Oleh Dwi S. Wibowo
Sesosok
kepala mendongak keluar dari lubang closet yang tepat menghadap cermin, cermin
itu retak, wajahnya memantul bias dengan rimbun daun yang berserak terlilit
benang, sekaligus terpatri pada sebuah pertanyaan kelu yang sulit menemu jawab;
I am…?
Itulah
karya instalasi I Wayan Arnata dengan judul ‘Introspeksi Diri’ yang dipamerkan
di Griya Santrian Gallery bersama karya-karya lainnya. Karya instalasi
tersebut, setidaknya menjadi titik tolak untuk memandang pameran yang mengusung
tajuk “Integrity” tersebut secara menyeluruh.
Dalam
pameran tunggal pertamanya ini, I Wayan Arnata sepenuhnya mengetengahkan
gagasan tentang diri. Konsepsi personal yang melekat pada dirinya sebagai
seniman yang mengalami ulang alik kehidupan, di satu sisi hidupnya lekat dengan
persoalan adat dan tradisi di Bali, di sisi lain profesi seniman yang
dipilihnya menuntut pemikiran modern. Persoalan tersebut tentu menimbulkan
friksi dalam dirinya yang menunggu untuk dituntaskan, dan seni rupa ternyata
justru memberi jalan untuk menuangkan permasalahannya ke dalam ruang kreasi
yang otentik.
Selain
karya instalasi tersebut, I Wayan Arnata juga menampilkan tidak kurang dari 23
lukisan yang semuanya menggunakan medium utama benang. Penggunaan benang dalam
karya-karya I Wayan Arnata bukan semata-mata bentuk eksplorasi media untuk
mengejar sensasi di tengah kelaziman medium cat dan kanvas.
Dalam
berbagai hal, benang selalu dianggap sebagai metafora dari suatu rentang waktu
yang panjang, sebuah jenjang yang menghubungkan suatu masa dengan masa
selanjutnya. Filosofi itu pulalah yang melatar belakangi pelukis asal Sukawati
tersebut untuk menggali ruang tradisi dan di sanalah, ia menemukan benang
sebagai peretas jarak antara dirinya dan tradisi yang ada di sekitar dirinya.
Menggali
khasanah tradisi ibarat kembali ke dalam jati diri. Begitu pula yang dilakukan
oleh I Wayan Arnata, ingatan personal masa kecilnya dengan sang kakek
menuntunnya pada proses kreatif yang ditekuninya kini, yaitu menggunakan teknik
tradisional Ngodi (teknik kreasi
benang tradisional Bali). Kakeknya merupakan seorang Sangging (empu) yang menguasai berbagai teknik pembuatan sarana
upacara dan ritual. Ingatan dan pengalaman yang ditempuhnya sejak kecil itulah
yang begitu melekat, sehingga hingga kini ia terus melakukan pengamatan
sekaligus kajian terhadap teknik ngodi
tersebut.
Keberanian
Arnata dalam menggali berbagai potensi artistik dari medium-medium yang
digunakannya selama ini, terutama benang, tidak terlepas dari kehidupannya
sehari-hari yang begitu lekat dengan kegiatan tradisi. Dalam berbagai kegiatan
tradisi di Bali, setiap orang dituntut memiliki keterampilan untuk menciptakan
ornamen penghias upacara. “Dari kegiatan adat itulah saya seringkali memperoleh
gagasan visual dalam berkarya, termasuk medium benang itu sendiri. Sesuatu yang
justru dihindari oleh kebanyakan seniman Bali yang memilih tinggal di luar,”
ungkapnya.
Tidak
hanya menerapkan teknik ngodi secara
utuh, I Wayan Arnata juga terus melakukan inovasi terhadap teknik tersebut. Mengingat
bahwa teknik tersebut pada prakteknya memiliki banyak keterbatasan, oleh karena
itulah lahir kesadarannya untuk terus melakukan inovasi dalam mengembangkan
karya-karyanya. “Dalam teknik ngodi,
benang hanya berfungsi sebagai garis. Sedangkan dalam lukisan saya, benang
lebih berfungsi sebagai pembentuk tekstur dan penentu corak dari objek
lukisan,” tambahnya.
Sejak
masih menempuh studi di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, Arnata telah
dikenal sebagai seniman yang gemar melakukan eksplorasi medium. Hal tersebut
diungkapkan dalam catatan pengantar oleh Mikke Susanto, seorang kurator
sekaligus rekan seangkatannya saat kuliah, “Arnata tidak hanya melakukan
eksplorasi teknik dengan medium cat, melainkan juga dengan bahan-bahan
non-konvensional seperti kain, kayu, dan benda lainnya.”
Kejeliannya
melihat peluang dalam menggunakan medium non-konvensional juga sempat
mengantarnya meraih beberapa penghargaan, antara lain tiga kali menyabet posisi
finalis Philip Morris Award pada pertengahan dekade 90-an dan pemenang Adhi Aji
Sewaka Nugraha Baligrafi dari museum kontemporer Nyoman Gunarsa pada tahun 2013
lalu.
Sebagian
besar karya pada pameran ‘Integrity’ mengangkat tema-tema tentang diri yang
bernuansa kontemplasi. Hal tersebut merupakan buah dari berbagai pergulatan
personal yang dihadapinya sebagai seniman. Termasuk pertanyaan mengenai
integritasnya dalam menjalani profesi pilihannya tersebut. Sebagaimana karya
instalasi “Instrospeksi Diri” yang mempertanyakan posisi dirinya dalam
belantara kehidupan, sekaligus dalam medan seni rupa kontemporer Indonesia. Seolah
berbagai penghargaan dan pengakuan publik belum cukup memberinya jawaban.
Seperti
diungkapkan oleh Bakti Wiyasa, I Wayan Arnata membutuhkan waktu yang cukup lama
menunggu momen untuk menggelar pameran ini. Setidaknya terhitung sejak empat
tahun lalu, Arnata mulai mempersiapkan karya-karyanya. Sebuah karya bertarikh
2011 dengan judul “Djagoer” menjadi
titik awal untuk melihat proses berjalan hingga pameran ini berhasil digelar.
Karya berukuran 150 x 400 cm itu tersusun dari 20 panel wajah aneka wujud yang
disusun berjajar dan membentuk sebuah efek dramatis.
Sontak
karya tersebut merebut perhatian pengunjung yang datang ke pameran tersebut,
tidak hanya karena ukurannya yang maksimal, melainkan dalam karya tersebut
terlampir sebuah pernyataan yang sangat kuat dari seniman, bahkan terkesan
emosional. “Djagoer” dalam bahasa Bali berarti ‘hantam’, sehingga dapat dimaknai
sebagai sikap agresif yang ditunjukkan oleh Arnata terhadap berbagai persoalan
yang coba mengusik integritasnya sebagai seorang seniman.
Pergesekan-pergesekan
sosial dalam ruang masyarakat maupun pada tataran ideologis kesenian tidak
dapat dihindarkan dari kehidupan seorang seniman. Oleh karena itu, sikap
semacam itu menjadi wajar ditunjukkan oleh seorang Arnata. Pilihan Arnata untuk
menyatakan sikap melalui karya patut dibanggakan, sebab pada akhirnya kualitas
karyalah yang menjawab pertanyaan-pertanyaan itu.
Seiring
berjalannya waktu, sikap tersebut nampak semakin memudar. Seiring dengan
kedewasaan yang melekat dalam dirinya, karya-karya setelahnya terlihat semakin
kontemplatif. Seperti terlihat dalam dua sekuel lukisan “Doa,” melalui visual
wajah yang bersanding dengan telapak tangan, dan bunga jepun. Ataupun dalam
karya bertajuk “Balance” yang menunjukkan jejak kreatifnya sebagai pelukis yang
pernah mengusung aliran abstrak ekspresionisme a la Sanggar Dewata Indonesia.
Karya-karya tersebut lebih mengedepankan aspek refleksi kehidupan manusia dari
pada mengejar pencapaian sensasi visual.
Tema yang bernuansa
spiritual dan religius tersebut seolah tercipta sebagai jawaban atas berbagai
pertanyaan tentang integritas yang mengusiknya. Sebagai pribadi yang masih
memegang teguh nilai-nilai religi, I Wayan Arnata pada akhirnya bersandar pada
kehadiran yang ilahi dalam mengentaskan dirinya dari berbagai pergolakan batin
yang dialaminya. Friksi dalam dirinya, antara tradisi dan modernitas kehidupan
itu saling menyatu dalam setiap helai benang yang melilit pada karya-karyanya.*) tulisan ini pernah dipublikasikan di majalah sarasvati edisi juni 2015
Mantap mas pembahasan tentang karya-karya wayan arnata.moga sukses selalu
BalasHapusterima kasih pak Wayan Danu
Hapus