Rabu, 10 Januari 2018

5 PERISTIWA SENI DI BALI YANG LAYAK DIINGAT SEPANJANG TAHUN 2017



oleh Dwi S. Wibowo

Setiap kali tiba di masa pergantian tahun seperti ini, selalu terbersit hasrat untuk kembali mereka ulang ingatan mengenai perisitiwa-peristiwa seni yang telah berlangsung dalam kurun waktu setahun kebelakang. Adakah di antaranya yang menarik untuk dikenang, bahkan berharap dapat diulang kembali di tahun berikutnya. Bali sebagai daerah yang memiliki intensitas perhelatan seni yang relatif tinggi, hampir setiap bulan bisa tercatat lebih dari dua perhelatan seni yang diselenggarakan oleh ruang-ruang seni maupun dari hasil inisiasi para senimannya. Namun tidak semuanya memiliki cakupan yang cukup luas untuk dianggap sebagai peristiwa seni yang layak diingat, baik dari segi tematik yang ditawarkan, metode kesenian yang digunakan, maupun kecakapan penyelenggara dalam mengelola event hingga tuntas.

Kriteria yang muncul dalam menentukan peristiwa seni yang masuk dalam tulisan ini bukanlah merujuk pada yang terbaik dari seluruh peristiwa yang berlangsung, melainkan sekedar menyebut beberapa contoh peristiwa seni yang berhasil menarik perhatian publik secara luas, sekaligus memberikan tawaran tematik dan metode yang relatif berbeda dari sekedar memajang karya di ruang galeri layaknya pameran biasa. Tentu saja, harapannya penyelenggaraan event seni di Bali kedepannya akan semakin baik, dengan berpijak pada apa yang telah ada sebelumnya. Berikut ini adalah lima peristiwa seni yang berlangsung sepanjang tahun 2017 di Bali:

1.     Bare Journal vol. 3 – Devising Theatre (Cata Odata)

Sebagai salah satu ruang seni yang berada di Bali, Cata Odata memiliki sejumlah program regular. Selain pameran seni, Cata Odata yang mengundang sejumlah seniman dari berbagai kota untuk melakukan residensi di ruang miliknya. Bare Journal, merupakan platform residensi yang mereka gagas dengan menekankan pada aspek dokumentasi proses seniman selama masa residensi yang direkam melalui sebuah jurnal. Bare Journal tahun ini merupakan yang ketiga kalinya, biasanya mereka mengundang dua seniman dan seorang penulis untuk saling berkolaborasi selama sebulan masa residensi (April-Mei 2017)

Yang berbeda dari Bare Journal tahun ini adalah seniman yang diundang tidak hanya berlatar seni rupa, seperti sebelumnya. Melainkan penari, perupa, dan penulis naskah teater aitu Gianti Giady (Jakarta), Kanoko Takaya (Kyoto), dan Santiasa Putu Putra (Denpasar). Mereka dipertemukan dan berkolaborasi untuk menciptakan sebuah pertujukan teater dengan konsep devised theatre, yaitu sebuah pertunjukan yang tidak berawal dari sebuah naskah yang telah ada, melainkan tercipta melalui proses interaksi antar seniman yang terlibat selama masa residensi. Mereka saling memberi stimulan untuk memantik pola pertunjukkan yang akan mereka hasilkan nantinya. Tentu saja, semua itu direkam melalui sebuah jurnal yang dibawa oleh mereka masing-masing.


Selain pertunjukkan, Bare Journal juga ditutup dengan sebuah pameran yang menghadirkan jurnal dokumentasi seniman selama masa residensi. Publik dipersilakan untuk membaca setiap detail dari proses yang dicatat oleh masing-masing seniman, sehingga mereka dapat mengetahui bagaimana sebuah karya dihasilkan, berikut pergulatan yang dialami oleh seniman dalam berproses. Selama ini, publik hanya menikmati karya sebagai sesuatu yang purna, tanpa mengetahui bagaimana proses penciptaannya. termasuk bagaimana ide-ide kara tersebut dihasilkan, melalui jurnal ini, mereka bisa mengetahui apa yang selama ini menjadi dapur seniman.

2.    Visit Bali Year – Pameran Tunggal Slinat (Uma Seminyak)

Selama ini, publik seni di Bali lebih mengenal Slinat sebagai seorang street artist yang biasa mengerjakan mural di ruang publik kota Denpasar. Beberapa karyanya bahkan menjadi sangat ikonik dengan menampilkan figur perempuan Bali tempo dulu yang mengenakan masker anti polutan di wajahnya, bahkan karyanya seperti menjadi landmark di sejumlah lokasi.  Visit Bali Year, merupakan pameran tunggalnya yang pertama di dalam sebuah ruang galeri konvensional. Pameran ini berlangsung dari tanggal 1-17 Juli 2017 di Uma Seminyak. Meski secara tematik barangkali kita tetap bisa melihat pesamaan karyanya di ruang publik dan yang ada dalam pameran ini, namun secara intensitas tentu berbeda. Di ruang publik, Slinat bisa membuat mural dengan ukuran gigantis, sedangkan di dalam galeri ada keterbatasan ruang yang membuatnya harus berkarya dalam ukuran kecil.

Visit Bali Year merupakan kritik yang dilancarkan oleh Slinat atas pola industrialisasi pariwisata di Bali, termasuk kebijakan-kebijakan pemerintah dalam mendorong peningkatan promosi pariwisata ini.  Figur ikoniknya, perempuan Bali bertelanjang dada yang mengenakan masker antipolutan adalah bentuk kritiknya. Citra tentang pulau Bali nyaris tidak pernah dilepaskan dari kesan eksotik perempuan-perempuan bertelanjang dada di era kolonial, namun di tengah era industrialisasi masihkah eksotisme itu layak untuk ditawarkan. Itulah mengapa Slinat menghadirkan ironi dengan menutup wajah perempuan tersebut dengan masker anti polutan. Bahwa apa yang dibayangkan tentang eksotisme alam dan manusia di Bali tidak lagi seperti dulu kala, kini telah mengalami banyak perubahan yang kontras.

3.    Tropica – Bali Street Art Festival (Canggu)


Tropica merupakan salah satu event seni tingkat internasional di Bali yang berhasil mempertemukan para seniman jalanan (street artist) dari Indonesia dan dunia. Sejak tanggal 26-30 Juli 2017, mereka merespon ruang publik yang berada di sekitar kawasan Canggu, sebuah kawasan wisata yang relatif baru di sisi barat pantai kuta. Dengan segmentasi wisatawan mancanegara yang mayoritas dari kalangan muda, masuknya street art di kawasan ini seperti menjadi ruh bagi spirit urban di wilayah ini.


Tahun ini merupakan penyelenggaraan Tropica Festival yang kedua kalinya, yang pertama berlangsung tahun lalu dan boleh dibilang berhasil menarik perhatian publik street art secara luas. Lantaran minimnya perhelatan seni yang dapat mempertemukan seniman-seniman jalanan ini secara masif. Sekaligus membuka peluang untuk mengetahui sejumlah seniman yang selama ini menyembunyikan identitasnya dengan pseudonim pada karyanya.


Sebanyak 45 seniman dari Indonesia dan beberapa negara lain turut memeriahkan perhelatan Tropica Festival tahun ini. Beberapa di antaranya The Popo, Drawmama, Peanut Dog, Needsone, Seth Globepainter, Ricky Lee Gordon, dll. Penyelenggaraan festival ini menjadi menarik lantaran sangat minimnya ruang gerak bagi seniman jalanan di Bali, beberapa lokasi mungkin bisa mudah mereka akses untuk membuat mural, tapi tidak menyeluruh di semua kawasan. Beruntung Tropica digelar di kawasan Canggu, ruang-ruang yang relatif baru dan spirit urban dari wisatawan muda di sana menjadi lokasi penyemaian yang cocok bagi seni urban tersebut.

4.      Den Pasar – Pameran bersama (Cushcush Gallery)

Menelusuri sejarah sebuah kota, barangkali paling mudah melalui asal-usul namanya. Seperti kota Denpasar, nama kota ini berasa dari dua kata dalam bahasa Bali yaitu Den dan Pasar. Den dalam bahasa Bali merupakan kependekan bunyi dari kata dajan yang berarti ‘di utara’, sedangkan pasar tetap sebagaimana arti yang kita pahami. Sehingga jika diterjemahkan, kota Denpasar dapat berarti sebagai kota yang berdiri di utara pasar. Berangkat dari pemikiran itulah, Cushcush gallery mengajak sejumlah insan kreatif yang tinggal di kota Denpasar untuk kembali menelusuri pasar dan membangun ulang dialog tentang keberadaannya dalam pertumbuhan kota hari ini melalui sebuah pameran berjudul “Den Pasar” yang dihelat sejak 26 Mei hingga 26 Agustus 2017.

Secara keseluruhan, ada 17 insan kreatif yang berhasil lolos kurasi. Seleksi dilakukan melalui sistem aplikasi terbuka yang dimulai sejak Februari lalu. Tidak semua dari mereka adalah seniman yang bergelut dengan media visual, beberapa di antaranya adalah desainer fashion, arsitek, bahkan penari. Mereka ialah Adhika Anissa, Dian Suri, Myra Juliarti, Farhan Adityasmara, Mirah Rahmawati, Jaya Putra, Andre Yoga, Suhartawan, Wayan Martino, Lugu Gumilar, Nadjma Achmad, Sidhi Visathya, Syaifudin Vivick, Tri Haryoko Adi, Qomaruzzaman Alamry, Reevo Saulus dan Yoga Wahyudi.


Sebelum berkarya, mereka diajak serta untuk turun ke dua pasar yang menjadi landmark kota Denpasar, yaitu pasar Badung dan pasar Kumbasari. Dua pasar tradisional yang saling berdampingan dan hanya disekat oleh sungai Badung tersebut. Di sana, mereka dipersilakan untuk melakukan observasi guna membekali dirinya dalam mencipta karya visual.  Dari sejumlah karya yang kemudian tercipta, beberapa di antaranya memang memotret secara langsung suasana pasar yang nampak di hadapan mereka hari ini, beberapa lainnya mencoba menemukan ikonografi yang endemik dan khas, sementara yang lainnya juga merentangkan jarak ke aspek kesejarahan bagaimana pasar tersebut melakukan metamorfosis selama bertahun-tahun.

5.      Rumah Kaca Nagasepaha dan Batu Belah – Pameran Seni Lukis Kaca (Bentara Budaya Bali)


Selain seni lukis wayang tradisional Kamasan yang termasyur, ternyata Bali juga memiliki seni lukis wayang tradisional pada medium kaca. Selama ini, mungkin tidak terkenal luas sebagaimana seni lukis wayang kamasan. Seni lukis kaca ini berkembang di sebuah desa di Bali Utara bernama Nagasepaha. Usia seni lukis kaca di Nagasepaha memang belum selama seni lukis wayang kamasan ataupun seni lukis kaca dari daerah Cirebon yang lebih dikenal luas. Berkembangnya seni lukis kaca di daerah inipun, melalui sejumlah keterangan seperti bermula dari sebuah kebetulan. Dipelopori oleh Jro Dalang Diah, seorang dalang yang mendapat pesanan untuk membuat lukisan dengan medium kaca. Padahal sebelumnya, Ia tidak pernah belajar melukis di medium tersebut. Dengan modal nekat, akhirnya sebuah lukisan kaca yang dibawa oleh pemesan itu sebagai contoh itupun dikerik untuk mengetahui bagaimana lukisan kaca itu dibuat. Dari sanalah kemudian seni lukis kaca di Nagasepaha mulai berkembang dan diwariskan secara turun temurun.


Melalui sebuah pameran yang digelar pada 26 september hingga 6 oktober 2017 lalu di Bentara Budaya Bali, sejumlah karya dari para seniman ang bernaung di bawah Rumah Kaca Nagasepaha dipamerkan, termasuk sejumlah sketsa dari Jro Dalang Diah. Selain menghadirkan karya seni lukis kaca Nagasepaha, pameran ini juga menghadirkan karya-karya seni lukis kaca yang lebih modern dari komunitas Batu Belah Art Space yang dimotori oleh perupa Wayan Sujana Suklu.  Dalam pameran ini, kita dapat melihat perbandingan bagimana seni lukis kaca Nagasepaha tumbuh dan berkembang melalui perluasan tematik, tidak hanya terbatas pada pakem-pakem pewayangan yang ada, sekaligus melihatnya bersanding dengan karya-karya dari Batu Belah Art Space yang lebih modern.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar