Rabu, 15 Juli 2015

RITUS SUNYI DALAM RIUH MANUSIA URBAN


I Wayan Suja_Trafic Light_2015_oil on canvas_120x150 cm

Oleh Dwi S. Wibowo
Arus pariwisata yang demikian deras menghujam Bali, mau tidak mau menimbulkan dampak sosial yang tidak sedikit. Persinggungan antara wisatawan asing yang datang membawa modernitas dengan penduduk setempat yang masih berbasis tradisi telah melahirkan suatu lanskap multikultur. Secara kasat mata, dampak tersebut nampak dari berkembangnya beberapa daerah pedesaan menjadi kosmopolitan, lengkap dengan gemerlap lampu reklame yang saling berebut pandangan. Hal tersebut sekaligus berimbas pada tumbuhnya mentalitas urban pada masyarakat Bali yang semula memegang teguh nilai-nilai spiritual.
Tegangan antara hasrat menjadi manusia kosmopolit dan tarikan nilai-nilai spiritual mustahil untuk dihindari, sehingga dari sana lahirlah masyarakat spiritual yang khusyuk namun semu. Fenomena tersebut menggelitik sejumlah perupa yang berasal dari Bali untuk meresponnya dengan menghelat pameran yang bertajuk “Spiritualitas Urban”. Tidak hanya memandang fenomena urban yang berlangsung di Bali, mereka juga mengajak serta para perupa dari Bandung untuk urun rembug dengan menghadirkan fenomena serupa yang terjadi di kotanya.
Pameran yang dihelat di Sudakara Art Space Sanur hingga 10 Agustus tersebut melibatkan sejumlah perupa Bali, mereka antara lain Wayan Suja, Wayan Upadana, Made Muliana “Bayak”, Made Wiguna Valasara, Jaya Putra dan Ngakan Ardana. Sedangkan perupa Bandung yang turut andil dalam pameran ini ialah Willy Himawan, Dadan Setiawan, Guntur Timur, Muhammad Regie Aquara, dan Imam Sapari. Masing-masing dari mereka menawarkan berbagai persoalan yang terkait dengan proses asimilasi antara yang tradisional dan yang modern, baik berupa kontradiksi visual yang seringkali mengulik pandangan, hingga renungan yang lebih mendalam terhadap perubahan kultur yang tengah mereka saksikan.
Lahirnya masyarakat urban tidak dipungkiri sebagai imbas langsung dari berkembangnya sistem ekonomi kapital yang terjadi di berbagai wilayah. Seperti diungkap Wayan Seriyoga Parta, penulis dalam pameran ini yang mengetengahkan isu bahwa meluasnya jangkauan modal multinasional hingga ke sektor pedesaan, telah menumbuhkembangkan desa-desa metropolitan. Di Bali, desa-desa metropolitan tersebut membentang dari Kuta, Sanur, hingga ke Ubud. sedangkan di Bandung, fenomena serupa dapat dijumpai di kawasan Dago dan Lembang. Perubahan struktur sosial tersebut sekaligus menunjukkan perubahan perilaku masyarakat yang semula kolektif menjadi masyarakat baru yang justru mengarah pada sifat-sifat individualistis.
Pola perilaku masyarakat tersebut menjadi kriteria utama untuk menandai suatu masyarakat yang telah berkembang menjadi urban. Individualitas terbentuk melalui kesadaran akan potensi diri dan tuntutan profesionalitas yang terikat pada kepentingan tertentu, yang berujung pada ironi dalam masyarakat kita. Di Bali, dapat disaksikan pola perubahan perilaku masyarakat yang dipacu oleh derasnya arus pariwisata. Kedatangan wisatawan asing menjadi magnet ekonomi sekaligus magnet gaya hidup yang menarik masyarakat lokal pada pola hidup pragmatis yang memuja individualitas dan budaya instant. Fenomena tersebut dipotret oleh Wayan Suja melalui dua karyanya yaitu “Traffic Light” dan “Because We Need Something That Keep Fresh”. Kedua lukisan tersebut menampilkan ironi sekaligus paradoks yang terdapat pada perilaku masyarakat Bali dalam laku spiritualnya.
Lukisan “Traffic Light” menampilkan sebuah pemandangan dari balik kaca mobil yang menampilkan kemacetan lalu lintas perkotaan, uniknya di atas dashboard mobil Wayan Suja menempatkan sebuah simbol spiritualitas berupa sesaji canang sari dengan beberapa butir permen di atasnya. Seolah menjadi ironi, bahwa di tengah ruwetnya kemacetan lalu lintas masih tersisa sedikit kesunyian spiritualitas manusia. Sedangkan pada lukisan “Because We Need Something That Keep Fresh,” masih dengan idiom canang sari, ia mencoba menawarkan sebuah potret perilaku masyarakat yang berubah pragmatis. Ironi tersebut dihadirkan melalui gambaran lemari pendingin yang sebenarnya berfungsi untuk mengawetkan bahan makanan, berubah menjadi alat pengawet bagi elemen organik yang terdapat pada canang sari seperti bunga dan dedaunan. Menurut Suja, perubahan perilaku tersebut diakibatkan oleh meningkatnya mobilitas masyarakat dalam berbagai usaha mengejar kemakmuran material sehingga menggeser esensi dari laku spiritualis mereka.
MUHAMMAD REGGIE AQUARA_Summertime_2015_Acrylic on canvas & Butterfly Taxidermy_63 cm X 71 cm

Ironi serupa juga dihadirkan oleh Made Muliana ‘Bayak’ dengan fokus pada meningkatnya perilaku konsumerisme pada masyarakat Bali. Arus pariwisata sekaligus menjadi pintu bagi masuknya berbagai produk industri yang dengan segera menjadi bagian dari kebutuhan masyarakat lokal. Efek paling kentara dari perilaku konsumerisme tersebut adalah tersisanya sampah berupa plastik kemasan produk industri yang berserakan dimana-mana. Fenomena tersebut menggugah Bayak untuk membangun satir dengan melukis di permukaan sampah-sampah plastik tersebut, menghadirkan figur-figur yang lekat dengan tradisi spiritual Bali. Dalam karya “Bali Legacy,” figur penari disandingkan dengan latar yang tersusun dari bentangan sampah-sampah plastik kemasan. Seni, termasuk juga tarian merupakan suatu laku spiritual yang dihayati oleh masyarakat Bali sebagai bagian dari persembahan yang indah kepada pencipta. Namun pada prakteknya, pariwisata lagi-lagi mengubahnya menjadi sekedar atraksi yang menarik.
Spiritualitas urban tidak hanya terbatas pada tegangan antara modernitas dan tradisional dalam konteks sosial masyarakatnya semata, melainkan dapat ditarik juga pada persoalan dialog dengan alam. Sebagai representasi dari semesta, alam menghadirkan sebuah dimensi mistis yang membawa manusia pada aspek spiritualitasnya sebagaimana tergambar dalam karya-karya Dadan Setiawan dan Muhammad Regie Aquara. Dua karya Dadan Setiawan dengan seri “Lost in IG Series” melukiskan sebuah pemandangan alam dengan suasana yang kelam. Dalam kedua karya tersebut, Dadan juga mengkombinasikan pemandangan tersebut dengan kotak-kotak piksel warna di bagian tengah lukisan. Piksel-piksel warna tersebut menjadi dimensi tersendiri yang menyedot perhatian siapapun yang melihatnya, dan melontarkannya balik pada pemahaman bahwa alam senantiasa menyimpan misteri. Namun hadirnya kotak-kotak piksel warna tersebut sekaligus menjadi kontradiksi visual antara yang natural dan industrial, mengingat piksel warna adalah produk dari kemajuan teknologi di bidang fotografi pada mulanya.
dadan setiawan_#toughfull #openminds #realize #isallinyourhead (lost in IG series)_2015_oil on canvas_90x90cm

Potret tegangan antara yang tradisi dan modernitas nampaknya tidak begitu muncul dalam karya-karya perupa yang berasal dari Bandung. Karya-karya mereka justru lebih menunjukkan kecenderungan sudut pandang yang mengarah pada tegangan antara alam dan modernitas. Perbedaan karakteristik karya antara perupa yang berasal dari Bali dan Bandung tersebut pada akhirnya memberi pemahaman bahwa kedua kota tersebut memang memiliki masalah yang juga berbeda. Dimensi urbanitas yang terbentuk pada masyarakat di kedua kota tersebut berasal dari latar belakang yang berbeda sehingga menghasilkan lanskap yang berbeda pula. Bali yang identik dengan spiritualitas Hindu yang melekat dalam tradisinya berbenturan dengan modernitas yang dibawa oleh arus pariwisata, dimana tradisi mengalami pergeseran menjadi semata identitas kultural tanpa esensi. Sedangkan Bandung yang memiliki dimensi spiritualitas dari religi (muslim) maupun penghayat keyakinan (sunda wiwitan) mengalami benturan dengan modernitas yang lahir dari arus pembangunan kota yang begitu cepat tanpa memperhatikan aspek ekologi sebagai lingkungan hidup.
Sebuah karya yang lebih esensial dihadirkan oleh Wayan Upadana melalui video instalasi berjudul “Memoscape.” Dengan menggabungkan video dokumenter dengan gunungan resin untuk membangun dimensi, Upadana menawarkan renungan tentang esensi spiritualitas yang berasal dari alam dengan metafora gunung dan lautan. Melalui video dokumenter yang ditayangkan lewat televisi, ia ingin mengkritisi peran media tersebut dalam membentuk mentalitas urban masyarakat melalui berbagai tayangan. “Dalam karya ini saya ingin audience merasakan kembali kehadiran alam di media televisi, untuk memberikan kedekatan emosional dan bagaimana ‘ingatan’ memberikan stimulan pada perasaan orang yang melihatnya,” ungkapnya.
Pameran “Spiritualitas Urban” ini menawarkan sebuah renungan tentang kondidi transisi yang terjadi dalam masyarakat kita melalui potret dua kota, yaitu Bali dan Bandung dimana kedua masyarakat di kota tersebut mengalami tegangan antara menghamba pada urbanitas yang gemerlap atau menahan diri pada ruang-ruang sunyi spiritualitas. Kebudayaan dan kehidupan suatu masyarakat selalu bergulir dan secara terus menerus melakukan penyesuaian bentuk dengan zamannya. Ironi, paradoks, ataupun kontradiksi visual dalam spiritualitas masyarakat urban yang kita lihat hari ini adalah sebuah keniscayaan yang terus mengada.
 *) Tulisan ini pernah dipublikasikan di majalah Sarasvati edisi Juli 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar