respon terhadap pameran tunggal anggar prasetyo TEXTURE I STRUCRURE
oleh dwi s. wibowo
Kain-kain itu basah dan kusut, lalu ditempelkannya
pada lembar-lembar kanvas yang tergantung pada dinding Tembi Contemporary
Galery, barangkali karena di luar hujan masih cukup deras makanya kain-kain itu
tidak di jemur di halaman, melainkan tersangkut pada kanvas milik anggar
prasetyo. Namun itu bukanlah kain sebenarnya, melainkan deretan lukisan yang
tengah dipamerkan di galeri tersebut. Begitu kira-kira yang dapat saya tangkap
dari pameran texture I structure,
pameran tunggal karya-karya pelukis kelahiran
Cilacap 38 tahun silam, Anggar Prasetyo. Ia demikian lihai
memainkan ilusi optikal pada karya-karyanya, membuat seolah-olah karya dua
dimensinya adalah karya tiga dimensi yang kalau tidak disentuh, tentu
pengunjung pameran tak akan tahu apakah itu berupa permukaan kasar atau halus.
Karya-karya
Anggar Prasetyo yang dipajang dalam pameran bertajuk Texture I Structure menampilkan berbagai bentuk kekusutan kain-kain
yang sebenarnya mungkin saja kita jumpai ketika kita tengah mencuci baju
kemudian menjemurnya di tengah terik matahari. Namun bentuk-bentuk tersebut,
yang barangkali bagi sebagian orang merupakan hal biasa, dapat ditangkap oleh Anggar
Prasetyo sebagai sebuah eksotika yang dapat diolahnya ke dalam ruang rupanya
yaitu lukisan. Dan melahirkan karya-karya yang mengagumkan. Yang menuntut
pengamatan ekstra dari setiap pengunjung pameran hingga harus rela mendekatkan
kepalanya ke arah karya agar dapat meastikan apakah karya-karya tersebut
memiliki kontur kasar atau tidak. Atau justru mereka harus rela berdecak kagum
dan merasa sial telah tertipu oleh ilusi dari karya-karya tersebut.
Namun
selain eksotika dari kain-kain kusut, Anggar juga lihai melihat peluang dari
permainan gradasi warna dan garis, lihatlah pada sebagian karyanya yang
bertajuk Horizontal Line IV yang
dibangun dari garis-garis sejajar yang berjumlah ratusan itu yang terbuat dari
benang-benang yang disusun berdekatan dengan jarak masing-masing sekitar 2
centimeter dengan beberapa benang yang putus dan disambung dengan ikatan hingga
menipu mata kita, seolah-olah itu adalah sebuah gugusan bintang, atau pada
karya yang berjudul Line Colour
Composition VIII yang memanfaatkan media kawat-kawat besi yang membentuk
pettak-petak dan segitiga dengan latar warna kuning cerah.
Ideologi Formalis
Sebagaimana pandangan umum bahwasanya
bagi kaum formalis, persoalan seni adalah persoalan sesuatu yang tampak atau
ditampilkan dalam karya seni itu dan bukanlah gagasan-gagasan yang berada di
belakangnya, atau yang diwakili oleh simbol-simbol tertentu dalam karya seni
tersebut, demikian pula idelogi yang dianut oleh Anggar Prasetyo yang dikutip
dari wawancaranya dengan Hardiman “bagi
saya, persoalan seni rupa adalah persoalan (elemen) seni rupa itu sendiri.
Karenanya, mengolah elemen visual adalah cara untuk menekankan bahwa seni rupa
itu untuk mata” . dia seolah menolak bahwa dalam karya seni juga dibutuhkan
sebuah gagasan yang hendak disampaikan oleh si perupa melalui berbagai teknik
yang ditujukan kepada khalayak. Baginya, persoalan seni rupa, adalah bagaimana
memanjakan mata dengan eksotika-eksotika yang dapat ditangkap indera
penglihatan, entah melalui permainan warna, kontur, ataupun gradasi. Hampir
sama seperti ketika kita berjalan-jalan ke mall dan melihat gadis-gadis yang mengenakan
pakaian serba warna-warni yang tentu memanjakan mata kita.
Mungkin
bagi Anggar, persoalan ini tidak semata ditutupnya dengan menampilkan
ilusi-ilusi optikal dalam karyanya melainkan dengan permainan teknik melukis
tingkat tinggi yang tentu membutuhkan kecermatan dan ketelitian dalam menggarap
setiap detail dari objek lukisannya. Dengan teknik pemilikan warna permainan
gradasi dan juga shading yang mengagumkan. Namun tentu bukan tanpa celah, upaya
anggar dalam menampilkan pemandangan kain-kain kusut ataupun tekstur-teksur
lainnya (seperti kayu dll) tentu bukan tanpa alasan, jelas ada yang
melatarbelakangi mengapa ia memilih tekstur kain-kain kusut dalam beberapa
karyanya yang bertajuk Drapery Texture, sebuah
potret yang bagi sebagian orang nampak biasa atau justru menjadi sebuah
pemandangan yang kerap dilewatkan demikian saja. Seperti yang dikatakan Hardiman
(esais) bahwasanya Anggarpun menampilkan suasana kontras lewat karya Texture Composition yang dibangun lewat
sekumpulan bidang seragam dengan texture beragam dan warna yang beragam pula, kontras bisa
kita rasakan pada tampilan tekstur yang licin, halus, maupun kasar, juga pada
warna yang cemerlang, pudar, terang, maupun gelap.
Beragam
permukaan benda diamati, dikaji dan ditampilkannya dalam lukisan hanya demi
memanjakan mata dengan berbagai pemandangan. Anggar Prasetyo tentu tidak
main-main dengan ideologi yang dianutnya (yang menurutnya telah dianut sejak
1996) bahwasanya konsentrasi dan
keseriusannya menggarap bidang-bidang visual dalam setiap lukisan yang
dilahirkannya, dan tentu melepaskan dirinya dari persoalan isi ataupun
persoalan metaforis lewat simbol-simbol yang mewakili gagasan tertentu, anngar
telah mampu membebaskan dirinya dari batasan-batasan tema. Berbanding terbalik
dengan dunia seni rupa kontemporer kini yang justru lebih terpikat pada
persoalan sosial ataupun politis untuk melatarbelakangi lahirnya karya.
Keterjebakkan ataupun pengkotakan tematis macam inilah yang hendak dijauhi oleh
seorang anggar. Ia lebih ingin menumpahkan warna membentuk
pemandangan-pemandangan dari benda-benda yang diamatnya dari sekeliling
kehidupannya sehari-hari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar