Rabu, 26 Agustus 2015

TAMASYA KETAKUTAN DAN REPRODUKSI HANTU-HANTU




 oleh Dwi S. Wibowo
Rasa takut yang timbul dalam diri manusia merupakan hal yang wajar terjadi, ada berbagai hal yang bisa memicu bangkitnya rasa takut tersebut. Berhadapan dengan bahaya secara langsung bisa menyebabkan timbulnya rasa takut itu, alasan lainnya, bisa juga dikarenakan oleh gejala psikologis yang dialami manusia itu sendiri seperti fantasi tentang sesuatu hal yang berlebihan. Fantasi berlebihan inilah yang seringkali membuat manusia merasa takut terhadap sesuatu yang tidak nyata, seperti misalnya harus berjalan sendiri melewati kuburan saat malam jumat kliwon.
Apa yang salah dengan situasi tersebut? barangkali tidak ada, tapi fantasi manusia bisa saja tiba-tiba menghadirkan sosok-sosok ajaib di hadapannya; pocong yang minta dilepas ikatannya, perempuan cantik yang tak menginjak tanah, dan berbagai bentuk hantu lainnya. Pada dekade 70-an, atau mungkin sebelumnya, ketakutan manusia terhadap hantu-hantu itu dilihat sebagai sebuah komoditi. Melalui film-film yang dibintangi Suzanna, rasa takut itu dialihkan ke layar lebar dan justru dinikmati sebagai sebuah tamasya ketakutan yang ngetrend sampai hari ini kita sebut sebagai film horror.
Jeritan, jantung berdebar, hingga gemetar terkencing-kencing adalah sensasi yang justru dikejar dari tamasya ketakutan melalui film horror itu. Berawal dari trend kuntilanak dan sundel bolongnya suzanna, kini hantu-hantu selebritis itu berkembang lebih luas jadi nenek gayung, pocong keramas, hingga suster ngesot di skateboard. Sosok-sosok itu barangkali dipungut dari berbagai mitos ataupun urban legend yang menyebar dalam masyarakat, lalu dikembangkan dengan over-kreatif oleh para filmaker. Menariknya adalah animo penonton yang hampir tidak pernah turun terhadap film horror di Indonesia, hal ini dipicu oleh kesadaran penonton (kebanyakan remaja) yang justru ingin menantang diri melampaui rasa takutnya. Jadi rasanya tidak keliru, jika fenomena ini kita sebut sebagai tamasya ketakutan.
Beberapa paragraf di atas setidaknya bisa menjadi pengantar singkat untuk memasuki sebuah showcase foto yang digelar di Lingkara Photoart Community dengan mengangkat tema serupa, horror. Melalui sejumlah foto yang berderet itu, makna horror diretas ulang. Sebagaimana dalam catatan di atas, horror selalu identik dengan hantu-hantu, apapun jenisnya. Yang kemudian direduksi menjadi sebuah hiburan lewat layar lebar maupun televisi yang memacu adrenalin. Kehadiran hantu yang sebenarnya tidak nyata dan diperagakan oleh seorang aktor justru dinikmati, bahkan menjadi adiksi. Sesuatu yang justru dalam dunia nyata, malah dihindari. Dalam konteks ini, sosok hantu yang dihadirkan merupakan realisasi dari imajinasi si kreator (fotografer).
 Foto-foto hantu banyak dihadirkan oleh Ye Pe. Sebagaimana disinggung di atas soal hantu yang dihadirkan sebagai realisasi dari imajinasi Ye Pe sebagai fotografer. Melalui tubuh seorang model, imajinasi hantu itu dikonstruksi lewat foto dengan gaun putih, kaki mengambang, asap kabut, dan latar kegelapan. Sesuatu yang barangkali sudah lazim kita nikmati dalam berbagai adegan film saat si kuntilanak tiba-tiba menampakkan diri dari kegelapan malam. Itu soal pilihan visual, tapi yang menarik adalah menilik bagaimana posisi sosok hantu itu di mata kita saat ini.
Kuntilanak, sundel bolong, ataupun pocong merupakan bagian dari mitos ataupun urban legend yang menyebar di masyarakat. Secara nyata, sejumlah orang mengaku pernah melihat sosok itu, bahkan ada yang mengaku bisa memanggil, menangkap, lalu memenjarakannya dalam botol. Meskipun sulit kita terima dengan akal sehat, sebab seringkali orang-orang itu juga gagal menunjukkan bukti-bukti untuk menopang pengakuannya. Namun demikian, ketakutan akibat mitos-mitos tersebut telah diam-diam menyelinap dalam benak kita, sebagaimana kita seringkali memencet klakson tiap lewat pohon besar atau jembatan. Jangan-jangan, kita sedang membawa bekal imajinasi dari mitos itu dan membayangkan bahwa di pohon yang kita lewati ada sesosok perempuan cantik bergaun putih tanpa alas kaki, tapi punggungnya bolong.
Di titik ini, kehadiran foto-foto hantunya Ye Pe jadi menarik posisinya. Di satu sisi, foto-foto itu menjadi bagian dari mitos (urban legend, sastra lisan) yang menyebar dalam masyarakat dengan menjadi referensi visual bagi imajinasi banyak orang. Di sisi lain, foto-foto itu justru mengaburkan keberadaan mitos, sebab realitas kuntilanak itu telah dikonstruksi ulang melalui tubuh model yang aduhai nan seksi, sebagaimana mitos itu dulu dalam film-film dikonstruksi lewat wajah indo Suzanna (bintang hantu hari ini mungkin Dewi Persik atau Julia Peres yang tak kalah aduhai).
 Soal foto hantu, saya jadi teringat pengalaman saat SMP, saat itu beredar sebuah foto yang sudah berulangkali di fotokopi menampilkan sepasang muda mudi (konon asal kalimantan) bermesraan dan dibelakangnya nampak bayangan hantu dalam posisi tinggi kira-kira dua kali manusia normal. Cerita yang berkembang di kalangan anak SMP lugu macam saya, foto itu asli termasuk bayangan hantu, dan konon juga si pemudi meninggal sekian hari setelah kejadian itu. Hal serupa juga terjadi di televisi, tontonan berburu hantu atau uji nyali di bangunan tua seringkali memunculkan lingkaran merah dengan tanda panah untuk menunjukkan detail peristiwa ganjil; entah itu bayangan lewat atau bintik-bintik putih. Dan penonton televisi kita yang lugu meyakininya sebagai hantu narsis ingin masuk tv, dan berdecak dalam hati, “betapa canggihnya kamera milik stasiun tv swasta itu, bisa menyala dalam gelap sekaligus merekam gerakan hantu sekalipun.”
Bagi sebagian orang, horror barangkali tidak terlalu identik dengan hantu-hantu, melainkan semata-mata pada suasana yang memicu ketakutan sekaligus ngeri. Suasana semacam itu bisa disebabkan oleh banyak hal, melalui kesadisan misalnya, batas empati seseorang ditabrak begitu saja sehingga menimbulkan rasa takut sekaligus ngeri yang teramat dalam. Seperti sebuah peristiwa mutilasi yang menjadi akumulasi dari dua bentuk kesadisan yaitu pembunuhan sekaligus memotong mayatnya berulang-ulang. Perasaan siapa yang tidak terkoyak jika melihatnya? Ceceran darah, potongan tubuh, dan ekspresi bengis si pelaku. Dalam showcase ini, ada beberapa foto yang menarik dilihat dengan sudut pandang ini. 
 Seekor anak anjing (mungkin kucing) mati tergeletak di jalanan lengang, sekilas kita melihatnya sebagai korban tabrak lari. Lalu empati kita pun teriris, mengingat kelucuan si binatang kecil ini harus dirusak dengan ketegaan mencederainya. Namun di sampingnya tergeletak sepasang sendok-garpu, lagi kita disergap pertanyaan tentang sosok liyan yang dituju dengan paradoks sendok-garpu tersebut. Foto itu karya Nolandia Wijaya, tanpa sendok-garpu itu kita melihatnya sebagai foto dokumenter biasa. Tapi kehadiran piranti makan itu menimbulkan tanya, sebagai metafor dari peristiwa yang ‘memakan’ korban, atau justru secara verbal ingin bicara bahwa ada sosok liyan yang memakan bangkai si binatang kecil ini.
Lalu, sebuah foto yang berjudul ‘Nasib Akhir Alat Pikir’, sekilas foto yang nampak abstrak itu hanya menampilkan lanskap menjijikkan tentang sesuatu yang hangus terbakar dan meleleh. Berdasarkan referensi judul itulah lanskap itu baru nampak sebagai otak di kepala manusia dalam ritual ngaben, ritual sakral penyempurnaan maut manusia. Visual itu jelas mencederai empati siapapun yang melihatnya, membayangkan akibat suhu yang amat tinggi membuat batok tengkorak itu meletup dan melelehkan isinya. Foto itu menjadi menyayat karena menangkap detail peristiwa tepat di bagian yang ‘mengenaskan’. Barangkali dalam setiap ritual ngaben, peristiwa meletupnya batok kepala itu wajar terjadi, tanpa melihat lelehannya, dan hanya kobaran api, kengerian itu terabaikan. Foto ini secara jelas mengingatkan kita, bahwa dalam ritual penyempurnaan sekalipun, kita dipaksa melihat sebuah kengerian!
 Di luar itu masih ada sejumlah foto yang juga menampilkan kengerian, tidak secara verbal, namun puitis dengan menggiring memori sekaligus opini pemirsa. Salah satunya adalah foto karya Irawan Zuhri yang menampilkan foto rumah nomor 26, foto itu jelas langsung melemparkan pemirsa kepada sosok kecil Angeline. Rumah dalam foto itu adalah TKP penganiayaan sekaligus pembunuhan terhadap Angeline. Rumah yang kini berubah menjadi situs kengerian atas kekejaman seorang ibu angkat terhadap anaknya, sekaligus mencekam akibat memori kematian yang mengubahnya tak beda dengan sebuah kuburan.
Salah satu foto lainnya adalah karya Rudi Waisnawa berjudul “Last Kiss”, sepasang orang tua muda baru usai mengemas baju dalam tas, lalu mencium anak bayinya di lorong rumah sakit, di hadapannya seorang perawat nampak menanti. Meski ambigu (saya sengaja tidak mengkonfirmasi pada fotografer, semata-mata mengandalkan tafsir atas visual), sangat sayang seandainya melewatkan pembicaraan ini tanpa foto Rudi. Kita bisa saja bersilang pendapat soal peristiwa ‘asli’ itu, apakah benar itu sebuah ciuman terakhir yang berarti si pasangan muda itu akan meninggalkan anak bayinya di rumah sakit entah dengan alasan apa? Atau si anak bayi baru saja menghembuskan nafas terakhirnya akibat sakit? Atau justru sebuah ciuman haru biasa seorang ibu setelah melahirkan. Tapi, sudut pandang visual yang jauh, membuat foto Rudi mengarah pada peristiwa pertama. Di sana, sayatan itu seperti pisau tumpul yang digerakkan perlahan, melampaui sembilu. Kengerian itu hadir dari asumsi, “mengapa orang tua tega meninggalkan darah dagingnya sendiri.” Tanpa berkomentar, kita barangkali hanya bisa menahan kelu…

2 komentar: