Kamis, 31 Mei 2012

RUMAH IMPIAN DAN KENANGAN


RUMAH IMPIAN DAN KENANGAN
catatan pada sebuah karya willis turner henry, rumah dan lampion
oleh dwi s. wibowo
 
                                                           
Another summer day, Has come and gone away
In Paris and Rome, But I wanna go home (Michael buble, home)

Sejauh apapun burung bulbul itu terbang untuk mencari makan dan berpetualang, ketika langit mulai gelap ia akan tetap kembali ke sarangnya sendiri. Sarang yang telah dengan susah payah ia bangun dari ranting-ranting dan seresah yang ia kumpulkan sendiri. Peristiwa ini kemudian mengingatkan saya pada peristiwa lainnya yang tak kalah puitis, pernah ada seorang kawan yang bercerita tentang sebuah kejadian di tahun 1943 dalam sebuah perjalanan, seorang penyair sambil menghisap rokok dalam-dalam membacakan sebait puisinya berulang-ulang di trotoar //kemah kudirikan ketika senjakala, di pagi terbang entah kemana, rumahku dari unggun timbun sajak, di sini aku berbini dan beranak//. Penyair itu bernama Chairil, Chairil Anwar, mungkin kebanyakan orang lebih mengenalnya sebagai si binatang jalang dari kumpulannya terbuang. Ya, Chairil memang si binatang jalang dari kumpulannya terbuang karena ia, meski kita turut sejauh apapun silsilahnya tetap tak akan kita temukan sebuah hubungan yang positif yang berkait dengan sikap hidupnya. Chairil tidak lahir dari satu kebudayaan manapun, melainkan dari sebuah hibriditas, dari percampuran macam-macam budaya. Ia lahir di medan tahun 1922, dari ibunya yang kerabat dekat Sutan Syahrir masih mengalir darah minang yang begitu kental. Namun setelah orang tuanya bercerai, ia menggelandang saja di Jakarta. Jadi seandainya mau diturut, budaya mana yang dominan membentuk sikapnya?


Mungkin sajak ‘Rumahku’ milik Chairil yang dikutip di atas dapat menjadi sebuah ilustrasi yang cantik. Rumah, apa yang anda bayangkan tentangnya? Rumah bisa berarti sebuah identitas, ketika kita memposisikan rumah sebagai tempat lahir dan bertumbuh menjadi dewasa dimana lingkungan masyarakat di sekitarnya membentuk setiap detail karakter kita. Tempat yang akan menarik ikan salmon dari laut kembali ke hulu sungai, tempat dimana ia pernah ditetaskan. Tapi rumah, bisa juga menjadi sebuah harapan dimana segala impian dan tujuan hidup bermuara padanya. Seperti dalam sajak Chairil, rumah dalam sajaknya bukanlah rumah dimana ia pernah dilahirkan dan menjalani masa kanak. Chairil bicara dengan realitas, bahwa rumah dan keluarganya di masa lalu sudah tiada. Yang tinggal hanya semangat utuk bertahan, seekor burung bangau sedia bermigrasi ke lain benua untuk menyelamatkan diri dari musim buruk dan  membangun rumahnya yang baru. Kehidupan yang baru, dimana kita bisa menggantungkan berbagai cita-cita. Rumah ini, haruslah kita bangun sendiri dengan -seperti kata Chairil- menumpuk unggun timbun sajak, atau lebih jelasnya dengan menyatukan berbagai pengalaman dan kenangan yang kita peroleh sepanjang perjalanan hidup. Seandainya berhasil, mungkin rumah semacam inilah yang kelak akan benar-benar menarik diri kita untuk memasukinya karena yang pahit dan manis telah terkumpul disana.

Tidak hanya Chairil yang merindukan rumah masa depannya, Ian Antono menulis lagu berjudul ‘Rumah Kita’, Afrizal Malna menulis cerpen ‘Rumah Bercerita 460 Watt’ tentang kunjungan Dadang Christanto, Van Gogh pernah melukiskan pemandangan kamar yang dihuninya di Arles bersama Paul Gauguin. atau Ugo Untoro, yang juga melukis My Bare Room. Meski telah berupa sebuah karya, rumah mereka bisa jadi sudah ada seperti milik Van Gogh atau Afrizal Malna, namun rumah yang lainnya sangat mungkin masih berupa abstraksi dari sebuah harapan. Tak salah memang, jika mengkhayalkan memiliki rumah masa depan yang kemudian –masterplannya- dimanifestasikan dalam bentuk karya. Willis Turner Henry misalnya, perupa muda ini dalam sebuah presentasinya di Sangkring Art Space membuat rumahnya sendiri. Rumah berukuran mini itu hanya terbuat dari bambu dengan penerangan seadanya. Tanpa pintu, tanpa sofa, juga tanpa ranjang. Hanya ada lampion dan tiga lembar kertas sebagai symbol spirit naga, kuda dan ikan yang ia pungut dari mitologi tionghoa dimana ketiga unsur tersebut memang harus ada dalam setiap rumah. Naga melambangkan perlindungan dari dewa, kuda melambangkan spirit kerja yang tak kenal lelah, dan ikan melambangkan rejeki yang melimpah. 

Seperti pengakuannya, rumah yang dibangunnya ini adalah sebuah manifestasi impian masa depan. Ia ingin memiliki sebuah rumah di Jogja suatu saat nanti, katanya. Abstraksi inipun tidak semata-mata sebuah impian yang hadir ketika ia tertidur, imajinasi tentang rumah masa depannya di jogja berlatar dari pengalamannya bersua dengan komunitas masyarakat jogja yang baru pertama kali ia temui dan memberi kesan nyaman dan ramah. Berbeda jauh dengan lingkungan masyarakat di tempat lahirnya di Medan sana, atau di Singapore tempatnya menimba ilmu. Apalagi dua kota tersebut telah bertumbuh menjadi kota metropolitan yang gemerlap di luar tetapi kusut di dalam. Hal apapun sah-sah saja dijadikan sebagai alasan untuk membangun impian. Apalagi kalau berupa hal yang positif. Chairil membangun rumahnya dari unggun timbun sajak, Willis mungkin ingin membangun rumahnya berdasar atau berpondasikan kesan-kesan atau kenangannya selama berada di Jogja. Rumah sangat mungkin dijadikan sebagai manifestasi impian masa depan, kemana lagi kita akan pulang jika tidak ke rumah. Tapi bukan berarti harus pulang ke rumah orang tua dimana kita pernah dilahirkan. Paradoks semacam itu, pada akhirnya akan mengungkung identitas budaya seorang seniman, yang akan menggiring kita pada pertanyaan ‘dari budaya macam apa seniman itu dilahirkan?’. Padahal, kesenimanan seseorang lebih diukur dari perjalanan dan pengalamannya dalam bersinggungan dengan berbagai bentuk kebudayaan. 

Van Gogh lebih nyaman tinggal di Arles dibanding di tanah kelahirannya. Joseph Broadsky yang awalnya karena alasan politik pindah ke Amerika, pada akhirnya menemukan kehidupan barunya di sana. Pablo Neruda sempat mengasingkan dirinya di daerah pesisir Italia. Salim, Picasso, Dali, Milan Kundera, Gao Xingjian tak dapat dibohongi oleh pesona kota Paris yang melenakan. Sangat mungkin seandainya suatu saat Willis memutuskan untuk menetap di Jogja, seperti halnya banyak perupa lain datang dan menetap ke kota ini. Sutawijaya, Masriadi, Jumaldi Alfi, Syahrizal Pahlevi, dan Afrizal Malna telah melakukannya. Kota-kota di berbagai belahan dunia memang memiliki pesonanya masing-masing. Paris menasbih diri sebagai pusat kebudayaan dunia dengan berbagai artefak seni yang ditinggalkan banyak seniman besar disana, Roma punya sejarah yang panjang dengan seni rupa klasik, New York ingin membaptis diri sebagai pusat metropolis dunia dengan pop artnya. di Indonesia sendiri, Jakarta telah jumawa sebagai metropolitan yang meski kurang berhasil, Bali telah memikat banyak mata dengan pesona alamnya. Bonnet, Antonio Blanco, Spies, Husner pernah tinggal disana, dan Jogjapun memliki keunikannya sendiri dengan kultur yang ramah dan nyaman. 

Pada akhirnya. Setiap perjalanan, kita tahu akan menyusun kenangannya masing-masing, setiap orang mungkin memiliki kesan tersendiri yang berbeda-beda ketika berkunjung ke suatu tempat. Ada yang betah, dan yang lainnya ada yang justru ingin segera meninggalkannya. Ada yang ingin mencatatnya dalam buku harian, malah ada juga yang ingin segera melupakannya. Dan perjalanan ke jogja mungkin saja telah memaksa Willis untuk tinggal atau kembali lagi suatu saat nanti. Membangun rumah yang sebenarnya dengan kenangan di setiap bagian konstruksi bangunannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar