Senin, 17 Agustus 2015

PERTEMUAN ‘LUKA’ DUA NEGARA

THE DEAD PENALTY OF LETDA RETA   EKSEKUSI LETDA RETA, oil on canvas, 190x290 cm, 2014 

oleh Dwi S. Wibowo
 Lukisan itu seperti sebuah pagelaran drama yang singkat; seorang perempuan tua tegak berdiri memegang laras senapan di tangan kirinya, rautnya tajam dengan satu tangan lainnya berkacak di pinggang. Mungkin itu sebuah tuntutan, mungkin juga sebuah penghakiman. Di hadapannya, seorang pria berseragam infanteri nampak tersujud menghamba, alih-alih memohon pengampunan atau justru menyerahkan diri.
Lukisan bertiti mangsa 2015 itu diberi tajuk “Pengampunan (Forgiveness) #2” oleh pelukisnya, Mangu Putra. Bersama karya-karya dari seorang seniman senior asal Korea Selatan, Kang Yo-Bae, lukisan itu menjadi bagian dari tajuk besar pameran “Asian Realism” yang dihelat Hak Go Jae gallery di Shanghai, Tiongkok pada 11 Juli.
Hak Go Jae merupakan salah satu galeri ternama di Korea Selatan yang selama ini menjadi representasi dari karya-karya seni kontemporer asal negeri ginseng tersebut. Tidak hanya memberi ruang bagi seniman kontemporer secara umum, galeri ini secara lebih spesifik juga menjadi corong bagi karya-karya para seniman yang cukup intens menyoroti berbagai persoalan hak asasi manusia sekaligus menyuarakan perdamaian dunia. Untuk memperingati pembukaan cabang barunya di Shanghai, galeri ini menggelar sebuah pameran dengan melibatkan dua seniman yang memiliki kecenderungan karya bertema sosial, terutama menyangkut sejarah kekerasan yang terjadi di negaranya masing-masing sebagai refleksi dari perjuangan hak asasi manusia di Asia.
Sebagaimana digambarkan di atas, Mangu Putra, pelukis realis yang berasal dari pulau dewata ini memang memiliki kecenderungan karya dengan tema sosial yang sangat kuat. Terutama menyangkut peristiwa sejarah yang terkait dengan tragedi kemanusiaan di Indonesia. Beberapa karya termutakhirnya menunjukkan indikasi tersebut, tema seputar perang kemerdekaan dan pembantaian terhadap para komunis cukup banyak hadir dalam karyanya, termasuk dalam karya-karya yang dipamerkan di galeri Hak Go Jae.
Pameran ‘Asian Realism’ ini sekaligus menjadi kelanjutan langkah Mangu Putra dalam menyuarakan gagasannya tentang perjuangan mengungkap sejarah yang terjadi di Indonesia setelah sebelumnya, pada 11 hingga 16 mei lalu bersama kurator Arif B. Prasetyo, ia diundang untuk bicara dalam forum internasional tentang “Seni rupa, Demokrasi, HAM, dan Perdamaian” di Gwangju Museum of Arts.  Dalam forum tersebut, Mangu Putra memaparkan tentang beberapa tragedi kemanusiaan di Indonesia yang hingga hari ini masih menunggu untuk diungkap kebenarannya. Seperti tragedi pembantaian terhadap pengikut komunisme yang hingga tahun kelima puluh ini belum ada sikap resmi dari pemerintah dalam upaya penegakkan hukum.
FORGIVENESS #2, oil on canvas, 200 x 200 cm, 2015

Pandangan Mangu Putra tentang kemanusiaan itulah yang kemudian menarik perhatian pihak Hak Go Jae Gallery untuk menyandingkannya dengan Kang Yo Bae, seorang seniman senior yang juga memiliki perhatian khusus terhadap tragedi kemanusiaan yang terjadi di Korea Selatan. Sebagaimana Indonesia, Korea Selatan juga memiliki riwayat kelam tentang pembantaian kaum komunis yang terjadi pada kurun waktu 1948 hingga 1949. Hingga hari ini, peristiwa tersebut terus dikenang sebagai catatan hitam yang menodai sejarah oleh masyarakat setempat. Bahkan sebagai bentuk pertanggungjawaban moriil, pemerintah Korea Selatan membangun replika pemakaman di pulau Jeju untuk mengenang setiap tetes darah yang tumpah dari para martir.
Benang merah yang terjalin dari sejarah kelam itulah yang menautkan deretan karya dari Mangu Putra dan Kang Yo Bae. Keduanya barangkali termasuk sedikit seniman yang memiliki kepedulian tentang berbagai peristiwa pedih yang menimpa bangsanya, sekaligus berani ikut bersuara dalam upaya pengungkapan fakta sejarah yang sebenarnya. Tidak hanya di Indonesia dan Korea Selatan, tragedi kemanusiaan semacam itu juga menimpa sebagian negara asia lainnya. Dengan motif yang beragam; dari pergolakan kuasa politik, ideologi, hingga konflik antar etnis, tragedi itu menjalar dari satu negara ke negara lainnya secara perlahan.
Realitas kemanusiaan yang dihadapi masyarakat Asia hari ini adalah setumpuk kertas berisi catatan dari sejarah kelam yang menimpa bangsanya. Seiring dengan bergesernya pusat peradaban ke benua timur ini, semakin tumbuh kesadaran dari negara-negara yang tergabung di dalamnya untuk mulai memperbaiki diri dari noda sejarah. Perjuangan meraih demokrasi dan hak asasi manusia secara serentak mulai digemakan demi tercapainya perdamaian dunia. Tidak hanya untuk mengungkap fakta sejarah dari peristiwa yang telah lalu, namun juga untuk menghentikan berbagai tragedi yang masih berlangsung hingga hari ini. Mulai dari pemerintah, masyarakat umum, hingga para seniman semestinya terus menyuarakan berbagai tragedi kemanusiaan tersebut agar menjadi ingatan kolektif yang melekat sekaligus menjadi penuntun bagi perjuangan Hak Asasi Manusia.
HEROES DAY   HARI PAHLAWAN, 140x140 cm, oil & pastel on linen

Mangu Putra sendiri tidak hanya berusaha mengungkap fakta sejarah terkait tragedi pembantaian komunis yang terjadi di Indonesia, melainkan secara berkelanjutan terus melalukan riset sejarah tentang berbagai peristiwa yang pernah terjadi di negeri ini. Selain melakukan riset terhadap teks-teks referensi berupa buku ataupun catatan sejarah, riset yang dilakukan Mangu Putra juga menjangkau kumpulan foto dokumenter dari peristiwa tersebut. Dari foto-foto itulah, proses visualisasi sejarah itu berlangsung dalam studio Mangu Putra. Menurut kurator yang juga sahabat karibnya, Arif B. Prasetyo, “selain Mangu, tidak banyak pelukis atau seniman di Indonesia yang punya keberanian untuk mengangkat peristiwa sejarah sebagai tema karya. Apalagi menyampaikan realita dalam karya tanpa melalui simbol-simbol, karena itulah karya-karya Mangu Putra jadi sangat menonjol.”
Salah satu karyanya yang juga dipamerkan dalam “Asian Realism” berkisah tentang perang Puputan Badung yang terjadi di Bali tahun 1906. Masyarakat Bali yang sejak semula menolak tunduk pada kuasa kolonialisme Belanda memilih jalan suci sebagai martir dengan menikam diri dalam perang tersebut. Seperti terlukis dalam karya tersebut, bahwa mayat-mayat yang berbalut kain serba putih itu pada akhirnya memberi dampak kekalahan moriil yang dialami kubu Belanda. Lukisan tersebut juga dikonstruksi oleh Mangu Putra secara kolektif dengan berdasar pada sekumpulan foto yang diperolehnya pada proses riset.
Sejak awal, karya-karya Mangu Putra memang didominasi berbagai tema sosial. Baginya, melukis adalah juga mengungkap realitas sosial yang terjadi dalam masyarakat. Termasuk karya-karyanya yang bertema sejarah, juga merupakan sebentuk upaya mengungkap realitas yang terjadi pada peristiwa yang telah lalu tersebut. Sejarah yang tercatat hari ini adalah milik penguasa, sejarah ditulis dan disebarkan untuk kepentingan penguasa. Apalagi sejarah yang menyangkut tragedi kemanusiaan, jangan-jangan sejarah yang beredar tentangnya justru membenarkan para pelaku. Di sanalah, karya Mangu Putra menempatkan diri sebagai tawaran ulang sekaligus pengingat atas segala sudut pandang terkait peristiwa tersebut.
*)tulisan ini dipublikasikan di majalah Sarasvati edisi Agustus 2015


Tidak ada komentar:

Posting Komentar