Minggu, 31 Mei 2015

Late post: Rumah “Gerak” Oka Astawa

oleh Dwi S. Wibowo


Catatan ini sekedar apresiasi untuk pameran “I+Dialog+I” di taman budaya yogyakarta, 11- 13 maret 2014, dan hanya mencakup beberapa karya lukis saja.



Ibarat  memasuki sebuah rumah, “gerak” adalah kunci untuk membuka pintu gerbang  lukisan-lukisan Oka astawa. Sebagaimana orang Bali kebanyakan, makna “gerak” dalam kehidupan sehari-hari tentu memiliki arti yang lebih mendalam dibanding hanya sebuah aktifitas fisik semata. Dalam setiap inci perpindahan tubuh memiliki afiliasi makna yang terhubung langsung dengan suatu sistem kosmos, baik yang secara kasat mata terjangkau oleh manusia, maupun yang tidak.
“Gerak” kerap kali dimaknai sebagai manifestasi rasa syukur atas limbahan karunia dari yang maha kuasa, oleh karenanya, hampir dalam setiap prosesi adat maupun agama senantiasa menyajikan tarian sebagai sebuah persembahan. Maka tarian senantiasa ditempatkan di ruang-ruang sakral peribadatan. Sebuah tarian juga senantiasa memiliki unsur-unsur filosofis sekaligus estetis yang secara tidak langsung mewakili sifat-sifat dari sang maha kuasa.
Dalam pandangan masyarakat Bali, yang cenderung konservatif, telah terjadi peleburan antara adat (kultural) dan agama (spiritual). Segala aturan yang ada di dalam adat merupakan kepanjangan tangan dari kuasa agama, dan aturan itu pulalah yang dijalankan dalam setiap ruang gerak mereka, baik sosial maupun individual. Peleburan tersebut juga menguburkan batas antara yang sakral dan yang profan, karena segala aktifitas dalam kehidupan sehari-hari menjadi cakupan dari aturan agama tersebut. Sehingga segala sesuatu yang tadinya bersifat profan, seakan-akan dihadirkan ulang manjadi sesuatu yang sakral. 

Singgah di teras, “Gerak” dalam kosmologis masyarakat Bali cakupannya menjadi semakin luas. “Gerak” tidak lagi berorientasi pada tarian semata, melainkan menjamah aktifitas fisik lainnya sepertihalnya bekerja, berladang, melukis, dan kesenian lainnya. Juga tidak ada batasan gender ataupun kelas sosial di dalamnya, semua memiliki relasi yang sama. Sehingga segala macam aktifitas menjadi memiliki afiliasi dengan makna ritual, yang kemudian menjadi upaya yang paling nyata untuk mendekatkan diri dengan sang maha kuasa. Konsepnya sebenarnya sangat sederhana, bahwasanya gerak menjadi aspek terpenting dalam mewujudkan keseimbangan semesta.
Dari jendela rumah lukisan Oka, relasi-relasi tersebut terlihat saling berkelebat di antara satu figur dan figur lainnya. Setiap figur yang ada dalam setiap lukisannya dihadirkan oleh oka dengan cara mendistorsinya sedemikian rupa sehingga yang tinggal hanyalah abstraksi. Seakan-akan ingin mengaburkan identitasnya masing-masing. Apakah lelaki atau perempuan, apakah tua atau muda. Tanpa memiliki identitas, semua figur tersebut menjadi tampil secara setara, meskipun dalam beberapa lukisan, ukuran menjadi penanda yang cukup jelas untuk membedakan struktur klasifikasinya.
Sekali lagi, “gerak” adalah kunci untuk masuk ke dalam lukisan Oka. Setiap figur yang anonim tersebut tampil secara aktif (bahkan hyperaktif). Selalu bergerak dalam narasi-narasi sederhana yang memuatnya. Akan tetapi, jika dicermati lebih mendalam mengenai segala tindakan yang dilakukan oleh figur-figur milik Oka, ada sebuah tegangan antara motif politis yang nyata secara visual dan motif lain yang mengarah pada kosmologis yang tampil secara tersirat.
Figur-figur tersebut tidak bergerak sebagaimana dalam sebuah tarian, melainkan dalam ruang gerak yang cenderung normatif, namun membentuk sebuah metafora. Oka sadar betul untuk tidak menampilkan gagasannya secara verbal. Dalam konteks ini, metafora (sekali lagi) menyamarkan setiap gagasannya. Sehingga setiap orang yang ingin masuk dalam lukisannya, seolah-olah disodori sekian banyak pintu untuk memaknainya.
Spiritualitas telah menjamah segala aspek kehidupan, bukankah relasi antara manusia dan sang maha kuasa juga terjalin bukan tanpa alasan, melainkan berlandaskan motif-motif politis tiap individu. Semakin dalam memasuki rumah oka, semakin banyak ruang yang berjajar sekaligus berseberangan. Masing-masing ruang tersebut mengundang rasa penasaran, hati-hati salah memasukinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar