Ibarat
sepasang rel kereta, seni rupa dan desain adalah dua bilah yang membentang
berdampingan, meskipun sangat jarang kita lihat keduanya saling bersinggungan.
Para perupa begitu kerap menyuntuki medium-medium ganjil dan kepiawaian teknis
guna mencipta karya yang punya nilai artistik tinggi sekaligus adiluhung,
sedangkan para desainer lebih banyak merancang benda-benda fungsional yang
begitu lekat dengan keseharian. Ya, seni rupa memang seperti sebuah
pemanggungan yang berjarak dengan kehidupan, sedangkan desain lebih menyerupai
realitas kehidupan itu sendiri. Oleh karenanya, sebuah pameran yang dihelat
oleh Sudakara Art Space sejak 27 Agustus lalu, mencoba menautkan dua dunia
sekandung itu dalam kerangka tajuk “Portable
Sculpture Objects Fungtional Arts”.
Sejumlah
perupa yang terbiasa menggeluti seni rupa murni (lukis, patung, dan instalasi)
ditantang untuk memperluas kecakapan berkaryanya dengan menerapkan pada
benda-benda guna (fungsional). Sebagaimana terlihat dalam pameran ini, beberapa
perupa yang terlibat antara lain Aan Juniartha, Art of Whatever (AOW), Atmi
Kristiadewi, Budi Agung Kuswara, Budi ‘Boleng’ Santoso, Citra Sasmita, Dewa
gede Jodi Saputra, IGK Adi Dewantara, Made Aswino Aji, Made Supena, Putu
Suarjana, Made Muliana Bayak, Nyoman Suarnata, Putu Edy Asmara, dan Putu
Suardana.
Budi Boleng, Table Lamp 1, 2015, Mixed Media, 41 x ++ 22
Alih-alih
nampak selayaknya pameran seni rupa yang sarat gagasan, pameran ini seolah
lebih ingin menampilkan kecakapan para perupa dalam mengolah karakter
estetiknya ke dalam benda guna sehari-hari. Meskipun masing-masing dari mereka
masih juga menyelipkan idiom-idiom khasnya dalam berkarya. Dalam perbincangan
dengan Army (kordinator pameran ini) beberapa minggu sebelum pembukaan pameran,
ia menuturkan bahwa pameran ini berupaya mengangkat konsep art bazaar yang bisa lebih mendekatkan karya para perupa tersebut
dengan pemirsa, yang secara aktif dapat sekaligus menjadi buyers. Apalagi dengan posisi Sudakara Art Space yang merupakan
bagian dari hotel Sudamala, membuatnya menjadi sangat strategis. Pameran yang
akan digelar hingga 5 Oktober mendatang ini juga diniatkan menjadi alternatif untuk
mengatasi kejenuhan aktifitas seni rupa di Bali yang melulu konvensional
menampilkan lukisan dan patung.
Tak sekedar
mengawinsilangkan antara seni rupa dan desain, ternyata pameran ini juga
mensyaratkan para perupa untuk menciptakan karya yang portable (mudah dibawa) sebagaimana terlampir dalam judul pameran
ini. Oleh karena itulah, kebanyakan perupa cenderung menggarap karya-karya
berukuran mini seperti terlihat dalam beberapa karya Made Muliana Bayak. Ia
membuat patung-patung dari kolase benda temuan sehari-hari seperti mouse komputer, kaleng minuman, potongan
pensil, dan pisau dapur. Salah satunya diberi judul “Osama Bin Scorpion The Cyber Terror”, karya tahun 2015 itu
tersusun dari mouse komputer yang
dikolase dengan kawat dan roda bekas mainan.
Aswino Aji, Display Installation View
Tak hanya
Bayak yang piawai merangkai benda-benda temuan semacam itu, Budi ‘Boleng’
Santoso juga menggunakan pola yang sama. ia banyak mengumpulkan perkakas
otomotif dan juga botol-botol bekas wine untuk dirakit menjadi sebuah karya. Dalam
pameran ini, Budi menampilkan beberapa lampu meja yang dibuatnya dari bahan
perkakas seperti pompa sepeda dan piringan rem motor yang dikombinasikan dengan
potongan botol dan bohlam di dalamnya, sehingga bias cahaya yang dihasilkannya
dari balik kaca botol menjadi sangat puitis.
Beberapa
seniman yang lain mencoba mengelaborasikan konsep berkarya yang biasa mereka
lakoni dalam bidang dua dimensi ke dalam benda guna sehari-hari. Di titik ini,
kita diajak untuk melihat bahwa medium para perupa ternyata tidak hanya
terbatas pada bidang datar seperti kanvas atau kertas, seperti terlihat dalam
karya-karya yang diusung oleh kelompok perupa yang menamakan dirinya Art of
Whatever. Latar belakang mereka sebagai perupa yang menekuni street art membuatnya lebih leluasa
dalam menyikapi medium dalam berkarya, maka jadilah karya-karya mereka dalam
medium seperti jaket, payung, dan sepatu. Tanpa mau meninggalkan karakteristik
khas dan juga selipan gagasan, mereka mengombinasikan teknik lukis, grafis, dan
digital printing dalam sandangan
tersebut. Keuntungannya ialah, karya sekaligus pesan yang terlampir di dalamnya
akan terbawa mengikuti kemanapun langkah orang yang menggunakan produknya.
Budi Agung Kuswara, After Murakami, 2015, Ceramics Teapot and cups (2 pcs) |
Hal serupa
terlihat juga dalam karya-karya Made Aswino Aji yang juga menerapkan pola
berkarya dua dimensi ke dalam benda-benda guna seperti jam dinding ataupun
mangkok dan nampan kayu. Dengan teknik drawing menggunakan pensil warnanya yang
khas, ia juga tetap mengusung ikon-ikon gambarnya yang selama ini banyak muncul
dalam karya-karya lukisnya. Selain itu, yang juga menarik adalah
cangkir-cangkir keramik karya Budi Agung Kuswara yang disusun berjajar di atas lightbox. Beberapa seri karya keramik
itu tampil dengan sangat rapi, salah satunya yang diberinya judul “After Murakami”, menampilkan motif-motif
senyum bunga matahari serupa karya seniman ternama Jepang Takashi Murakami yang
diolah dengan teknik pembuatan keramik yang sangat baik. Karya instalasi berbahan
plat besi karya Citra Sasmita juga cukup menarik perhatian, menampilkan
sepasang sosok malaikat yang dipajang berdampingan dengan warna yang sepenuhnya
merah menyala. Karya yang diberi judul “The
Red Hangman” itu berfungsi sebagai capstok yang diposisikan tepat pada
posisi phalus sang malaikat,
membuatnya menjadi sangat parodikal, sekaligus berani.
Pameran
sejenis, bukan kali ini saja digelar di Bali, sebelumnya juga pernah digelar
pameran yang menampilkan pertautan antara seni rupa dan desain yaitu “Art Expose” pada tahun 2014 di Maha Art
Gallery yang diikuti oleh sejumlah perupa termasuk Edy Asmara dan Atmi
Kristiadewi yang juga terlibat dalam pameran kali ini. Tanpa menurunkan nilai
estetik dari karya-karya seni yang biasa mereka ciptakan, dari pameran tersebut
setidaknya terlihat bahwa seni rupa ternyata bisa begitu dekat dengan desain.
Meskipun selama ini sering muncul anggapan sinis yang menyebutnya sebagai seni
rendahan, namun ternyata di belahan bumi lain, yaitu di Chicago pameran serupa
yang mengusung tajuk SOFA (Sculpture Object Fungtional Art) juga digelar dan
diikuti oleh banyak galeri ternama. Barangkali, seni memang semestinya melekat
pada fungsi sehari-hari.
*)tulisan ini pernah dipublikasikan di majalah sarasvati edisi oktober 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar