Selasa, 07 Januari 2014

Biennale Jogja XII Menuai Kritik




 
(taman berbulan kembar, karya eko nugroho - Jogja Nasional Museum)
Biennale Jogja XII menuai kritik? Disampaikan pada saat malam penutupan di gedung societet taman budaya Yogyakarta, djoko pekik, pelukis senior yang malam itu menerima penghargaan lifetime achievement dalam pernyataannya menyampaikan kritik yang begitu tajam untuk penyelenggara Biennale Jogja XII. “Saya beberapa kali menyempatkan diri bersepeda untuk mengunjungi beberapa lokasi pameran Biennale, tapi yang saya dapati sama: ruang pamer yang kosong dan sepi,” begitu pelukis yang sempat mendekam di kamp pengasingan selama masa orde baru mengawali kritiknya.

Sudah dua kali penyelenggaraan Biennale dikelola oleh yayasan Biennale Jogja. Pada tahun 2011 yang mengusung tema “Shadowline” dengan menggandeng seniman-seniman dari India sebagai partisipan, dan penyelenggaraan tahun ini yang mengusung tema “Not A Dead End” dengan menggandeng seniman dari lima negara mediterania sekaligus yaitu Mesir, Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Oman, dan Yaman. Sebelum itu, kurang lebih selama dua puluh tahun penyelenggaraannya dikelola oleh dinas kebudayaan Yogyakarta yang bekerjasama dengan taman budaya, juga kerapkali menggandeng seniman Yogyakarta sebagai konseptor maupun pelaksana teknis.
Kita tentu belum lupa penyelenggaraan  Biennale Jogja X tahun 2009 yang waktu itu mengusung tema “Jogja Jamming” dengan menggandeng sekian puluh seniman lokal Yogyakarta. “Kala itu, penyelenggaraan Biennale benar-benar digarap menjadi sebuah pesta seni bagi para seniman,” tambah seniman yang juga dijuluki pelukis satu milyar tersebut. Djoko pekik juga menambahkan betapa bersemangatnya seniman-seniman kala itu dalam mempersiapkan pameran, Ia bahkan turut menyaksikan ketika para seniman memasang patung-patung berukuran raksasa di beberapa sudut kota Yogyakarta.
Sebenarnya bukan kali ini saja penyelenggaraan Biennale Jogja menuai kritik pedas, pada 2011 beberapa seniman Jogja menyatakan ketidaksepahamannya dengan konsep penyelenggara Biennale yang dianggap menihilkan posisi para seniman asli Jogja, bahkan sempat muncul artikel dengan tajuk “Biennale Jogja tanpa seniman Jogja”. Sejak di serahkelolakan dari dinas kebudayaan ke yayasan Biennale Jogja, memang terjadi perubahan konsep yang cukup mencolok. Jika sebelumnya Biennale ditempatkan sebagai ajang eksistensi sekaligus kompetisi bagi sekian puluh seniman lokal dan dikerjakan dengan azas gotong royong, sejak 2011 otomatis berubah drastis. Penyelenggara hanya mengundang beberapa seniman lokal yang memang punya reputasi cukup luas, sehingga banyak penilaian yang menyebut bahwa penyelenggara Biennale terkesan mengekslusifkan gelarannya.
Dengan dalih ingin memperluas jaringan internasional, penyelenggara Biennale Jogja justru menghapus peranan para seniman lokal dalam menyokong penyelenggaraan Biennale itu sendiri. Para seniman tersebut seolah hanya ditempatkan sebagai penonton yang dipaksa menimba ilmu dari beberapa seniman luar negeri yang diundang, yang bahkan di negaranya sendiri mungkin tidak dianggap. Penyelenggara menyasar seniman-seniman dari negara yang berada pada lintasan jalur katulistiwa atau equator, dengan anggapan bahwa sebagai sesama negara tropis, selain memiliki kemiripan geografis juga memiliki kemiripan kultur budaya dan sosial sehingga dapat dijadikan medium refleksi bagi seni rupa di Yogyakarta pada khususnya.
Biennale Jogja XII 2013 telah ditutup seiring beralihnya tahun 2014, “berkaca dari dua kali penyelenggaraan yang lalu, dengan segala kritik atas kekurangannya, akan menjadi masukan untuk penyelenggaraan Biennale Jogja dua tahun mendatang,” tukas Yustina Neni, direktur yayasan Biennale Jogja. Seluruh masyarakat Yogyakarta, juga penikmat seni di Indonesia tentu menunggu perhelatan Biennale Jogja XIII tahun 2015 mendatang. Berbagai harapan tentu diselipkan disana, baik dari para seniman sebagai pelaku di dunia seni maupun masyarakat luas sebagai penyaksi. Penyelenggara telah menentukan Nigeria akan menjadi negara rekanan, mereka akan mengundang seniman-seniman dari negara tersebut, kita tentu tidak sabar untuk menyaksikan atraksi visual seperti apa yang kelak dihadirkan dua tahun mendatang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar