Senin, 26 Oktober 2015

‘TUTUR’ EMPAT PERUPA LINTAS GENERASI

bakti wiyasa_sari pertiwi jati dan konstelasi pertiwi jati_2015
Oleh Dwi S. Wibowo

Sekitar pertengahan bulan Agustus lalu, saat sebagian orang tengah sibuk menata nasionalisme merah putih di dadanya, perupa asal Tabanan, I Made Bakti Wiyasa justru memilih untuk menyuntuki bulir-bulir padi yang mulai menguning di persawahan kampung halamannya, Penebel. Bukan untuk menimang masa panen yang akan segera tiba, melainkan tengah merenungkan alam dan tradisi Bali yang sangat kaya, namun naasnya justru mulai dikandaskan oleh orang-orang Bali sendiri.

Saat bertandang ke kediamannya di kota Denpasar, saya disambut oleh benih-benih padi yang baru disemai di atas beberapa tempeh (nampan anyaman bambu) yang disusun sedemikian rupa. Tentu ini bukanlah pemandangan yang wajar dalam proses pertanian di pelosok manapun, sebab biasanya benih padi akan langsung disemai di sawah. Bakti memang bukan bermaksud menyiapkan benih untuk sawah miliknya, melainkan tengah menyiapkan karya untuk sebuah pameran yang akan diikutinya.

Bersama tiga perupa lainnya, mereka tengah menyiapkan sebuah pameran dengan tajuk  “Tutur Nyatur” di Bentara Budaya Bali, pada 16-23 September. Mereka ialah I Nyoman Wirata, I Wayan Santrayana, dan I Wayan Sudiarta. Secara kebetulan, keempatnya punya latar belakang profesi yang sama, yaitu sebagai perupa cum pendidik. Bakti dan Sudiarta merupakan dosen seni rupa, sedangkan Wirata dan Santrayana adalah guru seni rupa. dengan kesamaan latar profesi itulah, keempatnya yang boleh dibilang lintas generasi saling bertemu dan membingkai wacana pameran ini.
wayan sudiarta_baris-an penjaga nilai_180x300cm_2015
Tanpa ingin terlalu berat mengusung gagasan, keempatnya sepakat untuk mengangkat tajuk “Tutur Nyatur” yang mereka pungut dari khasanah tradisi Bali. Dalam bahasa Bali, “tutur” berarti ucapan baik yang berupa nasihat ataupun suatu narasi, sedangkan “nyatur” berarti menuju ke empat penjuru. Meski memiliki latar belakang profesi yang sama, namun faktor pengalaman dan usia jelas membedakan keempatnya. Sehingga mereka memutuskan untuk tetap mengusung karakter masing-masing dalam pameran ini, tanpa terikat pada satu gagasan mengenai isu sosial tertentu.

Seperti yang dilakukan oleh perupa yang paling senior di antara mereka, I Nyoman Wirata. Perupa yang baru saja purna mengabdikan diri sebagai guru di sebuah sekolah negeri di Denpasar ini tetap mengusung prinsip kekaryaannya yang selalu dekat dengan dunia sastra, khususnya puisi. Dalam melukis, perupa yang alumni SSRI Denpasar tahun 1972 tersebut selalu mengolah puisi terlebih dahulu sebelum memindahkannya ke dalam citraan-citraan semi abstrak di atas kanvas. Sejak mengawali karirnya, Nyoman Wirata memang tak ingin melepaskan diri dari sastra, bahkan hingga kini setidaknya ada beberapa buku kumpulan puisi yang diterbitkannya.

Memasuki generasi kedua, adalah I Wayan Santrayana. Namanya mungkin asing di telinga para pecinta seni rupa kontemporer, namun tidak bagi sebagian perupa asal Bali seperti Putu Sutawijaya ataupun Made Sumadiyasa, sosok Santrayana adalah guru yang pernah mendidiknya semasa menempuh studi di Sekolah Menengah Seni Rupa. Dalam pameran kali ini, karya-karyanya cenderung mempertanyakan tentang hakikat-hakikat hidup dan kehidupan (mungkin merupakan bentuk spiritualitasnya) dijalaninya dengan menjadikan media melukis sebagai altar atau sajadah perenungan dimana jejak-jejak prosesnya terekam pada kanvas berupa aliran garis berirama, berpola bahkan berkoreografi yang kemudian juga meninggalkan jejak berupa suasana bathin yang melingkupi di dalam proses kontemplasinya.
karya nyoman wirata
Sedangkan Wayan Sudiarta di lapis ketiga, menampilkan sejumlah karya lukisan berukuran cukup besar yang menunjukkan kesuntukkannya menjajal teknik. Tema-tema seputar seni tradisi menjadi fokus utama dalam karya-karyanya, terutama dalam hal mempertanyakan konteks dan relevansinya hari ini. Sehingga terlihat dalam karyanya yang menampilkan sejumlah barong dalam pose yang kenes tengah berselfie ria seperti tren anak muda masa kini. Mungkin itulah ironi yang ingin dihadirkan olehnya sebagai bentuk kritik terhadap seni tradisi bali saat ini.

Sebagaimana tertera pada awal tulisan ini, I Made Bakti Wiyasa dalam pameran ini mengolah padi sebagai ide dasar dari karyanya, maka terciptalah sebuah instalasi berupa sebuah bulir padi berukuran raksasa yang tergantung di dinding ruang pamer Bentara Budaya Bali. Karya yang berukuran maksimal hingga 3 x 27 meter tersebut terbuat dari bahan organik yaitu bambu dan klangsah (anyaman daun kelapa) dan diberi judul “Sari Pertiwi Jati”. Pertiwi jati merupakan tatanan kemakmuran pada masyarakat agraris Bali yang diwariskan secara turun temurun melalui subak. Tatanan ekonomi tradisional yang bertaut secara langsung dengan alam dan spiritualitas, sehingga pada tataran kosmologis masyarakat memiliki kesadaran penuh bahwa melimpahnya sumber daya alam merupakan karunia dari Tuhan.


Keempat perupa cum pendidik lintas generasi tersebut hadir dengan karakter kekaryaannya masing-masing dalam pameran ini, dari sana kita bisa melihat bagaimana waktu merentang panjang. Antara yang senior dengan generasi sesudahnya tentu memiliki konteks berkesenian yang berbeda, termasuk cara pandang akan sebuah persoalan. Saya jadi teringat perkataan I Nyoman Wirata di sela persiapan pameran, “tidak semua orang yang dianggap senior memiliki kekayaan pengalaman melebihi juniornya, mungkin justru sebaliknya.”

Tulisan ini pernah dimuat di Majalah Sarasvati edisi oktober 2015

Selasa, 13 Oktober 2015

PERSILANGAN SENI RUPA DAN DESAIN

Citra Sasmita, The Red Hangman, 2015, Esther Metal Sheet, 55 x 28 x 7

oleh Dwi S. Wibowo
Ibarat sepasang rel kereta, seni rupa dan desain adalah dua bilah yang membentang berdampingan, meskipun sangat jarang kita lihat keduanya saling bersinggungan. Para perupa begitu kerap menyuntuki medium-medium ganjil dan kepiawaian teknis guna mencipta karya yang punya nilai artistik tinggi sekaligus adiluhung, sedangkan para desainer lebih banyak merancang benda-benda fungsional yang begitu lekat dengan keseharian. Ya, seni rupa memang seperti sebuah pemanggungan yang berjarak dengan kehidupan, sedangkan desain lebih menyerupai realitas kehidupan itu sendiri. Oleh karenanya, sebuah pameran yang dihelat oleh Sudakara Art Space sejak 27 Agustus lalu, mencoba menautkan dua dunia sekandung itu dalam kerangka tajuk “Portable Sculpture Objects Fungtional Arts”.
Sejumlah perupa yang terbiasa menggeluti seni rupa murni (lukis, patung, dan instalasi) ditantang untuk memperluas kecakapan berkaryanya dengan menerapkan pada benda-benda guna (fungsional). Sebagaimana terlihat dalam pameran ini, beberapa perupa yang terlibat antara lain Aan Juniartha, Art of Whatever (AOW), Atmi Kristiadewi, Budi Agung Kuswara, Budi ‘Boleng’ Santoso, Citra Sasmita, Dewa gede Jodi Saputra, IGK Adi Dewantara, Made Aswino Aji, Made Supena, Putu Suarjana, Made Muliana Bayak, Nyoman Suarnata, Putu Edy Asmara, dan Putu Suardana.
Budi Boleng, Table Lamp 1, 2015, Mixed Media, 41 x ++ 22
Alih-alih nampak selayaknya pameran seni rupa yang sarat gagasan, pameran ini seolah lebih ingin menampilkan kecakapan para perupa dalam mengolah karakter estetiknya ke dalam benda guna sehari-hari. Meskipun masing-masing dari mereka masih juga menyelipkan idiom-idiom khasnya dalam berkarya. Dalam perbincangan dengan Army (kordinator pameran ini) beberapa minggu sebelum pembukaan pameran, ia menuturkan bahwa pameran ini berupaya mengangkat konsep art bazaar yang bisa lebih mendekatkan karya para perupa tersebut dengan pemirsa, yang secara aktif dapat sekaligus menjadi buyers. Apalagi dengan posisi Sudakara Art Space yang merupakan bagian dari hotel Sudamala, membuatnya menjadi sangat strategis. Pameran yang akan digelar hingga 5 Oktober mendatang ini juga diniatkan menjadi alternatif untuk mengatasi kejenuhan aktifitas seni rupa di Bali yang melulu konvensional menampilkan lukisan dan patung.
Tak sekedar mengawinsilangkan antara seni rupa dan desain, ternyata pameran ini juga mensyaratkan para perupa untuk menciptakan karya yang portable (mudah dibawa) sebagaimana terlampir dalam judul pameran ini. Oleh karena itulah, kebanyakan perupa cenderung menggarap karya-karya berukuran mini seperti terlihat dalam beberapa karya Made Muliana Bayak. Ia membuat patung-patung dari kolase benda temuan sehari-hari seperti mouse komputer, kaleng minuman, potongan pensil, dan pisau dapur. Salah satunya diberi judul “Osama Bin Scorpion The Cyber Terror”, karya tahun 2015 itu tersusun dari mouse komputer yang dikolase dengan kawat dan roda bekas mainan. 
Aswino Aji, Display Installation View
Tak hanya Bayak yang piawai merangkai benda-benda temuan semacam itu, Budi ‘Boleng’ Santoso juga menggunakan pola yang sama. ia banyak mengumpulkan perkakas otomotif dan juga botol-botol bekas wine untuk dirakit menjadi sebuah karya. Dalam pameran ini, Budi menampilkan beberapa lampu meja yang dibuatnya dari bahan perkakas seperti pompa sepeda dan piringan rem motor yang dikombinasikan dengan potongan botol dan bohlam di dalamnya, sehingga bias cahaya yang dihasilkannya dari balik kaca botol menjadi sangat puitis.
Beberapa seniman yang lain mencoba mengelaborasikan konsep berkarya yang biasa mereka lakoni dalam bidang dua dimensi ke dalam benda guna sehari-hari. Di titik ini, kita diajak untuk melihat bahwa medium para perupa ternyata tidak hanya terbatas pada bidang datar seperti kanvas atau kertas, seperti terlihat dalam karya-karya yang diusung oleh kelompok perupa yang menamakan dirinya Art of Whatever. Latar belakang mereka sebagai perupa yang menekuni street art membuatnya lebih leluasa dalam menyikapi medium dalam berkarya, maka jadilah karya-karya mereka dalam medium seperti jaket, payung, dan sepatu. Tanpa mau meninggalkan karakteristik khas dan juga selipan gagasan, mereka mengombinasikan teknik lukis, grafis, dan digital printing dalam sandangan tersebut. Keuntungannya ialah, karya sekaligus pesan yang terlampir di dalamnya akan terbawa mengikuti kemanapun langkah orang yang menggunakan produknya.

Budi Agung Kuswara, After Murakami, 2015, Ceramics Teapot and cups (2 pcs)

Hal serupa terlihat juga dalam karya-karya Made Aswino Aji yang juga menerapkan pola berkarya dua dimensi ke dalam benda-benda guna seperti jam dinding ataupun mangkok dan nampan kayu. Dengan teknik drawing menggunakan pensil warnanya yang khas, ia juga tetap mengusung ikon-ikon gambarnya yang selama ini banyak muncul dalam karya-karya lukisnya. Selain itu, yang juga menarik adalah cangkir-cangkir keramik karya Budi Agung Kuswara yang disusun berjajar di atas lightbox. Beberapa seri karya keramik itu tampil dengan sangat rapi, salah satunya yang diberinya judul “After Murakami”, menampilkan motif-motif senyum bunga matahari serupa karya seniman ternama Jepang Takashi Murakami yang diolah dengan teknik pembuatan keramik yang sangat baik. Karya instalasi berbahan plat besi karya Citra Sasmita juga cukup menarik perhatian, menampilkan sepasang sosok malaikat yang dipajang berdampingan dengan warna yang sepenuhnya merah menyala. Karya yang diberi judul “The Red Hangman” itu berfungsi sebagai capstok yang diposisikan tepat pada posisi phalus sang malaikat, membuatnya menjadi sangat parodikal, sekaligus berani.
Pameran sejenis, bukan kali ini saja digelar di Bali, sebelumnya juga pernah digelar pameran yang menampilkan pertautan antara seni rupa dan desain yaitu “Art Expose” pada tahun 2014 di Maha Art Gallery yang diikuti oleh sejumlah perupa termasuk Edy Asmara dan Atmi Kristiadewi yang juga terlibat dalam pameran kali ini. Tanpa menurunkan nilai estetik dari karya-karya seni yang biasa mereka ciptakan, dari pameran tersebut setidaknya terlihat bahwa seni rupa ternyata bisa begitu dekat dengan desain. Meskipun selama ini sering muncul anggapan sinis yang menyebutnya sebagai seni rendahan, namun ternyata di belahan bumi lain, yaitu di Chicago pameran serupa yang mengusung tajuk SOFA (Sculpture Object Fungtional Art) juga digelar dan diikuti oleh banyak galeri ternama. Barangkali, seni memang semestinya melekat pada fungsi sehari-hari.

*)tulisan ini pernah dipublikasikan di majalah sarasvati edisi oktober 2015

Sabtu, 10 Oktober 2015

DALAM BAYANG-BAYANG RENAISANCE

9. Valasara,Carrousel, 370 x 1200 cm, acrylic on canvas, 2015

oleh Dwi S. Wibowo
Masa Renaisance merupakan era penting sekaligus penanda bagi kebangkitan seni rupa barat, juga dunia. Pada masa itu, para maestro seperti Da Vinci, Michelangelo, Boticceli, juga Carravaggio mengalami periode emas melalui pencapaian bentuk anatomi dalam lukisan-lukisannya yang mendekati sempurna. Lukisan-lukisan karya mereka juga menjadi kanon dalam sejarah seni rupa dunia yang terus dipelajari hingga hari ini. Berangkat dari asumsi itulah, Made Wiguna Valasara menciptakan sejumlah karya apropriasi yang bertolak dari lukisan-lukisan karya para maestro tersebut.
Sebagaimana lazimnya karya-karya apropriasi yang menyalin ulang karya-karya lama yang telah ada menjadi karya baru, Valasara juga mengolah kembali sekian banyak lukisan kanon dari para maestro tersebut menjadi karya-karya baru yang lebih segar. Sebutlah lukisan-lukisan seperti Monalisa, The Entombent Of Christ, The Birth Of Venus, hingga The Last Judgement karya Michelangelo yang menghiasi altar Sistine Chapel berpindah ke dalam kanvasnya. Karya-karya apropriasi tersebut akan dipamerkan di galeri Art:1 pada 8 Oktober mendatang dengan tajuk “Lukisan-Lukisan” yang dikuratori oleh Agung Hujatnikajenong.
Kita tentu bertanya mengapa tajuk yang diusung justru “Lukisan-Lukisan”, sementara masih ada kegamangan untuk menyebut apakah karya-karya dari perupa kelahiran sukawati ini termasuk lukisan atau justru karya trimatra. Disanalah Valasara sedang menempatkan diri, perupa yang pernah mengenyam studi patung sekaligus lukis di ISI Yogyakarta tersebut memang sedang mempertanyakan batas-batas itu. “Selama ini, lukisan memenjarakan bentuk ke dalam bidang datar melalui ilusi warna dan garis,” ungkap perupa yang dikenal dengan  teknik emboss tersebut. Sehingga melalui karya-karyanya kali ini, ia justru ingin melepaskan bentuk dengan menciptakan dimensi yang dapat diraba, sekaligus menghapus seluruh warna menjadi monokrom.
6. Valasara, Interpreting Caravaggio #2, 260 x 200 cm, acrylic on canvas , 2014

Dengan teknik emboss miliknya, karya-karya valasara memang menjadi bias antara karya dua dimensi ataukah tiga dimensi. Zona bias itu diperkuat dengan penggunaan kanvas sebagai medium yang begitu lekat dengan tradisi seni lukis (dua dimensi). Andaikan, medium yang digunakan olehnya berupa batu atau kayu, mungkin kita bisa lebih mudah mengkategorikannya. Namun bagi perupa yang pernah meraih penghargaan karya trimatra itu, kengototannya menggunakan medium kanvas justru untuk mempertegas sikapnya yang tidak hanya melihat kanvas sebagai media, tapi sekaligus menjadi esensi dari karyanya.
Termasuk dalam pameran ini, pertanyaan itu menjadi semakin menguat. Tanpa segan, ia melontarkan tanda tanya pada lukisan-lukisan yang telah menjadi kanon seni rupa dunia. Maka, kita akan diajak untuk bertamasya menuju masa renaisance melalui bidang-bidang cembung miliknya. Setidaknya ada sepuluh karya yang akan ia tampilkan dalam pameran ini, yang seluruhnya berwarna putih polos. Hanya efek bayangan dari sorot lampu galeri yang akan menuntun kita mengenali lekuk-lekuk anatomi karya para maestro tersebut.
Selain melakukan apropriasi secara utuh, seperti dalam karya “Interpreting Caravaggio #1” yang merupakan salinan dari karya legendaris The Incredulity Of Saint Thomas, Valasara juga memberi unsur parodi yang cukup menimbulkan daya ganggu. Secara hiperbolis, dalam karya  “Interpreting Caravaggio #2” menampilkan sebuah adegan dalam lukisan The Entombing of Christ dengan mengubah postur Yesus yang ramping menjadi tambun. Yang secara tidak langsung mengingatkan kita pada karya-karya terdahulunya yang dipengaruhi postur-postur figur dalam lukisan Lucien Freud, atau jangan-jangan dalam karya ini ia masih terngiang-ngiang pada si Venus dari Willendorf yang cantik nan tambun.
4.Valasara, Ateip, 150 x 150 cm, acrylic on canvas, 2013

Pertanyaan-pertanyaan seputar postur (anatomi tubuh) juga nampak dalam beberapa karyanya yang memadukan apropriasi dari dua lukisan berbeda ke dalam satu bidang kanvas. Seperti terlihat dalam karya “Michelangelo Greets Boticelli” yang merupakan salinan dari lukisan The Birth of Venus yang termasyur itu dengan sepotong fragmen adam dan eva yang berjalan terusir dari surga karya Michelangelo. Disana kita dapat melihat perbedaan persepsi tentang bentuk anatomi tubuh  dari kedua maestro tersebut berpadu dalam satu bidang, sehingga dapat dibandingkan satu sama lain.

Karya lainnya yang juga menyandingkan dua maestro dalam satu bidang adalah “The Sistine Chapel Smile” yang memadukan lukisan Monalisa dengan The Last Judgement. Di sana kita akan melihat keanggunan monalisa di tengah kemegahan altar Sistine Chapel tempat mural fresco itu tertera. Sekaligus akan nampak bagaimana kecenderungan karya Da Vinci yang didominasi lukisan potrait, sementara sang muralis Michelangelo justru sebaliknya, menyesakkan narasi sebanyak mungkin dalam karya-karyanya yang berukuran gigantis. Melalui pameran ini, kita akan diajak melihat penjelajahan estetik Valasara menuju masa silam, sekaligus mempertanyakan masih relevankah lukisan-lukisan kanon itu kita jadikan kiblat.
*)tulisan ini pernah dipublikasikan di majalah sarasvati edisi oktober 2015