Selasa, 02 Juni 2015

Latepost: Antara Pensil dan Boneka Goni



oleh Dwi S. Wibowo

Berdasarkan rilis yang dikeluarkan oleh balai lelang Shoteby’s Hongkong pada Juli 2012 lalu, delapan dari sepuluh karya termahal seniman asal Indonesia dipenuhi oleh nama Samsul Arifin. Dua kolom nama yang tersisa diisi oleh Arin dwihartanto dan J. Ariaditya pramuhendra, masing-masing hanya dengan satu karya.
Sebagai seorang perupa muda, pencapaiannya tersebut boleh dibilang luar biasa, mengingat persaingan yang terjadi di dalam sebuah balai lelang besar seperti Sotheby’s tentu sangatlah ketat. Apalagi karyanya harus bersanding dengan karya-karya seniman kontemporer lainnya yang lebih senior seperti Nyoman Masriadi maupun Agus Suwage.
Nama Samsul Arifin sendiri bukanlah nama yang asing dalam peredaran karya seni rupa di Asia tenggara. Dilihat dari curiculum vitae miliknya, perupa lulusan Institut Seni Indonesia Yogyakarta tersebut telah berulang kali menggelar pameran di sejumlah negara, baik pameran tunggal maupun pameran bersama perupa dari mancanegara.
Karakteristik dari lukisannya yang mengusung aliran realisme minimalis, sebagaimana lukisan-lukisan kontemporer China, membuat karyanya cepat laku di pasaran. Bahkan selalu menjadi incaran para kolektor setiap kali karyanya dipajang di balai lelang internasional. Capaian harganyapun terbilang fantastis, karyanya yang berjudul “Main Coret Begitu Saja” terjual senilai 113,560 USD di Masterpiece Auctioneer Singapore.

Untuk menemukan karyanya dalam sebuah pameran bukanlah suatu pekerjaan yang sulit, potongan-potongan pensil dan boneka goni merupakan objek yang menjadi ciri khas dalam lukisannya. Objek-objek tersebut juga kerap ia gunakan dalam mencipta karya instalasi seperti pada karya “You Can See”, sebuah gaun yang tersusun dari ratusan boneka goni berukuran kecil.
Bagi perupa kelahiran tahun 1979 tersebut, kreatifitas seolah tanpa batas, termasuk dalam mengambil objek-objek yang sangat dekat dengan keseharian seperti pensil dan boneka goni tersebut. Objek-objek tersebut mungkin luput dari perhatian banyak perupa lain, padahal begitu dekat dengan kesehariannya. Dari situlah muncul gagasan Samsul untuk menggunakan pensil dan boneka goni sebagai medium untuk mengemas isu-isu sosial dalam karyanya.
Dengan gaya yang jenaka dan karikatural, Ia juga kerap melampirkan kalimat-kalimat bernada sinis yang menyentil mata. Lain dengan seniornya, Masriadi yang juga kerap melampirkan kata-kata spontan dengan coretan sembarang, Samsul agaknya lebih reflektif dalam menorehkan kalimat tersebut di atas karyanya. Seperti dalam karya “Menggulung Cerita Lama” misalnya, perpaduan teks dengan visualisasi objek pensil yang melengkung menjadi kian padu.
Secara teknik, kemampuan Samsul dalam mengekspresikan gagasan di atas kanvas terbilang di atas rata-rata. Kurator seni rupa Enin supriyanto menyebutkan bahwa Samsul telah menunjukkan bakat dan kemampuan yang luar biasa melalui karya-karyanya yang dianggap mampu bercerita tentang perjuangan masyarakat menghadapi situasi zaman yang cepat berubah. 

*) catatan ini pernah dipublikasikan di Jogjareview.net

Tidak ada komentar:

Posting Komentar