Biennale Jogja XII menuai kritik?
Disampaikan pada saat malam penutupan di gedung societet taman budaya Yogyakarta,
djoko pekik, pelukis senior yang malam itu menerima penghargaan lifetime achievement
dalam pernyataannya menyampaikan kritik yang begitu tajam untuk penyelenggara Biennale
Jogja XII. “Saya beberapa kali menyempatkan diri bersepeda untuk mengunjungi
beberapa lokasi pameran Biennale, tapi yang saya dapati sama: ruang pamer yang
kosong dan sepi,” begitu pelukis yang sempat mendekam di kamp pengasingan
selama masa orde baru mengawali kritiknya.
Sudah dua kali penyelenggaraan Biennale
dikelola oleh yayasan Biennale Jogja. Pada tahun 2011 yang mengusung tema “Shadowline”
dengan menggandeng seniman-seniman dari India sebagai partisipan, dan
penyelenggaraan tahun ini yang mengusung tema “Not A Dead End” dengan
menggandeng seniman dari lima negara mediterania sekaligus yaitu Mesir, Arab
Saudi, Uni Emirat Arab, Oman, dan Yaman. Sebelum itu, kurang lebih selama dua
puluh tahun penyelenggaraannya dikelola oleh dinas kebudayaan Yogyakarta yang
bekerjasama dengan taman budaya, juga kerapkali menggandeng seniman Yogyakarta
sebagai konseptor maupun pelaksana teknis.
Kita tentu belum lupa
penyelenggaraan Biennale Jogja X tahun
2009 yang waktu itu mengusung tema “Jogja Jamming” dengan menggandeng sekian
puluh seniman lokal Yogyakarta. “Kala itu, penyelenggaraan Biennale benar-benar
digarap menjadi sebuah pesta seni bagi para seniman,” tambah seniman yang juga
dijuluki pelukis satu milyar tersebut. Djoko pekik juga menambahkan betapa
bersemangatnya seniman-seniman kala itu dalam mempersiapkan pameran, Ia bahkan
turut menyaksikan ketika para seniman memasang patung-patung berukuran raksasa
di beberapa sudut kota Yogyakarta.
Sebenarnya bukan kali ini saja
penyelenggaraan Biennale Jogja menuai kritik pedas, pada 2011 beberapa seniman Jogja
menyatakan ketidaksepahamannya dengan konsep penyelenggara Biennale yang
dianggap menihilkan posisi para seniman asli Jogja, bahkan sempat muncul
artikel dengan tajuk “Biennale Jogja tanpa seniman Jogja”. Sejak di
serahkelolakan dari dinas kebudayaan ke yayasan Biennale Jogja, memang terjadi
perubahan konsep yang cukup mencolok. Jika sebelumnya Biennale ditempatkan
sebagai ajang eksistensi sekaligus kompetisi bagi sekian puluh seniman lokal
dan dikerjakan dengan azas gotong royong, sejak 2011 otomatis berubah drastis.
Penyelenggara hanya mengundang beberapa seniman lokal yang memang punya
reputasi cukup luas, sehingga banyak penilaian yang menyebut bahwa
penyelenggara Biennale terkesan mengekslusifkan gelarannya.
Dengan dalih ingin memperluas
jaringan internasional, penyelenggara Biennale Jogja justru menghapus peranan
para seniman lokal dalam menyokong penyelenggaraan Biennale itu sendiri. Para
seniman tersebut seolah hanya ditempatkan sebagai penonton yang dipaksa menimba
ilmu dari beberapa seniman luar negeri yang diundang, yang bahkan di negaranya
sendiri mungkin tidak dianggap. Penyelenggara menyasar seniman-seniman dari
negara yang berada pada lintasan jalur katulistiwa atau equator, dengan
anggapan bahwa sebagai sesama negara tropis, selain memiliki kemiripan
geografis juga memiliki kemiripan kultur budaya dan sosial sehingga dapat
dijadikan medium refleksi bagi seni rupa di Yogyakarta pada khususnya.
Biennale Jogja XII 2013 telah
ditutup seiring beralihnya tahun 2014, “berkaca dari dua kali penyelenggaraan
yang lalu, dengan segala kritik atas kekurangannya, akan menjadi masukan untuk
penyelenggaraan Biennale Jogja dua tahun mendatang,” tukas Yustina Neni,
direktur yayasan Biennale Jogja. Seluruh masyarakat Yogyakarta, juga penikmat
seni di Indonesia tentu menunggu perhelatan Biennale Jogja XIII tahun 2015
mendatang. Berbagai harapan tentu diselipkan disana, baik dari para seniman
sebagai pelaku di dunia seni maupun masyarakat luas sebagai penyaksi. Penyelenggara
telah menentukan Nigeria akan menjadi negara rekanan, mereka akan mengundang
seniman-seniman dari negara tersebut, kita tentu tidak sabar untuk menyaksikan
atraksi visual seperti apa yang kelak dihadirkan dua tahun mendatang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar