Oleh Dwi S. Wibowo
Arus pariwisata yang demikian
deras menghujam Bali, mau tidak mau menimbulkan dampak sosial yang tidak
sedikit. Persinggungan antara wisatawan asing yang datang membawa modernitas
dengan penduduk setempat yang masih berbasis tradisi telah melahirkan suatu
lanskap multikultur. Secara kasat mata, dampak tersebut nampak dari
berkembangnya beberapa daerah pedesaan menjadi kosmopolitan, lengkap dengan
gemerlap lampu reklame yang saling berebut pandangan. Hal tersebut sekaligus
berimbas pada tumbuhnya mentalitas urban pada masyarakat Bali yang semula
memegang teguh nilai-nilai spiritual.
Tegangan antara hasrat menjadi manusia
kosmopolit dan tarikan nilai-nilai spiritual mustahil untuk dihindari, sehingga
dari sana lahirlah masyarakat spiritual yang khusyuk namun semu. Fenomena
tersebut menggelitik sejumlah perupa yang berasal dari Bali untuk meresponnya
dengan menghelat pameran yang bertajuk “Spiritualitas Urban”. Tidak hanya
memandang fenomena urban yang berlangsung di Bali, mereka juga mengajak serta para
perupa dari Bandung untuk urun rembug dengan menghadirkan fenomena
serupa yang terjadi di kotanya.
Pameran yang dihelat di
Sudakara Art Space Sanur hingga 10 Agustus tersebut melibatkan sejumlah perupa
Bali, mereka antara lain Wayan Suja, Wayan Upadana, Made Muliana “Bayak”, Made
Wiguna Valasara, Jaya Putra dan Ngakan Ardana. Sedangkan perupa Bandung yang
turut andil dalam pameran ini ialah Willy Himawan, Dadan Setiawan, Guntur
Timur, Muhammad Regie Aquara, dan Imam Sapari. Masing-masing dari mereka
menawarkan berbagai persoalan yang terkait dengan proses asimilasi antara yang
tradisional dan yang modern, baik berupa kontradiksi visual yang seringkali
mengulik pandangan, hingga renungan yang lebih mendalam terhadap perubahan
kultur yang tengah mereka saksikan.
Lahirnya masyarakat urban tidak
dipungkiri sebagai imbas langsung dari berkembangnya sistem ekonomi kapital
yang terjadi di berbagai wilayah. Seperti diungkap Wayan Seriyoga Parta,
penulis dalam pameran ini yang mengetengahkan isu bahwa meluasnya jangkauan
modal multinasional hingga ke sektor pedesaan, telah menumbuhkembangkan
desa-desa metropolitan. Di Bali, desa-desa metropolitan tersebut membentang
dari Kuta, Sanur, hingga ke Ubud. sedangkan di Bandung, fenomena serupa dapat
dijumpai di kawasan Dago dan Lembang. Perubahan struktur sosial tersebut
sekaligus menunjukkan perubahan perilaku masyarakat yang semula kolektif
menjadi masyarakat baru yang justru mengarah pada sifat-sifat individualistis.
Pola perilaku masyarakat
tersebut menjadi kriteria utama untuk menandai suatu masyarakat yang telah
berkembang menjadi urban. Individualitas terbentuk melalui kesadaran akan
potensi diri dan tuntutan profesionalitas yang terikat pada kepentingan
tertentu, yang berujung pada ironi dalam masyarakat kita. Di Bali, dapat
disaksikan pola perubahan perilaku masyarakat yang dipacu oleh derasnya arus
pariwisata. Kedatangan wisatawan asing menjadi magnet ekonomi sekaligus magnet
gaya hidup yang menarik masyarakat lokal pada pola hidup pragmatis yang memuja
individualitas dan budaya instant. Fenomena tersebut dipotret oleh Wayan Suja
melalui dua karyanya yaitu “Traffic
Light” dan “Because We Need Something
That Keep Fresh”. Kedua lukisan tersebut menampilkan ironi sekaligus
paradoks yang terdapat pada perilaku masyarakat Bali dalam laku spiritualnya.
Lukisan “Traffic Light” menampilkan sebuah pemandangan dari balik kaca
mobil yang menampilkan kemacetan lalu lintas perkotaan, uniknya di atas
dashboard mobil Wayan Suja menempatkan sebuah simbol spiritualitas berupa
sesaji canang sari dengan beberapa butir permen di atasnya. Seolah menjadi
ironi, bahwa di tengah ruwetnya kemacetan lalu lintas masih tersisa sedikit
kesunyian spiritualitas manusia. Sedangkan pada lukisan “Because We Need Something That Keep Fresh,” masih dengan idiom
canang sari, ia mencoba menawarkan sebuah potret perilaku masyarakat yang
berubah pragmatis. Ironi tersebut dihadirkan melalui gambaran lemari pendingin
yang sebenarnya berfungsi untuk mengawetkan bahan makanan, berubah menjadi alat
pengawet bagi elemen organik yang terdapat pada canang sari seperti bunga dan
dedaunan. Menurut Suja, perubahan perilaku tersebut diakibatkan oleh
meningkatnya mobilitas masyarakat dalam berbagai usaha mengejar kemakmuran
material sehingga menggeser esensi dari laku spiritualis mereka.
MUHAMMAD REGGIE AQUARA_Summertime_2015_Acrylic on canvas & Butterfly Taxidermy_63 cm X 71 cm |
Ironi serupa juga dihadirkan
oleh Made Muliana ‘Bayak’ dengan fokus pada meningkatnya perilaku konsumerisme
pada masyarakat Bali. Arus pariwisata sekaligus menjadi pintu bagi masuknya
berbagai produk industri yang dengan segera menjadi bagian dari kebutuhan
masyarakat lokal. Efek paling kentara dari perilaku konsumerisme tersebut
adalah tersisanya sampah berupa plastik kemasan produk industri yang berserakan
dimana-mana. Fenomena tersebut menggugah Bayak untuk membangun satir dengan
melukis di permukaan sampah-sampah plastik tersebut, menghadirkan figur-figur
yang lekat dengan tradisi spiritual Bali. Dalam karya “Bali Legacy,” figur penari disandingkan dengan latar yang tersusun
dari bentangan sampah-sampah plastik kemasan. Seni, termasuk juga tarian
merupakan suatu laku spiritual yang dihayati oleh masyarakat Bali sebagai
bagian dari persembahan yang indah kepada pencipta. Namun pada prakteknya,
pariwisata lagi-lagi mengubahnya menjadi sekedar atraksi yang menarik.
Spiritualitas urban tidak hanya
terbatas pada tegangan antara modernitas dan tradisional dalam konteks sosial
masyarakatnya semata, melainkan dapat ditarik juga pada persoalan dialog dengan
alam. Sebagai representasi dari semesta, alam menghadirkan sebuah dimensi
mistis yang membawa manusia pada aspek spiritualitasnya sebagaimana tergambar
dalam karya-karya Dadan Setiawan dan Muhammad Regie Aquara. Dua karya Dadan
Setiawan dengan seri “Lost in IG Series” melukiskan
sebuah pemandangan alam dengan suasana yang kelam. Dalam kedua karya tersebut,
Dadan juga mengkombinasikan pemandangan tersebut dengan kotak-kotak piksel
warna di bagian tengah lukisan. Piksel-piksel warna tersebut menjadi dimensi
tersendiri yang menyedot perhatian siapapun yang melihatnya, dan melontarkannya
balik pada pemahaman bahwa alam senantiasa menyimpan misteri. Namun hadirnya
kotak-kotak piksel warna tersebut sekaligus menjadi kontradiksi visual antara yang
natural dan industrial, mengingat piksel warna adalah produk dari kemajuan
teknologi di bidang fotografi pada mulanya.
dadan setiawan_#toughfull #openminds #realize #isallinyourhead (lost in IG series)_2015_oil on canvas_90x90cm |
Potret tegangan antara yang
tradisi dan modernitas nampaknya tidak begitu muncul dalam karya-karya perupa
yang berasal dari Bandung. Karya-karya mereka justru lebih menunjukkan
kecenderungan sudut pandang yang mengarah pada tegangan antara alam dan
modernitas. Perbedaan karakteristik karya antara perupa yang berasal dari Bali
dan Bandung tersebut pada akhirnya memberi pemahaman bahwa kedua kota tersebut
memang memiliki masalah yang juga berbeda. Dimensi urbanitas yang terbentuk
pada masyarakat di kedua kota tersebut berasal dari latar belakang yang berbeda
sehingga menghasilkan lanskap yang berbeda pula. Bali yang identik dengan
spiritualitas Hindu yang melekat dalam tradisinya berbenturan dengan modernitas
yang dibawa oleh arus pariwisata, dimana tradisi mengalami pergeseran menjadi
semata identitas kultural tanpa esensi. Sedangkan Bandung yang memiliki dimensi
spiritualitas dari religi (muslim) maupun penghayat keyakinan (sunda wiwitan)
mengalami benturan dengan modernitas yang lahir dari arus pembangunan kota yang
begitu cepat tanpa memperhatikan aspek ekologi sebagai lingkungan hidup.
Sebuah karya yang lebih
esensial dihadirkan oleh Wayan Upadana melalui video instalasi berjudul “Memoscape.” Dengan menggabungkan video
dokumenter dengan gunungan resin untuk membangun dimensi, Upadana menawarkan
renungan tentang esensi spiritualitas yang berasal dari alam dengan metafora
gunung dan lautan. Melalui video dokumenter yang ditayangkan lewat televisi, ia
ingin mengkritisi peran media tersebut dalam membentuk mentalitas urban
masyarakat melalui berbagai tayangan. “Dalam karya ini saya ingin audience
merasakan kembali kehadiran alam di media televisi, untuk memberikan kedekatan
emosional dan bagaimana ‘ingatan’ memberikan stimulan pada perasaan orang yang
melihatnya,” ungkapnya.
Pameran “Spiritualitas Urban”
ini menawarkan sebuah renungan tentang kondidi transisi yang terjadi dalam
masyarakat kita melalui potret dua kota, yaitu Bali dan Bandung dimana kedua
masyarakat di kota tersebut mengalami tegangan antara menghamba pada urbanitas
yang gemerlap atau menahan diri pada ruang-ruang sunyi spiritualitas. Kebudayaan
dan kehidupan suatu masyarakat selalu bergulir dan secara terus menerus
melakukan penyesuaian bentuk dengan zamannya. Ironi, paradoks, ataupun
kontradiksi visual dalam spiritualitas masyarakat urban yang kita lihat hari
ini adalah sebuah keniscayaan yang terus mengada.
*) Tulisan ini pernah dipublikasikan di majalah Sarasvati edisi Juli 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar