Sabtu, 13 Juni 2015

Old Masters, Riwayatmu Kini


 https://ayaspromenade.files.wordpress.com/2015/01/pertempuran-sultan-agung-dan-jan-pieterzoon-coen-1973-cat-minyak-diatas-kanvas-3x10-m-koleksi-museum-sejarah-jakarta.jpg


oleh Dwi S. Wibowo
Ars longa vita brevis. Sebuah karya seni yang agung semestinya memiliki usia yang panjang, bahkan mungkin berabad-abad setelah diciptakan oleh kreatornya. Sebagaimana hari ini kita masih dapat menikmati keindahan lukisan-lukisan karya Leonardo da Vinci, Rembrandt, juga Michelangelo di berbagai museum yang tersebar di Eropa.
Jika dihitung dari masa hidup para maestro tersebut pada kisaran tahun 1500-an, usia karyanya telah melebihi angka 500 tahun. Setengah milenium adalah kurun waktu yang fantastis untuk usia sebuah lukisan, mengingat bahwa lukisan dibuat di permukaan kanvas atau mungkin kain yang rentan lapuk akibat faktor usia dan cuaca. Lain dengan sebuah relief yang terpahat di dinding batu sebuah candi.
Hal semacam itu seringkali menjadi pertanyaan yang sulit untuk ditemukan jawabannya, jika bukan karena kecintaan yang amat dalam terhadap sejarah bangsanya. Mereka memiliki kesadaran penuh tentang pentingnya sebuah karya seni sebagai bagian dari sejarah peradaban yang pernah dicapai oleh bangsa kulit putih tersebut. Oleh karenanya segenap perhatian (baik dari masyarakat, individu, institusi seni, maupun pemerintah) diberikan untuk menjaga keberlangsungan artefak kebudayaan tersebut.
Berkaca dari apa yang berlangsung di belahan bumi lain tersebut, kita patut iri melihat nasib banyak karya seni dari para maestro negeri ini. Sebuah lukisan berukuran raksasa, yakni 3 x 10 meter karya S. Sudjojono yang berjudul “Pertempuran Sultan Agung dan JP. Coen” sempat dalam kondisi rapuh akibat usia dan iklim lembab. Lukisan yang dibuat pada tahun 1973 tersebut merupakan koleksi dari Museum Sejarah Jakarta, sebuah institusi yang dikelola oleh negara.
Baru pada tahun 2008 lukisan tersebut mendapat perhatian khusus dari berbagai pihak. 34 tahun sejak lukisan tersebut resmi dipajang Museum Sejarah Jakarta, untuk pertama kalinya mengalami restorasi. Berkat adanya dorongan dari kalangan pencinta seni dan Throppenmuseum Belanda, proses perbaikan lukisan tersebut berhasil ditangani oleh Heritage Conservation Center Singapore. Hingga hari ini, Indonesia sendiri belum memiliki tenaga ahli di bidang konservasi dan restorasi khusus lukisan.
Sebuah laman berita daring sempat mengabarkan tentang adanya rencana restorasi dan konservasi terhadap lukisan-lukisan karya maestro ekspresionis Affandi. Rencana tersebut diinisiasi oleh pemerintah Austria, yang hingga kini masih berusaha menjalin komunikasi dengan pemerintah Indonesia. Austria menyatakan bahwa pihaknya perlu memberi sebentuk penghargaan kepada Affandi, mengingat bahwa mereka memiliki ikatan historis dengan putri sang maestro yang pernah menimba ilmu di Austria. 
"Trunyan" karya Hendra Gunawan @Art Centre Denpasar
 Affandi dan S. Sudjojono, boleh dibilang sebagai dua pelopor kemajuan seni rupa di Indonesia. Kualitas karya Affandi bahkan diakui secara internasional, ia pernah diundang secara personal oleh penyelenggara biennale Venesia di saat peserta lainnya harus repot-repot mencari dukungan negara.
Hingga hari ini, karya-karya dari kedua maestro tersebut masih diburu kolektor yang siap membayar miliaran rupiah. Sayangnya, perhatian terhadap kedua maestro tersebut tidak setinggi harga karyanya di balai lelang. Pemerintah dan masyarakat secara luas masih sangat abai terhadap karya kedua maestro tersebut. Seolah belum lahir kesadaran akan pentingnya karya seni sebagai bagian dari catatan sejarah yang pernah ditorehkan bangsa ini.
Saya teringat sepasang lukisan besar Hendra Gunawan yang dikoleksi museum Mahudara Mandara Giri Bhuana, Art Center. Masing-masing berjudul “Trunyan” dan “Jenderal Mitchel” yang berukuran 2 x 4 meter. Sekalipun saat ini masih dalam kondisi baik, namun usia dan cuaca mungkin menjadi ancaman berarti seandainya tidak segera dilakukan konservasi. Semestinya mulai hari ini, kita memiliki kesadaran menjadikannya sebuah catatan sejarah sehingga menumbuhkan kebanggaan memilikinya.
*)tulisan ini dipublikasikan di BaliPost, minggu 14 juni 2015 dengan judul "Nasib Karya Seni di Tangan Bangsa Pelupa". pemuatan di blog ini telah mengalami penyuntingan termasuk pada judul.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar