Jumat, 01 Februari 2013

GALANGKANGIN MENGGUGAT BALI


GALANGKANGIN MENGGUGAT BALI
Apalah artinya kesenian, bila terpisah dari derita lingkungan
Apalah artinya berpikir, bila terpisah dari masalah kehidupan (Rendra, Sajak Sebatang Lisong)
okupasi, i made supena. 

            Bila anda membaca artikel tentang pulau dewata bali di sebuah koran, majalah, situs internet, atau brosur pariwisata dan belum pernah sekalipun menginjakkan kaki anda di bali, image apa yang mungkin muncul dalam benak anda? Barangkali bali adalah pulau yang asri, yang keseimbangan alamnya masih terjaga, dimana sawahnya yang berundak-undak dipenuhi petani dan masyarakatnya masih gigih memegang tradisi. Indah sekali, sepertihalnya lukisan-lukisan mooi indie yang sempat populer di kisaran tahun 1930-an. Tapi bila anda punya waktu luang, dan sedikit anggaran untuk liburan ke pulau bali, jangan terlalu kaget bila bayangan yang sempat muncul di benak anda mungkin tidak sesuai dengan kenyataan yang ada. Bali sudah jauh berubah. Meskipun di beberapa bagian masih diupayakan pelestarian ekologi.

            Pelukis nashar pernah dengan sangat mendetail mendeskripsikan pengalaman hidupnya di pulau bali kisaran tahun 1950-an, sebelum ia terkenal. Waktu itu ia tinggal di ubud, sebuah desa yang sangat asri menurut penuturannya dimana setiap orang masih mandi di sungai secara bersamaan, laki dan perempuan. Listrik belum masuk kesana waktu itu, dan jalanan masih sangat sulit dilalui akibat belum meratanya pembangunan di indonesia. Walau demikian, bali, khususnya ubud justru menjadi daya tarik bagi seniman baik dari indonesia maupun luar negeri untuk tinggal dan melakukan semacam residensi. Nashar, hendra gunawan, paul husner, antonio blanco, rudolf bonnet, termasuk arie smit yang masih hidup hingga sekarang. Bahkan dari niatan sekedar residensi, mereka justru betah menetap disana. Arie smit, masih tinggal di ubud hingga saat ini. antonio blanco punya museum di ubud. Rudolf bonnet, pernah menginisiasi sebuah kelompok perupa di bali yang bernama ‘pita maha’.
Tapi itu dulu. Lihat ubud sekarang, sepanjang jalan yang akan kita jumpai adalah kios-kios yang menawarkan souvenir-souvenir, hotel-hotel, wisatawan dimana-mana. Ubud kemudian menjelma menjadi surga wisata bagi masyarakat dunia, tak hanya wisatawan lokal yang datang kesana, melainkan didominasi oleh wisatawan mancanegara. Bahkan, konon, bali lebih populer di dunia dibanding dengan indonesia.
Adanya hubungan timbal balik antara proses pembangunan dengan perkembangan atau kemajuan sosial baik secara finansial maupun sosiokultural. Tapi sekaligus juga mengancam kelestarian kultur lokal yang telah ratusan tahun dijaga dengan terus-menerus dijalankan oleh masyarakatnya. Kearifan inilah yang kemudian terancam dengan masuknya kultur asing yang dibawa wisatawan, parahnya lagi, arus ini masuk tanpa adanya filter.  Masyarakat pada akhirnya seperti dihadapkan pada buah simalakama.  Di satu sisi modernitas menjanjikan segala kemudahan, di lain sisi tradisi menarik-narik sisi batin masyarakatnya. Kontras inilah yang menjadi pemandangan bali saat ini. mau tidak mau, siapapun yang datang kesana untuk sekedar wisata atau tinggal menetap dipaksa untuk menyaksikannya.

Suara seniman = suara masyarakat
            Melalui pameran “three dimension” yang digelar di griya santrian gallery (20 oktober-10 desember 2012) Kelompok galangkangin merespon berbagai fenomena sosial yang terjadi di bali, terutama berkaitan dengan arus globalisasi yang menderas di sana. proses akulturasi yang terus menerus antara penduduk lokal dengan pendatang, kepadatan penduduk yang terlalu tinggi (over populasi), ancaman terhadap keseimbangan ekologi, pembangunan yang berlebihan. Dimana para seniman ini memposisikan diri sebagai publik controller. Karya mereka selain menampilkan gagasan estetis, sekaligus berfungsi sebagai kritik yang meski subjektif adalah suara yang universal dari masyarakat bali. Karena seniman sejatinya adalah cawan penampung sekaligus penyuling suara kegelisahan masyarakat.
            Suara-suara tersebut, diakui atau tidak, paling nampak dari karya I wayan setem yang berjudul “gerbang bali baru”. Sebuah instalasi berukuran cukup besar (200x400x100cm) yang terbuat dari batangan bambu warna-warni yang di dalamnya diselipkan botol-botol kosong coca-cola. Karya ini nampak sebagai sebuah metafora yang dapat dimaknai bahwa pintu gerbang untuk masuk ke bali sudah terbuka lebar, dan botol-botol kosong coca-cola lebih dimaknai sebagai simbol globalisme. Medium bambu sendiri begitu dekat dengan masyarakat bali, sehingga simbolisasi terasa lebih kental dalam karya ini. pada era globalisme ini, siapapun dan dari latar budaya apapun berhak untuk datang dan masuk ke bali, termasuk ke ruang paling intim sekalipun yaitu tradisi. Upacara-upacara adat maupun keagamaan di bali justru menjadi daya tarik wisata, wisatawan rela membayar mahal untuk sekedar mendapat kesempatan melihat, merekam, atau memotret upacara sakral yang tengah berlangsung. Bukan tidak mungkin, suatu saat akan kabur batas antara yang sakral dan yang profan.
            Ada dua karya yang bersuara sama yaitu “jual” (variable dimension) karya I made galung wiratmaja dan “land is mind” (mixed media, 110x290cm) karya aa gede eka putra dela. Keduanya sama-sama meneriakan tentang proses-proses akuisisi atau pengalihan kepemilikan lahan di bali. Sebagaimana terjadi di kota-kota besar lainnya, jakarta misalnya orang-orang betawi yang awalnya adalah juragan tanah pada akhirnya harus menyingkir ketika tanah-tanah mereka habis dibeli oleh para pendatang. Begitupun di bali, penduduk lokal nampak lebih tergiur menjual tanahnya pada para investor dari luar.
Iming-iming harga selangit membuat mereka rela melepas tanah warisan melalui proses jual beli. Situasi semacam ini kemudian menumbuhkan ladang profesi baru bagi para makelar tanah yang turut kecipratan rupiah. Seperti digambarkan oleh I made supena dalam “okupasi” (resin, 35x10x10cm/50pcs), proses akuisisi kerap juga dibumbui dengan profokasi ataupun intervensi ketika investor ada pada posisi dominan. Tidak sedikit para investor yang menggandeng oknum aparat demi memuluskan jalan. Masyarakat, pada akhirnya berada pada posisi tertindas. Mereka tidak memiliki kekuatan untuk menolak. Persoalan tak hanya berhenti di sini, pasca proses akuisisi, para investor tentu memiliki otoritas penuh untuk memanfaatkan lahan yang mereka miliki termasuk mengalihkan fungsinya dari lahan pertanian menjadi lahan industri tanpa memperdulikan keseimbangan ekosistem alam maupun sosial. Pembangunan hotel dan resort terus berlangsung di setiap bagian pulau dewata(Kuta, sanur, lovina, ubud, bedugul) hingga menimbulkan kesenjangan.
Ada sebuah hotel berbintang di tengah sawah, ada resort mewah bersebelahan dengan pura desa, ada kapal selam di samping perahu nelayan.  Kesenjangan inilah yang coba ditrasformasikan oleh I wayan naya swantha melalui “hasil tangkapan” (mixed media, 90x140cm), jala nelayan tidak lagi menjaring ikan melainkan sampah-sampah botol. Peralihan fungsi lahan seperti telah disinggung di atas tentu membawa berbagai dampak, termasuk pengelolaan sampah. Ada banyak perilaku tidak bertanggung jawab dari para pengelola industri wisata yang membuang limbah-limbah industrinya ke laut yang mengakibatkan kerusakan ekosistem.
Membuka diri, tentu akan memberi berbagai dampak, positif maupun negatif. Secara sosial maupun budaya. Industri wisata barangkali telah memberi banyak manfaat bagi bertumbuhnya perekonomian masyarakat bali, tapi sekaligus membunuh kemurnian tradisi yang telah diwariskan leluhur selama ratusan tahun. Dan kejadian semacam ini, sudah berlangsung berpuluh-puluh tahun sejak bali membuka diri sebagai surga wisata.
Gadis bertelanjang dada itu sudah pergi sejak sore, tak menoleh sedikitpun
Tidak pada pura yang buram, tidak pada malam yang suram. (Irianto Ibrahim, Bali)

Yk, 1 februari 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar