RUMAH IMPIAN DAN KENANGAN
catatan pada sebuah karya willis turner henry, rumah dan lampion
oleh dwi s. wibowo
Another
summer day, Has come and gone away
In Paris and Rome, But I wanna go home (Michael buble, home)
In Paris and Rome, But I wanna go home (Michael buble, home)
Sejauh
apapun burung bulbul itu terbang untuk mencari makan dan berpetualang, ketika
langit mulai gelap ia akan tetap kembali ke sarangnya sendiri. Sarang yang
telah dengan susah payah ia bangun dari ranting-ranting dan seresah yang ia
kumpulkan sendiri. Peristiwa ini kemudian mengingatkan saya pada peristiwa
lainnya yang tak kalah puitis, pernah ada seorang kawan yang bercerita tentang
sebuah kejadian di tahun 1943 dalam sebuah perjalanan, seorang penyair sambil menghisap
rokok dalam-dalam membacakan sebait puisinya berulang-ulang di trotoar //kemah kudirikan ketika senjakala, di pagi
terbang entah kemana, rumahku dari unggun timbun sajak, di sini aku berbini dan
beranak//. Penyair itu bernama Chairil, Chairil Anwar, mungkin kebanyakan
orang lebih mengenalnya sebagai si binatang jalang dari kumpulannya terbuang.
Ya, Chairil memang si binatang jalang dari kumpulannya terbuang karena ia,
meski kita turut sejauh apapun silsilahnya tetap tak akan kita temukan sebuah
hubungan yang positif yang berkait dengan sikap hidupnya. Chairil tidak lahir
dari satu kebudayaan manapun, melainkan dari sebuah hibriditas, dari
percampuran macam-macam budaya. Ia lahir di medan tahun 1922, dari ibunya yang
kerabat dekat Sutan Syahrir masih mengalir darah minang yang begitu kental.
Namun setelah orang tuanya bercerai, ia menggelandang saja di Jakarta. Jadi
seandainya mau diturut, budaya mana yang dominan membentuk sikapnya?
Mungkin
sajak ‘Rumahku’ milik Chairil yang dikutip di atas dapat menjadi sebuah ilustrasi
yang cantik. Rumah, apa yang anda bayangkan tentangnya? Rumah bisa berarti
sebuah identitas, ketika kita memposisikan rumah sebagai tempat lahir dan
bertumbuh menjadi dewasa dimana lingkungan masyarakat di sekitarnya membentuk
setiap detail karakter kita. Tempat yang akan menarik ikan salmon dari laut
kembali ke hulu sungai, tempat dimana ia pernah ditetaskan. Tapi rumah, bisa
juga menjadi sebuah harapan dimana segala impian dan tujuan hidup bermuara
padanya. Seperti dalam sajak Chairil, rumah dalam sajaknya bukanlah rumah
dimana ia pernah dilahirkan dan menjalani masa kanak. Chairil bicara dengan
realitas, bahwa rumah dan keluarganya di masa lalu sudah tiada. Yang tinggal
hanya semangat utuk bertahan, seekor burung bangau sedia bermigrasi ke lain
benua untuk menyelamatkan diri dari musim buruk dan membangun rumahnya yang baru. Kehidupan yang
baru, dimana kita bisa menggantungkan berbagai cita-cita. Rumah ini, haruslah
kita bangun sendiri dengan -seperti kata Chairil- menumpuk unggun timbun sajak,
atau lebih jelasnya dengan menyatukan berbagai pengalaman dan kenangan yang
kita peroleh sepanjang perjalanan hidup. Seandainya berhasil, mungkin rumah
semacam inilah yang kelak akan benar-benar menarik diri kita untuk memasukinya
karena yang pahit dan manis telah terkumpul disana.
Tidak
hanya Chairil yang merindukan rumah masa depannya, Ian Antono menulis lagu
berjudul ‘Rumah Kita’, Afrizal Malna menulis cerpen ‘Rumah Bercerita 460 Watt’ tentang
kunjungan Dadang Christanto, Van Gogh pernah melukiskan pemandangan kamar yang
dihuninya di Arles bersama Paul Gauguin. atau Ugo Untoro, yang juga melukis My Bare
Room. Meski telah berupa sebuah
karya, rumah mereka bisa jadi sudah ada seperti milik Van Gogh atau Afrizal
Malna, namun rumah yang lainnya sangat mungkin masih berupa abstraksi dari
sebuah harapan. Tak salah memang, jika mengkhayalkan memiliki rumah masa depan
yang kemudian –masterplannya- dimanifestasikan dalam bentuk karya. Willis Turner
Henry misalnya, perupa muda ini dalam sebuah presentasinya di Sangkring Art
Space membuat rumahnya sendiri. Rumah berukuran mini itu hanya terbuat dari
bambu dengan penerangan seadanya. Tanpa pintu, tanpa sofa, juga tanpa ranjang.
Hanya ada lampion dan tiga lembar kertas sebagai symbol spirit naga, kuda dan
ikan yang ia pungut dari mitologi tionghoa dimana ketiga unsur tersebut memang
harus ada dalam setiap rumah. Naga melambangkan perlindungan dari dewa, kuda
melambangkan spirit kerja yang tak kenal lelah, dan ikan melambangkan rejeki
yang melimpah.
Seperti
pengakuannya, rumah yang dibangunnya ini adalah sebuah manifestasi impian masa
depan. Ia ingin memiliki sebuah rumah di Jogja suatu saat nanti, katanya.
Abstraksi inipun tidak semata-mata sebuah impian yang hadir ketika ia tertidur,
imajinasi tentang rumah masa depannya di jogja berlatar dari pengalamannya
bersua dengan komunitas masyarakat jogja yang baru pertama kali ia temui dan
memberi kesan nyaman dan ramah. Berbeda jauh dengan lingkungan masyarakat di
tempat lahirnya di Medan sana, atau di Singapore tempatnya menimba ilmu. Apalagi
dua kota tersebut telah bertumbuh menjadi kota metropolitan yang gemerlap di
luar tetapi kusut di dalam. Hal apapun sah-sah saja dijadikan sebagai alasan
untuk membangun impian. Apalagi kalau berupa hal yang positif. Chairil
membangun rumahnya dari unggun timbun sajak, Willis mungkin ingin membangun
rumahnya berdasar atau berpondasikan kesan-kesan atau kenangannya selama berada
di Jogja. Rumah sangat mungkin dijadikan sebagai manifestasi impian masa depan,
kemana lagi kita akan pulang jika tidak ke rumah. Tapi bukan berarti harus
pulang ke rumah orang tua dimana kita pernah dilahirkan. Paradoks semacam itu,
pada akhirnya akan mengungkung identitas budaya seorang seniman, yang akan
menggiring kita pada pertanyaan ‘dari budaya macam apa seniman itu
dilahirkan?’. Padahal, kesenimanan seseorang lebih diukur dari perjalanan dan
pengalamannya dalam bersinggungan dengan berbagai bentuk kebudayaan.
Van
Gogh lebih nyaman tinggal di Arles dibanding di tanah kelahirannya. Joseph
Broadsky yang awalnya karena alasan politik pindah ke Amerika, pada akhirnya
menemukan kehidupan barunya di sana. Pablo Neruda sempat mengasingkan dirinya di
daerah pesisir Italia. Salim, Picasso, Dali, Milan Kundera, Gao Xingjian tak
dapat dibohongi oleh pesona kota Paris yang melenakan. Sangat mungkin
seandainya suatu saat Willis memutuskan untuk menetap di Jogja, seperti halnya
banyak perupa lain datang dan menetap ke kota ini. Sutawijaya, Masriadi, Jumaldi
Alfi, Syahrizal Pahlevi, dan Afrizal Malna telah melakukannya. Kota-kota di
berbagai belahan dunia memang memiliki pesonanya masing-masing. Paris menasbih
diri sebagai pusat kebudayaan dunia dengan berbagai artefak seni yang
ditinggalkan banyak seniman besar disana, Roma punya sejarah yang panjang
dengan seni rupa klasik, New York ingin membaptis diri sebagai pusat metropolis
dunia dengan pop artnya. di Indonesia sendiri, Jakarta telah jumawa sebagai
metropolitan yang meski kurang berhasil, Bali telah memikat banyak mata dengan
pesona alamnya. Bonnet, Antonio Blanco, Spies, Husner pernah tinggal disana,
dan Jogjapun memliki keunikannya sendiri dengan kultur yang ramah dan nyaman.
Pada
akhirnya. Setiap perjalanan, kita tahu akan menyusun kenangannya masing-masing,
setiap orang mungkin memiliki kesan tersendiri yang berbeda-beda ketika
berkunjung ke suatu tempat. Ada yang betah, dan yang lainnya ada yang justru
ingin segera meninggalkannya. Ada yang ingin mencatatnya dalam buku harian, malah
ada juga yang ingin segera melupakannya. Dan perjalanan ke jogja mungkin saja
telah memaksa Willis untuk tinggal atau kembali lagi suatu saat nanti. Membangun
rumah yang sebenarnya dengan kenangan di setiap bagian konstruksi bangunannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar