat dimaknai sebagai sikap agresif yang ditunjukkan oleh Arnata terhadap berbagai persoalan yang coba mengusik integritasnya sebagai seorang seniman. 

Pergesekan-pergesekan sosial dalam ruang masyarakat maupun pada tataran ideologis kesenian tidak dapat dihindarkan dari kehidupan seorang seniman. Oleh karena itu, sikap semacam itu menjadi wajar ditunjukkan oleh seorang Arnata. Pilihan Arnata untuk menyatakan sikap melalui karya patut dibanggakan, sebab pada akhirnya kualitas karyalah yang menjawab pertanyaan-pertanyaan itu.
Seiring berjalannya waktu, sikap tersebut nampak semakin memudar. Seiring dengan kedewasaan yang melekat dalam dirinya, karya-karya setelahnya terlihat semakin kontemplatif. Seperti terlihat dalam dua sekuel lukisan “Doa,” melalui visual wajah yang bersanding dengan telapak tangan, dan bunga jepun. Ataupun dalam karya bertajuk “Balance” yang menunjukkan jejak kreatifnya sebagai pelukis yang pernah mengusung aliran abstrak ekspresionisme a la Sanggar Dewata Indonesia. Karya-karya tersebut lebih mengedepankan aspek refleksi kehidupan manusia dari pada mengejar pencapaian sensasi visual.
Tema yang bernuansa spiritual dan religius tersebut seolah tercipta sebagai jawaban atas berbagai pertanyaan tentang integritas yang mengusiknya. Sebagai pribadi yang masih memegang teguh nilai-nilai religi, I Wayan Arnata pada akhirnya bersandar pada kehadiran yang ilahi dalam mengentaskan dirinya dari berbagai pergolakan batin yang dialaminya. Friksi dalam dirinya, antara tradisi dan modernitas kehidupan itu saling menyatu dalam setiap helai benang yang melilit pada karya-karyanya.

*) tulisan ini pernah dipublikasikan di majalah sarasvati edisi juni 2015