Sabtu, 10 Oktober 2015

DALAM BAYANG-BAYANG RENAISANCE

9. Valasara,Carrousel, 370 x 1200 cm, acrylic on canvas, 2015

oleh Dwi S. Wibowo
Masa Renaisance merupakan era penting sekaligus penanda bagi kebangkitan seni rupa barat, juga dunia. Pada masa itu, para maestro seperti Da Vinci, Michelangelo, Boticceli, juga Carravaggio mengalami periode emas melalui pencapaian bentuk anatomi dalam lukisan-lukisannya yang mendekati sempurna. Lukisan-lukisan karya mereka juga menjadi kanon dalam sejarah seni rupa dunia yang terus dipelajari hingga hari ini. Berangkat dari asumsi itulah, Made Wiguna Valasara menciptakan sejumlah karya apropriasi yang bertolak dari lukisan-lukisan karya para maestro tersebut.
Sebagaimana lazimnya karya-karya apropriasi yang menyalin ulang karya-karya lama yang telah ada menjadi karya baru, Valasara juga mengolah kembali sekian banyak lukisan kanon dari para maestro tersebut menjadi karya-karya baru yang lebih segar. Sebutlah lukisan-lukisan seperti Monalisa, The Entombent Of Christ, The Birth Of Venus, hingga The Last Judgement karya Michelangelo yang menghiasi altar Sistine Chapel berpindah ke dalam kanvasnya. Karya-karya apropriasi tersebut akan dipamerkan di galeri Art:1 pada 8 Oktober mendatang dengan tajuk “Lukisan-Lukisan” yang dikuratori oleh Agung Hujatnikajenong.
Kita tentu bertanya mengapa tajuk yang diusung justru “Lukisan-Lukisan”, sementara masih ada kegamangan untuk menyebut apakah karya-karya dari perupa kelahiran sukawati ini termasuk lukisan atau justru karya trimatra. Disanalah Valasara sedang menempatkan diri, perupa yang pernah mengenyam studi patung sekaligus lukis di ISI Yogyakarta tersebut memang sedang mempertanyakan batas-batas itu. “Selama ini, lukisan memenjarakan bentuk ke dalam bidang datar melalui ilusi warna dan garis,” ungkap perupa yang dikenal dengan  teknik emboss tersebut. Sehingga melalui karya-karyanya kali ini, ia justru ingin melepaskan bentuk dengan menciptakan dimensi yang dapat diraba, sekaligus menghapus seluruh warna menjadi monokrom.
6. Valasara, Interpreting Caravaggio #2, 260 x 200 cm, acrylic on canvas , 2014

Dengan teknik emboss miliknya, karya-karya valasara memang menjadi bias antara karya dua dimensi ataukah tiga dimensi. Zona bias itu diperkuat dengan penggunaan kanvas sebagai medium yang begitu lekat dengan tradisi seni lukis (dua dimensi). Andaikan, medium yang digunakan olehnya berupa batu atau kayu, mungkin kita bisa lebih mudah mengkategorikannya. Namun bagi perupa yang pernah meraih penghargaan karya trimatra itu, kengototannya menggunakan medium kanvas justru untuk mempertegas sikapnya yang tidak hanya melihat kanvas sebagai media, tapi sekaligus menjadi esensi dari karyanya.
Termasuk dalam pameran ini, pertanyaan itu menjadi semakin menguat. Tanpa segan, ia melontarkan tanda tanya pada lukisan-lukisan yang telah menjadi kanon seni rupa dunia. Maka, kita akan diajak untuk bertamasya menuju masa renaisance melalui bidang-bidang cembung miliknya. Setidaknya ada sepuluh karya yang akan ia tampilkan dalam pameran ini, yang seluruhnya berwarna putih polos. Hanya efek bayangan dari sorot lampu galeri yang akan menuntun kita mengenali lekuk-lekuk anatomi karya para maestro tersebut.
Selain melakukan apropriasi secara utuh, seperti dalam karya “Interpreting Caravaggio #1” yang merupakan salinan dari karya legendaris The Incredulity Of Saint Thomas, Valasara juga memberi unsur parodi yang cukup menimbulkan daya ganggu. Secara hiperbolis, dalam karya  “Interpreting Caravaggio #2” menampilkan sebuah adegan dalam lukisan The Entombing of Christ dengan mengubah postur Yesus yang ramping menjadi tambun. Yang secara tidak langsung mengingatkan kita pada karya-karya terdahulunya yang dipengaruhi postur-postur figur dalam lukisan Lucien Freud, atau jangan-jangan dalam karya ini ia masih terngiang-ngiang pada si Venus dari Willendorf yang cantik nan tambun.
4.Valasara, Ateip, 150 x 150 cm, acrylic on canvas, 2013

Pertanyaan-pertanyaan seputar postur (anatomi tubuh) juga nampak dalam beberapa karyanya yang memadukan apropriasi dari dua lukisan berbeda ke dalam satu bidang kanvas. Seperti terlihat dalam karya “Michelangelo Greets Boticelli” yang merupakan salinan dari lukisan The Birth of Venus yang termasyur itu dengan sepotong fragmen adam dan eva yang berjalan terusir dari surga karya Michelangelo. Disana kita dapat melihat perbedaan persepsi tentang bentuk anatomi tubuh  dari kedua maestro tersebut berpadu dalam satu bidang, sehingga dapat dibandingkan satu sama lain.

Karya lainnya yang juga menyandingkan dua maestro dalam satu bidang adalah “The Sistine Chapel Smile” yang memadukan lukisan Monalisa dengan The Last Judgement. Di sana kita akan melihat keanggunan monalisa di tengah kemegahan altar Sistine Chapel tempat mural fresco itu tertera. Sekaligus akan nampak bagaimana kecenderungan karya Da Vinci yang didominasi lukisan potrait, sementara sang muralis Michelangelo justru sebaliknya, menyesakkan narasi sebanyak mungkin dalam karya-karyanya yang berukuran gigantis. Melalui pameran ini, kita akan diajak melihat penjelajahan estetik Valasara menuju masa silam, sekaligus mempertanyakan masih relevankah lukisan-lukisan kanon itu kita jadikan kiblat.
*)tulisan ini pernah dipublikasikan di majalah sarasvati edisi oktober 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar