oleh Dwi S. Wibowo
Nama Sinta Tantra barangkali hanya sayup-sayup terdengar di telinga orang indonesia,
termasuk di kalangan seni rupanya. Padahal namanya tengah ramai diperbincangkan
oleh publik seni di London, Inggris. Beberapa karya muralnya khusus dipesan
oleh pengembang kawasan bisnis untuk menghiasi sebagian dinding di sana.
Ironis memang,
mewarisi darah Bali dari kedua orang tuanya tidak membuat nama Sinta berkibar
di indonesia. Selain karena tidak tinggal lama di indonesia, karyanya juga
tidak satupun yang beredar di pasar seni rupa indonesia.
Persinggungannya
dengan tanah leluhurnya ini memang tidak banyak. Sinta terlahir di New york,
amerika serikat pada 11 november 1979 lalu menempuh studi seni rupanya di
Inggris. Ia hanya beberapa kali pulang ke indonesia untuk kurun waktu yang
relatif singkat. Maka jadi terkesan wajar jika publik seni di sini tidak begitu
akrab mendengar namanya.
Meski demikian,
dalam berkarya Sinta tetap menampilkan nuansa ke-indonesiaan yang dimilikinya.
Citraan-citraan visual khas daratan tropis dapat dengan mudah dijumpai dalam
karyanya. Sinta cukup banyak melukiskan siluet pepohonan tropis yang dipadukan
dengan corak geometris berwarna cerah yang menjadi ciri khasnya selama ini.
Perupa lulusan Slade School of Fine Art
ini memang tidak mengkhususkan berkarya dalam medium kecil sebagaimana perupa
lain yang begitu intens melukis di atas kanvas. Karyanya justru lebih banyak
dijumpai di ruang-ruang publik dengan ukuran yang spektakuler. Baginya,
berkarya dalam ukuran besar tentu memberi tantangan yang besar juga. Apalagi bagi
seorang perempuan.
Selain adanya
tantangan, karya-karya berukuran besar, apalagi yang dikerjakan di ruang publik
juga menuntutnya untuk berkolaborasi. Proses inilah yang sangat dinikmatinya
dalam berkarya, karena dengan berkolaborasi seorang seniman dapat menambah
pengetahuan sekaligus mengkatkan kualitas karyanya.
Tidak hanya
dengan seniman, termasuk dengan arsitek, kontraktor, maupun pengembang. Hasil
kolaborasi tersebut dapat dilihat pada salah satu karyanya yang menghiasi
sebuah dinding jembatan di kawasan Canary Wharf, sebuah kawasan bisnis
terkemuka di london.
Tidak hanya itu, salah satu
karyanya bahkan khusus dipesan oleh pemerintah inggris untuk dipamerkan di
kedutaan besarnya di algiers, aljazair. Mereka tertarik setelah merasa garis lengkung
dan geometrisnya selaras dengan bentuk arsitektur bangunannya. Ini menjadi
prestasi dan kebanggan tersendiri baginya.
Belum lama ini, Sinta juga
mencoba mengembangkan tekniknya dengan melakukan kolaborasi bersama seorang
pematung yang juga temannya selama studi di Slade School of Fine Art, Nick
hornby. Nick bertugas membuat patung yang seluruh permukaannya putih polos,
bidang itulah yang menjadi kanvas bagi Sinta untuk menuangkan kreatifitasnya.
Hasil dari kolaborasi tersebut telah dipamerkan di One Canada Square, Canary
Wharf, London.
Meskipun tinggal di luar
negeri, Sinta tetap menaruh harapan besar untuk dapat berkarya di indonesia,
terutama di Bali. baginya, itulah salah satu cara untuk memberi sumbangan
secara riil bagi kampung halamannya. Kita tunggu saja!
*) tulisan ini pernah dipublikasikan di Jogjareview.net
Tidak ada komentar:
Posting Komentar