oleh Dwi S. Wibowo
Setiap tubuh
memiliki narasinya masing-masing, termasuk deretan tubuh yang terpajang dalam
pameran My Exquisite Corpse yang
dihelat Biasa Part Space, Seminyak, Bali. Sayangnya, tubuh-tubuh tersebut tidak
lagi utuh sebagai figur, melainkan telah terpotong dan tersusun secara acak
menyerupai rangkaian loker yang menyimpan berbagai memori perihal transposisi
antar bagian tubuh tersebut.
Berangkat
dari pemahaman tentang exquisite corpse,
yaitu sebuah teknik kolase untuk mengkonstruksi tubuh surrealis, pameran ini
mencoba melangkah lebih jauh dengan melibatkan para pemirsanya untuk turut
andil dalam menyusun narasi-narasi baru berbahan potongan karya para seniman.
Pameran ini
melibatkan tiga belas orang seniman dari berbagai kota, mereka antara lain
Asakoo Alexandra, Bayu Widodo, Citra Kemala, Davina Stephen, Iwan Sastrawan, Made
Bayak, Made Wiguna Valasara, Nadira Julia, Natisa Jones, Prabu Perdana, Resatio
Adi Putra, Spencer Hansen, dan Wayan Suja. Masing-masing dari mereka melukis
sesosok tubuh yang terbagi menjadi empat panel.
Setiap pemirsa
yang hadir dalam pameran ini tidak hanya berhak memotret ataupun menikmati
karya melalui pandangan, melainkan bebas berinteraksi dengan karya. “Mereka boleh
menukar, menggeser, bahkan mengubah susunan tubuh dan membentuk figur-figur
baru,” tutur Naomi Samara, kurator
pameran tersebut.
Ia juga
menambahkan bahwa melalui interaksi semacam itu bisa lebih mendekatkan
pengunjung dengan karya, sekaligus menghidupkan suasana pameran. Selama ini
terdapat jarak antara pemirsa dengan karya melalui larangan menyentuh karya
ataupun yang lainnya. Dalam pameran ini, seluruh pemirsa bebas menyentuh karya,
bahkan memindah dan menukar posisinya. Interaksi antara pemirsa dan karya juga
melahirkan beragam kemungkinan baru terhadap pemaknaan atas tubuh-tubuh
tersebut.
Selama ini
dalam berbagai pameran, interaksi hanya dibatasi melalui pandangan, sehingga
proses pemaknaan terhadap karya menjadi terbatas. Meskipun, dalam posisi semacam
ini, otoritas seniman dalam menyampaikan gagasan menjadi mutlak. Sedangkan
dalam pameran ini, pemirsa bebas mengacak karya, sehingga proses pemaknaan
menjadi lebih luas karena transposisi antar bagian tubuh pada akhirnya
melahirkan figur-figur baru yang bahkan di luar imajinasi seniman. Suatu dekonstruksi
visual atas tubuh untuk melahirkan figur yang baru.
Penggabungan
antara dua atau lebih potongan karya menjadi sebuah figur baru juga menjadi
peleburan gagasan dari masing-masing seniman yang selama ini terbatas pada satu
bidang kanvas. Dalam pameran ini, semua gagasan menjadi cair tanpa adanya
batasan ruang. Sebagaimana tajuk dalam pameran ini, yang sebenarnya lebih
merepresentasikan pameran ini sebagai sebuah peristiwa seni yang melibatkan
pemirsa secara aktif.
Setiap seniman
dalam pemeran ini menampilkan masing-masing sesosok tubuh yang dipecah menjadi
empat panel kanvas. Naomi, sebagai kurator sepertinya juga memberi kebebasan secara
penuh kepada para seniman untuk menghadirkan figur apapun tanpa membatasinya
dalam kerangka tema tertentu. Selain batasan teknis berupa format dan ukuran
medium kanvas yang digunakan. Sebagaimana karya Wayan Suja yang bertajuk ‘I’m An Artist, Not A Hero’ menampilkan
potret dirinya secara utuh, meski hanya berbalut cawat. Karya Bayu Widodo yang bertajuk
‘Ibu Bumi’ menghadirkan sesosok figur berlumur dedaunan, atau Made Bayak yang
mereduksi sosok Bhutakala melalui karya ‘Bhutakal
Plastic and The Highest Conciuousness’.
Surealisme dan Pemaknaan Atas Tubuh
Exquisite corpse merupakan salah satu teknik yang dipopulerkan oleh gerakan
surealisme di Prancis pada era 1920-an. Istilah lain dari teknik ini adalah exquisite cadaver, berangkat dari gagasan mengenai penciptaan tubuh yang utuh
dari kombinasi antara beberapa potongan tubuh yang saling berbeda. Exquisite corpse Menjadi salah satu teknik yang paling populer dalam gerakan
yang digawangi oleh Andre Breton tersebut.
Titik awal
dari teknik ini juga bermula dari sebuah aktivitas yang sangat interaktif
dengan melibatkan beberapa seniman sekaligus. Yaitu dengan membagi bidang
gambar menjadi empat dan membagikan kesempatan pada keempas seniman berbeda
untuk melukis tiap bagian secara bersamaan tanpa saling tahu apa yang dilukis
oleh yang lain. Saat usai, barulah keempat bidang gambar tersebut disatukan menjadi
kesatuan tubuh yang mungkin tak karuan bentuknya. Namun begitulah hakikat
surealisme, mencari kemungkinan penciptaan sejauh yang tak ada dalam kenyataan.
Surealisme
muncul sebagai gerakan lanjutan dari arus dadaisme yang berkembang sebagai
respon terhadap perang dunia satu. Dadaisme sendiri merupakan bentuk penolakan
terhadap kemajuan logika dan peradaban secara berlebihan yang justru
menimbulkan perang dengan sekian juta korban jiwa. Jika dadaisme adalah gerakan
yang cenderung politis, maka surealisme cenderung lebih mengarah pada penolakan
rasionalitas pemikiran yang berkembang di Eropa. Antitesis yang ditawarkan oleh
gerakan surealisme adalah dengan mengeksplorasi dunia bawah sadar manusia
dimana segala keajaiban mungkin terjadi, dengan ditopang psikoanalisa Sigmund
Freud.
Jika ditarik
pada aspek historis tersebut, tentu pameran ini telah melangkah lebih jauh.
Baik secara motif (tendensi) maupun konteksnya. Pemaknaan Figur atau tubuh yang
hadir hari ini tentu berbeda dengan pemaknaan tubuh pada saat gerakan
surealisme ini baru menetas. Tubuh hari ini tidak hanya menjadi tubuh biologis,
namun juga menjadi tubuh sosial yang dilampiri begitu banyak label. Pemaknaan
tubuh hari ini selalu berangkat dari latar belakang sosial dan waktu, sehingga
melahirkan pertanyaan-pertanyaan menyangkut status sosial, riwayat hidup, atau
bahkan silsilah keluarga. Dan selalu berujung pada persepsi publik berdasarkan
jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut. Maka tidak heran jika seseorang bisa
memiliki citra berbeda di mata banyak orang.
Termasuk
dalam pameran ini, kita seperti diajak untuk melihat bagaimana pemaknaan
sekaligus bentuk tubuh dalam lukisan-lukisan itu disusun oleh seorang pemirsa,
dan dengan segera akan dibongkar lagi oleh pemirsa yang lain. Sebagaimana
seseorang dibentuk citranya oleh publik yang bersinggungan dengannya, dan akan
segera didekonstruksi ulang oleh publik-bublik baru yang dijumpainya. Hari ini,
proses sosial semacam itu berlangsung lebih cepat karena ditunjang oleh dunia
maya yang memungkinkan orang saling berinteraksi tanpa saling bertemu. Citraan-citraan
yang terbangun atas tubuh itu menjadi lebih cepat pula direduksi oleh publik
maya yang nirbatas. Dan pameran My Exquisite Corpse ini, saya kira, merefleksikan proses sosial tersebut.
*)tulisan ini pernah dipublikasikan di Bali Post minggu, 28 Juni 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar