Nama Arin Dwihartanto Sunaryo belakangan ini menjadi perbincangan yang
cukup hangat di kalangan seni rupa kontemporer Indonesia, maupun dunia. Bukan
karena menyandang nama maestro seni rupa Sunaryo di belakang namanya, melainkan
karena pencapaian karirnya yang dianggap melesat bak meteor. Terutama jika
dibandingkan dengan perupa-perupa seusianya di Indonesia.
Pada saat booming pasar seni rupa di Indonesia pada kisaran 2006, nama Arin
memang sama sekali tidak terdengar. Bukan karena karyanya tidak diminati
kolektor, melainkan saat itu pria kelahian bandung tersebut tengah melanjutkan
studinya di Central Saint Martin’s College of Art & Design, London setelah
menamatkan studi awalnya di ITB.
Meskipun gemilang di usia muda, bukan berarti perupa asal bandung
tersebut bisa dibilang karbitan, apalagi jika dianggap mendompleng dengan nama
besar sang ayah. Arin terbilang cukup matang dalam dunia seni rupa, sejak kecil
ia sudah akrab dengan cat dan kanvas. Darah seni juga mengalir deras dalam
dirinya, ditambah lagi tempaan yang dialaminya selama menempuh pendidikan. Maka
tidak heran jika pencapaian karyanya secara teknis maupun estetis jauh
melampaui perupa lain seusianya.
Pada mulanya, karya-karya Arin justru didominasi oleh komik, manga, dan
juga lukisan dengan medium cat minyak. Baru sekitar tahun 2009, ia memutuskan
untuk beralih menggunakan medium resin. Semua berawal dari kebetulan, saat itu Arin
tengah memanfaatkan resin cair untuk melapisi lukisannya agar lebih mengkilap.
Alih-alih puas, matanya justru lebih terpikat mengamati lelehan resin yang
mengucur di tepian kanvas yang menurutnya sangat natural.
Di Indonesia, medium resin lebih banyak digunakan untuk membuat patung
dibandingkan untuk melukis. Mungkin Arinlah yang pertama melakukannya. Resin
sebenarnya termasuk senyawa kimia berbahaya yang dihasilkan dari hasil
pengolahan getah pohon. Penggunaan resin dalam proses penciptaan seni rupa
maupun industri harus memperhatikan prosedur keselamatan yang cukup ketat.
Dari sifatnya yang berbahaya itulah, Arin justru menemukan keunggulan
dari medium resin tersebut. Salah satunya adalah sifatnya yang cepat sekali
mengering, sehingga tidak perlu menunggu lama untuk melapisinya dengan sapuan
berikutnya. Selain itu juga sifatnya yang mudah larut dengan beraneka macam
pigmen, sifat inilah yang benar-benar dimanfaatkan arin untuk mengekspresikan
gagasannya.
Karyanya yang berjudul Volcanic dust benar-benar menggunakan abu vulkanik
dari letusan gunung merapi sebagai pigmen pewarna resinnya, sehingga diperoleh
campuran warna abu-abu dan cokelat yang begitu bersenyawa. Karya ini jugalah
yang kemudian membawanya ke panggung dunia.
Menjelang akhir pamerannya di nadi gallery jakarta, pada 2012 silam. Arin
masih merenungi nasib karyanya yang tidak laku terjual saat June Yap, salah
seorang kurator dari museum Guggenheim mendatanginya dan menawarkan kesempatan
pameran di museum kenamaan tersebut.
Saat itu June Yap memang tengah mencari perupa muda dari kawasan Asia untuk
mengisi pameran di Guggenheim, nama Arin direkomendasikan oleh beberapa seniman
dan kurator. Begitu bertemu dan melihat karyanya, June Yap langsung tertarik
dan tidak perlu berpikir lebih lama untuk memboyongnya.
Berhasil mencatatkan nama di salah satu museum seni rupa terbesar dunia
tentu membuat pria kelahiran tahun 1978 tersebut layak berbangga. Sang ayah, Sunaryo
Soetono mengaku sangat beruntung memiliki putra yang bersinar di usia muda,
“bahkan karya saya tidak pernah dipamerkan di guggenheim,” begitu selorohnya.
*) tulisan ini pernah dimuat di jogjareview.net
Tidak ada komentar:
Posting Komentar