Rabu, 01 Juli 2015

Antara Jati Diri dan Tradisi dalam Lilitan Benang



 
photo courtesy griya santrian
Oleh Dwi S. Wibowo
Sesosok kepala mendongak keluar dari lubang closet yang tepat menghadap cermin, cermin itu retak, wajahnya memantul bias dengan rimbun daun yang berserak terlilit benang, sekaligus terpatri pada sebuah pertanyaan kelu yang sulit menemu jawab; I am…?
Itulah karya instalasi I Wayan Arnata dengan judul ‘Introspeksi Diri’ yang dipamerkan di Griya Santrian Gallery bersama karya-karya lainnya. Karya instalasi tersebut, setidaknya menjadi titik tolak untuk memandang pameran yang mengusung tajuk “Integrity” tersebut secara menyeluruh.
Dalam pameran tunggal pertamanya ini, I Wayan Arnata sepenuhnya mengetengahkan gagasan tentang diri. Konsepsi personal yang melekat pada dirinya sebagai seniman yang mengalami ulang alik kehidupan, di satu sisi hidupnya lekat dengan persoalan adat dan tradisi di Bali, di sisi lain profesi seniman yang dipilihnya menuntut pemikiran modern. Persoalan tersebut tentu menimbulkan friksi dalam dirinya yang menunggu untuk dituntaskan, dan seni rupa ternyata justru memberi jalan untuk menuangkan permasalahannya ke dalam ruang kreasi yang otentik.
Selain karya instalasi tersebut, I Wayan Arnata juga menampilkan tidak kurang dari 23 lukisan yang semuanya menggunakan medium utama benang. Penggunaan benang dalam karya-karya I Wayan Arnata bukan semata-mata bentuk eksplorasi media untuk mengejar sensasi di tengah kelaziman medium cat dan kanvas.
Dalam berbagai hal, benang selalu dianggap sebagai metafora dari suatu rentang waktu yang panjang, sebuah jenjang yang menghubungkan suatu masa dengan masa selanjutnya. Filosofi itu pulalah yang melatar belakangi pelukis asal Sukawati tersebut untuk menggali ruang tradisi dan di sanalah, ia menemukan benang sebagai peretas jarak antara dirinya dan tradisi yang ada di sekitar dirinya.


Menggali khasanah tradisi ibarat kembali ke dalam jati diri. Begitu pula yang dilakukan oleh I Wayan Arnata, ingatan personal masa kecilnya dengan sang kakek menuntunnya pada proses kreatif yang ditekuninya kini, yaitu menggunakan teknik tradisional Ngodi (teknik kreasi benang tradisional Bali). Kakeknya merupakan seorang Sangging (empu) yang menguasai berbagai teknik pembuatan sarana upacara dan ritual. Ingatan dan pengalaman yang ditempuhnya sejak kecil itulah yang begitu melekat, sehingga hingga kini ia terus melakukan pengamatan sekaligus kajian terhadap teknik ngodi tersebut.
Keberanian Arnata dalam menggali berbagai potensi artistik dari medium-medium yang digunakannya selama ini, terutama benang, tidak terlepas dari kehidupannya sehari-hari yang begitu lekat dengan kegiatan tradisi. Dalam berbagai kegiatan tradisi di Bali, setiap orang dituntut memiliki keterampilan untuk menciptakan ornamen penghias upacara. “Dari kegiatan adat itulah saya seringkali memperoleh gagasan visual dalam berkarya, termasuk medium benang itu sendiri. Sesuatu yang justru dihindari oleh kebanyakan seniman Bali yang memilih tinggal di luar,” ungkapnya.
Tidak hanya menerapkan teknik ngodi secara utuh, I Wayan Arnata juga terus melakukan inovasi terhadap teknik tersebut. Mengingat bahwa teknik tersebut pada prakteknya memiliki banyak keterbatasan, oleh karena itulah lahir kesadarannya untuk terus melakukan inovasi dalam mengembangkan karya-karyanya. “Dalam teknik ngodi, benang hanya berfungsi sebagai garis. Sedangkan dalam lukisan saya, benang lebih berfungsi sebagai pembentuk tekstur dan penentu corak dari objek lukisan,” tambahnya.
Sejak masih menempuh studi di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, Arnata telah dikenal sebagai seniman yang gemar melakukan eksplorasi medium. Hal tersebut diungkapkan dalam catatan pengantar oleh Mikke Susanto, seorang kurator sekaligus rekan seangkatannya saat kuliah, “Arnata tidak hanya melakukan eksplorasi teknik dengan medium cat, melainkan juga dengan bahan-bahan non-konvensional seperti kain, kayu, dan benda lainnya.” 

Kejeliannya melihat peluang dalam menggunakan medium non-konvensional juga sempat mengantarnya meraih beberapa penghargaan, antara lain tiga kali menyabet posisi finalis Philip Morris Award pada pertengahan dekade 90-an dan pemenang Adhi Aji Sewaka Nugraha Baligrafi dari museum kontemporer Nyoman Gunarsa pada tahun 2013 lalu.
Sebagian besar karya pada pameran ‘Integrity’ mengangkat tema-tema tentang diri yang bernuansa kontemplasi. Hal tersebut merupakan buah dari berbagai pergulatan personal yang dihadapinya sebagai seniman. Termasuk pertanyaan mengenai integritasnya dalam menjalani profesi pilihannya tersebut. Sebagaimana karya instalasi “Instrospeksi Diri” yang mempertanyakan posisi dirinya dalam belantara kehidupan, sekaligus dalam medan seni rupa kontemporer Indonesia. Seolah berbagai penghargaan dan pengakuan publik belum cukup memberinya jawaban.
Seperti diungkapkan oleh Bakti Wiyasa, I Wayan Arnata membutuhkan waktu yang cukup lama menunggu momen untuk menggelar pameran ini. Setidaknya terhitung sejak empat tahun lalu, Arnata mulai mempersiapkan karya-karyanya. Sebuah karya bertarikh 2011 dengan judul “Djagoer”  menjadi titik awal untuk melihat proses berjalan hingga pameran ini berhasil digelar. Karya berukuran 150 x 400 cm itu tersusun dari 20 panel wajah aneka wujud yang disusun berjajar dan membentuk sebuah efek dramatis.
Sontak karya tersebut merebut perhatian pengunjung yang datang ke pameran tersebut, tidak hanya karena ukurannya yang maksimal, melainkan dalam karya tersebut terlampir sebuah pernyataan yang sangat kuat dari seniman, bahkan terkesan emosional. “Djagoer” dalam bahasa Bali berarti ‘hantam’, sehingga dapat dimaknai sebagai sikap agresif yang ditunjukkan oleh Arnata terhadap berbagai persoalan yang coba mengusik integritasnya sebagai seorang seniman. 

Pergesekan-pergesekan sosial dalam ruang masyarakat maupun pada tataran ideologis kesenian tidak dapat dihindarkan dari kehidupan seorang seniman. Oleh karena itu, sikap semacam itu menjadi wajar ditunjukkan oleh seorang Arnata. Pilihan Arnata untuk menyatakan sikap melalui karya patut dibanggakan, sebab pada akhirnya kualitas karyalah yang menjawab pertanyaan-pertanyaan itu.
Seiring berjalannya waktu, sikap tersebut nampak semakin memudar. Seiring dengan kedewasaan yang melekat dalam dirinya, karya-karya setelahnya terlihat semakin kontemplatif. Seperti terlihat dalam dua sekuel lukisan “Doa,” melalui visual wajah yang bersanding dengan telapak tangan, dan bunga jepun. Ataupun dalam karya bertajuk “Balance” yang menunjukkan jejak kreatifnya sebagai pelukis yang pernah mengusung aliran abstrak ekspresionisme a la Sanggar Dewata Indonesia. Karya-karya tersebut lebih mengedepankan aspek refleksi kehidupan manusia dari pada mengejar pencapaian sensasi visual.
Tema yang bernuansa spiritual dan religius tersebut seolah tercipta sebagai jawaban atas berbagai pertanyaan tentang integritas yang mengusiknya. Sebagai pribadi yang masih memegang teguh nilai-nilai religi, I Wayan Arnata pada akhirnya bersandar pada kehadiran yang ilahi dalam mengentaskan dirinya dari berbagai pergolakan batin yang dialaminya. Friksi dalam dirinya, antara tradisi dan modernitas kehidupan itu saling menyatu dalam setiap helai benang yang melilit pada karya-karyanya.

*) tulisan ini pernah dipublikasikan di majalah sarasvati edisi juni 2015

2 komentar:

  1. Mantap mas pembahasan tentang karya-karya wayan arnata.moga sukses selalu

    BalasHapus