Minggu, 08 April 2012

BENTANG IMAJINASI DAN REKONSTRUKSI ALAM MIMPI


BENTANG IMAJINASI DAN REKONSTRUKSI ALAM MIMPI
Catatan atas beberapa karya Citra Sasmita
Oleh dwi s. wibowo

Di tahun 1939, seorang perempuan dari negeri yang (waktu itu) masih menganut paham sosialis pernah melukiskan sosok dirinya yang sakit dan terbaring di ranjang, dan di atasnya terbaring juga sesosok skeleton yang kakinya terbalut rangkaian dinamit. Lukisan itu, (bagi saya) adalah representasi dari dunia yang dibangun oleh perempuan tersebut dalam sebuah upaya rekonstruksi. Karena dunia yang tengah dibangunnya, bukanlah dunia yang secara fisik nyata dan dapat kita lihat sehari-hari, namun dunia yang dibangunnya tersebut adalah dunia yang secara realita kerap kita jumpai namun tak ada dalam kenyataan. Dimanakah dunia macam itu kerap kita jumpai?
Ada dua lokasi dimana kita dapat menyaksikan segala yang nyata tersebut tiba-tida berbelok dan menjadi surreal. Pertama, kita seringkali mengabaikan mimpi, padahal menurut Freud, dunia-dunia surreal tersebut dapatlah terjadi dalam mimpi. Kedua, imajinasi, setiap manusia bisa tiba-tiba menjadi Tuhan ketika dia berkhayal menciptakan makhluk-makhluk hidup, gunung-gunung dan bahkan mencipta lautan. Imajinasi bisa mencipta segala sesuatu yang tak terbatas di alam pikiran sejauh alam bawah sadar bisa menyediakan imaji-imaji sebagai suplai konstruksi bangunan tersebut. Mimpi dan imajinasi, sama-sama terhubung dengan alam bawah sadar manusia dimana (seperti saya katakan tadi) setiap individu dapat menjadi Tuhan dalam pikirannya. Hanya saja, jika dalam imajinasi kesadaran dapat ditakar kadarnya, berbeda dengan mimpi yang oleh Freud disebut sebagai lorong untuk memasuki alam bawah sadar yang paling dalam. Pijakan inilah yang sebenarnya digunakan oleh para pelopor lukisan surrealis di kisaran tahun 1920-an, yang kemudian dimanifestokan oleh Andre Breton.
Perempuan yang saya ceritakan di atas mungkin bukan generasi pertama dari para pelukis surrealis yang bermukim di Paris kala itu. Maka dalam lukisannya pun, terdapat kecenderungan yang sedikit berbeda. Ia lebih banyak merepresentasikan dunia ke-perempuan-annya, tapi dengan keganjilan yang mungkin tidak dibayangkan orang. Jika di era Renaissance lukisan perempuan dipandang sebagai representasi keindahan yang paling sempurna, Berbeda dengan yang perempuan ini lakukan terhadap kanvasnya. Sosok perempuan yang merupakan representasi dirinya tersebut, ia rekonstruksi dalam bentuk yang berbanding terbalik dengan pandangan orang sebagai pemuncak keindahan. Perempuan-perempuan dalam kanvasnya adalah dirinya yang sakit. (dalam film biografisnya) Ia adalah perempuan yang memiliki luka fisik permanen yang ditinggalkan dari sebuah kecelakaan fatal yang hamper merenggut jiwanya di masa muda, juga luka batin ketika ia menyadari bahwa suaminya, Diego Riviera yang juga pelukis mengkhianatinya dengan perselingkuhan-perselingkuhan, termasuk dengan saudara perempuannya. Juga luka yang paling mendalam, ketika ia keguguran dan seperti dikatakan dokternya, ia tak bisa memiliki anak lagi. Rasa sakit dari luka-luka inilah yang kemudian ia tuangkan dalam setiap kanvasnya. Sosok-sosok perempuan yang tidak sempurna, dan penuh luka.
70 tahun sesudahnya, luka-luka yang sama dengan yang didera oleh perempuan itu kembali saya jumpai dalam lukisan-lukisan sederhana milik seorang perupa muda di sini. Citra Sasmita. Dalam lukisan-lukisannya yang juga surreal, figur utama yang kerap ia lukiskan adalah sosok-sosok perempuan yang sedih, muram, dan terkesan sendiri. Mungkin sama juga dengan yang dilakukan perempuan di atas, Sasmita pun tengah berupaya merepresentasikan dirinya lewat goresan pena dan cat di lukisannya dengan tindakan rekonstruksi yang sedemikian rupa. Entah dengan latar belakang luka yang macam apa. Namun tetap dengan unsur femininitas yang kuat di beberapa lukisannya, dimana beberapa figur perempuan ia tampilkan sebagai sosok yang kuat dalam kesendirian dan justru lebih menonjolkan sisi dualisme diri yang signifikan. Namun di beberapa lukisannya, Sasmita tetaplah perempuan yang melankolis, yang masih mengkhayalkan keperempuanannya disempurnakan oleh sosok lelaki yang meski secara samar saja ia guratkan dalam lukisannya. Sebagai perupa, dengan berkarya sasmita mencoba mengartikulasikan apa yang seringkali tak bisa diucapkan, dan karya-karya tersebut merupakan menifestasi dari apa yang tak terartikulasikan tersebut meski dengan medium ekspresi yang terbatas. Misal sekedar dengan medium dua warna seperti dalam teknik grafis, Sasmita lebih berani untuk melakukan block terhadap objeknya sehingga hanya membentuk shilouette. Ataupun pemaiakan warna-warna minimalis dari pilihan warna-warna tersier dalam sedikit karyanya. Mengulang pernyataan Trisno Sumardjo yang menyebutkan bahwa yang terpenting dari karya seni adalah isi batin, bukan tekniknya. Maka tak masalah, bila sebenarnya Sasmita mengambil imaji-imaji yang datang di setiap mimpi buruknya untuk kemudian ia tuangkan dalam karya dengan berbagai keterbatasan yang ada.
Lihat karyanya yang bertajuk ‘Confession of Dried Petals’, sisi gelap yang ia sandingkan dengan imaji sebuah pohon dengan ranting-ranting kering yang membentuk dua sosok wajah (mungkin) satu lelaki dan satunya perempuan dan bulan yang terbuat dari bola mata. Jika dicermati, lukisan ini bisa saja dianggap belum selesai lantaran masih menyisakan ruang kosong yang luas dan hanya fokus pada satu sign. Namun jika mengingat apa yang pernah dikatakan pelukis Hanafi, ruang kosong tersebut justru memberi tempat lebih kepada pemirsa untuk tak sekedar melakukan interpretasi terhadap karya, namun menambahkan imajinasi-imajinasi dalam apresiasinya. Hal serupa Sasmita lakukan juga dalam karya bertajuk ‘Elegi Tengah Malam’, masih sama menggunakan pohon sebagai personifikasi, namun taka da wajah kali ini melainkan di bagian akar muncul imaji-imaji ganjil seperti potongan bibir, mata, telinga, tangan, dan janin yang terkubur. Yang kemudian saya tafsirkan, bahwasanya pohon tersebut tumbuh dari kematian-kematian yang pernah terkubur di bawahnya. Di karya ketiganya, ‘A Dead Faint’, kecenderungan serupa juga masih saya jumpai. Sebuah jam pasir yang kedua sisinya tercipta dari ranting-ranting pohon dan (kembali) terdapat sesosok wajah perempuan yang mulai terkikis akibat pasir yang mulai turun. Selanjutnya dalam ‘Skizofrenia’ sasmita lebih mendalam pada semacam upaya merayakan diri sendiri. Imaji-imaji yang mungkin ia keluarkan dari dalam kepalanya, ia keluarkan juga dari kepala si tokoh dalam lukisannya. Ini juga semacam upaya peneguhan feniminitas, yang dalam bayangan saya sosok perempuan pengidap skizofrenia tersebut adalah yang paling merdeka dalam berimajinasi (meski nampak psikopatis).
Sisi melankolis Sasmita saya tangkap dalam dua karyanya, yang pertama ia beri tajuk ‘Pesan dari Seberang’ dimana seorang perempuan tengah berdialog dengan seekor burung di telapak tanggannya. Bahkan dari judulnya pun telah memprovokasi saya untuk berpikir tentang siapakah yang ada di seberang, tentang sosok siapakah yang tengah dinanti oleh si tokoh perempuan tersebut. Selama ini burung menjadi metafor untuk menyatakan kabar, berita, atau penyampai pesan. Di sinilah Sasmita lewat lukisannya tidak lagi sanggup menampilkan sosok-sosok feminis radikal yang kuat bertahan dalam kesendirian. Melainkan kembali menjadi sosok melankolis yang digenapi rasa rindu. Demikian juga dalam ‘Widows Faith’, sosok separuh perempuan cantik berwajah separuh tengkorak berlatar sebuah pemakaman. Rasa sakit akibat ditinggalkan oleh orang yang dikasihi direkonstruksi Sasmita dengan kematian separuh diri. Mungkin benar seperti dipahami banyak orang tentang ‘cinta setengah mati’. Yang kemudian lebih berkembang lagi pada sisi romantisme seorang Sasmita dalam ‘Uncertainty Kisses’, kisah cinta sepasang kekasih berlatar gothic yang (meski) nampak  ragu-ragu karena bagi sasmita sendiri, kisah cinta ini dibangunnya dalam dua dunia yang berbeda. Tapi bukankah seorang Count Dracula sekalipun tetap sah mencintai Wilhelmina Murray dalam kisah legendaris karangan Bram Stocker?. Setelah jauh mencermati lukisan-lukisan sasmita, pada akhirnya menarik diri saya untuk tak sekedar memahaminya sebagai lukisan-lukisan surreal, melainkan dengan mendefinisikan suasana mistis yang dibangun Sasmita dengan lanskap gothic dalam setiap lukisannya kita akan melihat sosok lain dalam diri Sasmita (tidak hanya perempuan di tahun 1939) yaitu Fransisco De Goya sang pelukis hantu dari Spanyol yang mungkin saja secara tidak sadar telah memberi banyak pengaruh terhadap karyanya. Keduanya sama-sama mencoba membangun suasana mistis lewat kecenderungan menampilkan latar gelap ataupun figur-figur ganjil yang diperolehnya baik dari luka diri, alam mimpi, imajinasi maupun berdasar pada benturan terhadap mitos-mitos hantu. Sehingga bukan tidak mungkin sensasinya akan sama dengan menyaksikan upacara exorcist.
Di balik semua itu, yang bisa ditawarkan oleh sasmita adalah eksplorasi lebih dalam merepresentasikan ke-perempuan-an dalam dirinya. Dalam bingkai yang surreal dan mistis inilah, konstruksi baru perempuan telah tercipta oleh tangan Sasmita dimana semuanya bisa terlepas dari batasan-batasan norma perempuan yang terkungkung adat. Melainkan telah menjadi sosok liyan. Dan seni rupa sebagai sebuah medan proses kreatif merupakan satu sarana yang memberi saluran refleksi tak terbatas dalam melakukan analisa pengolahan tanda-tanda tersebut secara produktif. Seperti eksplorasi tanda-tanda dalam alam bawah sadar yang dicomot dari mimpi, imajinasi, luka diri, ataupun benturan terhadap mitos-mitos yang ada di sekitarnya.
Dwi s. wibowo, penyair dan penikmat senirupa
Tinggal di Yogyakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar