Kamis, 05 Desember 2013

MELAMPAUI MATA TELANJANG

Melampaui Mata Telanjang
Catatan apresiasi terhadap karya Pupuk Daru Purnomo dalam pameran Meta/Mata 
 
Pain is inevitable, suffering is optional (Haruki Murakami)



           

Bagi seorang perupa, mata adalah indera terpenting dari kelima indera lainnya. Karena melalui mata, seorang perupa mampu menangkap realita kemudian sekali lagi memvisualkannya ke dalam medium kanvas. Mengetahui ada penyakit yang menyerang matanya, tentu menjadi pukulan yang amat berat bagi seorang perupa, apalagi di tengah kematangan usia dan pengalamannya. Seperti sebuah pertaruhan, menang melawan penyakit yang berarti bisa kembali melanjutkan karir keseniannya, atau kalah dan karir kesenian cukup sampai disini. Tidak mudah berada dalam situasi semacam itu, tapi diam sama artinya dengan menyerah, maka lebih baik melawan dengan terus berkarya di tengah keterbatasan.



Berangkat dari pengantar yang disampaikan oleh suwarno wisetrotomo selaku kurator pameran, dapat dipahami bahwa karya-karya rupa Pupuk Daru Punomo dalam pameran Meta/Mata adalah sebuah reduksi dari rasa sakit yang menyerang matanya beberapa waktu belakangan ini, bahkan ditambahkan jika sakit itu juga kini menjalar ke telinganya. Rasa sakit telah merenggut sebagian waktu berkeseniannya, menggantinya dengan aktivitas-aktivitas medis yang tentu melelahkan dan menguras pundi-pundi ekonominya.

            Ada kisah serupa yang menimpa seorang komponis musik klasik berkebangsaan jerman, ialah ludwing von beethoven. Pianis kelahiran tahun 1770 itu, tiba-tiba mengalami ketulian pada kisaran tahun 1801, di saat usianya baru menginjak 31 tahun. Muncul kekhawatiran-kekhawatiran dalam dirinya, di puncak kariernya saat itu, ia justru semakin dijauhkan dari pergaulan. Hidup yang mulanya penuh puja-puji, seolah beralih sebaliknya. Ia hampir depresi, namun ketulian tersebut rupanya tidak begitu saja menghalanginya untuk melahirkan komposisi-komposisi baru, hingga akhirnya pada tahun 1817 telinganya mengalami ketulian total.

            Lain cerita, Frida Kahlo juga melahirkan karya melalui reduksi-reduksi kesakitan, baik itu kesakitan fisik maupun batin yang dialami sepanjang hidupnya. Masa belianya lebih banyak dihabiskan dengan belajar melukis di atas kursi roda akibat kelumpuhan yang dideritanya pasca kecelakaan lalu lintas. Bahkan hingga dewasa sekalipun, hidupnya sesak oleh kesakitan yang saling menyusul; perselingkuhan diego riviera (suaminya), peralihan orientasi seksual, termasuk kegagalannya memiliki anak. Kesakitan dari realita semacam itulah yang kemudian banyak hadir dalam karya-karya besarnya.



Mata: optik

            Siapa menyangka penyakit mata yang diderita oleh Pupuk justru menjadi inspirasi bagi beberapa karyanya, antara lain karya patung “Potret Diri Dengan Gunting” yang menampilkan visual yang begitu mengerikan. Sebuah gunting menancap pada mata bagian kiri sosoknya. Barangkali, karya ini dimaksudkan untuk menyampaikan atau memberi gambaran pada audiens perihal rasa sakit yang dialaminya selama ini. Ia sadar bahwa lewat kengerian ataupun kesadisan, rasa sakit bisa ditularkan, termasuk direduksi maknanya.

            Karya lainnya yang terkait adalah lukisan-lukisan dalam “katarak series” yang menghadirkan sosok-sosok seperti Frida Kahlo, Albrecht Durer, Van Gogh, juga dirinya sendiri dalam visual colorblind test (alat tes buta warna) yang berupa mozaik dari spektrum aneka warna. Karya ini seperti menyembunyikan sosok-sosok tersebut dalam bias warna dan kontur, seakan diniatkan untuk menciptakan sebuah paradoks perihal eksistensi tokoh-tokoh tersebut. Lebih jauhnya, dapat dimaknai bahwa dalam hingar-bingar boom seni rupa kontemporer kini, dimanakah posisi para pioneer tersebut? pernyataan tersebut seolah makin dikuatkan lewat karya “buta senikah saya?”, puluhan lensa beraneka jenis disusun di hadapan sebuah teks yang tersusun ‘B UT ASE NIKAH saya?’. Sebuah pertanyaan yang sangat menohok. Selama ini, kita kerap kali diderap kesombongan, seakan-akan kitalah yang paling memahami dunia seni.

Buta senikah saya? Pertanyaan ini tentu tidak hanya ditujukan bagi dirinya seorang, melainkan pada siapapun yang berkesempatan melihat karya ini.



Meta mata: mata setelah mata

            Beberapa karya rupa Pupuk memang menampilkan tema ‘Mata’ sebagai benda optikal semata, kemudian mengeksplorasi dunia yang berkaitan dengannya. Akan tetapi, membaca tema besar pameran ini “Meta/Mata”, yang bisa juga dibaca “meta mata” kemudian menarik ke arah pembacaan yang cenderung menyimpang terhadap karya-karya selain yang telah dikupas sebelumnya.

            Meta mata bisa diterjemahkan sebagai mata yang melihat mata, maksudnya adalah melihat sesuatu lewat mata kedua. Sebagai ilustrasi; A melihat C melalui pantulan yang tertangkap oleh mata milik B, yang artinya A tidak melihat C secara langsung. Objek yang tertangkap kemudian divisualkan oleh Pupuk dalam serial kursi yang dipadupadankan dengan sketsa berbahan tinta di atas kertas adalah objek-objek yang ditera ulang, diambil, disadap dari karya-karya maestro dunia yang mungkin saja selama ini menjadi idola seorang Pupuk. Salah satunya adalah lukisan jam meleleh “Persistence of Memory” milik Salvador Dali yang ditera ulang menjadi dudukan kursi berbahan dasar perunggu. Jika dalam lukisan Dali, jam tersebut tampil secara dwimatra, maka di sini menjadi trimatra sehingga efek lelehan nampak semakin nyata. Di samping, lukisan-lukisan dari tokoh lain yang ditorehkan di atas kursi perunggu lainnya.

            Dalam pameran ini, seolah Pupuk juga ingin menyebut satu persatu tokoh-tokoh dan masterpiece yang selama ini menjadi rujukannya dalam berkarya. Dalam karya “potret diri dan nama tokoh(maestro meeting series)” tertulis puluhan nama maestro dunia, juga dalam lukisan jajaran buku “hobby dan profesi(maestro meeting series)”. Melalui karya ini, kita akan dibawa pada sebuah ruang yang mempertemukan siapa saja maestro yang diidolakan atau menjadi rujukan baginya dalam berkarya.

            Pupuk sadar benar di tengah keterbatasan matanya dalam memandang realitas di sekitarnya, ada realitas lain yang bisa ditangkap olehnya; tidak lewat matanya, melainkan lewat pantulan mata para maestro idolanya tersebut. Sikap semacam ini menjadi wajar bagi seniman di manapun, karena seorang seniman tidak pernah lahir dari kealpaan terhadap sejarah; bahwa tokoh-tokoh atau masterpiece yang mungkin tidak pernah ditemuinya secara langsung, melainkan hanya lewat buku ataupun katalog sekalipun layak untuk dijadikan guru, dijadikan sebuah medium pembelajaran sehingga dapat terjalin sebuah kesinambungan nilai estetis sebuah karya seni dari satu periode ke periode berikutnya.



Titik balik

Melalui pameran ini, kita diajak untuk sedikit mencermati satu fase hidup seorang seniman. Bahwa rasa sakit, pada organ terpenting sekalipun tidak memupus semangat berkeseniannya. Melainkan membalik opini, sakit adalah pelecut kreatifitas.

Seperti dikemukakan di atas, mata adalah organ terpenting bagi seorang perupa (pelukis pada khususnya). Ketika sakit menyerangnya, bukan berarti harus menghentikan proses kreatif. Melainkan mencari sebuah alternatif, dengan mengkondisikan diri dalam kesadaran bahwa mata fisik mungkin tak lagi berfungsi, akan tetapi masih ada mata lain yang tersimpan jauh di dalam diri. Melaluinya, seorang seniman justru dapat menangkap realitas diluar realisme.

Sebagaimana alegori yang pernah disampaikan Picasso, bahwa melukis adalah pekerjaan orang buta. Begitupula Pupuk…



















Tidak ada komentar:

Posting Komentar