oleh Dwi S. Wibowo
Ars longa vita
brevis. Sebuah karya seni yang agung semestinya memiliki usia yang panjang,
bahkan mungkin berabad-abad setelah diciptakan oleh kreatornya. Sebagaimana
hari ini kita masih dapat menikmati keindahan lukisan-lukisan karya Leonardo da
Vinci, Rembrandt, juga Michelangelo di berbagai museum yang tersebar di Eropa.
Jika dihitung
dari masa hidup para maestro tersebut pada kisaran tahun 1500-an, usia karyanya
telah melebihi angka 500 tahun. Setengah milenium adalah kurun waktu yang
fantastis untuk usia sebuah lukisan, mengingat bahwa lukisan dibuat di
permukaan kanvas atau mungkin kain yang rentan lapuk akibat faktor usia dan
cuaca. Lain dengan sebuah relief yang terpahat di dinding batu sebuah candi.
Hal semacam
itu seringkali menjadi pertanyaan yang sulit untuk ditemukan jawabannya, jika
bukan karena kecintaan yang amat dalam terhadap sejarah bangsanya. Mereka
memiliki kesadaran penuh tentang pentingnya sebuah karya seni sebagai bagian
dari sejarah peradaban yang pernah dicapai oleh bangsa kulit putih tersebut.
Oleh karenanya segenap perhatian (baik dari masyarakat, individu, institusi
seni, maupun pemerintah) diberikan untuk menjaga keberlangsungan artefak
kebudayaan tersebut.
Berkaca dari
apa yang berlangsung di belahan bumi lain tersebut, kita patut iri melihat nasib
banyak karya seni dari para maestro negeri ini. Sebuah lukisan berukuran
raksasa, yakni 3 x 10 meter karya S. Sudjojono yang berjudul “Pertempuran
Sultan Agung dan JP. Coen” sempat dalam kondisi rapuh akibat usia dan iklim
lembab. Lukisan yang dibuat pada tahun 1973 tersebut merupakan koleksi dari Museum
Sejarah Jakarta, sebuah institusi yang dikelola oleh negara.
Baru pada
tahun 2008 lukisan tersebut mendapat perhatian khusus dari berbagai pihak. 34
tahun sejak lukisan tersebut resmi dipajang Museum Sejarah Jakarta, untuk
pertama kalinya mengalami restorasi. Berkat adanya dorongan dari kalangan
pencinta seni dan Throppenmuseum Belanda, proses perbaikan lukisan tersebut
berhasil ditangani oleh Heritage
Conservation Center Singapore. Hingga hari ini, Indonesia sendiri belum
memiliki tenaga ahli di bidang konservasi dan restorasi khusus lukisan.
Sebuah laman
berita daring sempat mengabarkan tentang adanya rencana restorasi dan konservasi
terhadap lukisan-lukisan karya maestro ekspresionis Affandi. Rencana tersebut
diinisiasi oleh pemerintah Austria, yang hingga kini masih berusaha menjalin
komunikasi dengan pemerintah Indonesia. Austria menyatakan bahwa pihaknya perlu
memberi sebentuk penghargaan kepada Affandi, mengingat bahwa mereka memiliki
ikatan historis dengan putri sang maestro yang pernah menimba ilmu di Austria.
"Trunyan" karya Hendra Gunawan @Art Centre Denpasar |
Affandi dan S.
Sudjojono, boleh dibilang sebagai dua pelopor kemajuan seni rupa di Indonesia.
Kualitas karya Affandi bahkan diakui secara internasional, ia pernah diundang
secara personal oleh penyelenggara biennale Venesia di saat peserta lainnya
harus repot-repot mencari dukungan negara.
Hingga hari
ini, karya-karya dari kedua maestro tersebut masih diburu kolektor yang siap
membayar miliaran rupiah. Sayangnya, perhatian terhadap kedua maestro tersebut
tidak setinggi harga karyanya di balai lelang. Pemerintah dan masyarakat secara
luas masih sangat abai terhadap karya kedua maestro tersebut. Seolah belum
lahir kesadaran akan pentingnya karya seni sebagai bagian dari catatan sejarah
yang pernah ditorehkan bangsa ini.
Saya teringat
sepasang lukisan besar Hendra Gunawan yang dikoleksi museum Mahudara Mandara
Giri Bhuana, Art Center. Masing-masing berjudul “Trunyan” dan “Jenderal
Mitchel” yang berukuran 2 x 4 meter. Sekalipun saat ini masih dalam kondisi
baik, namun usia dan cuaca mungkin menjadi ancaman berarti seandainya tidak
segera dilakukan konservasi. Semestinya mulai hari ini, kita memiliki kesadaran
menjadikannya sebuah catatan sejarah sehingga menumbuhkan kebanggaan
memilikinya.
*)tulisan ini dipublikasikan di BaliPost, minggu 14 juni 2015 dengan judul "Nasib Karya Seni di Tangan Bangsa Pelupa". pemuatan di blog ini telah mengalami penyuntingan termasuk pada judul.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar