Kamis, 29 Maret 2012

ELLA, KAU TERGETAR PADA APA YANG SEBENTAR


ELLA, KAU TERGETAR PADA APA YANG SEBENTAR
Sekedar catatan/kesan terhadap “Impermanence 36 Hours” karya Ella Wijt
oleh dwi s. wibowo
 
Kita semua tahu, tak ada daging dalam televisi. Aih, jangan percaya televisi diciptakan dari darah. Jangan salahkan lelaki yang rambutnya tidak bisa di sisir. (Afrizal Malna, Bush dan Rambut yang Tak Bisa Disisir)

         Seni rupa, sebagaimana (potongan) puisi di atas adalah suara-suara zaman yang ingin didengar. Saya berikan ilustrasi berupa potongan puisi Afrizal malna di atas “Bush dan Rambut yang Tak Bisa Disisir”. Afrizal menanggapi issue pertentangan antara Bush (Amerika)
dengan Ossama bin ladin, teroris yang sempat menjadi orang paling dicari di dunia yang kemudian ia simbolkan dengan rambut yang tak bisa disisir, mungkin dengan alasan rambut dan jenggot ossama yang keriting. Sepertihalnya pernah ditulis Sutan Takdir Alisyahbana, bahwa seni bukanlah kesenangan yang sebentar dan hanya merangsang indera. Begitupun pendapat Adorno yang mengungkapkan bahwa ekspresi seni adalah antithesis terhadap usaha mengekspresikan sesuatu. Saya melihat Afrizal berada pada posisi berkebalikan dengan para penyair lainnya yang memilih jalan menulis puisi-puisi liris tentang cinta atau sakit hati yang sentimental. Kecenderungan Afrizal memilih jalur ini, saya tangkap juga pada karya Ella Wijt, perupa muda yang (masih) menempuh study di Nanyang Academy of Fine Arts Singapore dalam karyanya yang bertajuk “Impermanence 36 Hours” dalam pameran yang digelar di Sangkring Art Project pada 24-25 februari 2012 dengan judul besar “From Here… to Where?” bersama kawan-kawan kuliahnya di Singapore sana. Ella memasang sellotip hitam ke dinding dan lantai yang kemudian saling bertautan dan saling sengkarut tanpa bentuk alur yang jelas yang juga melilit sebuah bangku kayu kecil di pojok ruangan tersebut. Bahkan dari sisi manapun karya ini mulai dibuat, tidak terlihat pangkal sellotip yang ia gunakan. Begitupun ujungnya. Pola tidak beraturan inilah, yang sewaktu saya lihat pertama kali langsung menarik saya pada pengalaman membaca puisi-puisi Afrizal Malna. Ketidakteraturan kalimat, pengacauan sintaksis, elaborasi-elaborasi antar kaliat yang tak terkonjungsi, namun tetap memberi nuansa puitis dan estetis. Yang kemudian menyudut pada judul “Bush dan Rambut yang Tak Bisa Disisir”.
          Dalam karya Ella, (secara bentuk) saya tidak menangkap pemaknaan yang mendalam dari pola-pola garis yang coba dibangun dengan bentangan-bentangan sellotip yang entah berapa roll ia habiskan untuk karyanya tersebut. Selain kemiripan pola yang mungkin dapat disamakan dengan struktur puisi-puisi Afrizal Malna. Namun demikian, pada akhirnya saya menarik karya konseptual semacam ini pada pengertian asalnya, bahwa (sebenarnya) dalam seni konseptual ide atau gagasan adalah yang utama diperhatikan daripada material pembuatan karya tersebut. Sehingga, mau tidak mau, saya menduga kalau Ella tidak sedang membuat karya abstrak yang masih menonjolkan estetika tradisional yaitu misalnya yang terbangun dari pertautan garis, atau warna, atau tekstur dalam karyanya. Melainkan ia tengah menyampaikan gagasan lewat karya, yang bagi saya, kesannya sangat tidak beraturan dan (mungkin) tidak memenuhi unsur-unsur estetika. Jika itu dikaitkan dengan standar estetika konvensional dalam seni rupa, missal proporsi bentuk. Karya-karya konseptual macam ini, yang kerap kali disebut sebagai seni instalasi, memang (kerap) menyajikan kesederhanaan bentuk, meski ada banyak karya lain yang justru menampakkan kecenderungan sebaliknya. Kerumitan teknik pembangunan karya. Namun memang, karya-karya konseptual atau instalasi ini banyak menggunakan media sederhana atau malahan justru recycle dari barang-barang bekas. Lihat karya Joseph Kossuth “Satu dan Tiga Kursi” misalnya, yang saya temukan di Wikipedia yang hanya memanfaatkan satu buah kursi, satu gambar kursi, dan teks. Atau karya Marchel Duchamp “Fountain” yang berupa baskom urinoir dengan tanda tangannya. Di Indonesia sendiri, ada banyak perupa yang menggarap seni konseptual semacam ini, salah satu contohnya Jompet Kuswidananto. Ella sendiri, diantara kawan-kawannya yang juga turut dalam pameran tersebut, menyajikan karya yang sederhana secara material, namun rumit dalam teknik penyusunannya terutama jika kita melihat karya lainnya, missal dari bangku-bangku panjang yang disusun memanfaatkan keseimbangan, kertas-kertas terbakar yang ditempelkan begitu saja di dinding, atau sebuah becak fantasy dari rangkaian sepeda bekas yang berkarat.
          Kembali pada pendapat Adorno yang sempat saya kutip di atas, bahwa ekspresi seni adalah antithesis dari sebuah upaya mengekspresikan sesuatu, pada akhirnya menarik saya untuk melakukan sebuah pemaknaan secara independen yang (mungkin) sangat mengedepankan subjektivitas sebagai pemirsa. Yang pertama kali menarik perhatian saya ketika memasuki ruang pameran ialah bentuk karya Ella Wijt, yang memang paling menonjol. Cukup lama saya melihat karya ini, sebelum akhirnya menyediakan diri untuk mengetahui judulnya “Impermanence 36 Hours”. Seandainya saya tidak cukup lama memandang karya ini, mungkin saya tidak akan begitu jauh terkejut ketika membaca judul karya ini. Seperti yang saya paparkan di atas, saya justru (seolah) tertarik masuk dalam sebuah lorong dimensi yang mengantar saya pada kerumitan kalimat dalam puisi-puisi Afrizal Malna. Yang namun kemudian memutus harapan saya untuk melakukan pemaknaan terhadap bentuk tak beraturan karya ini. Meskipun karya-karya konseptual macam ini awalnya muncul sebagai gerakan perlawanan terhadap karya-karya formalism yang memuja bentuk dan tampilan karya, dengan menyingkirkan pemaknaan terhadap karya sejauh mungkin. Barulah, ketika saya membaca judul di samping karya tersebut yang menuntun saya pada sebuah pemaknaan, atau mungkin membaca konsep, yang ditawarkan oleh Ella lewat “Impermanence 36 Hours”.
         Kesementaraan 36 Jam, kira-kira begitu saya menerjemahkan judul tersebut. Konsep kesementaraan yang disodorkan Ella mungkin terkait dengan sifat adhesive dari material yang ia gunakan, sellotip yang hanya bisa menempel sementara waktu, mungkin 36 jam seperti yang ia sebutkan, mungkin lebih dari itu, atau bisa jadi justru kurang dari satu setegah hari itu. Seni, jika dalam hal ini kembali saya ulang kutipan di atas, bahwa seni bukanlah kesenangan yang sebentar dan hanya merangsang indera, melainkan sesuatu yang harus memberi isi yang memperkuat kita. Jadi kesementaraan itu tidak semata mengasosiasikan sifat material yang digunakan, namun lebih dari sekedar itu, karya ini coba menawarkan sebuah renungan mendalam (mungkin tentang kehidupan) yang secara sadar dibangun oleh Ella dalam konsep dan pemilihan material tersebut. Bukankah John Dewey pernah berkata bahwa bakat seniman yang besar adalah pertaliannya dengan semua bentuk kehidupan yang diciptakannya. Maka sayapun meyakini bahwa demikianlah yang tengah dilakukan Ella. Dalam dunia seni kontemporer sendiri, termasuk di dalamnya seni konseptual, kesementaraan jadi point penting yang perlu diperhatikan. Namun kemudian menjadi multi tafsir juga jika dihubungkan dengan berbagai unsur-unsur terkait seni rupa. Bisa jadi berkait dengan kesementaraan dalam issue yang diangkat, kesementaraan pada material yang digunakan, atau kesementaraan sebagai gagasan atau pesan yang disampaikan. Bisa juga ramuan dari ketiganya. Kesementaraan inilah juga yang mungkin membedakan karya-karya konseptual dengan karya seni lainnya, lukisan atau patung misalnya. Lihat misalnya lukisan Rembrandt, Da Vinci, atau patung Michelangelo yang dari masa pembuatannya hingga sekarang masih terawat. Sedangkan karya Ella ini, proses pembangunannya yang juga (mungkin) tidak menghabiskan waktu 1 hari akan berapa lama dapat bertahan dengan bentuk yang semula diciptakan. Sifat adhesive dan elastis dari material juga yang membuat saya ragu karya ini akan abadi secara bentuk, kecuali dalam gagasan dan konsep. Pada akhirnya, kesimpulan ini kembali menarik saya pada sebuah lorong dimensi, namun kali ini tidak berujung di puisi-puisi gelap Afrizal Malna, melainkan puisi yang lebih jernih. Saya kutipkan potongan dari dua puisi sekaligus

Apa yang berharga pada tanah liat ini selain ilusi? Sesuatu yang kelak retak dan kita membikinnya abadi (Goenawan Mohammad, Kwatrin tentang Sebuah Poci)

Frida, kau adalah ketakjuban kepada harum brendi, senyum di percakapan dan ranum pisang dalam sajian makan malam. Kau tergetar pada apa yang sebentar. (Goenawan Mohammad, Untuk Frida Kahlo)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar