catatan sepulang bertemu pahlevi
oleh dwi s. wibowo
Puluhan
sketsa yang tercetak pada selembar kanvas itu bukanlah wajah-wajah korban
pembunuhan ataupun korban bencana alam yang dipotret oleh syahrizal pahlevi,
melainkan wajah-wajah sahabatnya yang ia kenal saat menjalani residensi di
Vermont studio center sejak februari
hingga april 2011 lalu. Vermont sendiri merupakan sebuah kota kecil di bagian
utara amerika, sekitar 7 jam perjalanan darat dari kota new york. Secara historis, sejak didirikan tahun 1984
oleh pasangan seniman Jonathan Gregg dan Louise Von Weise, Vermont studio
center konsisten memberi fasilitas bagi seniman-seniman dari berbagai belahan
dunia untuk merasakan atmosfer berkarya kota Vermont. Dan Levi, begitu seniman
grafis kelahiran Palembang tahun 1965 ini kerap disapa, menjadi salah satu
seniman yang beruntung mendapat kesempatan residensi di sana secara cuma-cuma.
Dengan
teknik cukil kayu atau yang lebih dikenal dengan istilah woodcut, Levi mencoba merekam wajah-wajah sahabatnya itu dalam
selembar kanvas panjang yang ia bentangkan pada dinding ruang pamer Sangkring
Art Project dari 9-22 mei 2012. Pamerannya ini ia beri tajuk JURNALISME VISUAL
: PESAN DARI VERMONT : ARCHIVE PROJECT. bukan tanpa alasan Levi memberi tajuk
tersebut, sudah sejak lama dunia jurnalistik begitu membuatnya terkagum-kagum
hingga ia kini terinspirasi untuk membuat sebuah karya jurnalistik, namun bukan
dalam bentuk laporan berita seperti yang setiap hari kita baca di koran atau
majalah karena ia bukanlah seorang wartawan. Melainkan dalam bentuk karya
grafis semacam ini untuk kemudian dipamerkan, karena ia adalah seorang seniman
grafis yang sudah punya cukup banyak jam terbang.
Karya
Levi ini menjadi menarik, mengingat selama ini sudah kerap kita jumpai pameran-pameran
foto jurnalistik oleh para wartawan yang sudah biasa berburu berita sambil
jeprat-jepret di lapangan. Yang membuatnya menarik tidak semata-mata karena
penggunaan media yang berbeda dengan media fotografi, jika ditelaah lebih dalam
faktualitas dalam karya fotografi jelas lebih nampak jika dibandingkan dengan
faktualitas yang coba dimunculkan dalam karya grafis semacam ini. Dalam
fotografi, objek yang nampak dalam foto adalah objek nyata yang bayangannya
ditangkap oleh lensa kamera. Sedangkan dalam karya grafis ini, objek yang anda
sekalian lihat adalah objek nyata tetapi telah direduksi dalam diri senimannya.
Archive : Jurnalism
Anda
mungkin pernah membaca sebuah esai yang dtulis oleh Seno Gumira Ajidarma yang
bertajuk “ketika jurnalisme dibungkam, sastra harus bicara”, dimana waktu itu
kondisi sosial politik Indonesia yang penuh tekanan memaksa Seno Gumira
Ajidarma menuliskan fakta-fakta yang ia peroleh dari liputannya di Timor timur
tidak dalam bentuk berita, tetapi dalam bentuk prosa sehingga dapat terhindar
dari ancaman pembredelan ataupun pelarangan terbit oleh rezim orde baru yang
berkuasa. Situasinya mungkin berbeda dengan yang dialami oleh Levi, di era
sekarang ia tidak sedang mengalami tekanan dari pihak penguasa sehingga ia
harus melarikan kegelisahan sosialnya ke dalam medium seni. Tetapi seni grafis
telah menjadi bagian dari kesehariannya, sehingga proses pembuatan
karya-karyanya ini merupakan bagian dari pekerjaannya sehari-hari. Kembali pada
dua sosok ini, yang kemudian menjadikan karyanya menarik adalah bagaimana mereka
mengolah fakta dalam karya agar tidak terjebak menjadi sesuatu yang terkesan
profan. Dalam prosa Seno, atau karya grafis Levi ini, fakta yang diperoleh dari
lapangan kemudian diolah dengan segenap subjektifitas sehingga yang lebih
nampak sebenarnya adalah resepsi dari si seniman tersebut (baca :seno dan levi)
di samping faktualitas Issue yang
termuat di dalamnya. Agak sedikit menyimpang sebenarnya dari asas jurnalistik
yang mengedepankan objektifitas terhadap fakta yang ada. Apalagi bila nantinya
dihadapkan kepada publik, pertarungannya akan terjadi antara yang faktual dan
yang fiktif- ekspresif..
Jika
benar apa yang diupayakan Levi dalam pamerannya ini dapat dinilai sebagai
sebuah tindakan jurnalistik, mungkin perlu kembali kita telusuri bagaimana
proses penciptaan karyanya ini. Dalam artist talk yang digelar sehari setelah
pembukaan pameran, ia menceritakan seluruh proses kreatifnya terkait persiapan
proyek pameran kali ini, tak terkecuali riwayat karya-karya yang ia pamerkan.
Satu karya tadi adalah karya yang dibuatnya selama berada di studio
residensinya di Vermont, satu karya lainnya ia buat setelah kembali ke
Indonesia dengan memanfaatkan sekitar 60 plat cukilan yang selama ini
disimpannya sebagai arsip yang kemudian ia ramu dalam komposisi baru. Itulah
kenapa Levi juga mencantumkan kata archive
dalam tajuk pamerannya ini. Karena baginya kerja jurnalisme, bagaimanapun
bentuknya tetap tak dapat di dipisahkan dengan upaya dokumentasi atau
pengarsipan (archive). Kerja jurnalisme
diakui atau tidak, tidak berhenti pada tindak pewartaan fakta terhadap publik
secara aktual saja, tetapi sesudahnya, kerja ini akan dilanjutkan dengan
aktivitas menyimpan (baca : archive)
sehingga fakta yang pernah tercatat tidak kemudian hilang dan dilupakan begitu
saja. Atau mungkin muncul pandangan berbeda dari pihak yang berada di posisi
lain yang dapat dijadikan sumber pertimbangan dalam merumuskan kinerja Levi
ini.
Kembali
pada karya-karyanya, bisa ditangkap sebuah alur yang kemudian mengarahkan pandangan
kita terhadap kinerja semacam ini menuju sebuah kerja jurnalistik personal,
atau saya istilahkan sebagai self
journalism dimana fakta-fakta yang ditangkap olehnya sebenarnya adalah
fakta-fakta yang punya nilai pragmatis tinggi bagi dirinya sendiri. Atau dengan
kata lain, sebenarnya fakta itu hanya penting bagi diri seniman. Sehingga
disana muncul subjektifitas yang begitu dominan terhadap objek-objek yang
ditemuinya di lapangan, terutama dalam menakar kadar prioritas. Namun kembali
lagi pada prinsip ekspresi dan kreasi yang pernah dilontarkan Susane K Longer,
bahwa di dalam seni, yang estetis adalah ekspresi sang seniman yang dibalut
kreatifitas. di sini seniman pada posisinya tetaplah tampil sebagai sosok yang
penuh otoritas. Maka tak keliru jika yang faktual dan pragmatis bagi Pahlevi sekalipun
kemudian bisa menjadi estetis untuk kita yang menikmati karya-karyanya, dalam
bingkai sebuah hubungan antara kreator dan apresian. Tak berlebihan bila kita
memberi penghargaan pada kerja keras levi, seperti halnya kita kadang terkagum
dengan kerja citizen journalism dalam
menampilkan fakta yang kerap luput dari mata para jurnalis profesional. Bagaimanapun,
wajah-wajah itu berhutang padanya untuk sampai kemari, di hadapan kita semua.
Mari kita rayakan!.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar