oleh Dwi S. Wibowo
Berdasarkan rilis yang
dikeluarkan oleh balai lelang Shoteby’s Hongkong pada Juli 2012 lalu, delapan
dari sepuluh karya termahal seniman asal Indonesia dipenuhi oleh nama Samsul
Arifin. Dua kolom nama yang tersisa diisi oleh Arin dwihartanto dan J.
Ariaditya pramuhendra, masing-masing hanya dengan satu karya.
Sebagai seorang perupa muda,
pencapaiannya tersebut boleh dibilang luar biasa, mengingat persaingan yang
terjadi di dalam sebuah balai lelang besar seperti Sotheby’s tentu sangatlah
ketat. Apalagi karyanya harus bersanding dengan karya-karya seniman kontemporer
lainnya yang lebih senior seperti Nyoman Masriadi maupun Agus Suwage.
Nama Samsul Arifin sendiri
bukanlah nama yang asing dalam peredaran karya seni rupa di Asia tenggara. Dilihat
dari curiculum vitae miliknya, perupa lulusan Institut Seni Indonesia
Yogyakarta tersebut telah berulang kali menggelar pameran di sejumlah negara,
baik pameran tunggal maupun pameran bersama perupa dari mancanegara.
Karakteristik dari lukisannya
yang mengusung aliran realisme minimalis, sebagaimana lukisan-lukisan
kontemporer China, membuat karyanya cepat laku di pasaran. Bahkan selalu menjadi
incaran para kolektor setiap kali karyanya dipajang di balai lelang
internasional. Capaian harganyapun terbilang fantastis, karyanya yang berjudul
“Main Coret Begitu Saja” terjual senilai 113,560 USD di Masterpiece Auctioneer
Singapore.
Untuk menemukan karyanya dalam
sebuah pameran bukanlah suatu pekerjaan yang sulit, potongan-potongan pensil
dan boneka goni merupakan objek yang menjadi ciri khas dalam lukisannya.
Objek-objek tersebut juga kerap ia gunakan dalam mencipta karya instalasi
seperti pada karya “You Can See”, sebuah gaun yang tersusun dari ratusan boneka
goni berukuran kecil.
Bagi perupa kelahiran tahun
1979 tersebut, kreatifitas seolah tanpa batas, termasuk dalam mengambil
objek-objek yang sangat dekat dengan keseharian seperti pensil dan boneka goni
tersebut. Objek-objek tersebut mungkin luput dari perhatian banyak perupa lain,
padahal begitu dekat dengan kesehariannya. Dari situlah muncul gagasan Samsul untuk
menggunakan pensil dan boneka goni sebagai medium untuk mengemas isu-isu sosial
dalam karyanya.
Dengan gaya yang jenaka dan
karikatural, Ia juga kerap melampirkan kalimat-kalimat bernada sinis yang
menyentil mata. Lain dengan seniornya, Masriadi yang juga kerap melampirkan
kata-kata spontan dengan coretan sembarang, Samsul agaknya lebih reflektif
dalam menorehkan kalimat tersebut di atas karyanya. Seperti dalam karya
“Menggulung Cerita Lama” misalnya, perpaduan teks dengan visualisasi objek
pensil yang melengkung menjadi kian padu.
Secara teknik, kemampuan Samsul
dalam mengekspresikan gagasan di atas kanvas terbilang di atas rata-rata. Kurator
seni rupa Enin supriyanto menyebutkan bahwa Samsul telah menunjukkan bakat dan
kemampuan yang luar biasa melalui karya-karyanya yang dianggap mampu bercerita
tentang perjuangan masyarakat menghadapi situasi zaman yang cepat berubah.
*) catatan ini pernah dipublikasikan di Jogjareview.net
Tidak ada komentar:
Posting Komentar