Selasa, 07 Juli 2015

Ngundhuh Wohing Parikan

Amanah Idola (3)

Oleh Dwi S. Wibowo
Mengintip Galeri Nginjen adalah mengintip jungkir baliknya dunia lewat permainan atas beberapa teks parikan yang diplesetkan oleh Heirda Vicitra. Beberapa seniman muda lainnya, berkesempatan untuk memindahkan parikan-parikan nakal itu menjadi sebuah gambaran yang mengulik mata dan menggelitik pikiran. Mereka adalah Vicha, Hasan, dan Yonaz.
Parikan, dalam khazanah bahasa Jawa adalah sebuah petuah yang disusun melalui pola pengulangan rima, hampir sama dengan pantun, bedanya, dalam parikan tidak ada sampiran. Pada praktiknya, dalam masyarakat jawa, parikan bergerak sebagai idiom yang hingga kini masih terus digunakan dalam percakapan sehari-hari, bahkan seringkali menyentuh bagian paling intim dari kehidupan manusia; religi.
Membaca parikan-parikan yang telah diplesetkan oleh Heirda Vicitra, kita akan dituntun untuk melihat kenakalan sekaligus kecerdikannya dalam memandang fenomena sosial hari ini. Dengan jeli,  ia memainkan teks-teks parikan tersebut dan menautkannya dengan gelagat kebanyakan orang yang setiap hari kita saksikan di mana-mana. Barangkali, saat pertama tercipta, parikan juga adalah sebuah respon dari berbagai fenomena sosial yang terjadi pada jamannya.
Selama ini, kita terbelenggu pada pemaknaan dan penggunaan teks parikan secara kaku. Seolah-olah, parikan hanya pas jika digunakan dalam percakapan bahasa jawa ataupun dalam konteks pembicaraan yang menaut ke-jawa-an di dalamnya. Tapi hari ini,  kita bakalan nyengir-nyengir sendiri kalau membaca parikan-parikan Heirda Vicitra. Nyengir karena merasa lucu, mungkin karena geli, mungkin karena tidak habis pikir, atau bahkan nyengir karena merasa tersindir. Nah!
jer basuki mawa selfie

Parikan-parikan Heirda Vicitra memang meluncur begitu saja, seolah spontan, tapi bakalan panas di telinga karena mengandung satir yang tidak main-main. Kejeliannya memandang fenomena sosial, pada akhirnya melahirkan kritik yang ironik melaui parikan-parikan yang diplesetkannya. Pilihan Heirda Vicitra untuk bermain dengan parikan bisa dibilang menarik, mengingat cakupannya yang luas meliputi berbagai gelagat yang dilakukan hampir semua orang. Sehingga kritik yang disampaikan olehnya melalui satir atau sindiran dalam parikan tersebut, hadir sebagai kritik yang pedas manis. Pedas di lidah, tapi manis di hati.
Media sosial, gadget, barang-barang branded, dan sosialita dunia selebritis adalah hal-hal yang sudah tidak mungkin dilepaskan dari gaya hidup kita hari ini. Tanpa semua itu, seolah dunia hampa. Fenomena itulah yang kemudian diliteralkan oleh Heirda Vicitra melaui parikan-parikan plesetannya. Piranti teknologi, konsumerisme, dan budaya populer telah menjelma menjadi bagian tidak terpisahkan dari kehidupan kita. Semua itu mustahil dihindari di tengah arus informasi dan komunikasi yang begitu cepat dapat kita akses hari ini. Waktu bersama gadget kesayangan menjadi sangat berarti, bayangkan saja, dalam semenit ada berapa informasi dari berapa situs yang kita akses sekaligus. Dan bayangkan juga saat kalian mandi, berapa informasi yang kalian lewatkan di media sosial? Cuma gara-gara mandi, bisa jadi kudet alias kurang update.
Media sosial adalah jurang paling nista yang bisa menjerumuskan manusia ke dalam lembah kenarsisan. Yang paling menyesaki media sosial belakangan ini adalah foto-foto selfie yang diunggah dari berbagai penjuru nusantara. Semua aktifitas yang kita kerjakan pokoknya tidak boleh terlalui tanpa selfie, meskipun cuma sekali, dan setelah itu segera edit lalu unggah ke medsos. Semua berlomba-lomba untuk menghadirkan dirinya dalam media sosial melalui foto-foto selfie yang diunggahnya, sehingga sesulit apapun medan yang dilalui, tetap harus selfie. Inget peristiwa turis yang kecebur jurang gara-gara selfie? Cuma demi eksistensi, sampai-sampai nyawa jadi taruhan. Masyaallah! Jer basuki mawa selfie, setiap pencapaian membutuhkan selfie.
rawe-rawe rantas malang golek utangan

Instagram adalah media yang paling populer disambangi para selfie mania. Instagram memang memberi ruang khusus untuk foto, lain dengan facebook atau twitter yang justru maksa jidad berkerut karena kita dituntut untuk mengungkapkan sesuatu secara tertulis. Instagram menawarkan sesuatu yang lebih menyenangkan, dengan foto kita bisa mengungkapkan sesuatu. Tinggal cari objek, foto, edit, lalu unggah. Dan selanjutnya serahkan pada followers, mau nge-like boleh, mau comment boleh, asal jangan unfollow saja. Kalau kata Heirda Vicitra, “sepi ing pamrih, rame in... stagram.”
Melalui karya-karya Vicha, kita bisa melihat bagaimana teks-teks parikan yang telah diplesetkan itu menjelma menjadi gagasan visual yang menarik. Dengan teknik kolasenya, kita akan dituntun untuk melihat bagaimana media sosial dan juga internet telah menjelma jadi kebutuhan primer yang bahkan melampaui kebutuhan sandhang dan pangan. Sehari tanpa kuota, serasa di neraka. Tapi sehari tanpa makan? tuh buktinya orang pada bisa puasa, bahkan sebulan juga tahan.
Internet adalah dunia yang maha luas melampaui jagat raya. Selain kebutuhan eksistensi, media sosial juga mengumbar nafsu manusia untuk menjelajahi berbagai kemungkinan gaya hidup; dari yang paling susah sebagai hippies, sampai yang paling menggiurkan sebagai sosialita. Semua itu ditunjang oleh arus kapitalisme yang mengalir 24 jam di seantero situs yang bisa diakses. Hamparan iklan dan bayangan hidup a la selebritis holywood dengan seabrek barang mewahnya sudah terbiasa kita saksikan melalui media sosial. Hal tersebut, mau tidak mau juga menyeret kita pada keinginan untuk memiliki barang-barang serupa. Beruntung bagi yang bisa membeli yang asli, dan bagi warga kelas menengah cukuplah dengan barang kawe.
amanah idola (7)

Ketidakterpisahan kita dengan barang-barang mewah tersebut terangkum dalam beberapa karya Yonaz. Melalui seri karya ‘Amanah Idola’ dari satu sampai tujuh, kita akan melihat beberapa teks parikan Heirda Vicitra yang telah malih rupa. Terlihat Johny Depp lengkap dengan topi melingkar tengah mengacungkan jari telunjuknya ke atas, di baliknya sebagai latar adalah hamparan teks parikan hasil plesetan Heirda Vicitra “manunggaling kawula Gucci” yang menyitir teks asli yang berbunyi “manunggaling kawula gusti”. Teks tersebut adalah sebuah ungkapan untuk menggambarkan keterikatan manusia dengan sang gusti alias yang ilahi, namun dengan gubahan kata gusti menjadi Gucci, barangkali kita bisa menarik makna yang sama bahwa manusia juga memiliki keterikatan pada barang-barang bermerek Gucci. Bahkan tidak hanya Gucci, mungkin juga Louis Vuitton, atau juga Channel.
Sedangkan pada karya-karya Hasan yang merespon parikan milik Heirda Vicitra, kita akan melihat bagaimana respon publik terhadap berbagai fenomena sosial yang sudah lebih dulu digarap oleh Vicha dan Yonaz. Pada akhirnya, kita harus mengakui bahwa telah terjadi banyak pergeseran kebutuhan dalam hidup kita. Sebagaimana disebutkan di atas, bahwa internet berikut ekor-ekornya telah merangsek menjadi kebutuhan primer dalam kehidupan kita, mau tidak mau kita harus menghitung ulang pengeluaran yang secara nominal pasti meningkat sebagai konsekuensi mendasar. Bagi kalangan masyarakat menengah ke atas, barangkali barang-barang branded sekelas Gucci ataupun piranti elektronik plus kuota unlimited bukanlah sebuah persoalan besar. Lain dengan masyarakat kelas bawah yang jangankan memiliki barang tersebut, memimpikan kawenya saja merasa tidak layak. Meskipun demikian, apapun kelas sosialnya, konsumerisme tetaplah gaya hidup yang kontraproduktif.

Sebagaimana digambarkan dalam karya-karya Hasan, ada dua parikan Heirda Vicitra yang dialih visualkan, yaitu “rawe-rawe rantas, malang-malang golek utangan” dan “asu gedhe menang kerahe, amarga durung tau mungsuh Darthvader”. Bagi mereka yang berasal dari kelas bawah, hutang menjadi solusi untuk memenuhi kebutuhan yang sebenarnya diluar jangkauannya. Sedangkan bagi mereka yang berada di kelas atas, juga tidak lepas dari persoalan narsistik atas modal sosial yang dimilikinya, sebagaimana anjing besar yang menang gonggongan. Pada akhirnya, melalui pameran ini, kita diajak untuk bercermin; melihat ke dalam diri. Masihkah keinginan-keinginan itu, menjangkiti raga kita? Mari kita saling bertanya, tanpa perlu panas telinga. 

*)tulisan ini merupakan bagian dari commision work Artjog 2015, simulasi galeri yang dikerjakan oleh Indieguerillaz

Tidak ada komentar:

Posting Komentar