Selasa, 05 Agustus 2014

Relasi Manusia dan Kota




oleh Dwi S. Wibowo

Relasi antara manusia dan kota menjadi semacam kata kunci untuk memasuki pameran “pukul 4 di ruang publik” yang digelar oleh Kedai kebun forum yang bekerja sama dengan Langgeng art foundation. Pameran ini mengkombinasikan empat seniman dengan latar keahlian yang secara spesifik berbeda dalam satu kerangka pameran seni rupa, sehingga terjalin sebuah narasi yang tersusun dari empat subtema yang digarap oleh masing-masing seniman. Keempat seniman tersebut adalah Tia pamungkas, Nindityo adipurnomo, Hanura hosea, dan Agnesia linda. 


Tia pamungkas yang lebih dikenal sebagai seorang sosiolog memilih untuk mengkontekstualisasikan gagasan Henry lefebvre di ruang kota Yogyakarta. Dengan menggarap subtema “Produksi Ruang Sosial” yang ditransformasikan ke dalam sebuah video interaktif yang menampilkan fragmen dari ruang-ruang yang terdapat di Yogyakarta. Melalui video interaktif tersebut, secara singkat, narasi sebuah kota dibangun melalui wacana sosial yang terjalin antar individu yang bermukim dan menjalankan aktivitasnya di sebuah kota. Dengan kata lain, relasi antar manusia di dalam ruang kotalah yang membentuk kultur disana, sebagaimana diadopsi dari konsep “The Production of Space” milik Henry lefebvre.

Melalui video interaktif tersebut, Tia juga menantang para audiens untuk turut berpartisipasi dengan cara mengajukan sebuah pertanyaan yang berkaitan dengan kegelisahan di ruang publik. Pertanyaan-pertanyaan tersebut akan menjadi pemantik pada open lecture yang digelar menjelang penutupan pameran ini.

Tidak jauh dengan gagasan yang diusung oleh Tia pamungkas, Nindityo adipurnomo yang juga menggarap persoalan relasi antar manusia di ruang publik ini mengusung subtema “Suara Dari yang Tidak Mendengarkan”. Nindityo menampilkan beberapa karya terbarunya dan juga beberapa karya lama dengan visual yang sedikit berbeda. Jika pada karya lama banyak menampilkan pengeras suara, pada karya terbaru justru sebaliknya menampilkan microphone sebagai objek. Dalam pameran ini, Nindityo masih membawa karyanya yang berjudul “Post Tolerance”, karya ini menjadi pintu masuk untuk menelusuri relasi antar manusia dalam kerangka religiusitas dalam karya-karyanya yang lain. Instalasi “Post Tolerance” ini menghadirkan sebuah pengeras suara Toa (yang biasanya terdapat di masjid) yang disandingkan dengan miniatur-miniatur rumah ibadah dari berbagai agama. 

Selain instalasi, Nindityo cukup banyak menghadirkan lukisan bermedium kertas yang dipadukan degan gouache di permukaannya. “Bahasa ungkap air, gouache , dan kertas merupakan medium terdekat untuk mengorek pengalaman klise saya,” tuturnya. Dari segi kontent tidak jauh berbeda dengan karya instalasinya, lukisan-lukisannya dilampiri judul “The Honored Voice #1, #2, dan #3”. Secara umum, Nindityo ingin memberi gambaran bahwa harmonisasi kota terjalin melalui sebuah toleransi. Termasuk untuk hal yang paling prinsipil bagi diri manusia, yaitu agama. 

Hanura hosea yang dulu pernah tinggal di yogyakarta, namun kini menetap di Jerman, memilih untuk menggarap subtema yang lebih domsetik personal “Belepotan” dengan menghadirkan persoalan-persoalan individual yang terjadi di ruang domestik keluarga dalam lingkup perkotaan. Karyanya didominasi lukisan-lukisan di atas kanvas, selain sebuah patung sapi berbahan jerami dan video animasi. “Ketika mencebur ke Yogya, tiba-tiba bertemu dengan keriangan dan kesenangan untuk melukis,” kata Hanura.

Pengalamannya tinggal di negara maju seperti Jerman tentu sedikit banyak memberi pengaruh yang cukup signifikan terhadap caranya memandang persoalan-persoalan individu yang terjadi di perkotaan. Apalagi jika dikontraskan antara situasi Yogyakarta dan Jerman yang memiliki sekian banyak perbedaan. Sementara keberadaannya di Yogyakarta memang hanyalah nostalgia. Barangkali, secara spesifik, persoalan perkotaan tidak hanya menyangkut masalah-masalah yang kasat mata hadir di ruang umum. Persoalan-persoalan domestik dalam rumah tangga termasuk juga dalam persoalan perkotaan. Misal saja pengelolaan sumber energi (listrik, gas elpiji) domestik dan juga pengelolaan ruang-ruang privasi di dalam rumah yang tentunya membawa pengaruh terhadap perilaku individu di dalam dan luar rumah.  

Sementara Agnesia linda mengemas persoalan relasi antara manusia dan kota dalam dua pementasan fragmen yang mengusung tajuk “Fiksi yang Malu-Malu,” dengan menggandeng Irfanudien ghozali dan Erson padapiran. Sebagaimana diungkapkan oleh Tia pamungkas, pameran ini merealisasikan ataupun mengkontekstualisasikan teori-teori sosial yang menyangkut relasi antara manusia dan ruang-ruang di perkotaan terhadap situasi yang terjadi di Yogyakarta. Pameran ini memberi gambaran yang konkret mengenai perilaku manusia dalam membangun relasi dengan dirinya sendiri, relasi dengan sesama manusia, dan juga relasi dengan ruang kota sebagai tempatnya bernaung.


*) dari pameran "pukul 4 di ruang publik," 7 april 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar