Minggu, 31 Mei 2015

Late Post: Dari Resin Menuju Guggenheim










Nama Arin Dwihartanto Sunaryo belakangan ini menjadi perbincangan yang cukup hangat di kalangan seni rupa kontemporer Indonesia, maupun dunia. Bukan karena menyandang nama maestro seni rupa Sunaryo di belakang namanya, melainkan karena pencapaian karirnya yang dianggap melesat bak meteor. Terutama jika dibandingkan dengan perupa-perupa seusianya di Indonesia.
Pada saat booming pasar seni rupa di Indonesia pada kisaran 2006, nama Arin memang sama sekali tidak terdengar. Bukan karena karyanya tidak diminati kolektor, melainkan saat itu pria kelahian bandung tersebut tengah melanjutkan studinya di Central Saint Martin’s College of Art & Design, London setelah menamatkan studi awalnya di ITB.
Meskipun gemilang di usia muda, bukan berarti perupa asal bandung tersebut bisa dibilang karbitan, apalagi jika dianggap mendompleng dengan nama besar sang ayah. Arin terbilang cukup matang dalam dunia seni rupa, sejak kecil ia sudah akrab dengan cat dan kanvas. Darah seni juga mengalir deras dalam dirinya, ditambah lagi tempaan yang dialaminya selama menempuh pendidikan. Maka tidak heran jika pencapaian karyanya secara teknis maupun estetis jauh melampaui perupa lain seusianya.
Pada mulanya, karya-karya Arin justru didominasi oleh komik, manga, dan juga lukisan dengan medium cat minyak. Baru sekitar tahun 2009, ia memutuskan untuk beralih menggunakan medium resin. Semua berawal dari kebetulan, saat itu Arin tengah memanfaatkan resin cair untuk melapisi lukisannya agar lebih mengkilap. Alih-alih puas, matanya justru lebih terpikat mengamati lelehan resin yang mengucur di tepian kanvas yang menurutnya sangat natural.
Di Indonesia, medium resin lebih banyak digunakan untuk membuat patung dibandingkan untuk melukis. Mungkin Arinlah yang pertama melakukannya. Resin sebenarnya termasuk senyawa kimia berbahaya yang dihasilkan dari hasil pengolahan getah pohon. Penggunaan resin dalam proses penciptaan seni rupa maupun industri harus memperhatikan prosedur keselamatan yang cukup ketat.

Dari sifatnya yang berbahaya itulah, Arin justru menemukan keunggulan dari medium resin tersebut. Salah satunya adalah sifatnya yang cepat sekali mengering, sehingga tidak perlu menunggu lama untuk melapisinya dengan sapuan berikutnya. Selain itu juga sifatnya yang mudah larut dengan beraneka macam pigmen, sifat inilah yang benar-benar dimanfaatkan arin untuk mengekspresikan gagasannya.
Karyanya yang berjudul Volcanic dust benar-benar menggunakan abu vulkanik dari letusan gunung merapi sebagai pigmen pewarna resinnya, sehingga diperoleh campuran warna abu-abu dan cokelat yang begitu bersenyawa. Karya ini jugalah yang kemudian membawanya ke panggung dunia.
Menjelang akhir pamerannya di nadi gallery jakarta, pada 2012 silam. Arin masih merenungi nasib karyanya yang tidak laku terjual saat June Yap, salah seorang kurator dari museum Guggenheim mendatanginya dan menawarkan kesempatan pameran di museum kenamaan tersebut.
Saat itu June Yap memang tengah mencari perupa muda dari kawasan Asia untuk mengisi pameran di Guggenheim, nama Arin direkomendasikan oleh beberapa seniman dan kurator. Begitu bertemu dan melihat karyanya, June Yap langsung tertarik dan tidak perlu berpikir lebih lama untuk memboyongnya.
Berhasil mencatatkan nama di salah satu museum seni rupa terbesar dunia tentu membuat pria kelahiran tahun 1978 tersebut layak berbangga. Sang ayah, Sunaryo Soetono mengaku sangat beruntung memiliki putra yang bersinar di usia muda, “bahkan karya saya tidak pernah dipamerkan di guggenheim,” begitu selorohnya.

*) tulisan ini pernah dimuat di jogjareview.net

Tidak ada komentar:

Posting Komentar