Perempuan itu duduk dalam posisi
yang labil, menekuk lutut kirinya, tangannya mengambang di antara latar kuning
semu. Goresan-goresan yang menyusunnya memberi kesan ekspresif dengan efek
kedalaman yang ditopang garis luar dari warna-warna gelap. Lukisan itu adalah
karya Jeihan sukmantoro, seorang pelukis kelahiran boyolali yang kini menetap
dan berkarya di Bandung.
Sebagian besar lukisannya memang
didominasi oleh figur-figur perempuan yang ditemuinya dalam keseharian. Entah
sudah berapa nama yang ia naikkan ke atas kanvas, namun demikian figur-figur
tersebut dilukis dengan satu kesamaan; bermata kosong. Entah sebagai ciri khas
semata, atau menjadi upaya untuk menciptakan enigma dari setiap figur yang
dilukisnya.
Bagi Jeihan, setiap figur yang
dilukisnya memiliki kepribadian sekaligus aura dan misterinya masing-masing.
oleh karena itu, sebelum melukis Jeihan akan terlebih dahulu menjalin relasi
yang intim dengan model yang akan dilukis. Tujuannya tak lain untuk menggali
kepribadian, aura dan misteri yang dimiliki oleh sang model sehingga dapat
dihadirkan olehnya di atas kanvas.
Selama 50 tahun lebih berkarya, Jeihan
boleh dibilang cukup betah untuk terus menerus melukis figur perempuan. Sangat
jarang seorang perupa yang memiliki nafas panjang untuk berkutat dengan ihwal
yang bisa dibilang “begitu-begitu saja”. Perupa lain mungkin akan memilih untuk
membuat periodisasi dalam proses berkaryanya. Misalnya saja rekan seangkatan Jeihan
di bandung, Srihadi sudarsono yang mulanya menekuni abstrak kubisme pada
kisaran tahun 70-an beralih melukis figur-figur penari secara ekpresif, lalu
beralih lagi melukis suasana meditatif dari candi borobudur.
Sah saja jika seorang perupa
ingin membuat periodisasinya sendiri, namun konsistensi Jeihan juga tak
sepantasnya disebut sebagai sebuah stagnansi atau kemonotonan. Bukan juga
sebuah kemandegan dalam menemukan objek-objek baru sebagai medium ekspresi
keseniannya.
Seolah ada yang tak pernah
selesai diungkapkan oleh Jeihan melalui figur-figur yang dilukisnya. Seorang pelukis
keturunan Yahudi-Italia yang tinggal di Paris, Amedeo Modigliani juga melukis
figur-figur yang serupa Jeihan meskipun tidak semuanya figur perempuan.
Kemiripan dari figurnya adalah sama-sama bermata kosong, terutama
lukisan-lukisan yang mengangkat figur istrinya, Jeanne Hebuterne. Seperti Jeihan,
Modigliani juga merasa ada misteri yang tak bisa diungkap dari diri Jeanne.
Jeihan termasuk seorang pelukis
yang sangat spontan saat melukis. Saat ia merasa telah menangkap aura dari
model yang akan dilukisnya, ia akan segera menggoreskan kuasnya di permukaan
kanvas. Membuat outline kasar lalu menciptakan latar dengan goresan yang lebih
lebar dan basah, lalu membiarkan lelehan cat itu menciptakan gradasi yang
dramatis. Tanpa perlu menunggu lama, hanya dalam hitungan menit saja figur
dalam lukisan itu telah nampak menyerupai aslinya.
Kelam adalah suasana pertama yang
tertangkap dari setiap lukisan Jeihan, seolah tak ada keceriaan yang
ditampilkan oleh setiap figurnya. Mungkin begitupula ia memandang hidup sang
model, atau juga hidupnya.
Terlahir dari keluarga yang
terbilang kurang mampu, Jeihan kecil tak diasuh oleh orang tuanya sendiri,
melainkan dititipkan pada bibi dari pihak ibunya. Ia sempat mengalami mati suri
pada usia 5 tahun akibat terjatuh dari anak tangga, tapi kecelakaan itu hanya
meninggalkan cacat permanen di otaknya yang membuatnya tak bisa belajar di
sekolah umum.
Titik balik hidup terjadi saat
usianya menginjak 14 tahun, setelah lulus dari ujian persamaan SMP, Jeihan muda
justru berhasil masuk ke SMA terbaik di surakarta. Di sekolah itulah ia bertemu
dengan sapardi djoko damono, penyair sekaligus guru besar Universitas Indonesia
yang hingga kini menjadi sahabat terdekatnya.
Lukisan Jeihan adalah sebuah
enigma, melalui figur bermata kosong dengan latar warna-warna oker itulah
setiap orang yang menatap lukisannya seolah dipaksa untuk menelusuri sisi
kedalaman dari setiap objek yang ada di dalamnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar