Jumat, 29 Juni 2012

DONGENG SEBELUM TIDUR ‘YUDI’


DONGENG SEBELUM TIDUR ‘YUDI’
‘catatan singkat untuk pameran tri wahyudi, 1-8 juni di bentara budaya yogyakarta’
Oleh dwi s. wibowo
kudaku binal seperti laju kue keretaku (photo taken on jogjanews.com)
           
                    Cicak itu cintaku, berbicara tentang kita, yaitu nonsens. (GM, dongeng sebelum tidur)
            Semasa kanak, dongeng apa yang kerap dibacakan orang tua anda tiap kali menjelang tidur? Dongeng dari khazanah lokal seperti kisah Angling Dharma? Atau dongeng horor tentang Frankenstein yang membuat bulu kuduk merinding? Ataukah dongeng Aladin dari Negeri 1001 malam? Apapun itu, tentu kisah-kisah yang terdapat dalam dongeng tersebut kemudian begitu melekat dalam benak pembaca sekalian. Ruang memori kanak-kanak yang masih lapang memungkinkan kisah-kisah tersebut memenuhinya dan menimbulkan suatu efek paradoksal yang tumbuh dan berkembang seiring pertumbuhan tingkat kedewasaan seorang anak. Dampak utama yang sering nampak ialah pada pembentukan pola pikir anak tersebut, meski baru dapat terlihat ketika ia menginjak usia dewasa. Barangkali menarik membicarakan persoalan efek dongeng terhadap perkembangan psikologis anak secara lebih lanjut, namun saya rasa itu keluar dari kompetensi saya yang kali ini lebih ingin membicarakan efek dongeng terhadap kehidupan perupa. Mengapa demikian? Saya tertarik ketika berkunjung ke pameran tunggal Tri Wahyudi di Bentara Budaya Yogyakarta pada tanggal 1-8 Juni yang diberi tajuk ‘The Journey Before Bedtime’, yang saya terjemahkan menjadi Perjalanan Sebelum Tidur. 

               Penggunaan kata Perjalanan(bukan petualangan) yang saya maksudkan ialah agar tidak terlalu jauh menyimpang dari terjemahan ‘journey’, namun perjalanan di sini tidak semata-mata membangun pengertian sebuah usaha menempuh jarak tertentu, melainkan sebuah perjalanan yag sekaligus beriringan dengan berbagai rintangan dan resiko yang mungkin saja dihadapi seseorang untuk menuntaskan suatu jarak. Perjalanan sebelum tidur, kemudian lebih saya tangkap pengertiannya bukanlah pada suatu aktifitas perjalanan yang nyata menempuh jarak sekian kilometer, melainkan suatu aktifitas perjalanan pikiran seperti saya ilustrasikan di atas perjalanan pikiran seorang anak ketika mendengarkan orang tuanya membacakan dongeng sebelum tidur, maka seperti itulah kira-kira pembaca sekalian akan saya ajak menelusuri jalanan yang telah dibangun Tri Wahyudi dalam 12 karyanya.
            Dari suatu kisah dongeng, apa yang pertama-tama pembaca sekalian cari? Ya, refleksi. Kisah dalam dongeng senantiasa menjadi pencerminan dari sebuah realita yang dihadapi penuturnya, demikian juga yang terpampang dalam beberapa karya tri wahyudi. Ia nampak berusaha menampilkan dirinya dalam dongeng karyanya, lewat gambaran tokoh lelaki bermuka agak kotak yang merepresentasikan potraitnya sendiri(karikatural). Tokoh tersebut selalu ia tempatkan pada sebuah posisi naratif, artinya tidak diam dan berdiri mematung sebagai benda mati, namun tokoh tersebut ditempatkan pada posisi yang memiliki aktifitas atau setidaknya memiliki sebuah  korelasi dengan tokoh lainnya dalam lukisan tersebut. Begitulah hakikat dongeng bukan? Tak ada tokoh yang diam. Dalam ‘Yudi Bernyanyi Lagu Sebelum Tidur’ misalnya, tokoh Yudi (dalam narasinya) tengah menyanyikan lagu jazz swing “Mr. Bojangles” dari Robbie Williams di tengah beberapa tokoh lain yang memejamkan mata seolah tertidur di tempatnya masing-masing. Kemudian dalam lukisan ‘Happiness’, tokoh Yudi tengah menarik layang-layang disamping seorang gadis berkacamata sepertihalnya sepasang kekasih yang tengah berpacaran. Tokoh tersebut kemudian ditampilkan kembali dalam ‘Yudi Dan Kawan Yang Tertidur’, meski hanya duduk memandangi teman-temannya yang tertidur, namun korelasi pertemanan (dalam narasi) lah yang lebih mendominasikan posisi tokohnya. sifat narasi inilah yang menjadi kekuatan dalam karya-karya yudi, tidak banyak perupa yang mampu membangun narasi lewat tampilan visual dua dimensi. 

Skeptis-Utopis
            Beberapa narasi yang diusung dalam karyanya cenderung skeptis, pesimis terhadap situasi yang dibangunnya sendiri. Ekspresi tokoh-tokoh di dalamnya-pun cenderung melankolis dan hopeless. Mari mengamati ‘The Toys Story In My Home’, sepasang boneka telanjang tanpa kepala yang kemasannya baru saja dibuka tergeletak begitu saja di antara tas lengan dan seekor kucing hitam besar (beserta anaknya), juga ada sebuah kursi goyang yang dibiarkan kosong. Cukup banyaknya ruang yang dibiarkan kosong dalam lukisan ini, mengisyaratkan sebuah kondisi yang minus harapan. Dalam narasi singkatnya, Yudi menulis “mengingatkan kembali dengan beratus-ratus mainan di masa kecil”, yang pada akhirnya membuat saya curiga bahwa lukisan ini merupakan bagian dari usahanya merepresentasikan masa kecilnya yang meski memiliki ratusan mainan namun tidak membuatnya bahagia. Barangkali agak berlebihan saya menerka demikian, tetapi tokoh boneka tanpa kepala tadi muncul kembali dalam ‘Kado Buat Ibu’ yang nampak lebih ironis karena tokoh tersebut tampil di tengah tumpukan kotak-kotak dan bungkus mainan yang demikian banyak. Bagi saya, narasi dalam lukisan ini berada di luar jalur konvensi yang selama ini menginginkan korelasi antara anak dan ibu adalah sebuah hubungan yang hangat dan penuh harap (cenderung optimis), tapi semua itu berbalik dalam lukisan ini yang cenderung dingin dan skeptis. Pengalaman masa kecilnya, barangkali memang cukup banyak mengambil peranan dalam proses kreatifnya menuang cat. Rekam perkembangannya kemudian dapat ditangkap pada beberapa persoalan yang menampilkan permasalahan yang lebih kompleks dibanding persoalan masa kanak tadi, yaitu pada kondisional tokohnya yang (dewasa) berhadapan dengan persoalan pernikahan misalnya dalam ‘Wedding And Guns’, bagaimana seorang laki-laki memiliki ketakutan dalam menghadapi bahtera rumah tangga yang baru saja dibangunnya, ketakutan yang diekspresikan dengan senjata. Lalu akan dijumpai juga ketakutan seseorang menghadapi dunia dalam ‘Thingking About The World’, bagaimana tokohnya tampak  begitu murung memandangi globe yang ada di telapak tangannya. Bisa jadi, inilah rekaman dari perkembangan psikologis Yudi dalam kesehariannya. Kembali, sekali lagi saya hanya menerka perihal kemungkinan tersebut karena saya memang tak cukup mengenal kehidupan perupa muda ini.
            Perihal kecenderungan utopis dalam lukisan Yudi, saya tangkap dalam beberapa lukisannya yang dominan memilih warna cerah sebagai latar. Dalam ‘Dinner Before Sleeping’ misalnya, keramaian suasana yang coba dibangunnya adalah sebuah khayalan utopis tentang sebuah kehidupan yang bergitu riang menjelang (dan ketika) makan malam tetapi kemudian segera disodorkan sesuatu yang bisa jadi hopefull tapi di sisi lain bisa jadi hopeless, yakni tidur (sleeping). Mengapa saya katakan begitu, menjadi hopefull ketika dalam tidur perjalanan di dunia nyata dilanjutkan dengan perjalanan di alam mimpi yang fantastis. Tetapi bisa menjadi hopeless ketika coba dipahami bahwa kebahagiaan di meja makan akan segera berakhir menjelang waktu tidur. Apapun, ia tinggal dalam dua kemungkinan tersebut. Di satu karya lainnya-pun terdapat kecenderungan yang serupa ‘Kudaku Binal Seperti Laju Kue Keretaku’, masih seperti ‘Dinner Before Sleeping’ yang menggunakan warna cerah sebagai latar di dalamnya keramaian kembali dibangun Yudi dengan mengikutsertakan benyak tokoh, termasuk jin yang keluar dari teko ajaib. Jin miliknya ini tak jauh berbeda dengan jin sahabat Aladin dari kisah Disney, dan memang sangat mungkin bahwa Yudi memang mengambilnya dari sana dimana stereotipe jin selama ini dipahami sebagai sebuah simbol harapan yang dapat mengabulkan 3 permintaan tuannya. Dalam karya ini baru saya lihat sebuah optimisme yang benar-benar utuh dari beberapa narasi yang dibangunnya dalam beberapa karya, betapa mungkin saja ia lelah menjadi seseorang yang melankolis terus menerus. Dan bukankah dongeng juga diciptakan untuk membangun optimisme kanak-kanak dimana sebagian besar tokohnya selalu digambarkan baik, pintar, kuat, dan heroik meski kadang tidak masuk akal, tetapi anak-anak tetap saja menyukainya.
Begitupun Yudi, tiba-tiba saja menciptakan dongengnya sendiri, meski melankolis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar