Catatan apresiasi terhadap karya Pupuk Daru Purnomo dalam pameran Meta/Mata
Pain is inevitable, suffering is
optional (Haruki Murakami)
Bagi seorang
perupa, mata adalah indera terpenting dari kelima indera lainnya. Karena
melalui mata, seorang perupa mampu menangkap realita kemudian sekali lagi
memvisualkannya ke dalam medium kanvas. Mengetahui ada penyakit yang menyerang
matanya, tentu menjadi pukulan yang amat berat bagi seorang perupa, apalagi di
tengah kematangan usia dan pengalamannya. Seperti sebuah pertaruhan, menang
melawan penyakit yang berarti bisa kembali melanjutkan karir keseniannya, atau
kalah dan karir kesenian cukup sampai disini. Tidak mudah berada dalam situasi
semacam itu, tapi diam sama artinya dengan menyerah, maka lebih baik melawan
dengan terus berkarya di tengah keterbatasan.
Berangkat
dari pengantar yang disampaikan oleh suwarno wisetrotomo selaku kurator
pameran, dapat dipahami bahwa karya-karya rupa Pupuk Daru Punomo dalam pameran
Meta/Mata adalah sebuah reduksi dari rasa sakit yang menyerang matanya beberapa
waktu belakangan ini, bahkan ditambahkan jika sakit itu juga kini menjalar ke
telinganya. Rasa sakit telah merenggut sebagian waktu berkeseniannya,
menggantinya dengan aktivitas-aktivitas medis yang tentu melelahkan dan menguras
pundi-pundi ekonominya.
Ada kisah serupa yang menimpa seorang komponis musik klasik berkebangsaan
jerman, ialah ludwing von beethoven. Pianis kelahiran tahun 1770 itu, tiba-tiba
mengalami ketulian pada kisaran tahun 1801, di saat usianya baru menginjak 31
tahun. Muncul kekhawatiran-kekhawatiran dalam dirinya, di puncak kariernya saat
itu, ia justru semakin dijauhkan dari pergaulan. Hidup yang mulanya penuh
puja-puji, seolah beralih sebaliknya. Ia hampir depresi, namun ketulian
tersebut rupanya tidak begitu saja menghalanginya untuk melahirkan
komposisi-komposisi baru, hingga akhirnya pada tahun 1817 telinganya mengalami
ketulian total.
Lain cerita, Frida Kahlo juga melahirkan karya melalui reduksi-reduksi
kesakitan, baik itu kesakitan fisik maupun batin yang dialami sepanjang
hidupnya. Masa belianya lebih banyak dihabiskan dengan belajar melukis di atas
kursi roda akibat kelumpuhan yang dideritanya pasca kecelakaan lalu lintas.
Bahkan hingga dewasa sekalipun, hidupnya sesak oleh kesakitan yang saling
menyusul; perselingkuhan diego riviera (suaminya), peralihan orientasi seksual,
termasuk kegagalannya memiliki anak. Kesakitan dari realita semacam itulah yang
kemudian banyak hadir dalam karya-karya besarnya.
Mata: optik
Siapa menyangka penyakit mata yang diderita oleh Pupuk justru menjadi inspirasi
bagi beberapa karyanya, antara lain karya patung “Potret Diri Dengan Gunting”
yang menampilkan visual yang begitu mengerikan. Sebuah gunting menancap pada
mata bagian kiri sosoknya. Barangkali, karya ini dimaksudkan untuk menyampaikan
atau memberi gambaran pada audiens perihal rasa sakit yang dialaminya selama
ini. Ia sadar bahwa lewat kengerian ataupun kesadisan, rasa sakit bisa
ditularkan, termasuk direduksi maknanya.
Karya lainnya yang terkait adalah lukisan-lukisan dalam “katarak series” yang
menghadirkan sosok-sosok seperti Frida Kahlo, Albrecht Durer, Van Gogh, juga
dirinya sendiri dalam visual colorblind test (alat tes buta warna) yang berupa
mozaik dari spektrum aneka warna. Karya ini seperti menyembunyikan sosok-sosok
tersebut dalam bias warna dan kontur, seakan diniatkan untuk menciptakan sebuah
paradoks perihal eksistensi tokoh-tokoh tersebut. Lebih jauhnya, dapat dimaknai
bahwa dalam hingar-bingar boom seni rupa kontemporer kini, dimanakah posisi
para pioneer tersebut? pernyataan tersebut seolah makin dikuatkan lewat karya
“buta senikah saya?”, puluhan lensa beraneka jenis disusun di hadapan sebuah
teks yang tersusun ‘B UT ASE NIKAH saya?’. Sebuah pertanyaan yang sangat
menohok. Selama ini, kita kerap kali diderap kesombongan, seakan-akan kitalah
yang paling memahami dunia seni.
Buta
senikah saya? Pertanyaan ini tentu tidak hanya ditujukan bagi dirinya seorang,
melainkan pada siapapun yang berkesempatan melihat karya ini.
Meta mata: mata
setelah mata
Beberapa karya rupa Pupuk memang menampilkan tema ‘Mata’ sebagai benda optikal
semata, kemudian mengeksplorasi dunia yang berkaitan dengannya. Akan tetapi,
membaca tema besar pameran ini “Meta/Mata”, yang bisa juga dibaca “meta mata”
kemudian menarik ke arah pembacaan yang cenderung menyimpang terhadap
karya-karya selain yang telah dikupas sebelumnya.
Meta mata bisa diterjemahkan sebagai mata yang melihat mata, maksudnya adalah
melihat sesuatu lewat mata kedua. Sebagai ilustrasi; A melihat C melalui
pantulan yang tertangkap oleh mata milik B, yang artinya A tidak melihat C
secara langsung. Objek yang tertangkap kemudian divisualkan oleh Pupuk dalam
serial kursi yang dipadupadankan dengan sketsa berbahan tinta di atas kertas
adalah objek-objek yang ditera ulang, diambil, disadap dari karya-karya maestro
dunia yang mungkin saja selama ini menjadi idola seorang Pupuk. Salah satunya
adalah lukisan jam meleleh “Persistence of Memory” milik Salvador Dali yang
ditera ulang menjadi dudukan kursi berbahan dasar perunggu. Jika dalam lukisan
Dali, jam tersebut tampil secara dwimatra, maka di sini menjadi trimatra
sehingga efek lelehan nampak semakin nyata. Di samping, lukisan-lukisan dari
tokoh lain yang ditorehkan di atas kursi perunggu lainnya.
Dalam pameran ini, seolah Pupuk juga ingin menyebut satu persatu tokoh-tokoh
dan masterpiece yang selama ini menjadi rujukannya dalam berkarya. Dalam karya
“potret diri dan nama tokoh(maestro meeting series)” tertulis puluhan nama
maestro dunia, juga dalam lukisan jajaran buku “hobby dan profesi(maestro
meeting series)”. Melalui karya ini, kita akan dibawa pada sebuah ruang yang
mempertemukan siapa saja maestro yang diidolakan atau menjadi rujukan baginya
dalam berkarya.
Pupuk sadar benar di tengah keterbatasan matanya dalam memandang realitas di
sekitarnya, ada realitas lain yang bisa ditangkap olehnya; tidak lewat matanya,
melainkan lewat pantulan mata para maestro idolanya tersebut. Sikap semacam ini
menjadi wajar bagi seniman di manapun, karena seorang seniman tidak pernah
lahir dari kealpaan terhadap sejarah; bahwa tokoh-tokoh atau masterpiece yang
mungkin tidak pernah ditemuinya secara langsung, melainkan hanya lewat buku
ataupun katalog sekalipun layak untuk dijadikan guru, dijadikan sebuah medium
pembelajaran sehingga dapat terjalin sebuah kesinambungan nilai estetis sebuah
karya seni dari satu periode ke periode berikutnya.
Titik balik
Melalui
pameran ini, kita diajak untuk sedikit mencermati satu fase hidup seorang
seniman. Bahwa rasa sakit, pada organ terpenting sekalipun tidak memupus
semangat berkeseniannya. Melainkan membalik opini, sakit adalah pelecut
kreatifitas.
Seperti
dikemukakan di atas, mata adalah organ terpenting bagi seorang perupa (pelukis
pada khususnya). Ketika sakit menyerangnya, bukan berarti harus menghentikan
proses kreatif. Melainkan mencari sebuah alternatif, dengan mengkondisikan diri
dalam kesadaran bahwa mata fisik mungkin tak lagi berfungsi, akan tetapi masih
ada mata lain yang tersimpan jauh di dalam diri. Melaluinya, seorang seniman
justru dapat menangkap realitas diluar realisme.
Sebagaimana
alegori yang pernah disampaikan Picasso, bahwa melukis adalah pekerjaan orang
buta. Begitupula Pupuk…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar