Minggu, 23 September 2012

LOYALITAS PADA UKURAN

LOYALITAS PADA UKURAN
kritik terhadap pameran XXL : State of Indonesian Art
oleh dwi s. wibowo
agus suwage, monumen penjaga hankamnas (photo by dyah merta)

         12 Agustus lalu, Jogja Contemporary menggelar sebuah pameran di Sangkring Art Space yang merangkul sekitar 15 perupa top list di Indonesia. Perlu dicatat, toplist atau yang berada di urutan teratas dalam daftar perupa-perupa paling tersohor, paling sukses, dan paling diburu kolektor. Mereka ialah Agus Suwage, Arahmaiani, Budi Kustarto, Eko Nugroho, Handiwirman, Heri Dono, Jumaldi Alfi, M Irfan, Mella Jaarsma, Nasirun, Nindityo Adipurnomo, Putu Sutawijaya, Tisna Sanjaya, Ugo Untoro, dan Yusra Martunus. Bukan bermaksud sinis, tapi barangkali pada pameran yang diberi tajuk ‘XXL : State of Indonesian Art’ sang kurator, Valentine Willie ingin memberikan gambaran aktual terkait perkembangan seni rupa di Indonesia. Ia sendiri telah malang melintang di dunia seni rupa Asia tenggara, dan Indonesia yang memiliki cukup keanekaragaman karakter perupa jadi salah satu wilayah yang diamatinya beberapa tahun belakangan ini.
            Yang selama ini kita pahami, upaya membangun wacana perkembangan seni rupa diusung oleh Biennale. Baik Biennale Indonesia yang sudah tutup, maupun Biennale Jogja yang kemungkinan masih akan berlanjut. Namun jika hendak diperbandingkan antara keduanya, biennale barangkali mampu memberi ruang yang lebih luas untuk menampung lebih banyak perupa (secara kuantitas) dibanding pameran ini yang hanya membagi ruang hanya untuk 15 perupa saja, itupun didominasi oleh mereka yang tinggal di seputaran yogyakarta. Dan Biennale mungkin memiliki cukup banyak kriteria untuk penerimaan karya dan perupa yang secara positif membuka kesempatan bagi berbagai kelas perupa, pemula sekalipun. Lain halnya dengan XXL, yang lebih memprioritaskan ruangnya bagi para perupa top list yang kriterianyapun barangkali lebih menurut pada subjektivitas pengamatan Valentine Willie selama ini. Penilaiannya sendiri, didasarkan pada capaian-capaian yang diraih oleh para perupa tersebut. Terutama capaian pada taraf internasional, kita tahu dari kelima belas perupa tersebut siapa sajakah yang cukup rutin mengikuti pameran di indonesia. Selain itu, selama ini juga cukup sulit untuk menyaksikan karya-karya para perupa ini saling berdampingan dalam satu ruang pamer. Itulah yang kemudian melatari Valentine Willie memilih kelima belas perupa tersebut dengan harapan dapat membangun dialog di antara kelima belasnya.
XXL : Skala dan Ukuran
            Selain upaya memberi gambaran wacana perkembangan seni rupa Indonesia secara aktual, pameran ini juga berupaya menyentak pengunjung dengan menampilkan karya-karya yang secara ukuran dapat dibilang monumental. Berukuran ekstra-ekstra besar (XXL), baik berupa lukisan maupun instalasi. Dalam pameran ini, Nasirun misalnya memasang karya berukuran 250x950cm, Budi Kustarto memasang bagian pencangkul dari potongan eskavator di ruang pamer dan juga lukisan berukuran fantastis, 300x500cm. perupa lain pun demikian. Sangkring art space sendiri memberi ruang yang cukup luas untuk menempatkan karya-karya tersebut. Praktis, karya-karya monumental selama ini jarang dijumpai di beberapa pameran di Indonesia. Meskipun ada beberapa ruang yang mampu memfasilitasinya. Kita mungkin terus teringat instalasi-instalasi commision works di Artjog yang hampir selalu menampilkan karya-karya berukuran besar. Farhan Siki pernah menutup muka depan taman budaya yogyakarta dengan seng kemudian melukisnya. Eddi Prabandono, membuat patung kepala bayi di halaman taman budaya dengan medium tanah liat. Dan yang terbaru, Joko Dwi Avianto yang menutup  muka depan taman budaya dengan instalasi bambunya.
            Namun ukuran XXL tidak semata-mata ditafsirkan oleh kelima belas seniman dengan menampilkan karya-karya berukuran monumental seperti Nasirun atau Budi Kustrato tadi. Ugo Untoro misalnya, meski menggunakan kanvas yang berukuran cukup besar tapi tak ada objek yang dilukisnya, ia hanya memberi warna merah dengan tekstur tak beraturan seolah abstrak pada kedua karyanya, seolah ia ingin mengajak pemirsa untuk menafsirkan warna pada ruang yang luas. Atau M Irfan yang yang melukis bagian dari struktur rangka baja berjudul strong, pemirsa diajak berpetualan bebas untuk mengimajinasikan seberapa besar bagian struktur baja yang tak tercantum dalam lukisan tersebut.  Juga Yusra Martunus, yang menyikapi ukuran XXL secara sinis dimana ia hanya menempelkan gagang pintu pada dinding yang dicat polos. Seolah dinding tersebut adalah bagian dari karyanya, dapat kita lihat upaya yang ia lakukan untuk membangun sebuah dialog atau konektivitas terhadap ruang.
            Perupa lainnya menyikapi XXL tidak semata pada skala ukuran fisik melainkan menempatkannya pada skala tema yang diusung dari tiap karya yang mereka pamerkan. Nindityo adipurnomo misalnya, perupa ini fokus menampilkan masalah proses asimilasi kebudayaan wanita jawa peranakan tiong hoa.  Religiusitas sebagai tema umum yang universal pun ditampilkan pada ‘post tolerance’ Nindityo Adipurnomo dan ‘animal have no religion’ milik Mella Jaarsma. Agama, maupun toleransi beragama kemudian nampak begitu metaforik dalam karya-karya mereka. Meskipun pada ranah ini ada issue-issue agama yang lebih aktual, issue kekerasan di rohingya misalnya. Yang sangat mungkin digarap seandainya mereka memang menampilkan karya-karya aktual. Tak jauh berbeda dengan Arahmaiani yang membawa latar biksu Tibet Sonam Richen, ia dengan serangkaian projeknya yang sedang berjalan di tibet ingin memperluas persepsi dan kesadaran kita terhadap permasalahan lingkungan dan keseimbangkan ekologi, seperti dituturkan Amir Sidarta dalam esai pengiring pameran ini.
Pasar
            Menyoal ukuran karya dan pasarnya, kita mungkin teringat ketika Oi Hong Djien membuka pameran 5 maestro pada pembukaan museum ketiganya di magelang lalu, waktu itu beberapa karya Hendra Gunawan dan S Sudjojono ditengarai palsu dengan kecurigaan awal pada ukuran media yang sangat besar. Tak biasanya pelukis-pelukis pada masa persagi tersebut melukis dengan kanvas berukuran lebar lebih dari 200cm. tapi seiring berjalannya waktu, banyak pelukis yang malahan mengkhususkan diri untuk menggarap kanvas-kanvas berukuran jumbo. Nasirun misalnya, meskipun konon lukisan-lukisan berukuran ini sulit terjual karena tidak semua kolektor memiliki ruang besar untuk menyimpan karya tersebut. Maka tak jarang karya-karya berukuran XXL ini disebut sebagai museum item karena hanya bisa dikoleksi oleh museum yang rata-rata memiliki ruang menampung karya yang cukup besar dibanding ruang yang dimiliki kolektor pribadi. Namun dalam pameran XXL ini, valentine willie tentu sudah memperhitungkan soal perniagaannya.
            Sebagai penutup, barangkali pameran ini terkesan sangat hiperbolis dengan menampilkan tajuk ‘XXL: state of indonesian art’ dan karya-karya yang monumental secara ukuran. Seolah pemirsa dipaksa mengamini bahwa inilah wajah seni rupa indonesia kini. Sekali lagi, tanpa bermaksud sinis, pameran ini hanya sebagian kecil dari wajah seni rupa kita. jika ia seorang manusia yang berdiri di balik tembok, maka yang terlihat hanyalah rambut dan keningnya saja. Sedangkan mata, hidung dan bibirnya masih begitu sulit dikenali maupun diterka sekalipun. Merujuk bre redana pada esai pengantar pameran ini, telah terjadi entertainmenisasi terhadap seni rupa indonesia lewat pembangunan citra, manajemen gosip, dan sensassi dimana segala aktivitasnya berafiliasi terhadap uang. Idealnya, seperti biennale, pameran ini menampung lebih banyak perupa dengan pertimbangan kuantitas akan menampilkan lebih banyak karakter perupa. Dan mengesampingkan pertimbangan ekonomisnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar