DARI JAWA KE JAVA : POLITIK DAN
DIASPORA IDENTITAS
Catatan diskusi dari pameran
tunggal “Seeing Java” Dadang Christanto di Sangkring Artspace
oleh dwi s. wibowo
oleh dwi s. wibowo
Ini sore yang cerah, sesuatu yang
“tumben” karena beberapa waktu belakangan hujan terus turun mengguyur
Yogyakarta. Segera saja saya manfaatkan cucaca yang bersahabat ini untuk
berangkat ke sangkring artspace, semata untuk menaikmati karya rupa yang tengah
dipamerkan disana dengan tajuk “seeing java” beberbekal informasi di facebook
bahwa sore ini pula akan diadakan diskusi dengan si perupa, tak lain dadang
christanto seorang perupa kelahiran jawatengah tahun 1957 yang kini lebih
banyak menghabiskan waktunya di Australia. Moderator yang sekaligus juga
curator pameran, wahyudin membuka sesi diskusi
dengan sedikit pengantar tentang
proyek pameran tersebut yang juga akan diiringi dengan penerbitan buku
esai-esai yang terkait pameran tersebut. Yang antara lain akan diisi oleh, adi
wicaksono dan juga goenawan mohamad. Kemudian ia memantik peserta dengan satu
kata kunci yang di ungkapkan Goenawan mohammad dalam esainya, yakni bahwasanya
dadang disebutnya sebagai sosok malang sumirang. Merespon wahyudin, microphone
pun segera berpindah tangan ke dadang.
Dadang christanto mengawali
pemaparannya perihal karya yang ia gelar dalam pameran tersebut dengan mengutarakan
persoalan identitas yang ia hadapi, bahwasanya ia sebagai seorang seniman yang
lahir dan besar di jawa namun kini tinggal di luar negeri diharuskan melihat
kembali wajah jawa sebagai sebuah entitas yang utuh. Tentu, memori yang lama ia
tinggalkan- dalam hal ini semata menjadi jauh karena persoalan jarak- akan
berat untuk ia gali kembali. Ditambah lagi persoalan bahwa selama ia menetap di
luar negeri, ia dihadapkan pada wajah Indonesia yang bhineka, sebagaimana
ketika ia sesekali pulang ke Indonesia dan mampir ke bali kemudian melihat
wajah bali sebagai suatu entitas tersendiri sekaligus mandiri, namun sebagai mana
jawa ia ada dalam satu tubuh keindonesiaan. Atau ketika ia mengunjungi berbagai
belahan dunia ia melihat beberapa identitas jawa di sana. “java cafĂ©”, “javan”,
dan penyebutan-penyebutan kata jawa lainnya dalam percakapan dunia yang
ternyata membuatnya sadar bahwa jawa adalah sebuah entitas yang begitu dikenal
di luar negeri sana dan berbeda dengan yang selama ini ia lihat berdasar memori
masa kanaknya. Pengalaman-pengalaman ini seolah membuatnya merasa jadi sangat
berjarak dengan jawa, tempat dimana ia dilahirkan dan tumbuh besar.
Keberjarakannya ini bukan justru menjadi point pendukung dalam proses
penciptaan karyanya tersebut, seperti kerap kita jumpai dalam karya-karya
perupa lain yang malah sering dengan sengaja menciptakan jarak untuk membangun
objektivitaas terhadap objek karyanya, bagi dadang ini justru menjadi masalah
baru baginya. Muncul pertanyaan dalam dirinya “siapa saya?”, “mana identitas
yang terlampir dalam diri saya?”, yang malahan menjebak ia pada suatu situasi
stagnasi -mungkin vacuum- dalam proses penciptaannya tersebut. Hinggaia
memutuskan untuk berangkat dari karyanya yang lampau yang kemudian ia garap
ulang sebagai sebuah entitas baru yang menurutnya menjadi penglihatan baru atas
jawa tersebut.
Tema yang diusung dalam pameran ini
“seeing java : gunung manusia lumpur”, menurut dadang ialah sebuah fase dalam
proses kreatifnya, bahwa dalam hidupnya di jawa ia sempat merasa dekat sekali
dengan ketiga elemen tersebut-sekali lagi berdasar memori masa kanaknya. Yang
kemudian membawanya kembali menelisik sekian tahun lalu ketika isu lokalitas
begitu menjamur dan penemuannya akan medium-medium local dalam penciptaan
karya, yang baginya merupakan suatu bagian dari penciptaan identitas. Bagaimana
medium-medium local tersebut mewakili region asal si perupa, dan bagaimana
kemudian perupa dari region-region lain memandang media local tersebut yang
barangkali di tempat asalnya tidak ada. Pandangan-pandangan ini yang kemudian
ingin dimunculkan kembali oleh dadang dalam suatu bentuk yang sepenuhnya baru.
Dalam sesi tanya jawab, hairus salim
menanggapi pertama, baginya muncul sebuah permasalahan mengapa harus jawa dan
bukan Indonesia? Bukankah Indonesia juga merupakan sebuah persoalan baginya? Mengapa
harus “seeing java”, dan bukan “seeing Indonesia”?. Bagi dadang, Indonesia
memang suatu permasalahan juga, bisa saja ia mengangkat persoalan Mesuji, atau
aceh barangkali atau persoalan-persoalan di daerah lain. Namun baginya, jawa
yang ia tarik dengan kacamata sejarah telah menjadi sebuah persoalan yang
central. Dimana orang-orang jawa menurutnya adalah yang paling menderita,
seperti misalnya pada masa colonial yang menjadi korban terbanyak dari system
tanam paksa ialah orang-orang jawa. Yang kemudian membawanya pada interpretasi
terhadap karyanya sendiri, bahwasanya tumpukan kepala dalam instalasinya ialah
penggambaran tanam paksa tersebut, dimana kata yang ia gunakan bukanlah “jawa”
melainkan “java” seperti yang diucapkan orang belanda jama dahulu. Ditarik lagi
ke masa kerajaan-kerajaan jawa, orang-orang jawa juga telah begitu menderita
oleh tekanan-tekanan yang dilakukan oleh kerajaan dalam bentuk upeti dan
sebagainya. Ia menangkap juga bahwa pada masa itu terjadi persoalan kebudayaan
–agama pada khususnya, dilihat sebagai efek social- dimana ada peralihan dari
animism ke hindu-budha kemudian ke islam yang tentu persoalan ini memberi
dampak yang tidak sedikit dalam perkembangan masyarakat jawa. Orang jawa yang
selalu menerima berbagai kebudayaan luar untuk kemudian di”jawa”kan dalam
konteks akulturasi menjadi cerminan bahwa jawa merupakan entitas luhur yang
susah dikalahkan oleh invasi entitas lain.
Muncul tanggapan lain dari kuss
indarto, ia mengutarakan persoalan estetika dan mempertautkannya dengan
falsafah jawa “mulur mungkret” dari sosrokartono. Menurutnya, estetika yang
dipegang dadang merupakan estetika yang “mulur mungkret” yang ada kalanya
memanjang da nada kalanya menyusut, hal semacam ini memang tidak semata terjadi
pada dadang saja, bahkan hampir bisa jadi cerminan stereotip orang jawa secara
antropologis. Dadang, sekali lagi dengan tenang menjawab bahwa estetikanya
seperti dalam budhhism yang membentuk suatu roda dimana ada kalanya naik, dan
adakalanya turun –bukanlah pada pencapaian, melainkan rhytm. Dalam diskursus
ini kemudian muncul tanggapan lain yang menyebut bahwa estetika yang “mulur
mungkret” atau yang secara Buddhism barusan bisa jadi malahan suatu mentuk
metode yang tanpa metode atau self method dimana hanya dadang yang tahu bagaimana
caranya, dan tidak pernah dimetodekan untuk dapat dipahami orang lain. Kemudian
dadang memberi sampel untuk diskursus ini, bahwasanya di suatu ajang kompetisi
seni belakangan ini ada suatu karya yang menjadi pemenang semata karena si
perupa memberikan penjelasan yang jelas tentang rincian karya dan metode yang
digunakan sebagai lampiran karya. Yang menurut dadang, barangkali dengan cara
memetodekan cara itulah akhirnya si perupa tadi dapat memukau juri.
Kemudian kembali ke soal identitas
tadi, seorang peserta menanggapi lagi bahwa apa yang dilakukan dadang ialah
suatu bentuk politik identitas. Semacam upaya untuk menyatakan bahwa dirinya
ada dan mewakili komunitas yang ada. Diamini benar oleh dadang bahwa ia memang
melihat ruang pameran sebagai sebuah gedung parlemen, perupa sama halnya
anggota parlemen yang menampung suara rakyat, katanya. Politik identitas inilah
yang juga sengaja dimunculkan dadang dalam karyanya tersebut, bagaimana ia
menarik pandangan terhadap jawa tidak dengan kacamata romantic namun lewat
lensa post colonial. Ini menjadi unik, mungkin sama seperti yang dilakukan
sastrawan pramoedya ananta toer yang memandang sejarah sebagai ‘sesuatu’ untuk
menyuarakan suara-suara yang terpendam. Menjadi unik lagi, bagi dadang yang
seorang perupa ketika ia tidak lagi mengangkat masalah-masalah urban atau kaum
modern sementara ia tinggal di dunia modern. Atau mungkin inilah bentuk
keberjarakan yang dimaksud dadang sebelumnya, bukan semata keberjarakan
geografis namun juga keberjarakan masa dan kultural, yang membuatnya lebih
objektif -sekaligus leluasa- dalam membangun imaji-imaji tentang objek
karyanya. Saya menangkap juga bahwasanya politik identitas yang tengah
dilakukan dadang bisa jadi menjadi upaya untuk kembali, ia ingin tampil kembali
sebagai si anak hilang, namun dengan membawa pulang oleh-oleh dari dunia modern
yang barusan ia kunjungi. Mungkin semacam itulah. Dadang tidak lagi menjadi
‘orang jawa’ tulen yang tinggal di wilayah dunia ke-3 melainkan ia telah
kembali dari dunia ke-2 atau barangkali ke-1 dan mengadopsi cara pikir mereka.
Karena bagi dadang, jawa merupakan sebuah kemuraman seperti yang ia bilang
tergambar dalam bayangannya. Jelas, bahwa dadang tidak lagi bisa disebut ‘orang
jawa’ tulen.
Jerry padang menanggapi persoalan di
atas justru tidak sebagai bentuk pollitik identitas melainkan sebuah diaspora
identitas. Siapa dadang? Dia keturunan cina, lahir dan besar di jawa, tapi
tinggal di Australia. jadi apa yang dilakukan dadang ialah sebuah bentuk
diaspora identitas. Ia tersusun dari berbagai identitas yang melekat pada
dirinya dan itu pulalah yang coba dimunculkan dadang ketika menanggapi jerry
padang ketika ia bilang bahwa “ya, saya cina” yang kemudian ia ilustrasikan
dengan peristiwa 98 ketika masa itu terjadi pembantaian terhadap etnis cina di
Indonesia. Diskursus ini kembali dibalikkan oleh jerry bawa teks ini kurang
tepat dibicarakan di jawa, dimana orang cina disini sudah bicara dalam bahasa
jawa dan menyerap budaya jawa. Semestinya teks ini dibawa ke wilayah dimana
orang cina masih berbicara dalam bahasa cina kalau memang karya ini dikasudkan
untuk politik identitas. Kemudian dadang, menanggapi bahwa persoalan politik
dan diaspora identitas telah ia alami sejak kecil. Bagaimana ia dari keluarga
keturunan cina tumbuh bersama anak-anak jawa. Dan itulah yang secara sadar
mempengaruhinya dalam berproses kreatif. Cara dadang memandang jawa sebagai
suatu entitas secara berjarak, menjadikan ia lebih objektif namun menjebaknya
pada posisi yang bias. Mungkin inilah cara pandang manusia post-java. Malang
sumirang yang berkhianat.
Yogyakarta, 21 januari 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar