Kamis, 29 Maret 2012

MINUM KOPI, BICARA KOPI

MINUM KOPI, BICARA KOPI
-sekedar catatan sepulang dari pembukaan pameran ‘Secangkir Kopi’ Kelompok Palang di Sangkring Art Project
 oleh dwi s. wibowo

            Awalnya saya cukup heran ketika membaca poster tentang opening pameran ini yang mengusung tema ‘secangkir kopi’ berikut juga judul pameran ini, yang menurut para pesertanya ide ini digagas oleh putu sutawijaya selaku pemilik lokasi pameran. Yang kemudian direspon oleh 7 perupa muda yang semuanya berdarah bali-meski tidak semua lahir dan besar di bali- yakni oka astawa, putu harimbawa, wayan agus novianto, wayan adhiyoga pramartha, ketut suryawan, ari marutha, dan kadek suardana dengan karya yang setema
namun berbeda secara teknis.
            Kelompok palang sendiri merupakan sebuah komunitas seni rupa yang berbasis di isi Yogyakarta, kesemua anggotanya-yang awalnya berjumlah 11 orang dan sekarang tinggal 7 saja- berdarah bali yang tentu merepresentasikan diri mereka sebagai seniman-senman yang sedari kecil sudah akrab dengan iklim kesenian. Bahkan dalam pengakuan mereka, mereka tumbuh dalam lingkungan seni rupa yang begitu intens, beberapa memiliki paman seorang perupa, ada juga yang malah anak seorang perupa. Jadi tak heran bila pemuda-pemuda ini , meski belia, sudah mampu menghasilkan karya yang baik.
            Oka astawa, merespon tema dengan menawarkan sebuah perspektif social dalam karya ‘tumpah’  dengan menampilkan keindonesiaan yang disimbolkan dengan gambaran peta Indonesia berwarna merah putih yang seolah terjadi akibat tumpahan dua cangkir besar kopi. Dengan benang-benang yang mengikat setiap bagiannya sebagai symbol persatuan. Karya lainnya, yakni ‘secangkir cinta untuk indonesia’ tak jauh berbeda dari karya ‘tumpah’ yang mencoba menampilkan sisi social si perupa atau mungkin sisi nasionalismenya dengan pemanfaatan media yang lebih eksploratif. Isu-isu social seperti ke-nasionalisme-an memang seksi untuk digarap dalam sebuah kerja seni, apalagi senirupa kontemporer di Indonesia kini. Bisa dilihat terutama pasca meledaknya lukisan ‘berburu celeng’ milik djoko pekik-meski jauh sebelum itu, isu sosal sudah menggempita- yang kemudian merangsang banyak perupa untuk menampilkan karya-karya bertema social. Dapat dilihat bahwa pada masa orde baru, isu social memang kerap menjadi spirit rebel para seniman terhadap pemerintahan. Maka tak heran bila muncul karya-karya yang mengkritik pemerintahan-lihat heri dono misalnya. Pasca-orde baru, fenomena tentu masih tetap sama dengan nomena yang sedikit bergeser, kritik-kritik yang dilancarkan para pekerja seni tidak lagi menyerang frontal terhadap pemerintahan, namun dengan satire yang lebih halus, missal dengan lukisan-lukisan yang mengangkat realitas kaum kelas bawah di republic ini. Itu yang marak, disamping banyak perupa-yang menurut saya’terjebak’- pada simbolisme ke-indonesia-an. Misalnya yang melukis bendera merah putih, atau peta geografis Indonesia seperti yang oka astawa lakukan ini. Yang menurut penilaian subjektif saya, antara karya dan substansi tidaklah esensial. Melainkan sekedar kerja rupa yang artifisial.
            Respon yang hamper serupa ditunjukkan pula oleh wayan adhiyoga pramartha yang menampilkan kritik social secara lebih spesifik dengan merujuk satu objek kecil yakni ke-bali-annya. Di samping arak dan brem, bali terkenal juga dengan kopinya. Wayan adhiyoga mencoba menguak sisi modernitas bali dengan menyoroti kopi bali sebagai salah satu elemen pariwisata di sana. Maraknya pengolahan kopi menjadi souvenir coba diangkat oleh adiyogha, barangkali ia menganggap bahwa ada pergeseran budaya bahwasanya leak kini sekedar menjadi merk dagang bagi sebuah perusahaan pengolahan kopi dalam karya yang bertajuk ‘kopi spesial’. Bagi saya, ini jadi menarik karena persoalan esensi ke-bali-an yang dipertanyakan oleh adiyogha terhadap kultur massyarakat bali sendiri yang selama ini dikenal konservatif terhadap budayanya bahkan terkesan chauvinis, justru melunturkan sendiri nilai-nilai kebudayaannya ke wilayah komersial. Perupa muda yang satu ini, juga sudah menemukan ciri khasnya dalam menggarap karya-karyanya, yang mungkin saja terinfluence oleh perupa lainnya dengan menunjukkan identitas ke-bali-annya denga menampilkan motif hitam putih (saput poleng) pada sarung khas bali. Termasuk juga dalam karyanya yang bertajuk ‘nikmat sesaat’.
            Karya lainnya yang menarik perhatian saya ialah ‘kopi keberapa’ karya wayan agus novianto, yang bagi saya begitu esensial-terutama karena membaca judulnya- yang saya anggap sebagai sebuah pertanyaan terhadap diri sendiri, baik diri si perupa maupun pada diri setiap audiens yang berhadapan langsung dengan karya ini. Cangkir-cangkir kopi yang melayang tak karuan dan satu cangkir kopi terparkir di sudut kanan atas, merupakan simbolisme yang apik. Setiap orang biasa meminum kopi untuk menghabiskan waktu senggang atau menunggu sesuatu, pertanyaan kemudian muncul pada kopi keberapakah kita akan berhenti, pada cangkir keberapa kita akan memperoleh giliran. Dan penafsiran-penafsiran lainnya, tentu. Sepanjang berkeliling di ruang pameran ini, menurut saya prbadi inilah karya terbaik yang saya jumpai, wayan agus novianto mencoba puitis, namun tak berjarak antara simbolisme dan esensi yang coba ia satukan dalam karyanya tersebut, bahkan saya-sebagai audiens yang berada jauh di luar proses kreatif tersebut- benar-benar merasa ditarik untuk berada di antara cangkir-cangkir kopi yang tak beraturan tersebut. Walaupun, secara teknis, jelas bahwa perupa muda ini terinfluence oleh sutawijaya yang kerap memanfaatkan lelehan-lelehan cat sebagai ornament estetiknya.
            Di samping beberapa karya yang saya bahas di atas, saya nilai sebagai karya yang lebih mengedepankan persoalan teknik. Tentu, perupa muda masih menjelajahi kemungkinan-kemungkinan teknis dalam berkarya. Namun bukan berarti karya mereka tidak esensial. Sebagai perupa muda, saya nilai proses penepaan mereka sudah selesai, tinggal bagaimana mengasahnya untuk mempertajam baik satu sisi maupun dua sisinya jika saja hendak diibaratkan dengan pedang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar