Amanah Idola (3) |
Oleh Dwi S. Wibowo
Mengintip Galeri Nginjen adalah
mengintip jungkir baliknya dunia lewat permainan atas beberapa teks parikan yang
diplesetkan oleh Heirda Vicitra. Beberapa seniman muda lainnya, berkesempatan
untuk memindahkan parikan-parikan nakal itu menjadi sebuah gambaran yang
mengulik mata dan menggelitik pikiran. Mereka adalah Vicha, Hasan, dan Yonaz.
Parikan, dalam khazanah bahasa Jawa
adalah sebuah petuah yang disusun melalui pola pengulangan rima, hampir sama
dengan pantun, bedanya, dalam parikan tidak ada sampiran. Pada praktiknya,
dalam masyarakat jawa, parikan bergerak sebagai idiom yang hingga kini masih
terus digunakan dalam percakapan sehari-hari, bahkan seringkali menyentuh
bagian paling intim dari kehidupan manusia; religi.
Membaca parikan-parikan yang
telah diplesetkan oleh Heirda Vicitra, kita akan dituntun untuk melihat
kenakalan sekaligus kecerdikannya dalam memandang fenomena sosial hari ini. Dengan
jeli, ia memainkan teks-teks parikan
tersebut dan menautkannya dengan gelagat kebanyakan orang yang setiap hari kita
saksikan di mana-mana. Barangkali, saat pertama tercipta, parikan juga adalah
sebuah respon dari berbagai fenomena sosial yang terjadi pada jamannya.
Selama ini, kita terbelenggu
pada pemaknaan dan penggunaan teks parikan secara kaku. Seolah-olah, parikan
hanya pas jika digunakan dalam percakapan bahasa jawa ataupun dalam konteks
pembicaraan yang menaut ke-jawa-an di dalamnya. Tapi hari ini, kita bakalan nyengir-nyengir sendiri kalau
membaca parikan-parikan Heirda Vicitra. Nyengir karena merasa lucu, mungkin
karena geli, mungkin karena tidak habis pikir, atau bahkan nyengir karena
merasa tersindir. Nah!
jer basuki mawa selfie |
Parikan-parikan Heirda Vicitra
memang meluncur begitu saja, seolah spontan, tapi bakalan panas di telinga
karena mengandung satir yang tidak main-main. Kejeliannya memandang fenomena
sosial, pada akhirnya melahirkan kritik yang ironik melaui parikan-parikan yang
diplesetkannya. Pilihan Heirda Vicitra untuk bermain dengan parikan bisa
dibilang menarik, mengingat cakupannya yang luas meliputi berbagai gelagat yang
dilakukan hampir semua orang. Sehingga kritik yang disampaikan olehnya melalui
satir atau sindiran dalam parikan tersebut, hadir sebagai kritik yang pedas
manis. Pedas di lidah, tapi manis di hati.
Media sosial, gadget, barang-barang branded, dan sosialita dunia selebritis
adalah hal-hal yang sudah tidak mungkin dilepaskan dari gaya hidup kita hari
ini. Tanpa semua itu, seolah dunia hampa. Fenomena itulah yang kemudian
diliteralkan oleh Heirda Vicitra melaui parikan-parikan plesetannya. Piranti
teknologi, konsumerisme, dan budaya populer telah menjelma menjadi bagian tidak
terpisahkan dari kehidupan kita. Semua itu mustahil dihindari di tengah arus
informasi dan komunikasi yang begitu cepat dapat kita akses hari ini. Waktu
bersama gadget kesayangan menjadi sangat berarti, bayangkan saja, dalam semenit
ada berapa informasi dari berapa situs yang kita akses sekaligus. Dan bayangkan
juga saat kalian mandi, berapa informasi yang kalian lewatkan di media sosial?
Cuma gara-gara mandi, bisa jadi kudet alias kurang update.
Media sosial adalah jurang
paling nista yang bisa menjerumuskan manusia ke dalam lembah kenarsisan. Yang
paling menyesaki media sosial belakangan ini adalah foto-foto selfie yang diunggah dari berbagai
penjuru nusantara. Semua aktifitas yang kita kerjakan pokoknya tidak boleh
terlalui tanpa selfie, meskipun cuma
sekali, dan setelah itu segera edit lalu unggah ke medsos. Semua berlomba-lomba
untuk menghadirkan dirinya dalam media sosial melalui foto-foto selfie yang diunggahnya, sehingga
sesulit apapun medan yang dilalui, tetap harus selfie. Inget peristiwa turis yang kecebur jurang gara-gara selfie? Cuma demi eksistensi,
sampai-sampai nyawa jadi taruhan. Masyaallah! Jer basuki mawa selfie, setiap pencapaian membutuhkan selfie.
rawe-rawe rantas malang golek utangan |
Instagram adalah media yang
paling populer disambangi para selfie
mania. Instagram memang memberi ruang khusus untuk foto, lain dengan facebook
atau twitter yang justru maksa jidad berkerut karena kita dituntut untuk
mengungkapkan sesuatu secara tertulis. Instagram menawarkan sesuatu yang lebih
menyenangkan, dengan foto kita bisa mengungkapkan sesuatu. Tinggal cari objek,
foto, edit, lalu unggah. Dan selanjutnya serahkan pada followers, mau nge-like
boleh, mau comment boleh, asal jangan
unfollow saja. Kalau kata Heirda
Vicitra, “sepi ing pamrih, rame in... stagram.”
Melalui karya-karya Vicha, kita
bisa melihat bagaimana teks-teks parikan yang telah diplesetkan itu menjelma
menjadi gagasan visual yang menarik. Dengan teknik kolasenya, kita akan
dituntun untuk melihat bagaimana media sosial dan juga internet telah menjelma
jadi kebutuhan primer yang bahkan melampaui kebutuhan sandhang dan pangan.
Sehari tanpa kuota, serasa di neraka. Tapi sehari tanpa makan? tuh buktinya
orang pada bisa puasa, bahkan sebulan juga tahan.
Internet adalah dunia yang maha
luas melampaui jagat raya. Selain kebutuhan eksistensi, media sosial juga
mengumbar nafsu manusia untuk menjelajahi berbagai kemungkinan gaya hidup; dari
yang paling susah sebagai hippies, sampai yang paling menggiurkan sebagai
sosialita. Semua itu ditunjang oleh arus kapitalisme yang mengalir 24 jam di
seantero situs yang bisa diakses. Hamparan iklan dan bayangan hidup a la
selebritis holywood dengan seabrek barang mewahnya sudah terbiasa kita saksikan
melalui media sosial. Hal tersebut, mau tidak mau juga menyeret kita pada
keinginan untuk memiliki barang-barang serupa. Beruntung bagi yang bisa membeli
yang asli, dan bagi warga kelas menengah cukuplah dengan barang kawe.
amanah idola (7) |
Ketidakterpisahan kita dengan
barang-barang mewah tersebut terangkum dalam beberapa karya Yonaz. Melalui seri
karya ‘Amanah Idola’ dari satu sampai tujuh, kita akan melihat beberapa teks
parikan Heirda Vicitra yang telah malih rupa. Terlihat Johny Depp lengkap
dengan topi melingkar tengah mengacungkan jari telunjuknya ke atas, di baliknya
sebagai latar adalah hamparan teks parikan hasil plesetan Heirda Vicitra
“manunggaling kawula Gucci” yang menyitir teks asli yang berbunyi “manunggaling
kawula gusti”. Teks tersebut adalah sebuah ungkapan untuk menggambarkan
keterikatan manusia dengan sang gusti alias yang ilahi, namun dengan gubahan
kata gusti menjadi Gucci, barangkali kita bisa menarik makna yang sama bahwa
manusia juga memiliki keterikatan pada barang-barang bermerek Gucci. Bahkan
tidak hanya Gucci, mungkin juga Louis Vuitton, atau juga Channel.
Sedangkan pada karya-karya Hasan
yang merespon parikan milik Heirda Vicitra, kita akan melihat bagaimana respon
publik terhadap berbagai fenomena sosial yang sudah lebih dulu digarap oleh Vicha
dan Yonaz. Pada akhirnya, kita harus mengakui bahwa telah terjadi banyak
pergeseran kebutuhan dalam hidup kita. Sebagaimana disebutkan di atas, bahwa
internet berikut ekor-ekornya telah merangsek menjadi kebutuhan primer dalam
kehidupan kita, mau tidak mau kita harus menghitung ulang pengeluaran yang
secara nominal pasti meningkat sebagai konsekuensi mendasar. Bagi kalangan
masyarakat menengah ke atas, barangkali barang-barang branded sekelas Gucci
ataupun piranti elektronik plus kuota unlimited bukanlah sebuah persoalan
besar. Lain dengan masyarakat kelas bawah yang jangankan memiliki barang
tersebut, memimpikan kawenya saja merasa tidak layak. Meskipun demikian, apapun
kelas sosialnya, konsumerisme tetaplah gaya hidup yang kontraproduktif.
Sebagaimana digambarkan dalam
karya-karya Hasan, ada dua parikan Heirda Vicitra yang dialih visualkan, yaitu
“rawe-rawe rantas, malang-malang golek utangan” dan “asu gedhe menang kerahe,
amarga durung tau mungsuh Darthvader”. Bagi mereka yang berasal dari kelas
bawah, hutang menjadi solusi untuk memenuhi kebutuhan yang sebenarnya diluar
jangkauannya. Sedangkan bagi mereka yang berada di kelas atas, juga tidak lepas
dari persoalan narsistik atas modal sosial yang dimilikinya, sebagaimana anjing
besar yang menang gonggongan. Pada akhirnya, melalui pameran ini, kita diajak
untuk bercermin; melihat ke dalam diri. Masihkah keinginan-keinginan itu,
menjangkiti raga kita? Mari kita saling bertanya, tanpa perlu panas telinga.
*)tulisan ini merupakan bagian dari commision work Artjog 2015, simulasi galeri yang dikerjakan oleh Indieguerillaz
Tidak ada komentar:
Posting Komentar