MINUM KOPI, BICARA KOPI
-sekedar catatan sepulang dari
pembukaan pameran ‘Secangkir Kopi’ Kelompok Palang di Sangkring Art Project
oleh dwi s. wibowo
Awalnya saya cukup heran ketika
membaca poster tentang opening pameran ini yang mengusung tema ‘secangkir kopi’
berikut juga judul pameran ini, yang menurut para pesertanya ide ini digagas
oleh putu sutawijaya selaku pemilik lokasi pameran. Yang kemudian direspon oleh
7 perupa muda yang semuanya berdarah bali-meski tidak semua lahir dan besar di
bali- yakni oka astawa, putu harimbawa, wayan agus novianto, wayan adhiyoga
pramartha, ketut suryawan, ari marutha, dan kadek suardana dengan karya yang
setema
namun berbeda secara teknis.
Kelompok palang sendiri merupakan
sebuah komunitas seni rupa yang berbasis di isi Yogyakarta, kesemua
anggotanya-yang awalnya berjumlah 11 orang dan sekarang tinggal 7 saja-
berdarah bali yang tentu merepresentasikan diri mereka sebagai seniman-senman
yang sedari kecil sudah akrab dengan iklim kesenian. Bahkan dalam pengakuan
mereka, mereka tumbuh dalam lingkungan seni rupa yang begitu intens, beberapa
memiliki paman seorang perupa, ada juga yang malah anak seorang perupa. Jadi tak
heran bila pemuda-pemuda ini , meski belia, sudah mampu menghasilkan karya yang
baik.
Oka astawa, merespon tema dengan
menawarkan sebuah perspektif social dalam karya ‘tumpah’ dengan menampilkan keindonesiaan yang
disimbolkan dengan gambaran peta Indonesia berwarna merah putih yang seolah
terjadi akibat tumpahan dua cangkir besar kopi. Dengan benang-benang yang
mengikat setiap bagiannya sebagai symbol persatuan. Karya lainnya, yakni
‘secangkir cinta untuk indonesia’ tak jauh berbeda dari karya ‘tumpah’ yang
mencoba menampilkan sisi social si perupa atau mungkin sisi nasionalismenya
dengan pemanfaatan media yang lebih eksploratif. Isu-isu social seperti
ke-nasionalisme-an memang seksi untuk digarap dalam sebuah kerja seni, apalagi
senirupa kontemporer di Indonesia kini. Bisa dilihat terutama pasca meledaknya
lukisan ‘berburu celeng’ milik djoko pekik-meski jauh sebelum itu, isu sosal
sudah menggempita- yang kemudian merangsang banyak perupa untuk menampilkan
karya-karya bertema social. Dapat dilihat bahwa pada masa orde baru, isu social
memang kerap menjadi spirit rebel para seniman terhadap pemerintahan. Maka tak
heran bila muncul karya-karya yang mengkritik pemerintahan-lihat heri dono
misalnya. Pasca-orde baru, fenomena tentu masih tetap sama dengan nomena yang
sedikit bergeser, kritik-kritik yang dilancarkan para pekerja seni tidak lagi
menyerang frontal terhadap pemerintahan, namun dengan satire yang lebih halus,
missal dengan lukisan-lukisan yang mengangkat realitas kaum kelas bawah di
republic ini. Itu yang marak, disamping banyak perupa-yang menurut
saya’terjebak’- pada simbolisme ke-indonesia-an. Misalnya yang melukis bendera
merah putih, atau peta geografis Indonesia seperti yang oka astawa lakukan ini.
Yang menurut penilaian subjektif saya, antara karya dan substansi tidaklah
esensial. Melainkan sekedar kerja rupa yang artifisial.
Respon yang hamper serupa
ditunjukkan pula oleh wayan adhiyoga pramartha yang menampilkan kritik social
secara lebih spesifik dengan merujuk satu objek kecil yakni ke-bali-annya. Di
samping arak dan brem, bali terkenal juga dengan kopinya. Wayan adhiyoga
mencoba menguak sisi modernitas bali dengan menyoroti kopi bali sebagai salah
satu elemen pariwisata di sana. Maraknya pengolahan kopi menjadi souvenir coba
diangkat oleh adiyogha, barangkali ia menganggap bahwa ada pergeseran budaya
bahwasanya leak kini sekedar menjadi merk dagang bagi sebuah perusahaan
pengolahan kopi dalam karya yang bertajuk ‘kopi spesial’. Bagi saya, ini jadi
menarik karena persoalan esensi ke-bali-an yang dipertanyakan oleh adiyogha
terhadap kultur massyarakat bali sendiri yang selama ini dikenal konservatif
terhadap budayanya bahkan terkesan chauvinis, justru melunturkan sendiri
nilai-nilai kebudayaannya ke wilayah komersial. Perupa muda yang satu ini, juga
sudah menemukan ciri khasnya dalam menggarap karya-karyanya, yang mungkin saja
terinfluence oleh perupa lainnya dengan menunjukkan identitas ke-bali-annya
denga menampilkan motif hitam putih (saput poleng) pada sarung khas bali. Termasuk
juga dalam karyanya yang bertajuk ‘nikmat sesaat’.
Karya lainnya yang menarik perhatian
saya ialah ‘kopi keberapa’ karya wayan agus novianto, yang bagi saya begitu
esensial-terutama karena membaca judulnya- yang saya anggap sebagai sebuah
pertanyaan terhadap diri sendiri, baik diri si perupa maupun pada diri setiap
audiens yang berhadapan langsung dengan karya ini. Cangkir-cangkir kopi yang
melayang tak karuan dan satu cangkir kopi terparkir di sudut kanan atas,
merupakan simbolisme yang apik. Setiap orang biasa meminum kopi untuk
menghabiskan waktu senggang atau menunggu sesuatu, pertanyaan kemudian muncul
pada kopi keberapakah kita akan berhenti, pada cangkir keberapa kita akan
memperoleh giliran. Dan penafsiran-penafsiran lainnya, tentu. Sepanjang
berkeliling di ruang pameran ini, menurut saya prbadi inilah karya terbaik yang
saya jumpai, wayan agus novianto mencoba puitis, namun tak berjarak antara
simbolisme dan esensi yang coba ia satukan dalam karyanya tersebut, bahkan
saya-sebagai audiens yang berada jauh di luar proses kreatif tersebut-
benar-benar merasa ditarik untuk berada di antara cangkir-cangkir kopi yang tak
beraturan tersebut. Walaupun, secara teknis, jelas bahwa perupa muda ini
terinfluence oleh sutawijaya yang kerap memanfaatkan lelehan-lelehan cat sebagai
ornament estetiknya.
Di samping beberapa karya yang saya
bahas di atas, saya nilai sebagai karya yang lebih mengedepankan persoalan
teknik. Tentu, perupa muda masih menjelajahi kemungkinan-kemungkinan teknis
dalam berkarya. Namun bukan berarti karya mereka tidak esensial. Sebagai perupa
muda, saya nilai proses penepaan mereka sudah selesai, tinggal bagaimana
mengasahnya untuk mempertajam baik satu sisi maupun dua sisinya jika saja
hendak diibaratkan dengan pedang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar