Senin, 24 Februari 2014

Menatap Mata Kosong Jeihan





Perempuan itu duduk dalam posisi yang labil, menekuk lutut kirinya, tangannya mengambang di antara latar kuning semu. Goresan-goresan yang menyusunnya memberi kesan ekspresif dengan efek kedalaman yang ditopang garis luar dari warna-warna gelap. Lukisan itu adalah karya Jeihan sukmantoro, seorang pelukis kelahiran boyolali yang kini menetap dan berkarya di Bandung.

Sebagian besar lukisannya memang didominasi oleh figur-figur perempuan yang ditemuinya dalam keseharian. Entah sudah berapa nama yang ia naikkan ke atas kanvas, namun demikian figur-figur tersebut dilukis dengan satu kesamaan; bermata kosong. Entah sebagai ciri khas semata, atau menjadi upaya untuk menciptakan enigma dari setiap figur yang dilukisnya.
Bagi Jeihan, setiap figur yang dilukisnya memiliki kepribadian sekaligus aura dan misterinya masing-masing. oleh karena itu, sebelum melukis Jeihan akan terlebih dahulu menjalin relasi yang intim dengan model yang akan dilukis. Tujuannya tak lain untuk menggali kepribadian, aura dan misteri yang dimiliki oleh sang model sehingga dapat dihadirkan olehnya di atas kanvas.
Selama 50 tahun lebih berkarya, Jeihan boleh dibilang cukup betah untuk terus menerus melukis figur perempuan. Sangat jarang seorang perupa yang memiliki nafas panjang untuk berkutat dengan ihwal yang bisa dibilang “begitu-begitu saja”. Perupa lain mungkin akan memilih untuk membuat periodisasi dalam proses berkaryanya. Misalnya saja rekan seangkatan Jeihan di bandung, Srihadi sudarsono yang mulanya menekuni abstrak kubisme pada kisaran tahun 70-an beralih melukis figur-figur penari secara ekpresif, lalu beralih lagi melukis suasana meditatif dari candi borobudur.
Sah saja jika seorang perupa ingin membuat periodisasinya sendiri, namun konsistensi Jeihan juga tak sepantasnya disebut sebagai sebuah stagnansi atau kemonotonan. Bukan juga sebuah kemandegan dalam menemukan objek-objek baru sebagai medium ekspresi keseniannya.
Seolah ada yang tak pernah selesai diungkapkan oleh Jeihan melalui figur-figur yang dilukisnya. Seorang pelukis keturunan Yahudi-Italia yang tinggal di Paris, Amedeo Modigliani juga melukis figur-figur yang serupa Jeihan meskipun tidak semuanya figur perempuan. Kemiripan dari figurnya adalah sama-sama bermata kosong, terutama lukisan-lukisan yang mengangkat figur istrinya, Jeanne Hebuterne. Seperti Jeihan, Modigliani juga merasa ada misteri yang tak bisa diungkap dari diri Jeanne.
Jeihan termasuk seorang pelukis yang sangat spontan saat melukis. Saat ia merasa telah menangkap aura dari model yang akan dilukisnya, ia akan segera menggoreskan kuasnya di permukaan kanvas. Membuat outline kasar lalu menciptakan latar dengan goresan yang lebih lebar dan basah, lalu membiarkan lelehan cat itu menciptakan gradasi yang dramatis. Tanpa perlu menunggu lama, hanya dalam hitungan menit saja figur dalam lukisan itu telah nampak menyerupai aslinya.
Kelam adalah suasana pertama yang tertangkap dari setiap lukisan Jeihan, seolah tak ada keceriaan yang ditampilkan oleh setiap figurnya. Mungkin begitupula ia memandang hidup sang model, atau juga hidupnya.
Terlahir dari keluarga yang terbilang kurang mampu, Jeihan kecil tak diasuh oleh orang tuanya sendiri, melainkan dititipkan pada bibi dari pihak ibunya. Ia sempat mengalami mati suri pada usia 5 tahun akibat terjatuh dari anak tangga, tapi kecelakaan itu hanya meninggalkan cacat permanen di otaknya yang membuatnya tak bisa belajar di sekolah umum.
Titik balik hidup terjadi saat usianya menginjak 14 tahun, setelah lulus dari ujian persamaan SMP, Jeihan muda justru berhasil masuk ke SMA terbaik di surakarta. Di sekolah itulah ia bertemu dengan sapardi djoko damono, penyair sekaligus guru besar Universitas Indonesia yang hingga kini menjadi sahabat terdekatnya.
Lukisan Jeihan adalah sebuah enigma, melalui figur bermata kosong dengan latar warna-warna oker itulah setiap orang yang menatap lukisannya seolah dipaksa untuk menelusuri sisi kedalaman dari setiap objek yang ada di dalamnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar