ELLA, KAU TERGETAR PADA APA YANG
SEBENTAR
Sekedar catatan/kesan terhadap
“Impermanence 36 Hours” karya Ella Wijt
oleh dwi s. wibowo
Kita semua tahu, tak ada daging
dalam televisi. Aih, jangan percaya televisi diciptakan dari darah. Jangan
salahkan lelaki yang rambutnya tidak bisa di sisir. (Afrizal
Malna, Bush dan Rambut yang Tak Bisa Disisir)
Seni
rupa, sebagaimana (potongan) puisi di atas adalah suara-suara zaman yang ingin
didengar. Saya berikan ilustrasi berupa potongan puisi Afrizal malna di atas “Bush
dan Rambut yang Tak Bisa Disisir”. Afrizal menanggapi issue pertentangan antara
Bush (Amerika)
dengan Ossama bin ladin, teroris yang sempat menjadi orang
paling dicari di dunia yang kemudian ia simbolkan dengan rambut yang tak bisa
disisir, mungkin dengan alasan rambut dan jenggot ossama yang keriting. Sepertihalnya
pernah ditulis Sutan Takdir Alisyahbana, bahwa seni bukanlah kesenangan yang
sebentar dan hanya merangsang indera. Begitupun pendapat Adorno yang
mengungkapkan bahwa ekspresi seni adalah antithesis terhadap usaha
mengekspresikan sesuatu. Saya melihat Afrizal berada pada posisi berkebalikan
dengan para penyair lainnya yang memilih jalan menulis puisi-puisi liris
tentang cinta atau sakit hati yang sentimental. Kecenderungan Afrizal memilih
jalur ini, saya tangkap juga pada karya Ella Wijt, perupa muda yang (masih)
menempuh study di Nanyang Academy of Fine Arts Singapore dalam karyanya yang
bertajuk “Impermanence 36 Hours” dalam pameran yang digelar di Sangkring Art
Project pada 24-25 februari 2012 dengan judul besar “From Here… to Where?”
bersama kawan-kawan kuliahnya di Singapore sana. Ella memasang sellotip hitam
ke dinding dan lantai yang kemudian saling bertautan dan saling sengkarut tanpa
bentuk alur yang jelas yang juga melilit sebuah bangku kayu kecil di pojok
ruangan tersebut. Bahkan dari sisi manapun karya ini mulai dibuat, tidak
terlihat pangkal sellotip yang ia gunakan. Begitupun ujungnya. Pola tidak
beraturan inilah, yang sewaktu saya lihat pertama kali langsung menarik saya
pada pengalaman membaca puisi-puisi Afrizal Malna. Ketidakteraturan kalimat,
pengacauan sintaksis, elaborasi-elaborasi antar kaliat yang tak terkonjungsi,
namun tetap memberi nuansa puitis dan estetis. Yang kemudian menyudut pada
judul “Bush dan Rambut yang Tak Bisa Disisir”.
Dalam
karya Ella, (secara bentuk) saya tidak menangkap pemaknaan yang mendalam dari
pola-pola garis yang coba dibangun dengan bentangan-bentangan sellotip yang
entah berapa roll ia habiskan untuk karyanya tersebut. Selain kemiripan pola
yang mungkin dapat disamakan dengan struktur puisi-puisi Afrizal Malna. Namun
demikian, pada akhirnya saya menarik karya konseptual semacam ini pada
pengertian asalnya, bahwa (sebenarnya) dalam seni konseptual ide atau gagasan
adalah yang utama diperhatikan daripada material pembuatan karya tersebut. Sehingga,
mau tidak mau, saya menduga kalau Ella tidak sedang membuat karya abstrak yang
masih menonjolkan estetika tradisional yaitu misalnya yang terbangun dari
pertautan garis, atau warna, atau tekstur dalam karyanya. Melainkan ia tengah
menyampaikan gagasan lewat karya, yang bagi saya, kesannya sangat tidak
beraturan dan (mungkin) tidak memenuhi unsur-unsur estetika. Jika itu dikaitkan
dengan standar estetika konvensional dalam seni rupa, missal proporsi bentuk.
Karya-karya konseptual macam ini, yang kerap kali disebut sebagai seni
instalasi, memang (kerap) menyajikan kesederhanaan bentuk, meski ada banyak
karya lain yang justru menampakkan kecenderungan sebaliknya. Kerumitan teknik
pembangunan karya. Namun memang, karya-karya konseptual atau instalasi ini
banyak menggunakan media sederhana atau malahan justru recycle dari barang-barang bekas. Lihat karya Joseph Kossuth “Satu dan
Tiga Kursi” misalnya, yang saya temukan di Wikipedia yang hanya memanfaatkan
satu buah kursi, satu gambar kursi, dan teks. Atau karya Marchel Duchamp “Fountain”
yang berupa baskom urinoir dengan tanda tangannya. Di Indonesia sendiri, ada
banyak perupa yang menggarap seni konseptual semacam ini, salah satu contohnya Jompet
Kuswidananto. Ella sendiri, diantara kawan-kawannya yang juga turut dalam
pameran tersebut, menyajikan karya yang sederhana secara material, namun rumit
dalam teknik penyusunannya terutama jika kita melihat karya lainnya, missal
dari bangku-bangku panjang yang disusun memanfaatkan keseimbangan,
kertas-kertas terbakar yang ditempelkan begitu saja di dinding, atau sebuah
becak fantasy dari rangkaian sepeda bekas yang berkarat.
Kembali
pada pendapat Adorno yang sempat saya kutip di atas, bahwa ekspresi seni adalah
antithesis dari sebuah upaya mengekspresikan sesuatu, pada akhirnya menarik
saya untuk melakukan sebuah pemaknaan secara independen yang (mungkin) sangat
mengedepankan subjektivitas sebagai pemirsa. Yang pertama kali menarik
perhatian saya ketika memasuki ruang pameran ialah bentuk karya Ella Wijt, yang
memang paling menonjol. Cukup lama saya melihat karya ini, sebelum akhirnya menyediakan
diri untuk mengetahui judulnya “Impermanence 36 Hours”. Seandainya saya tidak
cukup lama memandang karya ini, mungkin saya tidak akan begitu jauh terkejut
ketika membaca judul karya ini. Seperti yang saya paparkan di atas, saya justru
(seolah) tertarik masuk dalam sebuah lorong dimensi yang mengantar saya pada
kerumitan kalimat dalam puisi-puisi Afrizal Malna. Yang namun kemudian memutus
harapan saya untuk melakukan pemaknaan terhadap bentuk tak beraturan karya ini.
Meskipun karya-karya konseptual macam ini awalnya muncul sebagai gerakan
perlawanan terhadap karya-karya formalism yang memuja bentuk dan tampilan
karya, dengan menyingkirkan pemaknaan terhadap karya sejauh mungkin. Barulah,
ketika saya membaca judul di samping karya tersebut yang menuntun saya pada
sebuah pemaknaan, atau mungkin membaca konsep, yang ditawarkan oleh Ella lewat
“Impermanence 36 Hours”.
Kesementaraan
36 Jam, kira-kira begitu saya menerjemahkan judul tersebut. Konsep
kesementaraan yang disodorkan Ella mungkin terkait dengan sifat adhesive dari
material yang ia gunakan, sellotip yang hanya bisa menempel sementara waktu,
mungkin 36 jam seperti yang ia sebutkan, mungkin lebih dari itu, atau bisa jadi
justru kurang dari satu setegah hari itu. Seni, jika dalam hal ini kembali saya
ulang kutipan di atas, bahwa seni bukanlah kesenangan yang sebentar dan hanya
merangsang indera, melainkan sesuatu yang harus memberi isi yang memperkuat kita.
Jadi kesementaraan itu tidak semata mengasosiasikan sifat material yang
digunakan, namun lebih dari sekedar itu, karya ini coba menawarkan sebuah
renungan mendalam (mungkin tentang kehidupan) yang secara sadar dibangun oleh Ella
dalam konsep dan pemilihan material tersebut. Bukankah John Dewey pernah
berkata bahwa bakat seniman yang besar adalah pertaliannya dengan semua bentuk
kehidupan yang diciptakannya. Maka sayapun meyakini bahwa demikianlah yang
tengah dilakukan Ella. Dalam dunia seni kontemporer sendiri, termasuk di
dalamnya seni konseptual, kesementaraan jadi point penting yang perlu
diperhatikan. Namun kemudian menjadi multi tafsir juga jika dihubungkan dengan
berbagai unsur-unsur terkait seni rupa. Bisa jadi berkait dengan kesementaraan
dalam issue yang diangkat, kesementaraan pada material yang digunakan, atau
kesementaraan sebagai gagasan atau pesan yang disampaikan. Bisa juga ramuan
dari ketiganya. Kesementaraan inilah juga yang mungkin membedakan karya-karya
konseptual dengan karya seni lainnya, lukisan atau patung misalnya. Lihat
misalnya lukisan Rembrandt, Da Vinci, atau patung Michelangelo yang dari masa
pembuatannya hingga sekarang masih terawat. Sedangkan karya Ella ini, proses
pembangunannya yang juga (mungkin) tidak menghabiskan waktu 1 hari akan berapa
lama dapat bertahan dengan bentuk yang semula diciptakan. Sifat adhesive dan
elastis dari material juga yang membuat saya ragu karya ini akan abadi secara
bentuk, kecuali dalam gagasan dan konsep. Pada akhirnya, kesimpulan ini kembali
menarik saya pada sebuah lorong dimensi, namun kali ini tidak berujung di
puisi-puisi gelap Afrizal Malna, melainkan puisi yang lebih jernih. Saya
kutipkan potongan dari dua puisi sekaligus
Apa yang berharga pada tanah liat
ini selain ilusi? Sesuatu yang kelak retak dan kita membikinnya abadi (Goenawan
Mohammad, Kwatrin tentang Sebuah Poci)
Frida, kau adalah ketakjuban kepada
harum brendi, senyum di percakapan dan ranum pisang dalam sajian makan malam.
Kau tergetar pada apa yang sebentar. (Goenawan Mohammad, Untuk
Frida Kahlo)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar