oleh Dwi S. Wibowo
Rasa takut yang timbul dalam
diri manusia merupakan hal yang wajar terjadi, ada berbagai hal yang bisa
memicu bangkitnya rasa takut tersebut. Berhadapan dengan bahaya secara langsung
bisa menyebabkan timbulnya rasa takut itu, alasan lainnya, bisa juga
dikarenakan oleh gejala psikologis yang dialami manusia itu sendiri seperti
fantasi tentang sesuatu hal yang berlebihan. Fantasi berlebihan inilah yang seringkali
membuat manusia merasa takut terhadap sesuatu yang tidak nyata, seperti
misalnya harus berjalan sendiri melewati kuburan saat malam jumat kliwon.
Apa yang salah dengan situasi
tersebut? barangkali tidak ada, tapi fantasi manusia bisa saja tiba-tiba menghadirkan
sosok-sosok ajaib di hadapannya; pocong yang minta dilepas ikatannya, perempuan
cantik yang tak menginjak tanah, dan berbagai bentuk hantu lainnya. Pada dekade
70-an, atau mungkin sebelumnya, ketakutan manusia terhadap hantu-hantu itu
dilihat sebagai sebuah komoditi. Melalui film-film yang dibintangi Suzanna,
rasa takut itu dialihkan ke layar lebar dan justru dinikmati sebagai sebuah
tamasya ketakutan yang ngetrend
sampai hari ini kita sebut sebagai film horror.
Jeritan, jantung berdebar,
hingga gemetar terkencing-kencing adalah sensasi yang justru dikejar dari
tamasya ketakutan melalui film horror itu. Berawal dari trend kuntilanak dan
sundel bolongnya suzanna, kini hantu-hantu selebritis itu berkembang lebih luas
jadi nenek gayung, pocong keramas, hingga suster ngesot di skateboard. Sosok-sosok
itu barangkali dipungut dari berbagai mitos ataupun urban legend yang menyebar
dalam masyarakat, lalu dikembangkan dengan over-kreatif oleh para filmaker. Menariknya
adalah animo penonton yang hampir tidak pernah turun terhadap film horror di Indonesia,
hal ini dipicu oleh kesadaran penonton (kebanyakan remaja) yang justru ingin
menantang diri melampaui rasa takutnya. Jadi rasanya tidak keliru, jika
fenomena ini kita sebut sebagai tamasya ketakutan.
Beberapa paragraf di atas
setidaknya bisa menjadi pengantar singkat untuk memasuki sebuah showcase foto yang digelar di Lingkara
Photoart Community dengan mengangkat tema serupa, horror. Melalui sejumlah foto yang berderet itu, makna horror
diretas ulang. Sebagaimana dalam catatan di atas, horror selalu identik dengan
hantu-hantu, apapun jenisnya. Yang kemudian direduksi menjadi sebuah hiburan
lewat layar lebar maupun televisi yang memacu adrenalin. Kehadiran hantu yang
sebenarnya tidak nyata dan diperagakan oleh seorang aktor justru dinikmati,
bahkan menjadi adiksi. Sesuatu yang justru dalam dunia nyata, malah dihindari.
Dalam konteks ini, sosok hantu yang dihadirkan merupakan realisasi dari
imajinasi si kreator (fotografer).
Foto-foto hantu banyak
dihadirkan oleh Ye Pe. Sebagaimana disinggung di atas soal hantu yang
dihadirkan sebagai realisasi dari imajinasi Ye Pe sebagai fotografer. Melalui
tubuh seorang model, imajinasi hantu itu dikonstruksi lewat foto dengan gaun
putih, kaki mengambang, asap kabut, dan latar kegelapan. Sesuatu yang
barangkali sudah lazim kita nikmati dalam berbagai adegan film saat si
kuntilanak tiba-tiba menampakkan diri dari kegelapan malam. Itu soal pilihan
visual, tapi yang menarik adalah menilik bagaimana posisi sosok hantu itu di
mata kita saat ini.
Kuntilanak, sundel bolong,
ataupun pocong merupakan bagian dari mitos ataupun urban legend yang menyebar
di masyarakat. Secara nyata, sejumlah orang mengaku pernah melihat sosok itu,
bahkan ada yang mengaku bisa memanggil, menangkap, lalu memenjarakannya dalam
botol. Meskipun sulit kita terima dengan akal sehat, sebab seringkali
orang-orang itu juga gagal menunjukkan bukti-bukti untuk menopang pengakuannya.
Namun demikian, ketakutan akibat mitos-mitos tersebut telah diam-diam
menyelinap dalam benak kita, sebagaimana kita seringkali memencet klakson tiap
lewat pohon besar atau jembatan. Jangan-jangan, kita sedang membawa bekal
imajinasi dari mitos itu dan membayangkan bahwa di pohon yang kita lewati ada
sesosok perempuan cantik bergaun putih tanpa alas kaki, tapi punggungnya
bolong.
Di titik ini, kehadiran
foto-foto hantunya Ye Pe jadi menarik posisinya. Di satu sisi, foto-foto itu
menjadi bagian dari mitos (urban legend, sastra lisan) yang menyebar dalam
masyarakat dengan menjadi referensi visual bagi imajinasi banyak orang. Di sisi
lain, foto-foto itu justru mengaburkan keberadaan mitos, sebab realitas
kuntilanak itu telah dikonstruksi ulang melalui tubuh model yang aduhai nan
seksi, sebagaimana mitos itu dulu dalam film-film dikonstruksi lewat wajah indo
Suzanna (bintang hantu hari ini mungkin Dewi Persik atau Julia Peres yang tak
kalah aduhai).
Soal foto hantu, saya jadi
teringat pengalaman saat SMP, saat itu beredar sebuah foto yang sudah
berulangkali di fotokopi menampilkan sepasang muda mudi (konon asal kalimantan)
bermesraan dan dibelakangnya nampak bayangan hantu dalam posisi tinggi
kira-kira dua kali manusia normal. Cerita yang berkembang di kalangan anak SMP
lugu macam saya, foto itu asli termasuk bayangan hantu, dan konon juga si pemudi
meninggal sekian hari setelah kejadian itu. Hal serupa juga terjadi di
televisi, tontonan berburu hantu atau uji nyali di bangunan tua seringkali
memunculkan lingkaran merah dengan tanda panah untuk menunjukkan detail
peristiwa ganjil; entah itu bayangan lewat atau bintik-bintik putih. Dan penonton
televisi kita yang lugu meyakininya sebagai hantu narsis ingin masuk tv, dan
berdecak dalam hati, “betapa canggihnya kamera milik stasiun tv swasta itu,
bisa menyala dalam gelap sekaligus merekam gerakan hantu sekalipun.”
Bagi sebagian orang, horror
barangkali tidak terlalu identik dengan hantu-hantu, melainkan semata-mata pada
suasana yang memicu ketakutan sekaligus ngeri. Suasana semacam itu bisa
disebabkan oleh banyak hal, melalui kesadisan misalnya, batas empati seseorang
ditabrak begitu saja sehingga menimbulkan rasa takut sekaligus ngeri yang
teramat dalam. Seperti sebuah peristiwa mutilasi yang menjadi akumulasi dari
dua bentuk kesadisan yaitu pembunuhan sekaligus memotong mayatnya
berulang-ulang. Perasaan siapa yang tidak terkoyak jika melihatnya? Ceceran
darah, potongan tubuh, dan ekspresi bengis si pelaku. Dalam showcase ini, ada beberapa foto yang
menarik dilihat dengan sudut pandang ini.
Seekor anak anjing (mungkin
kucing) mati tergeletak di jalanan lengang, sekilas kita melihatnya sebagai
korban tabrak lari. Lalu empati kita pun teriris, mengingat kelucuan si
binatang kecil ini harus dirusak dengan ketegaan mencederainya. Namun di
sampingnya tergeletak sepasang sendok-garpu, lagi kita disergap pertanyaan
tentang sosok liyan yang dituju dengan paradoks sendok-garpu tersebut. Foto itu
karya Nolandia Wijaya, tanpa sendok-garpu itu
kita melihatnya sebagai foto dokumenter biasa. Tapi kehadiran piranti makan itu
menimbulkan tanya, sebagai metafor dari peristiwa yang ‘memakan’ korban, atau
justru secara verbal ingin bicara bahwa ada sosok liyan yang memakan bangkai si
binatang kecil ini.
Lalu, sebuah foto yang berjudul
‘Nasib Akhir Alat Pikir’, sekilas foto yang nampak abstrak itu hanya
menampilkan lanskap menjijikkan tentang sesuatu yang hangus terbakar dan
meleleh. Berdasarkan referensi judul itulah lanskap itu baru nampak sebagai
otak di kepala manusia dalam ritual ngaben, ritual sakral penyempurnaan maut
manusia. Visual itu jelas mencederai empati siapapun yang melihatnya,
membayangkan akibat suhu yang amat tinggi membuat batok tengkorak itu meletup
dan melelehkan isinya. Foto itu menjadi menyayat karena menangkap detail
peristiwa tepat di bagian yang ‘mengenaskan’. Barangkali dalam setiap ritual
ngaben, peristiwa meletupnya batok kepala itu wajar terjadi, tanpa melihat
lelehannya, dan hanya kobaran api, kengerian itu terabaikan. Foto ini secara
jelas mengingatkan kita, bahwa dalam ritual penyempurnaan sekalipun, kita
dipaksa melihat sebuah kengerian!
Di luar itu masih ada sejumlah
foto yang juga menampilkan kengerian, tidak secara verbal, namun puitis dengan
menggiring memori sekaligus opini pemirsa. Salah satunya adalah foto karya Irawan
Zuhri yang menampilkan foto rumah nomor 26, foto itu jelas langsung
melemparkan pemirsa kepada sosok kecil Angeline. Rumah dalam foto itu adalah
TKP penganiayaan sekaligus pembunuhan terhadap Angeline. Rumah yang kini
berubah menjadi situs kengerian atas kekejaman seorang ibu angkat terhadap
anaknya, sekaligus mencekam akibat memori kematian yang mengubahnya tak beda
dengan sebuah kuburan.
Salah satu foto lainnya adalah
karya Rudi Waisnawa berjudul “Last Kiss”, sepasang orang tua muda baru usai
mengemas baju dalam tas, lalu mencium anak bayinya di lorong rumah sakit, di
hadapannya seorang perawat nampak menanti. Meski ambigu (saya sengaja tidak
mengkonfirmasi pada fotografer, semata-mata mengandalkan tafsir atas visual),
sangat sayang seandainya melewatkan pembicaraan ini tanpa foto Rudi. Kita bisa
saja bersilang pendapat soal peristiwa ‘asli’ itu, apakah benar itu sebuah
ciuman terakhir yang berarti si pasangan muda itu akan meninggalkan anak
bayinya di rumah sakit entah dengan alasan apa? Atau si anak bayi baru saja
menghembuskan nafas terakhirnya akibat sakit? Atau justru sebuah ciuman haru
biasa seorang ibu setelah melahirkan. Tapi, sudut pandang visual yang jauh,
membuat foto Rudi mengarah pada peristiwa pertama. Di sana, sayatan itu seperti
pisau tumpul yang digerakkan perlahan, melampaui sembilu. Kengerian itu hadir
dari asumsi, “mengapa orang tua tega meninggalkan darah dagingnya sendiri.” Tanpa
berkomentar, kita barangkali hanya bisa menahan kelu…
ada kesalahan penulisan nama IRAWAN ZUCHRI. seharusnya IRAWAN ZUHRI
BalasHapussudah saya edit mas... :)
BalasHapus