BENTANG IMAJINASI DAN REKONSTRUKSI
ALAM MIMPI
Catatan atas beberapa karya Citra
Sasmita
Oleh dwi s. wibowo
Di
tahun 1939, seorang perempuan dari negeri yang (waktu itu) masih menganut paham
sosialis pernah melukiskan sosok dirinya yang sakit dan terbaring di ranjang,
dan di atasnya terbaring juga sesosok skeleton yang kakinya terbalut rangkaian
dinamit. Lukisan itu, (bagi saya) adalah representasi dari dunia yang dibangun
oleh perempuan tersebut dalam sebuah upaya rekonstruksi. Karena dunia yang
tengah dibangunnya, bukanlah dunia yang secara fisik nyata dan dapat kita lihat
sehari-hari, namun dunia yang dibangunnya tersebut adalah dunia yang secara
realita kerap kita jumpai namun tak ada dalam kenyataan. Dimanakah dunia macam
itu kerap kita jumpai?
Ada dua lokasi dimana kita dapat menyaksikan segala yang nyata tersebut tiba-tida berbelok dan menjadi surreal. Pertama, kita seringkali mengabaikan mimpi, padahal menurut Freud, dunia-dunia surreal tersebut dapatlah terjadi dalam mimpi. Kedua, imajinasi, setiap manusia bisa tiba-tiba menjadi Tuhan ketika dia berkhayal menciptakan makhluk-makhluk hidup, gunung-gunung dan bahkan mencipta lautan. Imajinasi bisa mencipta segala sesuatu yang tak terbatas di alam pikiran sejauh alam bawah sadar bisa menyediakan imaji-imaji sebagai suplai konstruksi bangunan tersebut. Mimpi dan imajinasi, sama-sama terhubung dengan alam bawah sadar manusia dimana (seperti saya katakan tadi) setiap individu dapat menjadi Tuhan dalam pikirannya. Hanya saja, jika dalam imajinasi kesadaran dapat ditakar kadarnya, berbeda dengan mimpi yang oleh Freud disebut sebagai lorong untuk memasuki alam bawah sadar yang paling dalam. Pijakan inilah yang sebenarnya digunakan oleh para pelopor lukisan surrealis di kisaran tahun 1920-an, yang kemudian dimanifestokan oleh Andre Breton.
Ada dua lokasi dimana kita dapat menyaksikan segala yang nyata tersebut tiba-tida berbelok dan menjadi surreal. Pertama, kita seringkali mengabaikan mimpi, padahal menurut Freud, dunia-dunia surreal tersebut dapatlah terjadi dalam mimpi. Kedua, imajinasi, setiap manusia bisa tiba-tiba menjadi Tuhan ketika dia berkhayal menciptakan makhluk-makhluk hidup, gunung-gunung dan bahkan mencipta lautan. Imajinasi bisa mencipta segala sesuatu yang tak terbatas di alam pikiran sejauh alam bawah sadar bisa menyediakan imaji-imaji sebagai suplai konstruksi bangunan tersebut. Mimpi dan imajinasi, sama-sama terhubung dengan alam bawah sadar manusia dimana (seperti saya katakan tadi) setiap individu dapat menjadi Tuhan dalam pikirannya. Hanya saja, jika dalam imajinasi kesadaran dapat ditakar kadarnya, berbeda dengan mimpi yang oleh Freud disebut sebagai lorong untuk memasuki alam bawah sadar yang paling dalam. Pijakan inilah yang sebenarnya digunakan oleh para pelopor lukisan surrealis di kisaran tahun 1920-an, yang kemudian dimanifestokan oleh Andre Breton.
Perempuan
yang saya ceritakan di atas mungkin bukan generasi pertama dari para pelukis
surrealis yang bermukim di Paris kala itu. Maka dalam lukisannya pun, terdapat
kecenderungan yang sedikit berbeda. Ia lebih banyak merepresentasikan dunia
ke-perempuan-annya, tapi dengan keganjilan yang mungkin tidak dibayangkan
orang. Jika di era Renaissance lukisan perempuan dipandang sebagai representasi
keindahan yang paling sempurna, Berbeda dengan yang perempuan ini lakukan
terhadap kanvasnya. Sosok perempuan yang merupakan representasi dirinya
tersebut, ia rekonstruksi dalam bentuk yang berbanding terbalik dengan
pandangan orang sebagai pemuncak keindahan. Perempuan-perempuan dalam kanvasnya
adalah dirinya yang sakit. (dalam film biografisnya) Ia adalah perempuan yang
memiliki luka fisik permanen yang ditinggalkan dari sebuah kecelakaan fatal
yang hamper merenggut jiwanya di masa muda, juga luka batin ketika ia menyadari
bahwa suaminya, Diego Riviera yang juga pelukis mengkhianatinya dengan
perselingkuhan-perselingkuhan, termasuk dengan saudara perempuannya. Juga luka
yang paling mendalam, ketika ia keguguran dan seperti dikatakan dokternya, ia
tak bisa memiliki anak lagi. Rasa sakit dari luka-luka inilah yang kemudian ia
tuangkan dalam setiap kanvasnya. Sosok-sosok perempuan yang tidak sempurna, dan
penuh luka.
70
tahun sesudahnya, luka-luka yang sama dengan yang didera oleh perempuan itu
kembali saya jumpai dalam lukisan-lukisan sederhana milik seorang perupa muda
di sini. Citra Sasmita. Dalam lukisan-lukisannya yang juga surreal, figur utama
yang kerap ia lukiskan adalah sosok-sosok perempuan yang sedih, muram, dan
terkesan sendiri. Mungkin sama juga dengan yang dilakukan perempuan di atas, Sasmita
pun tengah berupaya merepresentasikan dirinya lewat goresan pena dan cat di
lukisannya dengan tindakan rekonstruksi yang sedemikian rupa. Entah dengan
latar belakang luka yang macam apa. Namun tetap dengan unsur femininitas yang
kuat di beberapa lukisannya, dimana beberapa figur perempuan ia tampilkan
sebagai sosok yang kuat dalam kesendirian dan justru lebih menonjolkan sisi
dualisme diri yang signifikan. Namun di beberapa lukisannya, Sasmita tetaplah
perempuan yang melankolis, yang masih mengkhayalkan keperempuanannya
disempurnakan oleh sosok lelaki yang meski secara samar saja ia guratkan dalam
lukisannya. Sebagai perupa, dengan berkarya sasmita mencoba mengartikulasikan
apa yang seringkali tak bisa diucapkan, dan karya-karya tersebut merupakan
menifestasi dari apa yang tak terartikulasikan tersebut meski dengan medium
ekspresi yang terbatas. Misal sekedar dengan medium dua warna seperti dalam teknik
grafis, Sasmita lebih berani untuk melakukan block terhadap objeknya sehingga hanya membentuk shilouette. Ataupun pemaiakan
warna-warna minimalis dari pilihan warna-warna tersier dalam sedikit karyanya.
Mengulang pernyataan Trisno Sumardjo yang menyebutkan bahwa yang terpenting
dari karya seni adalah isi batin, bukan tekniknya. Maka tak masalah, bila
sebenarnya Sasmita mengambil imaji-imaji yang datang di setiap mimpi buruknya
untuk kemudian ia tuangkan dalam karya dengan berbagai keterbatasan yang ada.
Lihat
karyanya yang bertajuk ‘Confession of Dried Petals’, sisi gelap yang ia
sandingkan dengan imaji sebuah pohon dengan ranting-ranting kering yang membentuk
dua sosok wajah (mungkin) satu lelaki dan satunya perempuan dan bulan yang
terbuat dari bola mata. Jika dicermati, lukisan ini bisa saja dianggap belum
selesai lantaran masih menyisakan ruang kosong yang luas dan hanya fokus pada
satu sign. Namun jika mengingat apa
yang pernah dikatakan pelukis Hanafi, ruang kosong tersebut justru memberi
tempat lebih kepada pemirsa untuk tak sekedar melakukan interpretasi terhadap
karya, namun menambahkan imajinasi-imajinasi dalam apresiasinya. Hal serupa Sasmita
lakukan juga dalam karya bertajuk ‘Elegi Tengah Malam’, masih sama menggunakan
pohon sebagai personifikasi, namun taka da wajah kali ini melainkan di bagian
akar muncul imaji-imaji ganjil seperti potongan bibir, mata, telinga, tangan,
dan janin yang terkubur. Yang kemudian saya tafsirkan, bahwasanya pohon
tersebut tumbuh dari kematian-kematian yang pernah terkubur di bawahnya. Di
karya ketiganya, ‘A Dead Faint’, kecenderungan serupa juga masih saya jumpai.
Sebuah jam pasir yang kedua sisinya tercipta dari ranting-ranting pohon dan (kembali)
terdapat sesosok wajah perempuan yang mulai terkikis akibat pasir yang mulai
turun. Selanjutnya dalam ‘Skizofrenia’ sasmita lebih mendalam pada semacam
upaya merayakan diri sendiri. Imaji-imaji yang mungkin ia keluarkan dari dalam
kepalanya, ia keluarkan juga dari kepala si tokoh dalam lukisannya. Ini juga
semacam upaya peneguhan feniminitas, yang dalam bayangan saya sosok perempuan
pengidap skizofrenia tersebut adalah yang paling merdeka dalam berimajinasi
(meski nampak psikopatis).
Sisi
melankolis Sasmita saya tangkap dalam dua karyanya, yang pertama ia beri tajuk
‘Pesan dari Seberang’ dimana seorang perempuan tengah berdialog dengan seekor
burung di telapak tanggannya. Bahkan dari judulnya pun telah memprovokasi saya
untuk berpikir tentang siapakah yang ada di seberang, tentang sosok siapakah
yang tengah dinanti oleh si tokoh perempuan tersebut. Selama ini burung menjadi
metafor untuk menyatakan kabar, berita, atau penyampai pesan. Di sinilah Sasmita
lewat lukisannya tidak lagi sanggup menampilkan sosok-sosok feminis radikal
yang kuat bertahan dalam kesendirian. Melainkan kembali menjadi sosok
melankolis yang digenapi rasa rindu. Demikian juga dalam ‘Widows Faith’, sosok
separuh perempuan cantik berwajah separuh tengkorak berlatar sebuah pemakaman.
Rasa sakit akibat ditinggalkan oleh orang yang dikasihi direkonstruksi Sasmita dengan
kematian separuh diri. Mungkin benar seperti dipahami banyak orang tentang
‘cinta setengah mati’. Yang kemudian lebih berkembang lagi pada sisi romantisme
seorang Sasmita dalam ‘Uncertainty Kisses’, kisah cinta sepasang kekasih
berlatar gothic yang (meski)
nampak ragu-ragu karena bagi sasmita
sendiri, kisah cinta ini dibangunnya dalam dua dunia yang berbeda. Tapi
bukankah seorang Count Dracula sekalipun tetap sah mencintai Wilhelmina Murray
dalam kisah legendaris karangan Bram Stocker?. Setelah jauh mencermati
lukisan-lukisan sasmita, pada akhirnya menarik diri saya untuk tak sekedar
memahaminya sebagai lukisan-lukisan surreal, melainkan dengan mendefinisikan
suasana mistis yang dibangun Sasmita dengan lanskap gothic dalam setiap lukisannya kita akan melihat sosok lain dalam
diri Sasmita (tidak hanya perempuan di tahun 1939) yaitu Fransisco De Goya sang
pelukis hantu dari Spanyol yang mungkin saja secara tidak sadar telah memberi
banyak pengaruh terhadap karyanya. Keduanya sama-sama mencoba membangun suasana
mistis lewat kecenderungan menampilkan latar gelap ataupun figur-figur ganjil
yang diperolehnya baik dari luka diri, alam mimpi, imajinasi maupun berdasar
pada benturan terhadap mitos-mitos hantu. Sehingga bukan tidak mungkin sensasinya
akan sama dengan menyaksikan upacara exorcist.
Di
balik semua itu, yang bisa ditawarkan oleh sasmita adalah eksplorasi lebih
dalam merepresentasikan ke-perempuan-an dalam dirinya. Dalam bingkai yang
surreal dan mistis inilah, konstruksi baru perempuan telah tercipta oleh tangan
Sasmita dimana semuanya bisa terlepas dari batasan-batasan norma perempuan yang
terkungkung adat. Melainkan telah menjadi sosok liyan. Dan seni rupa sebagai
sebuah medan proses kreatif merupakan satu sarana yang memberi saluran refleksi
tak terbatas dalam melakukan analisa pengolahan tanda-tanda tersebut secara
produktif. Seperti eksplorasi tanda-tanda dalam alam bawah sadar yang dicomot
dari mimpi, imajinasi, luka diri, ataupun benturan terhadap mitos-mitos yang
ada di sekitarnya.
Dwi
s. wibowo,
penyair dan penikmat senirupa
Tinggal di
Yogyakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar