oleh Dwi S. Wibowo
Relasi antara manusia dan kota menjadi semacam kata kunci
untuk memasuki pameran “pukul 4 di ruang publik” yang digelar oleh Kedai kebun
forum yang bekerja sama dengan Langgeng art foundation. Pameran ini
mengkombinasikan empat seniman dengan latar keahlian yang secara spesifik
berbeda dalam satu kerangka pameran seni rupa, sehingga terjalin sebuah narasi
yang tersusun dari empat subtema yang digarap oleh masing-masing seniman.
Keempat seniman tersebut adalah Tia pamungkas, Nindityo adipurnomo, Hanura hosea,
dan Agnesia linda.
Tia pamungkas yang lebih dikenal sebagai seorang sosiolog memilih
untuk mengkontekstualisasikan gagasan Henry lefebvre di ruang kota Yogyakarta.
Dengan menggarap subtema “Produksi Ruang Sosial” yang ditransformasikan ke
dalam sebuah video interaktif yang menampilkan fragmen dari ruang-ruang yang
terdapat di Yogyakarta. Melalui video interaktif tersebut, secara singkat,
narasi sebuah kota dibangun melalui wacana sosial yang terjalin antar individu
yang bermukim dan menjalankan aktivitasnya di sebuah kota. Dengan kata lain,
relasi antar manusia di dalam ruang kotalah yang membentuk kultur disana, sebagaimana
diadopsi dari konsep “The Production of Space” milik Henry lefebvre.
Melalui video interaktif tersebut, Tia juga menantang para
audiens untuk turut berpartisipasi dengan cara mengajukan sebuah pertanyaan
yang berkaitan dengan kegelisahan di ruang publik. Pertanyaan-pertanyaan
tersebut akan menjadi pemantik pada open lecture yang digelar menjelang
penutupan pameran ini.
Tidak jauh dengan gagasan yang diusung oleh Tia pamungkas,
Nindityo adipurnomo yang juga menggarap persoalan relasi antar manusia di ruang
publik ini mengusung subtema “Suara Dari yang Tidak Mendengarkan”. Nindityo
menampilkan beberapa karya terbarunya dan juga beberapa karya lama dengan
visual yang sedikit berbeda. Jika pada karya lama banyak menampilkan pengeras
suara, pada karya terbaru justru sebaliknya menampilkan microphone sebagai
objek. Dalam pameran ini, Nindityo masih membawa karyanya yang berjudul “Post
Tolerance”, karya ini menjadi pintu masuk untuk menelusuri relasi antar manusia
dalam kerangka religiusitas dalam karya-karyanya yang lain. Instalasi “Post
Tolerance” ini menghadirkan sebuah pengeras suara Toa (yang biasanya terdapat
di masjid) yang disandingkan dengan miniatur-miniatur rumah ibadah dari
berbagai agama.
Selain instalasi, Nindityo cukup banyak menghadirkan lukisan
bermedium kertas yang dipadukan degan gouache di permukaannya. “Bahasa ungkap
air, gouache , dan kertas merupakan medium terdekat untuk mengorek pengalaman
klise saya,” tuturnya. Dari segi kontent tidak jauh berbeda dengan karya
instalasinya, lukisan-lukisannya dilampiri judul “The Honored Voice #1, #2, dan
#3”. Secara umum, Nindityo ingin memberi gambaran bahwa harmonisasi kota
terjalin melalui sebuah toleransi. Termasuk untuk hal yang paling prinsipil
bagi diri manusia, yaitu agama.
Hanura hosea yang dulu pernah tinggal di yogyakarta, namun
kini menetap di Jerman, memilih untuk menggarap subtema yang lebih domsetik
personal “Belepotan” dengan menghadirkan persoalan-persoalan individual yang
terjadi di ruang domestik keluarga dalam lingkup perkotaan. Karyanya didominasi
lukisan-lukisan di atas kanvas, selain sebuah patung sapi berbahan jerami dan
video animasi. “Ketika mencebur ke Yogya, tiba-tiba bertemu dengan keriangan
dan kesenangan untuk melukis,” kata Hanura.
Pengalamannya tinggal di negara maju seperti Jerman tentu
sedikit banyak memberi pengaruh yang cukup signifikan terhadap caranya
memandang persoalan-persoalan individu yang terjadi di perkotaan. Apalagi jika
dikontraskan antara situasi Yogyakarta dan Jerman yang memiliki sekian banyak
perbedaan. Sementara keberadaannya di Yogyakarta memang hanyalah nostalgia. Barangkali,
secara spesifik, persoalan perkotaan tidak hanya menyangkut masalah-masalah
yang kasat mata hadir di ruang umum. Persoalan-persoalan domestik dalam rumah
tangga termasuk juga dalam persoalan perkotaan. Misal saja pengelolaan sumber
energi (listrik, gas elpiji) domestik dan juga pengelolaan ruang-ruang privasi
di dalam rumah yang tentunya membawa pengaruh terhadap perilaku individu di
dalam dan luar rumah.
Sementara Agnesia linda mengemas persoalan relasi antara
manusia dan kota dalam dua pementasan fragmen yang mengusung tajuk “Fiksi yang
Malu-Malu,” dengan menggandeng Irfanudien ghozali dan Erson padapiran.
Sebagaimana diungkapkan oleh Tia pamungkas, pameran ini merealisasikan ataupun
mengkontekstualisasikan teori-teori sosial yang menyangkut relasi antara
manusia dan ruang-ruang di perkotaan terhadap situasi yang terjadi di
Yogyakarta. Pameran ini memberi gambaran yang konkret mengenai perilaku manusia
dalam membangun relasi dengan dirinya sendiri, relasi dengan sesama manusia,
dan juga relasi dengan ruang kota sebagai tempatnya bernaung.
*) dari pameran "pukul 4 di ruang publik," 7 april 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar