Kamis, 02 Juli 2015

Imajinasi dari Riwayat Tubuh yang Berserak




oleh Dwi S. Wibowo
Setiap tubuh memiliki narasinya masing-masing, termasuk deretan tubuh yang terpajang dalam pameran My Exquisite Corpse yang dihelat Biasa Part Space, Seminyak, Bali. Sayangnya, tubuh-tubuh tersebut tidak lagi utuh sebagai figur, melainkan telah terpotong dan tersusun secara acak menyerupai rangkaian loker yang menyimpan berbagai memori perihal transposisi antar bagian tubuh tersebut.
Berangkat dari pemahaman tentang exquisite corpse, yaitu sebuah teknik kolase untuk mengkonstruksi tubuh surrealis, pameran ini mencoba melangkah lebih jauh dengan melibatkan para pemirsanya untuk turut andil dalam menyusun narasi-narasi baru berbahan potongan karya para seniman.
Pameran ini melibatkan tiga belas orang seniman dari berbagai kota, mereka antara lain Asakoo Alexandra, Bayu Widodo, Citra Kemala, Davina Stephen, Iwan Sastrawan, Made Bayak, Made Wiguna Valasara, Nadira Julia, Natisa Jones, Prabu Perdana, Resatio Adi Putra, Spencer Hansen, dan Wayan Suja. Masing-masing dari mereka melukis sesosok tubuh yang terbagi menjadi empat panel.
Setiap pemirsa yang hadir dalam pameran ini tidak hanya berhak memotret ataupun menikmati karya melalui pandangan, melainkan bebas berinteraksi dengan karya. “Mereka boleh menukar, menggeser, bahkan mengubah susunan tubuh dan membentuk figur-figur baru,” tutur Naomi Samara, kurator  pameran tersebut.
Ia juga menambahkan bahwa melalui interaksi semacam itu bisa lebih mendekatkan pengunjung dengan karya, sekaligus menghidupkan suasana pameran. Selama ini terdapat jarak antara pemirsa dengan karya melalui larangan menyentuh karya ataupun yang lainnya. Dalam pameran ini, seluruh pemirsa bebas menyentuh karya, bahkan memindah dan menukar posisinya. Interaksi antara pemirsa dan karya juga melahirkan beragam kemungkinan baru terhadap pemaknaan atas tubuh-tubuh tersebut.
Selama ini dalam berbagai pameran, interaksi hanya dibatasi melalui pandangan, sehingga proses pemaknaan terhadap karya menjadi terbatas. Meskipun, dalam posisi semacam ini, otoritas seniman dalam menyampaikan gagasan menjadi mutlak. Sedangkan dalam pameran ini, pemirsa bebas mengacak karya, sehingga proses pemaknaan menjadi lebih luas karena transposisi antar bagian tubuh pada akhirnya melahirkan figur-figur baru yang bahkan di luar imajinasi seniman. Suatu dekonstruksi visual atas tubuh untuk melahirkan figur yang baru.
Penggabungan antara dua atau lebih potongan karya menjadi sebuah figur baru juga menjadi peleburan gagasan dari masing-masing seniman yang selama ini terbatas pada satu bidang kanvas. Dalam pameran ini, semua gagasan menjadi cair tanpa adanya batasan ruang. Sebagaimana tajuk dalam pameran ini, yang sebenarnya lebih merepresentasikan pameran ini sebagai sebuah peristiwa seni yang melibatkan pemirsa secara aktif.
Setiap seniman dalam pemeran ini menampilkan masing-masing sesosok tubuh yang dipecah menjadi empat panel kanvas. Naomi, sebagai kurator sepertinya juga memberi kebebasan secara penuh kepada para seniman untuk menghadirkan figur apapun tanpa membatasinya dalam kerangka tema tertentu. Selain batasan teknis berupa format dan ukuran medium kanvas yang digunakan. Sebagaimana karya Wayan Suja yang bertajuk ‘I’m An Artist, Not A Hero’ menampilkan potret dirinya secara utuh, meski hanya berbalut cawat. Karya Bayu Widodo yang bertajuk ‘Ibu Bumi’ menghadirkan sesosok figur berlumur dedaunan, atau Made Bayak yang mereduksi sosok Bhutakala melalui karya ‘Bhutakal Plastic and The Highest Conciuousness’.

Surealisme dan Pemaknaan Atas Tubuh
Exquisite corpse merupakan salah satu teknik yang dipopulerkan oleh gerakan surealisme di Prancis pada era 1920-an. Istilah lain dari teknik ini adalah exquisite cadaver, berangkat dari gagasan mengenai penciptaan tubuh yang utuh dari kombinasi antara beberapa potongan tubuh yang saling berbeda. Exquisite corpse Menjadi salah satu teknik yang paling populer dalam gerakan yang digawangi oleh Andre Breton tersebut.
Titik awal dari teknik ini juga bermula dari sebuah aktivitas yang sangat interaktif dengan melibatkan beberapa seniman sekaligus. Yaitu dengan membagi bidang gambar menjadi empat dan membagikan kesempatan pada keempas seniman berbeda untuk melukis tiap bagian secara bersamaan tanpa saling tahu apa yang dilukis oleh yang lain. Saat usai, barulah keempat bidang gambar tersebut disatukan menjadi kesatuan tubuh yang mungkin tak karuan bentuknya. Namun begitulah hakikat surealisme, mencari kemungkinan penciptaan sejauh yang tak ada dalam kenyataan.
Surealisme muncul sebagai gerakan lanjutan dari arus dadaisme yang berkembang sebagai respon terhadap perang dunia satu. Dadaisme sendiri merupakan bentuk penolakan terhadap kemajuan logika dan peradaban secara berlebihan yang justru menimbulkan perang dengan sekian juta korban jiwa. Jika dadaisme adalah gerakan yang cenderung politis, maka surealisme cenderung lebih mengarah pada penolakan rasionalitas pemikiran yang berkembang di Eropa. Antitesis yang ditawarkan oleh gerakan surealisme adalah dengan mengeksplorasi dunia bawah sadar manusia dimana segala keajaiban mungkin terjadi, dengan ditopang psikoanalisa Sigmund Freud.  
Jika ditarik pada aspek historis tersebut, tentu pameran ini telah melangkah lebih jauh. Baik secara motif (tendensi) maupun konteksnya. Pemaknaan Figur atau tubuh yang hadir hari ini tentu berbeda dengan pemaknaan tubuh pada saat gerakan surealisme ini baru menetas. Tubuh hari ini tidak hanya menjadi tubuh biologis, namun juga menjadi tubuh sosial yang dilampiri begitu banyak label. Pemaknaan tubuh hari ini selalu berangkat dari latar belakang sosial dan waktu, sehingga melahirkan pertanyaan-pertanyaan menyangkut status sosial, riwayat hidup, atau bahkan silsilah keluarga. Dan selalu berujung pada persepsi publik berdasarkan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut. Maka tidak heran jika seseorang bisa memiliki citra berbeda di mata banyak orang.
Termasuk dalam pameran ini, kita seperti diajak untuk melihat bagaimana pemaknaan sekaligus bentuk tubuh dalam lukisan-lukisan itu disusun oleh seorang pemirsa, dan dengan segera akan dibongkar lagi oleh pemirsa yang lain. Sebagaimana seseorang dibentuk citranya oleh publik yang bersinggungan dengannya, dan akan segera didekonstruksi ulang oleh publik-bublik baru yang dijumpainya. Hari ini, proses sosial semacam itu berlangsung lebih cepat karena ditunjang oleh dunia maya yang memungkinkan orang saling berinteraksi tanpa saling bertemu. Citraan-citraan yang terbangun atas tubuh itu menjadi lebih cepat pula direduksi oleh publik maya yang nirbatas. Dan pameran My Exquisite Corpse ini, saya kira, merefleksikan proses sosial tersebut.

*)tulisan ini pernah dipublikasikan di Bali Post minggu, 28 Juni 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar