Isrol Triono tengah membuat mural disaksikan warga setempat
Oleh Dwi S. Wibowo
Memberi kesempatan pada masyarakat luas untuk mengenal dan
menikmati karya seni ternyata tidak semudah membalik telapak tangan. Keberjarakan
antara masyarakat umum dengan berbagai institusi kesenian seperti galeri,
museum seni, institusi pendidikan, dan juga kalangan seniman cukup memberi
andil besar dalam mengasingkan hubungan keduanya. Bahkan masyarakat di
perkotaan sekalipun merasa awam terhadap seni rupa modern apalagi kontemporer,
terutama kelas menengah ke bawahnya masih merasa canggung dan bertanya-tanya
apa itu seni.
Persoalan semacam itu bahkan terjadi di kota-kota besar di
Indonesia, terutama kota-kota yang selama ini berada di luar lingkaran utama
arus seni rupa kontemporer seperti Jogja, Bandung, atau Jakarta. Salah satu
kota yang masih mengalami kegagapan untuk mendekatkan masyarakatnya dengan
karya seni adalah Denpasar, sesuatu yang mungkin dianggap ironis mengingat
bahwa citra pulau dewata yang selama ini lekat dengan kesenian. Sayangnya, Denpasar
ataupun Bali secara umum hanya lekat dengan kesenian tradisi yang masih
dipertahankan sebagai salah satu komoditas wisata. Termasuk dalam benak
masyarakatnya yang memahami seni sebatas pada khasanah tradisi yang sehari-hari
dilihatnya.
Posisi kota Denpasar sebagai ibu kota propinsi, ternyata
tidak juga menjadikannya sebagai pusat dari perkembangan seni di Bali. Justru kawasan
Ubud, Sanur, dan Seminyak yang notabene sebagai destinasi wisata malah menjadi
patokan berkembangnya sejumlah galeri seni yang sempat berpengaruh di Bali. Sementara
Denpasar hanya bertumbuh sebagai pusat pemerintahan yang cenderung birokratik, hal
tersebut juga secara tidak langsung memberi dampak signifikan terhadap pertumbuhan
sosio-kultural masyarakat yang tinggal di dalamnya. Masyarakat di kota Denpasar
adalah perpaduan antara urban dan tradisional yang cenderung menampilkan tarik
menarik antara kedua sifat tersebut. Di satu sisi, sedang bertumbuh menjadi
kota yang urban secara kultural, di sisi lain eksistensi banjar yang
tradisional aristokratik menahan laju perkembangan itu.
Hadirnya karya seni di kota ini sebagai media wacana belum
berjalan sepenuhnya, masyarakatnya (terutama kelas menengah ke bawah) masih
berjarak dengan institusi-institusi seni. Sebagian besar dari mereka masih
beranggapan bahwa karya seni semata-mata hanya sebagai dekorasi penghias
dinding, bahkan soal harga karya seni yang bisa melambung selangit mungkin
membuat mereka lebih berkerut dahi. Sementara itu, hadirnya karya seni jalanan
(mural, grafiti, atau poster) yang bersifat politis di ruang publik masih belum
diterima secara utuh. Stigma tentang karya street
art yang dianggap mengotori wajah kota dan dikategorikan sebagai bentuk
vandalisme masih begitu melekat di benak sebagian besar masyarakat kota ini.
Mungkin berbeda dengan fenomena street
art di Jogja yang diterima secara terbuka oleh berbagai lapisan masyarakat,
bahkan sudah menjadi bagian dari langkah kota tersebut dalam mendekatkan seni
dengan masyarakatnya.
Scetch Fredoon Expo karya kolaboratif yang dikuratori oleh Kianoush Ramezani (Iran)
Di Denpasar sendiri, hadirnya karya-karya street art berupa poster dan mural sudah
cukup banyak menghiasi dinding-dinding di sejumlah kawasan. Pemanfaatan dinding-dinding
bangunan ataupun tembok di kawasan pertokoan dinilai efektif oleh para street artist lokal untuk menyampaikan
pesan kepada masyarakat melalui gambar-gambarnya yang berukuran gigantis
tersebut. Sekaligus untuk meneguhkan eksistensinya dalam perebutan ruang dengan
baliho-baliho reklame yang dilegalkan pemerintah kota, meskipun keberadaannya
juga sama-sama mengambil posisi di ruang publik.
Pada 2 Oktober lalu, Micro Galleries sebuah organisasi
jaringan seniman internasional yang berbasis di Australia bekerja sama dengan
sejumlah seniman asal Indonesia menggelar sebuah program inisiasi di kota
Denpasar untuk menghidupkan kembali ruang publik yang sudah terlupakan dan
mengaktifkannya kembali sebagai galeri bagi berbagai karya seni secara terbuka.
Area yang dipilih adalah di seputaran Pasar Badung karena dianggap sebagai
lokasi yang memiliki nilai penting dalam denyut nafas masyarakat kota Denpasar.
Ada tiga lokasi yang dipilih untuk menghadirkan karya sesuai dengan konteksnya
yaitu di bantaran sungai antara Pasar Badung dan Pasar Kumbasari, areal Pasar Badung,
dan di gang Ternate 3 yang berlokasi di sisi timur Pasar Badung.
Program ini bermula dari keterlibatan Christina Arum seorang
fotografer yang menetap di Denpasar dalam penyelenggaraan program serupa di
Nowra pada periode sebelumnya. Menurutnya, situasi kota Denpasar sebagaimana
disebutkan sebelumnya dirasa sangat potensial untuk menyelenggarakan program
tersebut. Bersama Bobby Arya Gana, Christina Arum menjadi kordinator lokal
program ini di Denpasar. Setidaknya ada 42 seniman yang terlibat dalam
penyelenggaraan kali ini yang terdiri dari 12 seniman Indonesia dan 30 seniman
yang berasal dari berbagai negara seperti Australia, Amerika, Prancis,
Finlandia, Iran, dan Hong kong. Tujuan dari program ini adalah untuk
mendekatkan karya seni dengan berbagai lapisan masyarakat, oleh karena itulah
pemilihan lokasi di pasar Badung dirasa tepat karena menjadi ruang yang
mempertemukan masyarakat dari berbagai kelas. “Dengan memakai ruang publik
(pasar Badung), semua orang ternyata bisa diajak menikmati karya seni, baik
yang indah maupun yang sarat protes atas keadaan di sekitar kita,” menurut Aryo
Dewa Bharata, salah satu seniman yang terlibat dalam program ini.
Meskipun respon yang diberikan oleh masyarakat tidak
semuanya positif, terbukti dengan beberapa karya yang berada di areal pasar
mengalami kerusakan, bahkan hilang. Termasuk sejumlah karya yang dipindahkan
secara sepihak oleh petugas keamanan pasar. Sebagaimana diungkapkan oleh Bobby,
“meski sudah mendapatkan ijin dari pengelola pasar, ternyata masih ada respon
negatif dari petugas keamanan dan juga masyarakat.” Menurutnya, hal semacam itu
juga menjadi bagian dari resiko karya seni di ruang publik. Untungnya,
karya-karya di dua lokasi lainnya tidak mengalami nasib serupa. Penempatan
karya seni di ruang publik tentu memiliki sistematika yang berbeda dengan
karya-karya seni yang terpajang di dinding galeri. Kehadiran karya seni di
ruang publik serta merta akan menimbulkan pertanyaan bagi siapapun mengenai
konteks keberadaannya, bahkan mungkin akan sampai pada penilaian oleh sebagian
pihak mengenai tepat atau tidaknya karya tersebut berada di lokasi itu. Pertimbangan-pertimbangan
semacam itu tentu harus menjadi landasan dalam sebuah proyek seni di ruang
publik.
Seperti dalam program ini, pemilihan lokasi di bantaran
sungai antara Pasar Badung dan Pasar Kumbasari
bertujuan untuk menyampaikan pesan terkait persoalan sungai sebagai bagian dari
ekologi kota. Persoalan-persoalan yang seringkali muncul di sekitar sungai yang
melintasi kawasan perkotaan adalah lahirnya kawasan kumuh dan juga alih fungsi
sungai sebagai tempat pembuangan sampah. Mungkin itu persoalan klise yang
mungkin dapat dilihat di berbagai kota, karenanya beberapa seniman merasa bahwa
persoalan tersebut sudah dalam kategori darurat. Diperlukan komunikasi untuk
mengembalikan kesadaran masyarakat tentang fungsi sungai sebagai bagian dari
ekologi kota, persoalan itu disoroti oleh sejumlah seniman yang secara
kolaboratif menciptakan karya di bantaran sungai, mereka antara lain Billie
Parsons yang berkolaborasi dengan Made bayak, dan MT Walker yang berkolaborasi
dengan Jonas Sestakresna.
Sebagaimana tujuan program ini untuk menghidupkan kembali
ruang yang mulai dilupakan orang, ada baiknya kita melihat ke sebuah lorong
sempit di gang Ternate 3 yang terletak pada sisi timur Pasar Badung. Sehari-hari,
gang ini adalah kawasan sepi yang hanya dilalui warga setempat dengan berjalan
kaki sambil menuntun sepeda motor. Dinding di kedua sisinya sebagian rusak dan
berlumut akibat cuaca. Pemandangan itulah yang direspon oleh sebagian besar
seniman yang terlibat dalam program ini, gang dengan panjang sekitar 300 meter
itu menjadi penuh sesak oleh poster-poster dan mural yang berjejer sangat
padat. Menjadi sangat menarik untuk melihat berbagai karya seni dengan latar
dinding yang kusam dan berlumut. Maka tidak mengherankan jika setelahnya gang
itu mendadak ramai didatangi banyak orang yang semula memperoleh informasi
tentang program Micro Galleries ini dari media sosial.
Salahkan siapa karya Lilu (Indonesia)
Interaksi para pendatang, seniman, dan warga setempat ternyata
memberi pengalaman yang unik bagi ketiganya. Warga setempat justru antusias
melihat lingkungannya menjadi kawasan seni, setidaknya itu memberi warna baru
pada dinding kusam yang setiap hari mereka lihat, meskipun banyak juga
karya-karya bernada kritik sosial yang ditempel disana. Program ini sekaligus menghidupkan
ruang secara nyata, yang membuat mereka dapat bertemu dengan orang-orang baru
dengan pengalaman dan pengetahuan yang menurutnya berbeda. Selanjutnya,
karya-karya itu akan tetap dibiarkan berada disana hingga cuaca, waktu, ataupun
tangan-tangan jahil orang yang lewat mengelupasnya.
tulisan ini pernah dimuat di majalah Sarasvati edisi November 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar