Masa Renaisance merupakan era
penting sekaligus penanda bagi kebangkitan seni rupa barat, juga dunia. Pada masa
itu, para maestro seperti Da Vinci, Michelangelo, Boticceli, juga Carravaggio
mengalami periode emas melalui pencapaian bentuk anatomi dalam
lukisan-lukisannya yang mendekati sempurna. Lukisan-lukisan karya mereka juga
menjadi kanon dalam sejarah seni rupa dunia yang terus dipelajari hingga hari
ini. Berangkat dari asumsi itulah, Made Wiguna Valasara menciptakan sejumlah
karya apropriasi yang bertolak dari lukisan-lukisan karya para maestro
tersebut.
Sebagaimana lazimnya
karya-karya apropriasi yang menyalin ulang karya-karya lama yang telah ada
menjadi karya baru, Valasara juga mengolah kembali sekian banyak lukisan kanon
dari para maestro tersebut menjadi karya-karya baru yang lebih segar. Sebutlah
lukisan-lukisan seperti Monalisa, The Entombent Of Christ, The Birth Of Venus, hingga The Last Judgement karya Michelangelo yang
menghiasi altar Sistine Chapel berpindah ke dalam kanvasnya. Karya-karya
apropriasi tersebut akan dipamerkan di galeri Art:1 pada 8 Oktober mendatang
dengan tajuk “Lukisan-Lukisan” yang dikuratori oleh Agung Hujatnikajenong.
Kita tentu bertanya mengapa
tajuk yang diusung justru “Lukisan-Lukisan”, sementara masih ada kegamangan
untuk menyebut apakah karya-karya dari perupa kelahiran sukawati ini termasuk
lukisan atau justru karya trimatra. Disanalah Valasara sedang menempatkan diri,
perupa yang pernah mengenyam studi patung sekaligus lukis di ISI Yogyakarta
tersebut memang sedang mempertanyakan batas-batas itu. “Selama ini, lukisan
memenjarakan bentuk ke dalam bidang datar melalui ilusi warna dan garis,”
ungkap perupa yang dikenal dengan teknik
emboss tersebut. Sehingga melalui karya-karyanya kali ini, ia justru ingin
melepaskan bentuk dengan menciptakan dimensi yang dapat diraba, sekaligus
menghapus seluruh warna menjadi monokrom.
6. Valasara, Interpreting Caravaggio #2, 260 x 200 cm, acrylic on canvas , 2014 |
Dengan teknik emboss miliknya,
karya-karya valasara memang menjadi bias antara karya dua dimensi ataukah tiga
dimensi. Zona bias itu diperkuat dengan penggunaan kanvas sebagai medium yang
begitu lekat dengan tradisi seni lukis (dua dimensi). Andaikan, medium yang
digunakan olehnya berupa batu atau kayu, mungkin kita bisa lebih mudah
mengkategorikannya. Namun bagi perupa yang pernah meraih penghargaan karya
trimatra itu, kengototannya menggunakan medium kanvas justru untuk mempertegas
sikapnya yang tidak hanya melihat kanvas sebagai media, tapi sekaligus menjadi esensi
dari karyanya.
Termasuk dalam pameran ini,
pertanyaan itu menjadi semakin menguat. Tanpa segan, ia melontarkan tanda tanya
pada lukisan-lukisan yang telah menjadi kanon seni rupa dunia. Maka, kita akan
diajak untuk bertamasya menuju masa renaisance melalui bidang-bidang cembung
miliknya. Setidaknya ada sepuluh karya yang akan ia tampilkan dalam pameran
ini, yang seluruhnya berwarna putih polos. Hanya efek bayangan dari sorot lampu
galeri yang akan menuntun kita mengenali lekuk-lekuk anatomi karya para maestro
tersebut.
Selain melakukan apropriasi
secara utuh, seperti dalam karya “Interpreting Caravaggio #1” yang merupakan
salinan dari karya legendaris The
Incredulity Of Saint Thomas, Valasara juga memberi unsur parodi yang cukup
menimbulkan daya ganggu. Secara hiperbolis, dalam karya “Interpreting Caravaggio #2” menampilkan
sebuah adegan dalam lukisan The Entombing
of Christ dengan mengubah postur Yesus yang ramping menjadi tambun. Yang
secara tidak langsung mengingatkan kita pada karya-karya terdahulunya yang
dipengaruhi postur-postur figur dalam lukisan Lucien Freud, atau jangan-jangan
dalam karya ini ia masih terngiang-ngiang pada si Venus dari Willendorf yang
cantik nan tambun.
4.Valasara, Ateip, 150 x 150 cm, acrylic on canvas, 2013 |
Pertanyaan-pertanyaan seputar
postur (anatomi tubuh) juga nampak dalam beberapa karyanya yang memadukan
apropriasi dari dua lukisan berbeda ke dalam satu bidang kanvas. Seperti
terlihat dalam karya “Michelangelo Greets
Boticelli” yang merupakan salinan dari lukisan The Birth of Venus yang termasyur itu dengan sepotong fragmen adam
dan eva yang berjalan terusir dari surga karya Michelangelo. Disana kita dapat
melihat perbedaan persepsi tentang bentuk anatomi tubuh dari kedua maestro tersebut berpadu dalam
satu bidang, sehingga dapat dibandingkan satu sama lain.
Karya lainnya yang juga
menyandingkan dua maestro dalam satu bidang adalah “The Sistine Chapel Smile” yang memadukan lukisan Monalisa dengan The Last Judgement. Di sana kita akan melihat keanggunan monalisa
di tengah kemegahan altar Sistine Chapel tempat mural fresco itu tertera. Sekaligus
akan nampak bagaimana kecenderungan karya Da Vinci yang didominasi lukisan
potrait, sementara sang muralis Michelangelo justru sebaliknya, menyesakkan
narasi sebanyak mungkin dalam karya-karyanya yang berukuran gigantis. Melalui
pameran ini, kita akan diajak melihat penjelajahan estetik Valasara menuju masa
silam, sekaligus mempertanyakan masih relevankah lukisan-lukisan kanon itu kita
jadikan kiblat.
*)tulisan ini pernah dipublikasikan di majalah sarasvati edisi oktober 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar