1, 2, 3, 4, …, …, DAN SETERUSNYA….
Catatan apresiasi terhadap pameran
NUMBERS IN THE SKY(11 april-2 mei 2012) , Agus ‘Baqul’ Purnomo
oleh dwi s. wibowo
Usai
melewati pintu masuk ruang pamer Jogja Contemporary-Sangkring Art Space, dimana
terpampang karya-karya Agus ‘Baqul’ Purnomo, saya kembali teringat masa taman
kanak-kanak saya ketika waktu itu dua guru mengajar berhitung “1, 2, 3, 4, …,
9, 10”. Satu sampai dengan sepuluh. Dalam benak waktu itu, saya membayangkan
bahwa di dunia ini hanya ada angka-angka tersebut, dan sepuluh sebagai puncak
nominalnya. Namun demikian, di lain hari saya juga mulai mempertanyakan mengapa
untuk rentang nilai pada pelajaran menyanyi atau menggambar waktu itu guru saya
menyebut bahwa 100 adalah nilai tertinggi.
Saya kecil masih tak habis pikir benar, bagaimana mungkin muncul nominal yang lebih tinggi dari yang pernah diajarkan dalam pelajaran berhitung. Semakin dewasa, semakin terbuka juga pemahaman saya terhadap nominal-nominal tersebut. Bahwa kombinasi dari kesepuluh digit angka tersebut (0-9) sangatlah tidak terbatas, hingga menyentuh jutaan, milyaran, bahkan trilyunan (menjadi terbatas jika dianalogikan dengan nominal uang-ekonomi). Kombinasi-kombinasi angka tersebut sangatlah bervariatif, semisal untuk proses hitung dalam rumus matematika atau ilmu eksak lainnya nominal-nominal tersebut bisa saja disusun dengan asal dan tak beraturan, missal tulis saja /1.923.456/ atau /798.883.445/ atau /34.598.126/. variasi-variasi tersebut kemudian tidaklah menjadi sebuah kombinasi atau komposisi angka yang diam, namun kemudian menggiring kita untuk masuk pada pemaknaan nominal. /1.923.456/ kita maknai sebagai bilangan satu juta Sembilan ratus dua puluh tiga ribu empat ratus lima puluh enam. Itu contoh saja. Di luar itu, ternyata kita juga masih diusik oleh pertanyaan tentang bentuk kombinasi digit angka tersebut. Berapa digit kombinasinya? Berapa digit variable dalam kombinasinya? Berapa variasi yang mungkin muncul sebagai korespondensinya? Atau angka berapa yang dominan muncul dalam kombinasinya?.
Saya kecil masih tak habis pikir benar, bagaimana mungkin muncul nominal yang lebih tinggi dari yang pernah diajarkan dalam pelajaran berhitung. Semakin dewasa, semakin terbuka juga pemahaman saya terhadap nominal-nominal tersebut. Bahwa kombinasi dari kesepuluh digit angka tersebut (0-9) sangatlah tidak terbatas, hingga menyentuh jutaan, milyaran, bahkan trilyunan (menjadi terbatas jika dianalogikan dengan nominal uang-ekonomi). Kombinasi-kombinasi angka tersebut sangatlah bervariatif, semisal untuk proses hitung dalam rumus matematika atau ilmu eksak lainnya nominal-nominal tersebut bisa saja disusun dengan asal dan tak beraturan, missal tulis saja /1.923.456/ atau /798.883.445/ atau /34.598.126/. variasi-variasi tersebut kemudian tidaklah menjadi sebuah kombinasi atau komposisi angka yang diam, namun kemudian menggiring kita untuk masuk pada pemaknaan nominal. /1.923.456/ kita maknai sebagai bilangan satu juta Sembilan ratus dua puluh tiga ribu empat ratus lima puluh enam. Itu contoh saja. Di luar itu, ternyata kita juga masih diusik oleh pertanyaan tentang bentuk kombinasi digit angka tersebut. Berapa digit kombinasinya? Berapa digit variable dalam kombinasinya? Berapa variasi yang mungkin muncul sebagai korespondensinya? Atau angka berapa yang dominan muncul dalam kombinasinya?.
Berangkat
dari sanalah, kemudian saya mulai menikmati satu persatu lukisan abstrak karya Agus
Baqul ini yang mengusung satu tajuk besar ‘Numbers in The Sky’. Bukan tanpa
alasan sebenarnya jika dalam tajuk pameran ini kemudian mengusung kata ‘Sky’ atau
‘langit’ sebagai eksponen alam. Sebab dalam lukisan-lukisannya, Agus Baqul tidaklah
semata-mata tengah mengurutkan angka-angka dalam ritus menghitung seperti kita
berhadapan dengan Microsoft Excel dan kemudian mengetik angka 1, 2, 3, dan seterusnya
pada keyboard. Melainkan yang tengah dilakukannya adalah proses mimesis, sebuah
proses peniruan. seperti pernah dikatakan plato bahwa seni sejatinya adalah
peniruan terhadap keindahan alam. Dan proses peniruan ini, dilakukannya dengan
menangkap spectrum-spektrum warna yang sering kita jumpai di langit seperti
bias warna pelangi, senja, fajar/ sunrise, ataupun biru langit/ blue sky. Laiknya
membuat replika dari sebuah pemandanganyang tercipta dari partikel-partikel
cahaya, seperti yang kita tahu, saling beradu di angkasa sehingga membentuk
atom-atom berwarna yang dapat ditangkap oleh mata.
Warna-warna
inilah yang kemudian diterjemahkan oleh Agus Baqul lewat goresan-goresan
kuasnya yang ekspresif bergaya abstrak ekspresionis, sebuah gaya yang
dipopulerkan di amerika sekitar tahun 1940an oleh Jackson Pollock. Dan bahkan,
di tahun itupun Pollock telah juga melakukan proses mimesis terhadap alam lewat
‘Autumn Rhytm’, ‘Enchanted Forrest’, dan ‘Ocean Greyness’. Namun yang
membedakannya ialah jika abstrak ekspresionis Pollock dihasilkan dari teknik
mengucurkan cat secara tak beraturan pada bidang kanvas yang digelar di lantai,
berbeda dengan Agus Baqul yang menggoreskan kuasnya membentuk angka-angka yang
tersusun tak beraturan juga, yang mungkin saja (sebenarnya) membentuk suatu
pola tertentu. Seperti dikatakan Eva McGovern, sang kurator pameran bahwasanya
“karya Agus Baqul adalah kombinasi dari kesempatan dan ketepatan dimana banyak
angka yang tersembunyi dan tersandi dalam pola-pola alamiah, pengulangan,
geometri dan bentuk-bentuk alam”.
Mari menghitung
Diluar
proses peniruan warna yang kemudian direpresentasikan lewat judul-judul deskriptif,
karena hanya lewat judul-judul itulah pemirsa dapat mengenali lanskap-lanskap
yang telah didekonstruksi oleh sang seniman lewat goresan-goresan cat, kontras
warna, penanda, dan angka-angka. Pemirsa kemudian diajak untuk lebih mencermati
angka-angka yang tersusun tak beraturan dalam setiap lukisan Agus Baqul.
Pengamatan ini bisa saja dilepaskan dari deskripsi dalam judul karena yang saya
maksudkan sebelumnya adalah mencermati penempatan dan pemakaian digit angka yang
di sini sangatlah bersifat ekspresif dan intuitif. Sedangkan dekonstruksi alam,
saya tangkap (sebenarnya) hanya dilakukan lewat peniruan warna dominan. Seperti
karya sunrise yang didominasi warna
kuning dan orange menyala seperti halnya warna langit di pagi hari ketika
matahari terbit. Atau blue sky #2 yang
di dominasi warna biru muda seperti langit cerah di siang hari. Juga pada karya
rainbow maupun starry, starry night.
Dari seluruh karya yang terpampang
di ruang pamer tersebut, kesemuanya -pada akhirnya- tetap membebani pikiran
saya tentang bagaimana Agus Baqul menuangkan gagasannya lewat angka-angka
tersebut. Apakah ia menggoreskan kuasnya kemudian mulai mengurutkan 1, 2, 3,
dan seterusnya ataukah secara acak tak beraturan 2, 4, 3, 7, 8 dan seterusnya? Karena
tipe lukisan abstrak ekspresionis semacam ini sangatlah mengandalkan ekspresi
dari si seniman, berbeda dengan lukisan impresionis yang butuh pertimbangan
lebih jauh sebelum si seniman mencelupkan kuasnya ke cat. Bahkan rule
otomatisme sekalipun yang banyak didalihkan para penganut surrealisme tetaplah
menuntut pertimbangan bentuk, seganjil apapun itu. Pertanyaan lain kemudian
muncul juga, tentang berapa digit angka yang tersusun secara eksplisit dalam
setiap lukisan tersebut, apakah menyentuh bilangan jutaan, milyaran, atau
bahkan trilyunan. Sejak awal menuliskan artikel ini, telah berkali saya
singgung tentang ritual matematis yang tengah dilakukan oleh Agus Baqul ini.
Juga pertanyaan tentang angka berapa yang paling banyak muncul dalam setiap
lukisan dan apakah angka tersebut menyimpan sebuah pemaknaan yang diintersepkan
oleh si seniman? Seperti kita tahu bahwa angka 9 punya arti kesempurnaan dalam
pandangan Tionghoa, atau angka 7 yang punya nilai mistis tersendiri bagi
kalangan Muslim, juga angka 6 yang berulang tiga kali dianggap memiliki
korelasi dengan tanda-tanda iblis, atau angka-angka lain yang menyimpan
pemaknaannya sendiri.
Kemunculan
angka-angka di sini, meski bukanlah hasil penghitungan ilmiah yang spesifik,
tentu hadir berdasarkan kesadaran ekspresi sang senimannya sendiri. Angka-angka
di sini tetaplah akan menjadi serangkai informasi yang ambigu bagi setiap
apresian yang memandang langit dalam lukisan Agus ‘Baqul’ Purnomo. Selaiknya
karya abstrak lainnya, lukisan-lukisan semacam ini memiliki ruang
interpretative yang lebih luas dibanding lukisan lain yang ada di lajur realis
karena sangat sedikitnya penanda yang dapat digunakan sebagai petunjuk. Setiap pengunjung -pada akhirnya- berhak
untuk menghitung sendiri, seperti halnya menghitung jumlah anak tangga, setiap
orang bisa saja menemukan hasilnya masing-masing. Mari saling bertanya, berapa
jumlahnya?.
*) dwi s. wibowo, penyair dan penikmat senirupa
tinggal di yogyakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar