GALANGKANGIN MENGGUGAT BALI
Apalah
artinya kesenian, bila terpisah dari derita lingkungan
Apalah
artinya berpikir, bila terpisah dari masalah kehidupan (Rendra, Sajak Sebatang
Lisong)
okupasi, i made supena.
Bila anda membaca artikel tentang
pulau dewata bali di sebuah koran, majalah, situs internet, atau brosur
pariwisata dan belum pernah sekalipun menginjakkan kaki anda di bali, image apa
yang mungkin muncul dalam benak anda? Barangkali bali adalah pulau yang asri,
yang keseimbangan alamnya masih terjaga, dimana sawahnya yang berundak-undak
dipenuhi petani dan masyarakatnya masih gigih memegang tradisi. Indah sekali,
sepertihalnya lukisan-lukisan mooi indie yang sempat populer di kisaran tahun
1930-an. Tapi bila anda punya waktu luang, dan sedikit anggaran untuk liburan
ke pulau bali, jangan terlalu kaget bila bayangan yang sempat muncul di benak
anda mungkin tidak sesuai dengan kenyataan yang ada. Bali sudah jauh berubah. Meskipun
di beberapa bagian masih diupayakan pelestarian ekologi.
Pelukis nashar pernah dengan sangat
mendetail mendeskripsikan pengalaman hidupnya di pulau bali kisaran tahun
1950-an, sebelum ia terkenal. Waktu itu ia tinggal di ubud, sebuah desa yang
sangat asri menurut penuturannya dimana setiap orang masih mandi di sungai
secara bersamaan, laki dan perempuan. Listrik belum masuk kesana waktu itu, dan
jalanan masih sangat sulit dilalui akibat belum meratanya pembangunan di
indonesia. Walau demikian, bali, khususnya ubud justru menjadi daya tarik bagi
seniman baik dari indonesia maupun luar negeri untuk tinggal dan melakukan
semacam residensi. Nashar, hendra gunawan, paul husner, antonio blanco, rudolf
bonnet, termasuk arie smit yang masih hidup hingga sekarang. Bahkan dari niatan
sekedar residensi, mereka justru betah menetap disana. Arie smit, masih tinggal
di ubud hingga saat ini. antonio blanco punya museum di ubud. Rudolf bonnet,
pernah menginisiasi sebuah kelompok perupa di bali yang bernama ‘pita maha’.
Tapi
itu dulu. Lihat ubud sekarang, sepanjang jalan yang akan kita jumpai adalah
kios-kios yang menawarkan souvenir-souvenir, hotel-hotel, wisatawan
dimana-mana. Ubud kemudian menjelma menjadi surga wisata bagi masyarakat dunia,
tak hanya wisatawan lokal yang datang kesana, melainkan didominasi oleh
wisatawan mancanegara. Bahkan, konon, bali lebih populer di dunia dibanding
dengan indonesia.
Adanya
hubungan timbal balik antara proses pembangunan dengan perkembangan atau
kemajuan sosial baik secara finansial maupun sosiokultural. Tapi sekaligus juga
mengancam kelestarian kultur lokal yang telah ratusan tahun dijaga dengan
terus-menerus dijalankan oleh masyarakatnya. Kearifan inilah yang kemudian
terancam dengan masuknya kultur asing yang dibawa wisatawan, parahnya lagi,
arus ini masuk tanpa adanya filter.
Masyarakat pada akhirnya seperti dihadapkan pada buah simalakama. Di satu sisi modernitas menjanjikan segala
kemudahan, di lain sisi tradisi menarik-narik sisi batin masyarakatnya. Kontras
inilah yang menjadi pemandangan bali saat ini. mau tidak mau, siapapun yang datang
kesana untuk sekedar wisata atau tinggal menetap dipaksa untuk menyaksikannya.
Suara seniman = suara masyarakat
Melalui pameran “three dimension”
yang digelar di griya santrian gallery (20 oktober-10 desember 2012) Kelompok
galangkangin merespon berbagai fenomena sosial yang terjadi di bali, terutama
berkaitan dengan arus globalisasi yang menderas di sana. proses akulturasi yang
terus menerus antara penduduk lokal dengan pendatang, kepadatan penduduk yang
terlalu tinggi (over populasi), ancaman terhadap keseimbangan ekologi,
pembangunan yang berlebihan. Dimana para seniman ini memposisikan diri sebagai
publik controller. Karya mereka selain menampilkan gagasan estetis, sekaligus
berfungsi sebagai kritik yang meski subjektif adalah suara yang universal dari
masyarakat bali. Karena seniman sejatinya adalah cawan penampung sekaligus
penyuling suara kegelisahan masyarakat.
Suara-suara tersebut, diakui atau
tidak, paling nampak dari karya I wayan setem yang berjudul “gerbang bali
baru”. Sebuah instalasi berukuran cukup besar (200x400x100cm) yang terbuat dari
batangan bambu warna-warni yang di dalamnya diselipkan botol-botol kosong
coca-cola. Karya ini nampak sebagai sebuah metafora yang dapat dimaknai bahwa
pintu gerbang untuk masuk ke bali sudah terbuka lebar, dan botol-botol kosong
coca-cola lebih dimaknai sebagai simbol globalisme. Medium bambu sendiri begitu
dekat dengan masyarakat bali, sehingga simbolisasi terasa lebih kental dalam
karya ini. pada era globalisme ini, siapapun dan dari latar budaya apapun
berhak untuk datang dan masuk ke bali, termasuk ke ruang paling intim sekalipun
yaitu tradisi. Upacara-upacara adat maupun keagamaan di bali justru menjadi
daya tarik wisata, wisatawan rela membayar mahal untuk sekedar mendapat
kesempatan melihat, merekam, atau memotret upacara sakral yang tengah
berlangsung. Bukan tidak mungkin, suatu saat akan kabur batas antara yang
sakral dan yang profan.
Ada dua karya yang bersuara sama
yaitu “jual” (variable dimension) karya I made galung wiratmaja dan “land is
mind” (mixed media, 110x290cm) karya aa gede eka putra dela. Keduanya sama-sama
meneriakan tentang proses-proses akuisisi atau pengalihan kepemilikan lahan di
bali. Sebagaimana terjadi di kota-kota besar lainnya, jakarta misalnya
orang-orang betawi yang awalnya adalah juragan tanah pada akhirnya harus
menyingkir ketika tanah-tanah mereka habis dibeli oleh para pendatang.
Begitupun di bali, penduduk lokal nampak lebih tergiur menjual tanahnya pada
para investor dari luar.
Iming-iming
harga selangit membuat mereka rela melepas tanah warisan melalui proses jual
beli. Situasi semacam ini kemudian menumbuhkan ladang profesi baru bagi para
makelar tanah yang turut kecipratan rupiah. Seperti digambarkan oleh I made
supena dalam “okupasi” (resin, 35x10x10cm/50pcs), proses akuisisi kerap juga
dibumbui dengan profokasi ataupun intervensi ketika investor ada pada posisi
dominan. Tidak sedikit para investor yang menggandeng oknum aparat demi
memuluskan jalan. Masyarakat, pada akhirnya berada pada posisi tertindas.
Mereka tidak memiliki kekuatan untuk menolak. Persoalan tak hanya berhenti di
sini, pasca proses akuisisi, para investor tentu memiliki otoritas penuh untuk
memanfaatkan lahan yang mereka miliki termasuk mengalihkan fungsinya dari lahan
pertanian menjadi lahan industri tanpa memperdulikan keseimbangan ekosistem
alam maupun sosial. Pembangunan hotel dan resort terus berlangsung di setiap
bagian pulau dewata(Kuta, sanur, lovina, ubud, bedugul) hingga menimbulkan
kesenjangan.
Ada
sebuah hotel berbintang di tengah sawah, ada resort mewah bersebelahan dengan
pura desa, ada kapal selam di samping perahu nelayan. Kesenjangan inilah yang coba ditrasformasikan
oleh I wayan naya swantha melalui “hasil tangkapan” (mixed media, 90x140cm),
jala nelayan tidak lagi menjaring ikan melainkan sampah-sampah botol. Peralihan
fungsi lahan seperti telah disinggung di atas tentu membawa berbagai dampak,
termasuk pengelolaan sampah. Ada banyak perilaku tidak bertanggung jawab dari
para pengelola industri wisata yang membuang limbah-limbah industrinya ke laut
yang mengakibatkan kerusakan ekosistem.
Membuka
diri, tentu akan memberi berbagai dampak, positif maupun negatif. Secara sosial
maupun budaya. Industri wisata barangkali telah memberi banyak manfaat bagi
bertumbuhnya perekonomian masyarakat bali, tapi sekaligus membunuh kemurnian
tradisi yang telah diwariskan leluhur selama ratusan tahun. Dan kejadian
semacam ini, sudah berlangsung berpuluh-puluh tahun sejak bali membuka diri
sebagai surga wisata.
Gadis
bertelanjang dada itu sudah pergi sejak sore, tak menoleh sedikitpun
Tidak
pada pura yang buram, tidak pada malam yang suram. (Irianto Ibrahim, Bali)
Yk,
1 februari 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar