bakti wiyasa_sari pertiwi jati dan konstelasi pertiwi jati_2015
Oleh Dwi S. Wibowo
Sekitar pertengahan bulan Agustus lalu, saat sebagian orang
tengah sibuk menata nasionalisme merah putih di dadanya, perupa asal Tabanan, I
Made Bakti Wiyasa justru memilih untuk menyuntuki bulir-bulir padi yang mulai
menguning di persawahan kampung halamannya, Penebel. Bukan untuk menimang masa
panen yang akan segera tiba, melainkan tengah merenungkan alam dan tradisi Bali
yang sangat kaya, namun naasnya justru mulai dikandaskan oleh orang-orang Bali sendiri.
Saat bertandang ke kediamannya di kota Denpasar, saya
disambut oleh benih-benih padi yang baru disemai di atas beberapa tempeh (nampan anyaman bambu) yang
disusun sedemikian rupa. Tentu ini bukanlah pemandangan yang wajar dalam proses
pertanian di pelosok manapun, sebab biasanya benih padi akan langsung disemai
di sawah. Bakti memang bukan bermaksud menyiapkan benih untuk sawah miliknya,
melainkan tengah menyiapkan karya untuk sebuah pameran yang akan diikutinya.
Bersama tiga perupa lainnya, mereka tengah menyiapkan sebuah
pameran dengan tajuk “Tutur Nyatur” di
Bentara Budaya Bali, pada 16-23 September. Mereka ialah I Nyoman Wirata, I Wayan
Santrayana, dan I Wayan Sudiarta. Secara kebetulan, keempatnya punya latar
belakang profesi yang sama, yaitu sebagai perupa cum pendidik. Bakti dan Sudiarta
merupakan dosen seni rupa, sedangkan Wirata dan Santrayana adalah guru seni
rupa. dengan kesamaan latar profesi itulah, keempatnya yang boleh dibilang
lintas generasi saling bertemu dan membingkai wacana pameran ini.
wayan sudiarta_baris-an penjaga nilai_180x300cm_2015
Tanpa ingin terlalu berat mengusung gagasan, keempatnya
sepakat untuk mengangkat tajuk “Tutur Nyatur” yang mereka pungut dari khasanah
tradisi Bali. Dalam bahasa Bali, “tutur”
berarti ucapan baik yang berupa nasihat ataupun suatu narasi, sedangkan “nyatur” berarti menuju ke empat penjuru.
Meski memiliki latar belakang profesi yang sama, namun faktor pengalaman dan
usia jelas membedakan keempatnya. Sehingga mereka memutuskan untuk tetap
mengusung karakter masing-masing dalam pameran ini, tanpa terikat pada satu
gagasan mengenai isu sosial tertentu.
Seperti yang dilakukan oleh perupa yang paling senior di
antara mereka, I Nyoman Wirata. Perupa yang baru saja purna mengabdikan diri
sebagai guru di sebuah sekolah negeri di Denpasar ini tetap mengusung prinsip kekaryaannya
yang selalu dekat dengan dunia sastra, khususnya puisi. Dalam melukis, perupa
yang alumni SSRI Denpasar tahun 1972 tersebut selalu mengolah puisi terlebih
dahulu sebelum memindahkannya ke dalam citraan-citraan semi abstrak di atas
kanvas. Sejak mengawali karirnya, Nyoman Wirata memang tak ingin melepaskan
diri dari sastra, bahkan hingga kini setidaknya ada beberapa buku kumpulan
puisi yang diterbitkannya.
Memasuki generasi kedua, adalah I Wayan Santrayana. Namanya
mungkin asing di telinga para pecinta seni rupa kontemporer, namun tidak bagi
sebagian perupa asal Bali seperti Putu Sutawijaya ataupun Made Sumadiyasa,
sosok Santrayana adalah guru yang pernah mendidiknya semasa menempuh studi di
Sekolah Menengah Seni Rupa. Dalam pameran kali ini, karya-karyanya cenderung
mempertanyakan tentang hakikat-hakikat hidup dan kehidupan (mungkin merupakan
bentuk spiritualitasnya) dijalaninya dengan menjadikan media melukis sebagai
altar atau sajadah perenungan dimana jejak-jejak prosesnya terekam pada kanvas berupa
aliran garis berirama, berpola bahkan berkoreografi yang kemudian juga
meninggalkan jejak berupa suasana bathin yang melingkupi di dalam proses
kontemplasinya.
karya nyoman wirata
Sedangkan Wayan Sudiarta di lapis ketiga, menampilkan
sejumlah karya lukisan berukuran cukup besar yang menunjukkan kesuntukkannya
menjajal teknik. Tema-tema seputar seni tradisi menjadi fokus utama dalam
karya-karyanya, terutama dalam hal mempertanyakan konteks dan relevansinya hari
ini. Sehingga terlihat dalam karyanya yang menampilkan sejumlah barong dalam
pose yang kenes tengah berselfie ria seperti tren anak muda masa kini. Mungkin
itulah ironi yang ingin dihadirkan olehnya sebagai bentuk kritik terhadap seni
tradisi bali saat ini.
Sebagaimana tertera pada awal tulisan ini, I Made Bakti Wiyasa
dalam pameran ini mengolah padi sebagai ide dasar dari karyanya, maka
terciptalah sebuah instalasi berupa sebuah bulir padi berukuran raksasa yang
tergantung di dinding ruang pamer Bentara Budaya Bali. Karya yang berukuran
maksimal hingga 3 x 27 meter tersebut terbuat dari bahan organik yaitu bambu dan
klangsah (anyaman daun kelapa) dan
diberi judul “Sari Pertiwi Jati”. Pertiwi jati merupakan tatanan kemakmuran
pada masyarakat agraris Bali yang diwariskan secara turun temurun melalui subak. Tatanan ekonomi tradisional yang
bertaut secara langsung dengan alam dan spiritualitas, sehingga pada tataran
kosmologis masyarakat memiliki kesadaran penuh bahwa melimpahnya sumber daya
alam merupakan karunia dari Tuhan.
Keempat perupa cum pendidik lintas generasi tersebut hadir
dengan karakter kekaryaannya masing-masing dalam pameran ini, dari sana kita
bisa melihat bagaimana waktu merentang panjang. Antara yang senior dengan
generasi sesudahnya tentu memiliki konteks berkesenian yang berbeda, termasuk
cara pandang akan sebuah persoalan. Saya jadi teringat perkataan I Nyoman
Wirata di sela persiapan pameran, “tidak semua orang yang dianggap senior
memiliki kekayaan pengalaman melebihi juniornya, mungkin justru sebaliknya.”
Tulisan ini pernah dimuat di Majalah Sarasvati edisi oktober 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar