Sabtu, 19 Mei 2012

MEREKAM WAJAH-WAJAH: JURNALISME VISUAL SYAHRIZAL PAHLEVI

MEREKAM WAJAH-WAJAH: JURNALISME VISUAL SYAHRIZAL PAHLEVI
catatan sepulang bertemu pahlevi
oleh dwi s. wibowo 



Puluhan sketsa yang tercetak pada selembar kanvas itu bukanlah wajah-wajah korban pembunuhan ataupun korban bencana alam yang dipotret oleh syahrizal pahlevi, melainkan wajah-wajah sahabatnya yang ia kenal saat menjalani residensi di Vermont studio center sejak  februari hingga april 2011 lalu. Vermont sendiri merupakan sebuah kota kecil di bagian utara amerika, sekitar 7 jam perjalanan darat dari kota new york.  Secara historis, sejak didirikan tahun 1984 oleh pasangan seniman Jonathan Gregg dan Louise Von Weise, Vermont studio center konsisten memberi fasilitas bagi seniman-seniman dari berbagai belahan dunia untuk merasakan atmosfer berkarya kota Vermont. Dan Levi, begitu seniman grafis kelahiran Palembang tahun 1965 ini kerap disapa, menjadi salah satu seniman yang beruntung mendapat kesempatan residensi di sana secara cuma-cuma.

Dengan teknik cukil kayu atau yang lebih dikenal dengan istilah woodcut, Levi mencoba merekam wajah-wajah sahabatnya itu dalam selembar kanvas panjang yang ia bentangkan pada dinding ruang pamer Sangkring Art Project dari 9-22 mei 2012. Pamerannya ini ia beri tajuk JURNALISME VISUAL : PESAN DARI VERMONT : ARCHIVE PROJECT. bukan tanpa alasan Levi memberi tajuk tersebut, sudah sejak lama dunia jurnalistik begitu membuatnya terkagum-kagum hingga ia kini terinspirasi untuk membuat sebuah karya jurnalistik, namun bukan dalam bentuk laporan berita seperti yang setiap hari kita baca di koran atau majalah karena ia bukanlah seorang wartawan. Melainkan dalam bentuk karya grafis semacam ini untuk kemudian dipamerkan, karena ia adalah seorang seniman grafis yang sudah punya cukup banyak jam terbang.
Karya Levi ini menjadi menarik, mengingat selama ini sudah kerap kita jumpai pameran-pameran foto jurnalistik oleh para wartawan yang sudah biasa berburu berita sambil jeprat-jepret di lapangan. Yang membuatnya menarik tidak semata-mata karena penggunaan media yang berbeda dengan media fotografi, jika ditelaah lebih dalam faktualitas dalam karya fotografi jelas lebih nampak jika dibandingkan dengan faktualitas yang coba dimunculkan dalam karya grafis semacam ini. Dalam fotografi, objek yang nampak dalam foto adalah objek nyata yang bayangannya ditangkap oleh lensa kamera. Sedangkan dalam karya grafis ini, objek yang anda sekalian lihat adalah objek nyata tetapi telah direduksi dalam diri senimannya.
Archive : Jurnalism
Anda mungkin pernah membaca sebuah esai yang dtulis oleh Seno Gumira Ajidarma yang bertajuk “ketika jurnalisme dibungkam, sastra harus bicara”, dimana waktu itu kondisi sosial politik Indonesia yang penuh tekanan memaksa Seno Gumira Ajidarma menuliskan fakta-fakta yang ia peroleh dari liputannya di Timor timur tidak dalam bentuk berita, tetapi dalam bentuk prosa sehingga dapat terhindar dari ancaman pembredelan ataupun pelarangan terbit oleh rezim orde baru yang berkuasa. Situasinya mungkin berbeda dengan yang dialami oleh Levi, di era sekarang ia tidak sedang mengalami tekanan dari pihak penguasa sehingga ia harus melarikan kegelisahan sosialnya ke dalam medium seni. Tetapi seni grafis telah menjadi bagian dari kesehariannya, sehingga proses pembuatan karya-karyanya ini merupakan bagian dari pekerjaannya sehari-hari. Kembali pada dua sosok ini, yang kemudian menjadikan karyanya menarik adalah bagaimana mereka mengolah fakta dalam karya agar tidak terjebak menjadi sesuatu yang terkesan profan. Dalam prosa Seno, atau karya grafis Levi ini, fakta yang diperoleh dari lapangan kemudian diolah dengan segenap subjektifitas sehingga yang lebih nampak sebenarnya adalah resepsi dari si seniman tersebut (baca :seno dan levi) di samping faktualitas Issue yang termuat di dalamnya. Agak sedikit menyimpang sebenarnya dari asas jurnalistik yang mengedepankan objektifitas terhadap fakta yang ada. Apalagi bila nantinya dihadapkan kepada publik, pertarungannya akan terjadi antara yang faktual dan yang fiktif- ekspresif..
Jika benar apa yang diupayakan Levi dalam pamerannya ini dapat dinilai sebagai sebuah tindakan jurnalistik, mungkin perlu kembali kita telusuri bagaimana proses penciptaan karyanya ini. Dalam artist talk yang digelar sehari setelah pembukaan pameran, ia menceritakan seluruh proses kreatifnya terkait persiapan proyek pameran kali ini, tak terkecuali riwayat karya-karya yang ia pamerkan. Satu karya tadi adalah karya yang dibuatnya selama berada di studio residensinya di Vermont, satu karya lainnya ia buat setelah kembali ke Indonesia dengan memanfaatkan sekitar 60 plat cukilan yang selama ini disimpannya sebagai arsip yang kemudian ia ramu dalam komposisi baru. Itulah kenapa Levi juga mencantumkan kata archive dalam tajuk pamerannya ini. Karena baginya kerja jurnalisme, bagaimanapun bentuknya tetap tak dapat di dipisahkan dengan upaya dokumentasi atau pengarsipan (archive). Kerja jurnalisme diakui atau tidak, tidak berhenti pada tindak pewartaan fakta terhadap publik secara aktual saja, tetapi sesudahnya, kerja ini akan dilanjutkan dengan aktivitas menyimpan (baca : archive) sehingga fakta yang pernah tercatat tidak kemudian hilang dan dilupakan begitu saja. Atau mungkin muncul pandangan berbeda dari pihak yang berada di posisi lain yang dapat dijadikan sumber pertimbangan dalam merumuskan kinerja Levi ini.
Kembali pada karya-karyanya, bisa ditangkap sebuah alur yang kemudian mengarahkan pandangan kita terhadap kinerja semacam ini menuju sebuah kerja jurnalistik personal, atau saya istilahkan sebagai self journalism dimana fakta-fakta yang ditangkap olehnya sebenarnya adalah fakta-fakta yang punya nilai pragmatis tinggi bagi dirinya sendiri. Atau dengan kata lain, sebenarnya fakta itu hanya penting bagi diri seniman. Sehingga disana muncul subjektifitas yang begitu dominan terhadap objek-objek yang ditemuinya di lapangan, terutama dalam menakar kadar prioritas. Namun kembali lagi pada prinsip ekspresi dan kreasi yang pernah dilontarkan Susane K Longer, bahwa di dalam seni, yang estetis adalah ekspresi sang seniman yang dibalut kreatifitas. di sini seniman pada posisinya tetaplah tampil sebagai sosok yang penuh otoritas. Maka tak keliru jika yang faktual dan pragmatis bagi Pahlevi sekalipun kemudian bisa menjadi estetis untuk kita yang menikmati karya-karyanya, dalam bingkai sebuah hubungan antara kreator dan apresian. Tak berlebihan bila kita memberi penghargaan pada kerja keras levi, seperti halnya kita kadang terkagum dengan kerja citizen journalism dalam menampilkan fakta yang kerap luput dari mata para jurnalis profesional. Bagaimanapun, wajah-wajah itu berhutang padanya untuk sampai kemari, di hadapan kita semua. Mari kita rayakan!.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar