DONGENG SEBELUM TIDUR ‘YUDI’
‘catatan singkat untuk pameran tri
wahyudi, 1-8 juni di bentara budaya yogyakarta’
Oleh
dwi s. wibowo
kudaku binal seperti laju kue keretaku (photo taken on jogjanews.com) |
Cicak
itu cintaku, berbicara tentang kita, yaitu nonsens. (GM, dongeng sebelum tidur)
Semasa kanak, dongeng apa yang kerap
dibacakan orang tua anda tiap kali menjelang tidur? Dongeng dari khazanah lokal
seperti kisah Angling Dharma? Atau dongeng horor tentang Frankenstein yang
membuat bulu kuduk merinding? Ataukah dongeng Aladin dari Negeri 1001 malam?
Apapun itu, tentu kisah-kisah yang terdapat dalam dongeng tersebut kemudian
begitu melekat dalam benak pembaca sekalian. Ruang memori kanak-kanak yang
masih lapang memungkinkan kisah-kisah tersebut memenuhinya dan menimbulkan
suatu efek paradoksal yang tumbuh dan berkembang seiring pertumbuhan tingkat
kedewasaan seorang anak. Dampak utama yang sering nampak ialah pada pembentukan
pola pikir anak tersebut, meski baru dapat terlihat ketika ia menginjak usia
dewasa. Barangkali menarik membicarakan persoalan efek dongeng terhadap perkembangan
psikologis anak secara lebih lanjut, namun saya rasa itu keluar dari kompetensi
saya yang kali ini lebih ingin membicarakan efek dongeng terhadap kehidupan
perupa. Mengapa demikian? Saya tertarik ketika berkunjung ke pameran tunggal Tri
Wahyudi di Bentara Budaya Yogyakarta pada tanggal 1-8 Juni yang diberi tajuk ‘The
Journey Before Bedtime’, yang saya terjemahkan menjadi Perjalanan Sebelum Tidur.
Penggunaan kata Perjalanan(bukan petualangan) yang saya maksudkan ialah agar
tidak terlalu jauh menyimpang dari terjemahan ‘journey’, namun perjalanan di
sini tidak semata-mata membangun pengertian sebuah usaha menempuh jarak
tertentu, melainkan sebuah perjalanan yag sekaligus beriringan dengan berbagai
rintangan dan resiko yang mungkin saja dihadapi seseorang untuk menuntaskan
suatu jarak. Perjalanan sebelum tidur, kemudian lebih saya tangkap
pengertiannya bukanlah pada suatu aktifitas perjalanan yang nyata menempuh
jarak sekian kilometer, melainkan suatu aktifitas perjalanan pikiran seperti
saya ilustrasikan di atas perjalanan pikiran seorang anak ketika mendengarkan
orang tuanya membacakan dongeng sebelum tidur, maka seperti itulah kira-kira
pembaca sekalian akan saya ajak menelusuri jalanan yang telah dibangun Tri
Wahyudi dalam 12 karyanya.
Dari suatu kisah dongeng, apa yang
pertama-tama pembaca sekalian cari? Ya, refleksi. Kisah dalam dongeng
senantiasa menjadi pencerminan dari sebuah realita yang dihadapi penuturnya,
demikian juga yang terpampang dalam beberapa karya tri wahyudi. Ia nampak
berusaha menampilkan dirinya dalam dongeng karyanya, lewat gambaran tokoh
lelaki bermuka agak kotak yang merepresentasikan potraitnya sendiri(karikatural).
Tokoh tersebut selalu ia tempatkan pada sebuah posisi naratif, artinya tidak
diam dan berdiri mematung sebagai benda mati, namun tokoh tersebut ditempatkan
pada posisi yang memiliki aktifitas atau setidaknya memiliki sebuah korelasi dengan tokoh lainnya dalam lukisan
tersebut. Begitulah hakikat dongeng bukan? Tak ada tokoh yang diam. Dalam ‘Yudi
Bernyanyi Lagu Sebelum Tidur’ misalnya, tokoh Yudi (dalam narasinya) tengah
menyanyikan lagu jazz swing “Mr. Bojangles” dari Robbie Williams di tengah
beberapa tokoh lain yang memejamkan mata seolah tertidur di tempatnya
masing-masing. Kemudian dalam lukisan ‘Happiness’, tokoh Yudi tengah menarik
layang-layang disamping seorang gadis berkacamata sepertihalnya sepasang
kekasih yang tengah berpacaran. Tokoh tersebut kemudian ditampilkan kembali
dalam ‘Yudi Dan Kawan Yang Tertidur’, meski hanya duduk memandangi
teman-temannya yang tertidur, namun korelasi pertemanan (dalam narasi) lah yang
lebih mendominasikan posisi tokohnya. sifat narasi inilah yang menjadi kekuatan
dalam karya-karya yudi, tidak banyak perupa yang mampu membangun narasi lewat
tampilan visual dua dimensi.
Skeptis-Utopis
Beberapa narasi yang diusung dalam
karyanya cenderung skeptis, pesimis terhadap situasi yang dibangunnya sendiri.
Ekspresi tokoh-tokoh di dalamnya-pun cenderung melankolis dan hopeless. Mari
mengamati ‘The Toys Story In My Home’, sepasang boneka telanjang tanpa kepala
yang kemasannya baru saja dibuka tergeletak begitu saja di antara tas lengan
dan seekor kucing hitam besar (beserta anaknya), juga ada sebuah kursi goyang
yang dibiarkan kosong. Cukup banyaknya ruang yang dibiarkan kosong dalam lukisan
ini, mengisyaratkan sebuah kondisi yang minus harapan. Dalam narasi singkatnya,
Yudi menulis “mengingatkan kembali dengan beratus-ratus mainan di masa kecil”,
yang pada akhirnya membuat saya curiga bahwa lukisan ini merupakan bagian dari
usahanya merepresentasikan masa kecilnya yang meski memiliki ratusan mainan
namun tidak membuatnya bahagia. Barangkali agak berlebihan saya menerka
demikian, tetapi tokoh boneka tanpa kepala tadi muncul kembali dalam ‘Kado Buat
Ibu’ yang nampak lebih ironis karena tokoh tersebut tampil di tengah tumpukan
kotak-kotak dan bungkus mainan yang demikian banyak. Bagi saya, narasi dalam
lukisan ini berada di luar jalur konvensi yang selama ini menginginkan korelasi
antara anak dan ibu adalah sebuah hubungan yang hangat dan penuh harap
(cenderung optimis), tapi semua itu berbalik dalam lukisan ini yang cenderung
dingin dan skeptis. Pengalaman masa kecilnya, barangkali memang cukup banyak
mengambil peranan dalam proses kreatifnya menuang cat. Rekam perkembangannya
kemudian dapat ditangkap pada beberapa persoalan yang menampilkan permasalahan
yang lebih kompleks dibanding persoalan masa kanak tadi, yaitu pada kondisional
tokohnya yang (dewasa) berhadapan dengan persoalan pernikahan misalnya dalam ‘Wedding
And Guns’, bagaimana seorang laki-laki memiliki ketakutan dalam menghadapi
bahtera rumah tangga yang baru saja dibangunnya, ketakutan yang diekspresikan
dengan senjata. Lalu akan dijumpai juga ketakutan seseorang menghadapi dunia
dalam ‘Thingking About The World’, bagaimana tokohnya tampak begitu murung memandangi globe yang ada di
telapak tangannya. Bisa jadi, inilah rekaman dari perkembangan psikologis Yudi dalam
kesehariannya. Kembali, sekali lagi saya hanya menerka perihal kemungkinan
tersebut karena saya memang tak cukup mengenal kehidupan perupa muda ini.
Perihal kecenderungan utopis dalam
lukisan Yudi, saya tangkap dalam beberapa lukisannya yang dominan memilih warna
cerah sebagai latar. Dalam ‘Dinner Before Sleeping’ misalnya, keramaian suasana
yang coba dibangunnya adalah sebuah khayalan utopis tentang sebuah kehidupan
yang bergitu riang menjelang (dan ketika) makan malam tetapi kemudian segera
disodorkan sesuatu yang bisa jadi hopefull tapi di sisi lain bisa jadi
hopeless, yakni tidur (sleeping). Mengapa saya katakan begitu, menjadi hopefull
ketika dalam tidur perjalanan di dunia nyata dilanjutkan dengan perjalanan di
alam mimpi yang fantastis. Tetapi bisa menjadi hopeless ketika coba dipahami
bahwa kebahagiaan di meja makan akan segera berakhir menjelang waktu tidur. Apapun,
ia tinggal dalam dua kemungkinan tersebut. Di satu karya lainnya-pun terdapat
kecenderungan yang serupa ‘Kudaku Binal Seperti Laju Kue Keretaku’, masih
seperti ‘Dinner Before Sleeping’ yang menggunakan warna cerah sebagai latar di
dalamnya keramaian kembali dibangun Yudi dengan mengikutsertakan benyak tokoh,
termasuk jin yang keluar dari teko ajaib. Jin miliknya ini tak jauh berbeda
dengan jin sahabat Aladin dari kisah Disney, dan memang sangat mungkin bahwa Yudi
memang mengambilnya dari sana dimana stereotipe jin selama ini dipahami sebagai
sebuah simbol harapan yang dapat mengabulkan 3 permintaan tuannya. Dalam karya
ini baru saya lihat sebuah optimisme yang benar-benar utuh dari beberapa narasi
yang dibangunnya dalam beberapa karya, betapa mungkin saja ia lelah menjadi
seseorang yang melankolis terus menerus. Dan bukankah dongeng juga diciptakan
untuk membangun optimisme kanak-kanak dimana sebagian besar tokohnya selalu
digambarkan baik, pintar, kuat, dan heroik meski kadang tidak masuk akal,
tetapi anak-anak tetap saja menyukainya.
Begitupun
Yudi, tiba-tiba saja menciptakan dongengnya sendiri, meski melankolis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar