DP ARSA_Where is Area of My Identity_Print acrylic neon box_2015
Oleh Dwi S. Wibowo
Di tengah maraknya perhelatan Biennale di sejumlah kota di
Indonesia, mulai dari Makassar Biennale, Biennale Jatim, Biennale Jogja, hingga
Jakarta Biennale, Bali sebagai salah satu lumbung perupa tidak ingin ketinggalan
langkah. Meski belum berani memproklamirkan (kembali) Biennale yang sempat
berjalan sekali di tahun 2005 lalu, pada pertengahan (sekitar tanggal 10) November
ini sebuah pameran besar akan digelar di Tony Raka Gallery.
Barangkali bukan perkara mudah mengorganisir event besar dan
kontinyu semacam biennale ataupun art fair. Bali memiliki catatan yang kurang
apik soal penyelenggaraan event-event semacam itu. Bali Biennale yang
digadang-gadang menjadi event berkelanjutan nan berkelas, justru kandas pada
gelaran pertamanya. Lalu Bali Art Fair yang dimotori Bali Art Society juga
bernasib serupa pada 2013 silam. Kini, diinisiasi oleh Tony Raka Gallery secara
mandiri, upaya membangun sebuah event berkelanjutan itu coba didenyutkan
kembali melalui pameran Bali Art
Intervention yang mengangkat tema kekerasan di Bali (Violent Bali).
MANGU PUTRA_Botol Arak_95 x 70,5 cm_Acrylic on canvas_2015
Sebagai pameran yang rencananya bakal menjadi event rutin
dan ikonik di Bali, pemilihan tema pada pameran pertama ini berusaha secara
spesifik menyentuh persoalan sosial dan politik yang berlangsung di Bali. Tentu
harapannya agar dapat menjadi ciri khas yang membedakannya dari pameran-pameran
serupa di kota lain, sekaligus memberi kontribusi terhadap masyarakat melalui
seni rupa. Selama ini Bali hanya dikenal melalui citra surgawi yang
menggambarkan situasi damai nan sejahtera, padahal pulau ini memiliki sejarah
kelam sepanjang perjalanannya.
Rentetan peristiwa kekerasan yang mengusik kemanusiaan itu
mungkin kerap luput dari ingatan, di balik keindahan alam dan gemulai tariannya
ternyata menyimpan sekian luka. Barangkali masih terngiang peristiwa terorisme
pada periode awal 2000-an, bom Bali pertama di jalan Legian yang memakan korban
hingga ratusan jiwa, bahkan tragedi tersebut berlanjut pada bom Bali kedua
meski dengan korban yang lebih sedikit. Kedua peristiwa tersebut memberi efek
domino bagi masyarakat luas yang masih menyimpan trauma hingga hari ini, bahkan
membuat mereka menjadi cenderung defensif terhadap kalangan pendatang.
Jika dirunut lebih jauh, ternyata peristiwa kekerasan di
Bali bukan hanya terjadi pada era kini saja, melainkan telah muncul pada masa
kolonial, bahkan jauh sebelum itu. Menurut Arif B. Prasetyo yang mengkuratori
pameran ini, “kekerasan telah dimulai sejak era Bali tempo dulu, sederetan
kerajaan kecil selalu bersaing dan berperang satu sama lain. Bahkan muncul
stigma pada masyarakat Bali sebagai kaum biadab yang suka berperang sehingga
banyak dijadikan budak dan prajurit oleh penguasa kolonial.”
ALIT SUAJA_noda merah 1965 - 148 x 88 cm - oil on canvas -2015
Sejumlah kajian secara antropologis maupun historis yang
mengupas sejarah panjang perilaku kekerasan di pulau dewata menyebutkan adanya
paradoks yang muncul di Bali, di satu sisi masyarakatnya hadir sebagai pribadi
yang luhur dengan kekayaan budaya, di sisi lain riwayat perilaku yang antikemanusiaan
itu mustahil dielakkan. Salah satu peristiwa kekerasan yang paling disorot adalah
perang Puputan melawan Belanda yang terjadi pada tahun 1908 yang memberi dampak
besar bagi masyarakat Bali masa itu. Adrian Vickers, profesor pada bidang studi
Asia Tenggara di Universitas Sidney yang juga menulis untuk pameran ini
menyatakan bahwa perang penghabisan yang dilakukan oleh keluarga kerajaan dan
rakyat sipil memberi dampak kekalahan moriil pada kubu Belanda.
Situasi tersebut menggiring Belanda untuk menjalankan
politik ruste en orde dengan
membangun citra surgawi demi memperbaiki nama baiknya di kancah Internasional,
alih-alih menarik wisatawan dan merintis industri pariwisatanya pada masa itu.
Namun sekali lagi, perlakuan diskriminatif Belanda terhadap pribumi mendapatkan
respon keras sehingga tercipta situasi ketegangan antara keduanya. Vickers
mencatat tentang berbagai penanda yang menjadi gejala tersebut antara lain, “lukisan-lukisan
Bali pada periode ini tercatat sangat kelam dari para pelukis Batuan, menggambarkan
suasana ketakutan yang dialami masyarakatnya. Lukisan-lukisan tersebut
menunjukkan pada kita bahwa salah satu bentuk kekerasan adalah supernatural,
kehadiran para penujum dan juga kutukan merupakan salah satu bentuk perlawanan
secara fisik dan psikologis,” ungkap penulis buku Bali: A Paradise Created ini.
Perhatian Vickers juga tertuju pada peristiwa pembantaian
para anggota dan simpatisan Partai Komunis Indonesia pada periode 1965-1968,
Bali disebut sebagai penyumbang korban terbanyak oleh Vickers. Meskipun fakta
tersebut bukan hanya menjadi aib bagi Bali, melainkan juga seluruh Indonesia. Peneliti
lain yang juga mengupas peristiwa ini adalah I Ngurah Suryawan dalam bukunya
Ladang Hitam di Pulau Dewa, buku ini membongkar mitos tentang kekerasan yang
terjadi di Bali pada 1965 tersebut sebagai proses alamiah, argumentasi
keseimbangan alam, dan mitologi letusan gunung agung yang meminta korban. Menurutnya,
mitos-mitos tersebut tak lebih dari sebuah rekayasa yang sengaja diciptakan
oleh penguasa saat itu.
Citra Sasmita_TORMENT_150 x 120 cm_mix media on canvas_2015
Dengan riwayat peristiwa kekerasan sepanjang itu, ternyata
hingga kini Bali masih enggan untuk mengungkapnya melalui berbagai praktik
kesenian, termasuk seni rupa. Hal tersebut diungkapkan oleh Arif B. Prasetyo
yang menyebut hanya ada segelintir
perupa yang tergugah dan mengangkatnya dalam karya, “jika dipaksa untuk
menyebut nama, lagi-lagi kita hanya akan menemukan nama Mangu Putra, Wianta,
atau Tatang Bsp.” Sementara perupa lain
cenderung mengejar aspek estetik dalam proses kekaryaannya. Kurangnya perupa
yang mengangkat tema-tema sosial politik di Bali, dianggapnya sebagai sebuah
kelemahan yang mengkhawatirkan bagi arah seni rupa Bali di masa mendatang.
Sementara arah seni rupa di negara-negara Asia sudah
menunjukkan gejala menuju pada persoalan-persoalan sosial politik, sebagai
bentuk respon dari situasi sosial maupun politik yang berlangsung di
negara-negara tersebut. Korea, Tiongkok, India, Taiwan, dan Indonesia adalah
negara-negara yang memiliki deret konflik yang dipicu oleh represi rezim
penguasa. Sepanjang 32 tahun kekuasaan rezim Orde Baru, rakyat Indonesia
mengalami tekanan politik oleh pemerintah dan militer. Pasca berakhirnya rezim Orba,
memasuki era reformasi, tekanan politik oleh pemerintah dan militer boleh
dibilang telah memudar. Namun yang lahir justru kelompok-kelompok masyarakat
yang mengatasnamakan ideologi tertentu dan menggantikan peran negara dalam
mengontrol masyarakatnya, termasuk yang menjamur di Bali saat ini.
Pameran Bali Art
Intervention: Violent Bali ini semula berniat menghadirkan 85 perupa lintas
disiplin, mulai dari fotografi, patung, instalasi, dua dimensi, hingga performance art. Namun hanya sekitar 64
perupa yang menyatakan kesanggupannya menggarap tema kekerasan tersebut. Arif
B. Prasetyo mengakui bahwa tema yang disodorkan olehnya memang menjadi kendala
bagi sebagian perupa yang tidak terbiasa dengan tema sosial dan politik. “Meskipun
demikian, dengan berbagai data historis dan fenomena sosial yang terjadi hari
ini, persoalan kekerasan sebenarnya sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari
para perupa. Tergantung mereka memiliki kepekaan untuk mengangkatnya atau
tidak,” ungkapnya.
ANTHOK S_Stop War, 140 x 175 cm, oil on canvas, 2014
Sebagian besar karya-karya dari para perupa masih menunjukkan
gejala malu-malu untuk mengangkat persoalan kekerasan di Bali secara terbuka,
sehingga memilih jalur aman dengan menciptakan karya secara simbolik. Seperti
Mangu Putra misalnya, meski terbiasa melukis berdasarkan potret-potret sejarah
kekerasan yang terjadi di Indonesia, dalam pameran ini Mangu memilih jalur aman
dengan hanya melukiskan sebuah botol arak yang pecah berlumur darah. Persoalan
kekerasan itu dapat ditangkap melalui simbol arak (alkohol) sebagai sumber
letupan konflik yang terjadi di Bali saat ini, hal yang juga kerap diungkap dalam
sejumlah pemberitaan di media lokal. Persoalan akar kekerasan juga diangkat
oleh Edy Asmara yang menuding permainan digital sebagai sumber perilaku kekerasan.
Melalui lukisan bertajuk “Teror Game”, Edy menghadirkan paradoks keceriaan
anak-anak yang ternyata berpotensi menanamkan perilaku kekerasan. Apalagi tidak
ada lembaga yang dapat mengontrol sejauh apa konten dalam permainan digital
memberi dampak psikologis pada anak-anak.
Salah satu lukisan yang mencoba mengulik luka sejarah antara
lain karya Alit Suaja yang bertajuk “Noda Merah”, potret seorang kakek dengan
logo PKI di lengan kirinya. Sampai hari ini, para penyintas tragedi 65 masih
dapat ditemui. Mereka selamat dari pembunuhan massal, tapi mungkin tidak secara
sosial. Banyak di antara mereka yang mengalami perubahan drastis dalam
hidupnya, bahkan tidak jarang yang dikucilkan oleh lingkungan. Dari 64 perupa
yang turut menyumbang karya dalam pameran ini, setidaknya dapat terlihat
berbagai sudut pandang menakar kekerasan yang terjadi di Bali dari masa silam
hingga masa kini. Dari sana mungkin kita bisa menyusun sebuah diorama dalam
benak, bagaimana peristiwa-peristiwa itu selama ini senyap di balik citra surgawi yang melekat di pulau
kecil ini.
Tulisan ini merupakan preview pameran Bali Art Intervention:Violent In Bali, pernah dimuat di Majalah Sarasvati edisi November 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar