Sabtu, 28 November 2015

AKTIVASI RUANG PUBLIK SEBAGAI AREAL SENI TERBUKA

Isrol Triono tengah membuat mural disaksikan warga setempat

Oleh Dwi S. Wibowo

Memberi kesempatan pada masyarakat luas untuk mengenal dan menikmati karya seni ternyata tidak semudah membalik telapak tangan. Keberjarakan antara masyarakat umum dengan berbagai institusi kesenian seperti galeri, museum seni, institusi pendidikan, dan juga kalangan seniman cukup memberi andil besar dalam mengasingkan hubungan keduanya. Bahkan masyarakat di perkotaan sekalipun merasa awam terhadap seni rupa modern apalagi kontemporer, terutama kelas menengah ke bawahnya masih merasa canggung dan bertanya-tanya apa itu seni.

Persoalan semacam itu bahkan terjadi di kota-kota besar di Indonesia, terutama kota-kota yang selama ini berada di luar lingkaran utama arus seni rupa kontemporer seperti Jogja, Bandung, atau Jakarta. Salah satu kota yang masih mengalami kegagapan untuk mendekatkan masyarakatnya dengan karya seni adalah Denpasar, sesuatu yang mungkin dianggap ironis mengingat bahwa citra pulau dewata yang selama ini lekat dengan kesenian. Sayangnya, Denpasar ataupun Bali secara umum hanya lekat dengan kesenian tradisi yang masih dipertahankan sebagai salah satu komoditas wisata. Termasuk dalam benak masyarakatnya yang memahami seni sebatas pada khasanah tradisi yang sehari-hari dilihatnya.


Posisi kota Denpasar sebagai ibu kota propinsi, ternyata tidak juga menjadikannya sebagai pusat dari perkembangan seni di Bali. Justru kawasan Ubud, Sanur, dan Seminyak yang notabene sebagai destinasi wisata malah menjadi patokan berkembangnya sejumlah galeri seni yang sempat berpengaruh di Bali. Sementara Denpasar hanya bertumbuh sebagai pusat pemerintahan yang cenderung birokratik, hal tersebut juga secara tidak langsung memberi dampak signifikan terhadap pertumbuhan sosio-kultural masyarakat yang tinggal di dalamnya. Masyarakat di kota Denpasar adalah perpaduan antara urban dan tradisional yang cenderung menampilkan tarik menarik antara kedua sifat tersebut. Di satu sisi, sedang bertumbuh menjadi kota yang urban secara kultural, di sisi lain eksistensi banjar yang tradisional aristokratik menahan laju perkembangan itu.

Hadirnya karya seni di kota ini sebagai media wacana belum berjalan sepenuhnya, masyarakatnya (terutama kelas menengah ke bawah) masih berjarak dengan institusi-institusi seni. Sebagian besar dari mereka masih beranggapan bahwa karya seni semata-mata hanya sebagai dekorasi penghias dinding, bahkan soal harga karya seni yang bisa melambung selangit mungkin membuat mereka lebih berkerut dahi. Sementara itu, hadirnya karya seni jalanan (mural, grafiti, atau poster) yang bersifat politis di ruang publik masih belum diterima secara utuh. Stigma tentang karya street art yang dianggap mengotori wajah kota dan dikategorikan sebagai bentuk vandalisme masih begitu melekat di benak sebagian besar masyarakat kota ini. Mungkin berbeda dengan fenomena street art di Jogja yang diterima secara terbuka oleh berbagai lapisan masyarakat, bahkan sudah menjadi bagian dari langkah kota tersebut dalam mendekatkan seni dengan masyarakatnya.
Scetch Fredoon Expo karya kolaboratif yang dikuratori oleh Kianoush Ramezani (Iran)

Di Denpasar sendiri, hadirnya karya-karya street art berupa poster dan mural sudah cukup banyak menghiasi dinding-dinding di sejumlah kawasan. Pemanfaatan dinding-dinding bangunan ataupun tembok di kawasan pertokoan dinilai efektif oleh para street artist lokal untuk menyampaikan pesan kepada masyarakat melalui gambar-gambarnya yang berukuran gigantis tersebut. Sekaligus untuk meneguhkan eksistensinya dalam perebutan ruang dengan baliho-baliho reklame yang dilegalkan pemerintah kota, meskipun keberadaannya juga sama-sama mengambil posisi di ruang publik.

Pada 2 Oktober lalu, Micro Galleries sebuah organisasi jaringan seniman internasional yang berbasis di Australia bekerja sama dengan sejumlah seniman asal Indonesia menggelar sebuah program inisiasi di kota Denpasar untuk menghidupkan kembali ruang publik yang sudah terlupakan dan mengaktifkannya kembali sebagai galeri bagi berbagai karya seni secara terbuka. Area yang dipilih adalah di seputaran Pasar Badung karena dianggap sebagai lokasi yang memiliki nilai penting dalam denyut nafas masyarakat kota Denpasar. Ada tiga lokasi yang dipilih untuk menghadirkan karya sesuai dengan konteksnya yaitu di bantaran sungai antara Pasar Badung dan Pasar Kumbasari, areal Pasar Badung, dan di gang Ternate 3 yang berlokasi di sisi timur Pasar Badung.

Program ini bermula dari keterlibatan Christina Arum seorang fotografer yang menetap di Denpasar dalam penyelenggaraan program serupa di Nowra pada periode sebelumnya. Menurutnya, situasi kota Denpasar sebagaimana disebutkan sebelumnya dirasa sangat potensial untuk menyelenggarakan program tersebut. Bersama Bobby Arya Gana, Christina Arum menjadi kordinator lokal program ini di Denpasar. Setidaknya ada 42 seniman yang terlibat dalam penyelenggaraan kali ini yang terdiri dari 12 seniman Indonesia dan 30 seniman yang berasal dari berbagai negara seperti Australia, Amerika, Prancis, Finlandia, Iran, dan Hong kong. Tujuan dari program ini adalah untuk mendekatkan karya seni dengan berbagai lapisan masyarakat, oleh karena itulah pemilihan lokasi di pasar Badung dirasa tepat karena menjadi ruang yang mempertemukan masyarakat dari berbagai kelas. “Dengan memakai ruang publik (pasar Badung), semua orang ternyata bisa diajak menikmati karya seni, baik yang indah maupun yang sarat protes atas keadaan di sekitar kita,” menurut Aryo Dewa Bharata, salah satu seniman yang terlibat dalam program ini.

Meskipun respon yang diberikan oleh masyarakat tidak semuanya positif, terbukti dengan beberapa karya yang berada di areal pasar mengalami kerusakan, bahkan hilang. Termasuk sejumlah karya yang dipindahkan secara sepihak oleh petugas keamanan pasar. Sebagaimana diungkapkan oleh Bobby, “meski sudah mendapatkan ijin dari pengelola pasar, ternyata masih ada respon negatif dari petugas keamanan dan juga masyarakat.” Menurutnya, hal semacam itu juga menjadi bagian dari resiko karya seni di ruang publik. Untungnya, karya-karya di dua lokasi lainnya tidak mengalami nasib serupa. Penempatan karya seni di ruang publik tentu memiliki sistematika yang berbeda dengan karya-karya seni yang terpajang di dinding galeri. Kehadiran karya seni di ruang publik serta merta akan menimbulkan pertanyaan bagi siapapun mengenai konteks keberadaannya, bahkan mungkin akan sampai pada penilaian oleh sebagian pihak mengenai tepat atau tidaknya karya tersebut berada di lokasi itu. Pertimbangan-pertimbangan semacam itu tentu harus menjadi landasan dalam sebuah proyek seni di ruang publik.

Seperti dalam program ini, pemilihan lokasi di bantaran sungai antara  Pasar Badung dan Pasar Kumbasari bertujuan untuk menyampaikan pesan terkait persoalan sungai sebagai bagian dari ekologi kota. Persoalan-persoalan yang seringkali muncul di sekitar sungai yang melintasi kawasan perkotaan adalah lahirnya kawasan kumuh dan juga alih fungsi sungai sebagai tempat pembuangan sampah. Mungkin itu persoalan klise yang mungkin dapat dilihat di berbagai kota, karenanya beberapa seniman merasa bahwa persoalan tersebut sudah dalam kategori darurat. Diperlukan komunikasi untuk mengembalikan kesadaran masyarakat tentang fungsi sungai sebagai bagian dari ekologi kota, persoalan itu disoroti oleh sejumlah seniman yang secara kolaboratif menciptakan karya di bantaran sungai, mereka antara lain Billie Parsons yang berkolaborasi dengan Made bayak, dan MT Walker yang berkolaborasi dengan Jonas Sestakresna.

Sebagaimana tujuan program ini untuk menghidupkan kembali ruang yang mulai dilupakan orang, ada baiknya kita melihat ke sebuah lorong sempit di gang Ternate 3 yang terletak pada sisi timur Pasar Badung. Sehari-hari, gang ini adalah kawasan sepi yang hanya dilalui warga setempat dengan berjalan kaki sambil menuntun sepeda motor. Dinding di kedua sisinya sebagian rusak dan berlumut akibat cuaca. Pemandangan itulah yang direspon oleh sebagian besar seniman yang terlibat dalam program ini, gang dengan panjang sekitar 300 meter itu menjadi penuh sesak oleh poster-poster dan mural yang berjejer sangat padat. Menjadi sangat menarik untuk melihat berbagai karya seni dengan latar dinding yang kusam dan berlumut. Maka tidak mengherankan jika setelahnya gang itu mendadak ramai didatangi banyak orang yang semula memperoleh informasi tentang program Micro Galleries ini dari media sosial.
Salahkan siapa karya Lilu (Indonesia)

Interaksi para pendatang, seniman, dan warga setempat ternyata memberi pengalaman yang unik bagi ketiganya. Warga setempat justru antusias melihat lingkungannya menjadi kawasan seni, setidaknya itu memberi warna baru pada dinding kusam yang setiap hari mereka lihat, meskipun banyak juga karya-karya bernada kritik sosial yang ditempel disana. Program ini sekaligus menghidupkan ruang secara nyata, yang membuat mereka dapat bertemu dengan orang-orang baru dengan pengalaman dan pengetahuan yang menurutnya berbeda. Selanjutnya, karya-karya itu akan tetap dibiarkan berada disana hingga cuaca, waktu, ataupun tangan-tangan jahil orang yang lewat mengelupasnya.

tulisan ini pernah dimuat di majalah Sarasvati edisi November 2015

Kamis, 26 November 2015

RETROSPEKSI KEKERASAN DI PULAU DEWATA

DP ARSA_Where is Area of My Identity_Print acrylic neon box_2015
Oleh Dwi S. Wibowo

Di tengah maraknya perhelatan Biennale di sejumlah kota di Indonesia, mulai dari Makassar Biennale, Biennale Jatim, Biennale Jogja, hingga Jakarta Biennale, Bali sebagai salah satu lumbung perupa tidak ingin ketinggalan langkah. Meski belum berani memproklamirkan (kembali) Biennale yang sempat berjalan sekali di tahun 2005 lalu, pada pertengahan (sekitar tanggal 10) November ini sebuah pameran besar akan digelar di Tony Raka Gallery.

Barangkali bukan perkara mudah mengorganisir event besar dan kontinyu semacam biennale ataupun art fair. Bali memiliki catatan yang kurang apik soal penyelenggaraan event-event semacam itu. Bali Biennale yang digadang-gadang menjadi event berkelanjutan nan berkelas, justru kandas pada gelaran pertamanya. Lalu Bali Art Fair yang dimotori Bali Art Society juga bernasib serupa pada 2013 silam. Kini, diinisiasi oleh Tony Raka Gallery secara mandiri, upaya membangun sebuah event berkelanjutan itu coba didenyutkan kembali melalui pameran Bali Art Intervention yang mengangkat tema kekerasan di Bali (Violent Bali).
MANGU PUTRA_Botol Arak_95 x 70,5 cm_Acrylic on canvas_2015

Sebagai pameran yang rencananya bakal menjadi event rutin dan ikonik di Bali, pemilihan tema pada pameran pertama ini berusaha secara spesifik menyentuh persoalan sosial dan politik yang berlangsung di Bali. Tentu harapannya agar dapat menjadi ciri khas yang membedakannya dari pameran-pameran serupa di kota lain, sekaligus memberi kontribusi terhadap masyarakat melalui seni rupa. Selama ini Bali hanya dikenal melalui citra surgawi yang menggambarkan situasi damai nan sejahtera, padahal pulau ini memiliki sejarah kelam sepanjang perjalanannya.

Rentetan peristiwa kekerasan yang mengusik kemanusiaan itu mungkin kerap luput dari ingatan, di balik keindahan alam dan gemulai tariannya ternyata menyimpan sekian luka. Barangkali masih terngiang peristiwa terorisme pada periode awal 2000-an, bom Bali pertama di jalan Legian yang memakan korban hingga ratusan jiwa, bahkan tragedi tersebut berlanjut pada bom Bali kedua meski dengan korban yang lebih sedikit. Kedua peristiwa tersebut memberi efek domino bagi masyarakat luas yang masih menyimpan trauma hingga hari ini, bahkan membuat mereka menjadi cenderung defensif terhadap kalangan pendatang.

Jika dirunut lebih jauh, ternyata peristiwa kekerasan di Bali bukan hanya terjadi pada era kini saja, melainkan telah muncul pada masa kolonial, bahkan jauh sebelum itu. Menurut Arif B. Prasetyo yang mengkuratori pameran ini, “kekerasan telah dimulai sejak era Bali tempo dulu, sederetan kerajaan kecil selalu bersaing dan berperang satu sama lain. Bahkan muncul stigma pada masyarakat Bali sebagai kaum biadab yang suka berperang sehingga banyak dijadikan budak dan prajurit oleh penguasa kolonial.”
ALIT SUAJA_noda merah 1965 - 148 x 88 cm - oil on canvas -2015

Sejumlah kajian secara antropologis maupun historis yang mengupas sejarah panjang perilaku kekerasan di pulau dewata menyebutkan adanya paradoks yang muncul di Bali, di satu sisi masyarakatnya hadir sebagai pribadi yang luhur dengan kekayaan budaya, di sisi lain riwayat perilaku yang antikemanusiaan itu mustahil dielakkan. Salah satu peristiwa kekerasan yang paling disorot adalah perang Puputan melawan Belanda yang terjadi pada tahun 1908 yang memberi dampak besar bagi masyarakat Bali masa itu. Adrian Vickers, profesor pada bidang studi Asia Tenggara di Universitas Sidney yang juga menulis untuk pameran ini menyatakan bahwa perang penghabisan yang dilakukan oleh keluarga kerajaan dan rakyat sipil memberi dampak kekalahan moriil pada kubu Belanda.

Situasi tersebut menggiring Belanda untuk menjalankan politik ruste en orde dengan membangun citra surgawi demi memperbaiki nama baiknya di kancah Internasional, alih-alih menarik wisatawan dan merintis industri pariwisatanya pada masa itu. Namun sekali lagi, perlakuan diskriminatif Belanda terhadap pribumi mendapatkan respon keras sehingga tercipta situasi ketegangan antara keduanya. Vickers mencatat tentang berbagai penanda yang menjadi gejala tersebut antara lain, “lukisan-lukisan Bali pada periode ini tercatat sangat kelam dari para pelukis Batuan, menggambarkan suasana ketakutan yang dialami masyarakatnya. Lukisan-lukisan tersebut menunjukkan pada kita bahwa salah satu bentuk kekerasan adalah supernatural, kehadiran para penujum dan juga kutukan merupakan salah satu bentuk perlawanan secara fisik dan psikologis,” ungkap penulis buku Bali: A Paradise Created ini.

Perhatian Vickers juga tertuju pada peristiwa pembantaian para anggota dan simpatisan Partai Komunis Indonesia pada periode 1965-1968, Bali disebut sebagai penyumbang korban terbanyak oleh Vickers. Meskipun fakta tersebut bukan hanya menjadi aib bagi Bali, melainkan juga seluruh Indonesia. Peneliti lain yang juga mengupas peristiwa ini adalah I Ngurah Suryawan dalam bukunya Ladang Hitam di Pulau Dewa, buku ini membongkar mitos tentang kekerasan yang terjadi di Bali pada 1965 tersebut sebagai proses alamiah, argumentasi keseimbangan alam, dan mitologi letusan gunung agung yang meminta korban. Menurutnya, mitos-mitos tersebut tak lebih dari sebuah rekayasa yang sengaja diciptakan oleh penguasa saat itu.  
Citra Sasmita_TORMENT_150 x 120 cm_mix media on canvas_2015

Dengan riwayat peristiwa kekerasan sepanjang itu, ternyata hingga kini Bali masih enggan untuk mengungkapnya melalui berbagai praktik kesenian, termasuk seni rupa. Hal tersebut diungkapkan oleh Arif B. Prasetyo yang menyebut hanya ada segelintir  perupa yang tergugah dan mengangkatnya dalam karya, “jika dipaksa untuk menyebut nama, lagi-lagi kita hanya akan menemukan nama Mangu Putra, Wianta, atau  Tatang Bsp.” Sementara perupa lain cenderung mengejar aspek estetik dalam proses kekaryaannya. Kurangnya perupa yang mengangkat tema-tema sosial politik di Bali, dianggapnya sebagai sebuah kelemahan yang mengkhawatirkan bagi arah seni rupa Bali di masa mendatang.

Sementara arah seni rupa di negara-negara Asia sudah menunjukkan gejala menuju pada persoalan-persoalan sosial politik, sebagai bentuk respon dari situasi sosial maupun politik yang berlangsung di negara-negara tersebut. Korea, Tiongkok, India, Taiwan, dan Indonesia adalah negara-negara yang memiliki deret konflik yang dipicu oleh represi rezim penguasa. Sepanjang 32 tahun kekuasaan rezim Orde Baru, rakyat Indonesia mengalami tekanan politik oleh pemerintah dan militer. Pasca berakhirnya rezim Orba, memasuki era reformasi, tekanan politik oleh pemerintah dan militer boleh dibilang telah memudar. Namun yang lahir justru kelompok-kelompok masyarakat yang mengatasnamakan ideologi tertentu dan menggantikan peran negara dalam mengontrol masyarakatnya, termasuk yang menjamur di Bali saat ini.

Pameran Bali Art Intervention: Violent Bali ini semula berniat menghadirkan 85 perupa lintas disiplin, mulai dari fotografi, patung, instalasi, dua dimensi, hingga performance art.  Namun hanya sekitar 64 perupa yang menyatakan kesanggupannya menggarap tema kekerasan tersebut. Arif B. Prasetyo mengakui bahwa tema yang disodorkan olehnya memang menjadi kendala bagi sebagian perupa yang tidak terbiasa dengan tema sosial dan politik. “Meskipun demikian, dengan berbagai data historis dan fenomena sosial yang terjadi hari ini, persoalan kekerasan sebenarnya sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari para perupa. Tergantung mereka memiliki kepekaan untuk mengangkatnya atau tidak,” ungkapnya.

ANTHOK S_Stop War, 140 x 175 cm, oil on canvas, 2014

Sebagian besar karya-karya dari para perupa masih menunjukkan gejala malu-malu untuk mengangkat persoalan kekerasan di Bali secara terbuka, sehingga memilih jalur aman dengan menciptakan karya secara simbolik. Seperti Mangu Putra misalnya, meski terbiasa melukis berdasarkan potret-potret sejarah kekerasan yang terjadi di Indonesia, dalam pameran ini Mangu memilih jalur aman dengan hanya melukiskan sebuah botol arak yang pecah berlumur darah. Persoalan kekerasan itu dapat ditangkap melalui simbol arak (alkohol) sebagai sumber letupan konflik yang terjadi di Bali saat ini, hal yang juga kerap diungkap dalam sejumlah pemberitaan di media lokal. Persoalan akar kekerasan juga diangkat oleh Edy Asmara yang menuding permainan digital sebagai sumber perilaku kekerasan. Melalui lukisan bertajuk “Teror Game”, Edy menghadirkan paradoks keceriaan anak-anak yang ternyata berpotensi menanamkan perilaku kekerasan. Apalagi tidak ada lembaga yang dapat mengontrol sejauh apa konten dalam permainan digital memberi dampak psikologis pada anak-anak.


Salah satu lukisan yang mencoba mengulik luka sejarah antara lain karya Alit Suaja yang bertajuk “Noda Merah”, potret seorang kakek dengan logo PKI di lengan kirinya. Sampai hari ini, para penyintas tragedi 65 masih dapat ditemui. Mereka selamat dari pembunuhan massal, tapi mungkin tidak secara sosial. Banyak di antara mereka yang mengalami perubahan drastis dalam hidupnya, bahkan tidak jarang yang dikucilkan oleh lingkungan. Dari 64 perupa yang turut menyumbang karya dalam pameran ini, setidaknya dapat terlihat berbagai sudut pandang menakar kekerasan yang terjadi di Bali dari masa silam hingga masa kini. Dari sana mungkin kita bisa menyusun sebuah diorama dalam benak, bagaimana peristiwa-peristiwa itu selama ini senyap  di balik citra surgawi yang melekat di pulau kecil ini. 

Tulisan ini merupakan preview pameran Bali Art Intervention:Violent In Bali, pernah dimuat di Majalah Sarasvati edisi November 2015