Selasa, 13 Oktober 2015

PERSILANGAN SENI RUPA DAN DESAIN

Citra Sasmita, The Red Hangman, 2015, Esther Metal Sheet, 55 x 28 x 7

oleh Dwi S. Wibowo
Ibarat sepasang rel kereta, seni rupa dan desain adalah dua bilah yang membentang berdampingan, meskipun sangat jarang kita lihat keduanya saling bersinggungan. Para perupa begitu kerap menyuntuki medium-medium ganjil dan kepiawaian teknis guna mencipta karya yang punya nilai artistik tinggi sekaligus adiluhung, sedangkan para desainer lebih banyak merancang benda-benda fungsional yang begitu lekat dengan keseharian. Ya, seni rupa memang seperti sebuah pemanggungan yang berjarak dengan kehidupan, sedangkan desain lebih menyerupai realitas kehidupan itu sendiri. Oleh karenanya, sebuah pameran yang dihelat oleh Sudakara Art Space sejak 27 Agustus lalu, mencoba menautkan dua dunia sekandung itu dalam kerangka tajuk “Portable Sculpture Objects Fungtional Arts”.
Sejumlah perupa yang terbiasa menggeluti seni rupa murni (lukis, patung, dan instalasi) ditantang untuk memperluas kecakapan berkaryanya dengan menerapkan pada benda-benda guna (fungsional). Sebagaimana terlihat dalam pameran ini, beberapa perupa yang terlibat antara lain Aan Juniartha, Art of Whatever (AOW), Atmi Kristiadewi, Budi Agung Kuswara, Budi ‘Boleng’ Santoso, Citra Sasmita, Dewa gede Jodi Saputra, IGK Adi Dewantara, Made Aswino Aji, Made Supena, Putu Suarjana, Made Muliana Bayak, Nyoman Suarnata, Putu Edy Asmara, dan Putu Suardana.
Budi Boleng, Table Lamp 1, 2015, Mixed Media, 41 x ++ 22
Alih-alih nampak selayaknya pameran seni rupa yang sarat gagasan, pameran ini seolah lebih ingin menampilkan kecakapan para perupa dalam mengolah karakter estetiknya ke dalam benda guna sehari-hari. Meskipun masing-masing dari mereka masih juga menyelipkan idiom-idiom khasnya dalam berkarya. Dalam perbincangan dengan Army (kordinator pameran ini) beberapa minggu sebelum pembukaan pameran, ia menuturkan bahwa pameran ini berupaya mengangkat konsep art bazaar yang bisa lebih mendekatkan karya para perupa tersebut dengan pemirsa, yang secara aktif dapat sekaligus menjadi buyers. Apalagi dengan posisi Sudakara Art Space yang merupakan bagian dari hotel Sudamala, membuatnya menjadi sangat strategis. Pameran yang akan digelar hingga 5 Oktober mendatang ini juga diniatkan menjadi alternatif untuk mengatasi kejenuhan aktifitas seni rupa di Bali yang melulu konvensional menampilkan lukisan dan patung.
Tak sekedar mengawinsilangkan antara seni rupa dan desain, ternyata pameran ini juga mensyaratkan para perupa untuk menciptakan karya yang portable (mudah dibawa) sebagaimana terlampir dalam judul pameran ini. Oleh karena itulah, kebanyakan perupa cenderung menggarap karya-karya berukuran mini seperti terlihat dalam beberapa karya Made Muliana Bayak. Ia membuat patung-patung dari kolase benda temuan sehari-hari seperti mouse komputer, kaleng minuman, potongan pensil, dan pisau dapur. Salah satunya diberi judul “Osama Bin Scorpion The Cyber Terror”, karya tahun 2015 itu tersusun dari mouse komputer yang dikolase dengan kawat dan roda bekas mainan. 
Aswino Aji, Display Installation View
Tak hanya Bayak yang piawai merangkai benda-benda temuan semacam itu, Budi ‘Boleng’ Santoso juga menggunakan pola yang sama. ia banyak mengumpulkan perkakas otomotif dan juga botol-botol bekas wine untuk dirakit menjadi sebuah karya. Dalam pameran ini, Budi menampilkan beberapa lampu meja yang dibuatnya dari bahan perkakas seperti pompa sepeda dan piringan rem motor yang dikombinasikan dengan potongan botol dan bohlam di dalamnya, sehingga bias cahaya yang dihasilkannya dari balik kaca botol menjadi sangat puitis.
Beberapa seniman yang lain mencoba mengelaborasikan konsep berkarya yang biasa mereka lakoni dalam bidang dua dimensi ke dalam benda guna sehari-hari. Di titik ini, kita diajak untuk melihat bahwa medium para perupa ternyata tidak hanya terbatas pada bidang datar seperti kanvas atau kertas, seperti terlihat dalam karya-karya yang diusung oleh kelompok perupa yang menamakan dirinya Art of Whatever. Latar belakang mereka sebagai perupa yang menekuni street art membuatnya lebih leluasa dalam menyikapi medium dalam berkarya, maka jadilah karya-karya mereka dalam medium seperti jaket, payung, dan sepatu. Tanpa mau meninggalkan karakteristik khas dan juga selipan gagasan, mereka mengombinasikan teknik lukis, grafis, dan digital printing dalam sandangan tersebut. Keuntungannya ialah, karya sekaligus pesan yang terlampir di dalamnya akan terbawa mengikuti kemanapun langkah orang yang menggunakan produknya.

Budi Agung Kuswara, After Murakami, 2015, Ceramics Teapot and cups (2 pcs)

Hal serupa terlihat juga dalam karya-karya Made Aswino Aji yang juga menerapkan pola berkarya dua dimensi ke dalam benda-benda guna seperti jam dinding ataupun mangkok dan nampan kayu. Dengan teknik drawing menggunakan pensil warnanya yang khas, ia juga tetap mengusung ikon-ikon gambarnya yang selama ini banyak muncul dalam karya-karya lukisnya. Selain itu, yang juga menarik adalah cangkir-cangkir keramik karya Budi Agung Kuswara yang disusun berjajar di atas lightbox. Beberapa seri karya keramik itu tampil dengan sangat rapi, salah satunya yang diberinya judul “After Murakami”, menampilkan motif-motif senyum bunga matahari serupa karya seniman ternama Jepang Takashi Murakami yang diolah dengan teknik pembuatan keramik yang sangat baik. Karya instalasi berbahan plat besi karya Citra Sasmita juga cukup menarik perhatian, menampilkan sepasang sosok malaikat yang dipajang berdampingan dengan warna yang sepenuhnya merah menyala. Karya yang diberi judul “The Red Hangman” itu berfungsi sebagai capstok yang diposisikan tepat pada posisi phalus sang malaikat, membuatnya menjadi sangat parodikal, sekaligus berani.
Pameran sejenis, bukan kali ini saja digelar di Bali, sebelumnya juga pernah digelar pameran yang menampilkan pertautan antara seni rupa dan desain yaitu “Art Expose” pada tahun 2014 di Maha Art Gallery yang diikuti oleh sejumlah perupa termasuk Edy Asmara dan Atmi Kristiadewi yang juga terlibat dalam pameran kali ini. Tanpa menurunkan nilai estetik dari karya-karya seni yang biasa mereka ciptakan, dari pameran tersebut setidaknya terlihat bahwa seni rupa ternyata bisa begitu dekat dengan desain. Meskipun selama ini sering muncul anggapan sinis yang menyebutnya sebagai seni rendahan, namun ternyata di belahan bumi lain, yaitu di Chicago pameran serupa yang mengusung tajuk SOFA (Sculpture Object Fungtional Art) juga digelar dan diikuti oleh banyak galeri ternama. Barangkali, seni memang semestinya melekat pada fungsi sehari-hari.

*)tulisan ini pernah dipublikasikan di majalah sarasvati edisi oktober 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar