oleh Dwi S. Wibowo
Lukisan itu seperti sebuah
pagelaran drama yang singkat; seorang perempuan tua tegak berdiri memegang
laras senapan di tangan kirinya, rautnya tajam dengan satu tangan lainnya
berkacak di pinggang. Mungkin itu sebuah tuntutan, mungkin juga sebuah
penghakiman. Di hadapannya, seorang pria berseragam infanteri nampak tersujud
menghamba, alih-alih memohon pengampunan atau justru menyerahkan diri.
Lukisan bertiti mangsa 2015 itu
diberi tajuk “Pengampunan (Forgiveness) #2” oleh pelukisnya, Mangu Putra. Bersama
karya-karya dari seorang seniman senior asal Korea Selatan, Kang Yo-Bae,
lukisan itu menjadi bagian dari tajuk besar pameran “Asian Realism” yang
dihelat Hak Go Jae gallery di Shanghai, Tiongkok pada 11 Juli.
Hak Go Jae merupakan salah satu
galeri ternama di Korea Selatan yang selama ini menjadi representasi dari
karya-karya seni kontemporer asal negeri ginseng tersebut. Tidak hanya memberi
ruang bagi seniman kontemporer secara umum, galeri ini secara lebih spesifik
juga menjadi corong bagi karya-karya para seniman yang cukup intens menyoroti berbagai
persoalan hak asasi manusia sekaligus menyuarakan perdamaian dunia. Untuk memperingati
pembukaan cabang barunya di Shanghai, galeri ini menggelar sebuah pameran
dengan melibatkan dua seniman yang memiliki kecenderungan karya bertema sosial,
terutama menyangkut sejarah kekerasan yang terjadi di negaranya masing-masing
sebagai refleksi dari perjuangan hak asasi manusia di Asia.
Sebagaimana digambarkan di
atas, Mangu Putra, pelukis realis yang berasal dari pulau dewata ini memang
memiliki kecenderungan karya dengan tema sosial yang sangat kuat. Terutama menyangkut
peristiwa sejarah yang terkait dengan tragedi kemanusiaan di Indonesia. Beberapa
karya termutakhirnya menunjukkan indikasi tersebut, tema seputar perang
kemerdekaan dan pembantaian terhadap para komunis cukup banyak hadir dalam
karyanya, termasuk dalam karya-karya yang dipamerkan di galeri Hak Go Jae.
Pameran ‘Asian Realism’ ini
sekaligus menjadi kelanjutan langkah Mangu Putra dalam menyuarakan gagasannya
tentang perjuangan mengungkap sejarah yang terjadi di Indonesia setelah
sebelumnya, pada 11 hingga 16 mei lalu bersama kurator Arif B. Prasetyo, ia diundang
untuk bicara dalam forum internasional tentang “Seni rupa, Demokrasi, HAM, dan
Perdamaian” di Gwangju Museum of Arts. Dalam
forum tersebut, Mangu Putra memaparkan tentang beberapa tragedi kemanusiaan di
Indonesia yang hingga hari ini masih menunggu untuk diungkap kebenarannya.
Seperti tragedi pembantaian terhadap pengikut komunisme yang hingga tahun
kelima puluh ini belum ada sikap resmi dari pemerintah dalam upaya penegakkan
hukum.
FORGIVENESS #2, oil on canvas, 200 x 200 cm, 2015 |
Pandangan Mangu Putra tentang
kemanusiaan itulah yang kemudian menarik perhatian pihak Hak Go Jae Gallery
untuk menyandingkannya dengan Kang Yo Bae, seorang seniman senior yang juga
memiliki perhatian khusus terhadap tragedi kemanusiaan yang terjadi di Korea
Selatan. Sebagaimana Indonesia, Korea Selatan juga memiliki riwayat kelam
tentang pembantaian kaum komunis yang terjadi pada kurun waktu 1948 hingga 1949.
Hingga hari ini, peristiwa tersebut terus dikenang sebagai catatan hitam yang
menodai sejarah oleh masyarakat setempat. Bahkan sebagai bentuk
pertanggungjawaban moriil, pemerintah Korea Selatan membangun replika pemakaman
di pulau Jeju untuk mengenang setiap tetes darah yang tumpah dari para martir.
Benang merah yang terjalin dari
sejarah kelam itulah yang menautkan deretan karya dari Mangu Putra dan Kang Yo
Bae. Keduanya barangkali termasuk sedikit seniman yang memiliki kepedulian
tentang berbagai peristiwa pedih yang menimpa bangsanya, sekaligus berani ikut
bersuara dalam upaya pengungkapan fakta sejarah yang sebenarnya. Tidak hanya di
Indonesia dan Korea Selatan, tragedi kemanusiaan semacam itu juga menimpa
sebagian negara asia lainnya. Dengan motif yang beragam; dari pergolakan kuasa
politik, ideologi, hingga konflik antar etnis, tragedi itu menjalar dari satu
negara ke negara lainnya secara perlahan.
Realitas kemanusiaan yang
dihadapi masyarakat Asia hari ini adalah setumpuk kertas berisi catatan dari
sejarah kelam yang menimpa bangsanya. Seiring dengan bergesernya pusat
peradaban ke benua timur ini, semakin tumbuh kesadaran dari negara-negara yang
tergabung di dalamnya untuk mulai memperbaiki diri dari noda sejarah.
Perjuangan meraih demokrasi dan hak asasi manusia secara serentak mulai
digemakan demi tercapainya perdamaian dunia. Tidak hanya untuk mengungkap fakta
sejarah dari peristiwa yang telah lalu, namun juga untuk menghentikan berbagai
tragedi yang masih berlangsung hingga hari ini. Mulai dari pemerintah,
masyarakat umum, hingga para seniman semestinya terus menyuarakan berbagai
tragedi kemanusiaan tersebut agar menjadi ingatan kolektif yang melekat
sekaligus menjadi penuntun bagi perjuangan Hak Asasi Manusia.
HEROES DAY HARI PAHLAWAN, 140x140 cm, oil & pastel on linen |
Mangu Putra sendiri tidak hanya
berusaha mengungkap fakta sejarah terkait tragedi pembantaian komunis yang
terjadi di Indonesia, melainkan secara berkelanjutan terus melalukan riset
sejarah tentang berbagai peristiwa yang pernah terjadi di negeri ini. Selain
melakukan riset terhadap teks-teks referensi berupa buku ataupun catatan
sejarah, riset yang dilakukan Mangu Putra juga menjangkau kumpulan foto
dokumenter dari peristiwa tersebut. Dari foto-foto itulah, proses visualisasi
sejarah itu berlangsung dalam studio Mangu Putra. Menurut kurator yang juga
sahabat karibnya, Arif B. Prasetyo, “selain Mangu, tidak banyak pelukis atau
seniman di Indonesia yang punya keberanian untuk mengangkat peristiwa sejarah
sebagai tema karya. Apalagi menyampaikan realita dalam karya tanpa melalui
simbol-simbol, karena itulah karya-karya Mangu Putra jadi sangat menonjol.”
Salah satu karyanya yang juga
dipamerkan dalam “Asian Realism” berkisah tentang perang Puputan Badung yang terjadi
di Bali tahun 1906. Masyarakat Bali yang sejak semula menolak tunduk pada kuasa
kolonialisme Belanda memilih jalan suci sebagai martir dengan menikam diri
dalam perang tersebut. Seperti terlukis dalam karya tersebut, bahwa mayat-mayat
yang berbalut kain serba putih itu pada akhirnya memberi dampak kekalahan
moriil yang dialami kubu Belanda. Lukisan tersebut juga dikonstruksi oleh Mangu
Putra secara kolektif dengan berdasar pada sekumpulan foto yang diperolehnya
pada proses riset.
Sejak awal, karya-karya Mangu
Putra memang didominasi berbagai tema sosial. Baginya, melukis adalah juga
mengungkap realitas sosial yang terjadi dalam masyarakat. Termasuk
karya-karyanya yang bertema sejarah, juga merupakan sebentuk upaya mengungkap
realitas yang terjadi pada peristiwa yang telah lalu tersebut. Sejarah yang
tercatat hari ini adalah milik penguasa, sejarah ditulis dan disebarkan untuk
kepentingan penguasa. Apalagi sejarah yang menyangkut tragedi kemanusiaan,
jangan-jangan sejarah yang beredar tentangnya justru membenarkan para pelaku.
Di sanalah, karya Mangu Putra menempatkan diri sebagai tawaran ulang sekaligus
pengingat atas segala sudut pandang terkait peristiwa tersebut.
*)tulisan ini dipublikasikan di majalah Sarasvati edisi Agustus 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar