Sabtu, 14 April 2012

1, 2, 3, 4, ..., ..., DAN SETERUSNYA ....


1, 2, 3, 4, …, …, DAN SETERUSNYA….
Catatan apresiasi terhadap pameran NUMBERS IN THE SKY(11 april-2 mei 2012) , Agus ‘Baqul’ Purnomo
oleh dwi s. wibowo

Usai melewati pintu masuk ruang pamer Jogja Contemporary-Sangkring Art Space, dimana terpampang karya-karya Agus ‘Baqul’ Purnomo, saya kembali teringat masa taman kanak-kanak saya ketika waktu itu dua guru mengajar berhitung “1, 2, 3, 4, …, 9, 10”. Satu sampai dengan sepuluh. Dalam benak waktu itu, saya membayangkan bahwa di dunia ini hanya ada angka-angka tersebut, dan sepuluh sebagai puncak nominalnya. Namun demikian, di lain hari saya juga mulai mempertanyakan mengapa untuk rentang nilai pada pelajaran menyanyi atau menggambar waktu itu guru saya menyebut bahwa 100 adalah nilai tertinggi.
             Saya kecil masih tak habis pikir benar, bagaimana mungkin muncul nominal yang lebih tinggi dari yang pernah diajarkan dalam pelajaran berhitung. Semakin dewasa, semakin terbuka juga pemahaman saya terhadap nominal-nominal tersebut. Bahwa kombinasi dari kesepuluh digit angka tersebut (0-9) sangatlah tidak terbatas, hingga menyentuh jutaan, milyaran, bahkan trilyunan (menjadi terbatas jika dianalogikan dengan nominal uang-ekonomi). Kombinasi-kombinasi angka tersebut sangatlah bervariatif, semisal untuk proses hitung dalam rumus matematika atau ilmu eksak lainnya nominal-nominal tersebut bisa saja disusun dengan asal dan tak beraturan, missal tulis saja /1.923.456/ atau /798.883.445/ atau /34.598.126/. variasi-variasi tersebut kemudian tidaklah menjadi sebuah kombinasi atau komposisi angka yang diam, namun kemudian menggiring kita untuk masuk pada pemaknaan nominal. /1.923.456/ kita maknai sebagai bilangan satu juta Sembilan ratus dua puluh tiga ribu empat ratus lima puluh enam. Itu contoh saja. Di luar itu, ternyata kita juga masih diusik oleh pertanyaan tentang bentuk kombinasi digit angka tersebut. Berapa digit kombinasinya? Berapa digit variable dalam kombinasinya? Berapa variasi yang mungkin muncul sebagai korespondensinya? Atau angka berapa yang dominan muncul dalam kombinasinya?.
Berangkat dari sanalah, kemudian saya mulai menikmati satu persatu lukisan abstrak karya Agus Baqul ini yang mengusung satu tajuk besar ‘Numbers in The Sky’. Bukan tanpa alasan sebenarnya jika dalam tajuk pameran ini kemudian mengusung kata ‘Sky’ atau ‘langit’ sebagai eksponen alam. Sebab dalam lukisan-lukisannya, Agus Baqul tidaklah semata-mata tengah mengurutkan angka-angka dalam ritus menghitung seperti kita berhadapan dengan Microsoft Excel dan kemudian mengetik angka 1, 2, 3, dan seterusnya pada keyboard. Melainkan yang tengah dilakukannya adalah proses mimesis, sebuah proses peniruan. seperti pernah dikatakan plato bahwa seni sejatinya adalah peniruan terhadap keindahan alam. Dan proses peniruan ini, dilakukannya dengan menangkap spectrum-spektrum warna yang sering kita jumpai di langit seperti bias warna pelangi, senja, fajar/ sunrise, ataupun biru langit/ blue sky. Laiknya membuat replika dari sebuah pemandanganyang tercipta dari partikel-partikel cahaya, seperti yang kita tahu, saling beradu di angkasa sehingga membentuk atom-atom berwarna yang dapat ditangkap oleh mata.
Warna-warna inilah yang kemudian diterjemahkan oleh Agus Baqul lewat goresan-goresan kuasnya yang ekspresif bergaya abstrak ekspresionis, sebuah gaya yang dipopulerkan di amerika sekitar tahun 1940an oleh Jackson Pollock. Dan bahkan, di tahun itupun Pollock telah juga melakukan proses mimesis terhadap alam lewat ‘Autumn Rhytm’, ‘Enchanted Forrest’, dan ‘Ocean Greyness’. Namun yang membedakannya ialah jika abstrak ekspresionis Pollock dihasilkan dari teknik mengucurkan cat secara tak beraturan pada bidang kanvas yang digelar di lantai, berbeda dengan Agus Baqul yang menggoreskan kuasnya membentuk angka-angka yang tersusun tak beraturan juga, yang mungkin saja (sebenarnya) membentuk suatu pola tertentu. Seperti dikatakan Eva McGovern, sang kurator pameran bahwasanya “karya Agus Baqul adalah kombinasi dari kesempatan dan ketepatan dimana banyak angka yang tersembunyi dan tersandi dalam pola-pola alamiah, pengulangan, geometri dan bentuk-bentuk alam”.
Mari menghitung
            Diluar proses peniruan warna yang kemudian direpresentasikan lewat judul-judul deskriptif, karena hanya lewat judul-judul itulah pemirsa dapat mengenali lanskap-lanskap yang telah didekonstruksi oleh sang seniman lewat goresan-goresan cat, kontras warna, penanda, dan angka-angka. Pemirsa kemudian diajak untuk lebih mencermati angka-angka yang tersusun tak beraturan dalam setiap lukisan Agus Baqul. Pengamatan ini bisa saja dilepaskan dari deskripsi dalam judul karena yang saya maksudkan sebelumnya adalah mencermati penempatan dan pemakaian digit angka yang di sini sangatlah bersifat ekspresif dan intuitif. Sedangkan dekonstruksi alam, saya tangkap (sebenarnya) hanya dilakukan lewat peniruan warna dominan. Seperti karya sunrise yang didominasi warna kuning dan orange menyala seperti halnya warna langit di pagi hari ketika matahari terbit. Atau blue sky #2 yang di dominasi warna biru muda seperti langit cerah di siang hari. Juga pada karya rainbow maupun starry, starry night.
            Dari seluruh karya yang terpampang di ruang pamer tersebut, kesemuanya -pada akhirnya- tetap membebani pikiran saya tentang bagaimana Agus Baqul menuangkan gagasannya lewat angka-angka tersebut. Apakah ia menggoreskan kuasnya kemudian mulai mengurutkan 1, 2, 3, dan seterusnya ataukah secara acak tak beraturan 2, 4, 3, 7, 8 dan seterusnya? Karena tipe lukisan abstrak ekspresionis semacam ini sangatlah mengandalkan ekspresi dari si seniman, berbeda dengan lukisan impresionis yang butuh pertimbangan lebih jauh sebelum si seniman mencelupkan kuasnya ke cat. Bahkan rule otomatisme sekalipun yang banyak didalihkan para penganut surrealisme tetaplah menuntut pertimbangan bentuk, seganjil apapun itu. Pertanyaan lain kemudian muncul juga, tentang berapa digit angka yang tersusun secara eksplisit dalam setiap lukisan tersebut, apakah menyentuh bilangan jutaan, milyaran, atau bahkan trilyunan. Sejak awal menuliskan artikel ini, telah berkali saya singgung tentang ritual matematis yang tengah dilakukan oleh Agus Baqul ini. Juga pertanyaan tentang angka berapa yang paling banyak muncul dalam setiap lukisan dan apakah angka tersebut menyimpan sebuah pemaknaan yang diintersepkan oleh si seniman? Seperti kita tahu bahwa angka 9 punya arti kesempurnaan dalam pandangan Tionghoa, atau angka 7 yang punya nilai mistis tersendiri bagi kalangan Muslim, juga angka 6 yang berulang tiga kali dianggap memiliki korelasi dengan tanda-tanda iblis, atau angka-angka lain yang menyimpan pemaknaannya sendiri.
Kemunculan angka-angka di sini, meski bukanlah hasil penghitungan ilmiah yang spesifik, tentu hadir berdasarkan kesadaran ekspresi sang senimannya sendiri. Angka-angka di sini tetaplah akan menjadi serangkai informasi yang ambigu bagi setiap apresian yang memandang langit dalam lukisan Agus ‘Baqul’ Purnomo. Selaiknya karya abstrak lainnya, lukisan-lukisan semacam ini memiliki ruang interpretative yang lebih luas dibanding lukisan lain yang ada di lajur realis karena sangat sedikitnya penanda yang dapat digunakan sebagai petunjuk.  Setiap pengunjung -pada akhirnya- berhak untuk menghitung sendiri, seperti halnya menghitung jumlah anak tangga, setiap orang bisa saja menemukan hasilnya masing-masing. Mari saling bertanya, berapa jumlahnya?. 

*) dwi s. wibowo, penyair dan penikmat senirupa
tinggal di yogyakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar