oleh Dwi S. Wibowo
Setiap kali tiba di masa
pergantian tahun seperti ini, selalu terbersit hasrat untuk kembali mereka
ulang ingatan mengenai perisitiwa-peristiwa seni yang telah berlangsung dalam
kurun waktu setahun kebelakang. Adakah di antaranya yang menarik untuk
dikenang, bahkan berharap dapat diulang kembali di tahun berikutnya. Bali
sebagai daerah yang memiliki intensitas perhelatan seni yang relatif tinggi,
hampir setiap bulan bisa tercatat lebih dari dua perhelatan seni yang
diselenggarakan oleh ruang-ruang seni maupun dari hasil inisiasi para senimannya.
Namun tidak semuanya memiliki cakupan yang cukup luas untuk dianggap sebagai
peristiwa seni yang layak diingat, baik dari segi tematik yang ditawarkan,
metode kesenian yang digunakan, maupun kecakapan penyelenggara dalam mengelola
event hingga tuntas.
Kriteria yang muncul
dalam menentukan peristiwa seni yang masuk dalam tulisan ini bukanlah merujuk
pada yang terbaik dari seluruh peristiwa yang berlangsung, melainkan sekedar
menyebut beberapa contoh peristiwa seni yang berhasil menarik perhatian publik secara
luas, sekaligus memberikan tawaran tematik dan metode yang relatif berbeda dari
sekedar memajang karya di ruang galeri layaknya pameran biasa. Tentu saja,
harapannya penyelenggaraan event seni di Bali kedepannya akan semakin baik,
dengan berpijak pada apa yang telah ada sebelumnya. Berikut ini adalah lima
peristiwa seni yang berlangsung sepanjang tahun 2017 di Bali:
1. Bare Journal vol. 3 – Devising Theatre (Cata
Odata)
Sebagai
salah satu ruang seni yang berada di Bali, Cata Odata memiliki sejumlah program
regular. Selain pameran seni, Cata Odata yang mengundang sejumlah seniman dari
berbagai kota untuk melakukan residensi di ruang miliknya. Bare Journal, merupakan platform residensi yang mereka gagas dengan
menekankan pada aspek dokumentasi proses seniman selama masa residensi yang
direkam melalui sebuah jurnal. Bare Journal tahun ini merupakan yang ketiga
kalinya, biasanya mereka mengundang dua seniman dan seorang penulis untuk
saling berkolaborasi selama sebulan masa residensi (April-Mei 2017)
Yang
berbeda dari Bare Journal tahun ini
adalah seniman yang diundang tidak hanya berlatar seni rupa, seperti
sebelumnya. Melainkan penari, perupa, dan penulis naskah teater aitu Gianti
Giady (Jakarta), Kanoko Takaya (Kyoto), dan Santiasa Putu Putra (Denpasar).
Mereka dipertemukan dan berkolaborasi untuk menciptakan sebuah pertujukan
teater dengan konsep devised theatre, yaitu sebuah pertunjukan yang tidak
berawal dari sebuah naskah yang telah ada, melainkan tercipta melalui proses
interaksi antar seniman yang terlibat selama masa residensi. Mereka saling
memberi stimulan untuk memantik pola pertunjukkan yang akan mereka hasilkan
nantinya. Tentu saja, semua itu direkam melalui sebuah jurnal yang dibawa oleh
mereka masing-masing.
Selain
pertunjukkan, Bare Journal juga
ditutup dengan sebuah pameran yang menghadirkan jurnal dokumentasi seniman
selama masa residensi. Publik dipersilakan untuk membaca setiap detail dari
proses yang dicatat oleh masing-masing seniman, sehingga mereka dapat
mengetahui bagaimana sebuah karya dihasilkan, berikut pergulatan yang dialami
oleh seniman dalam berproses. Selama ini, publik hanya menikmati karya sebagai
sesuatu yang purna, tanpa mengetahui bagaimana proses penciptaannya. termasuk
bagaimana ide-ide kara tersebut dihasilkan, melalui jurnal ini, mereka bisa
mengetahui apa yang selama ini menjadi dapur seniman.
2. Visit Bali Year – Pameran Tunggal
Slinat (Uma Seminyak)
Selama
ini, publik seni di Bali lebih mengenal Slinat sebagai seorang street artist yang biasa mengerjakan
mural di ruang publik kota Denpasar. Beberapa karyanya bahkan menjadi sangat
ikonik dengan menampilkan figur perempuan Bali tempo dulu yang mengenakan
masker anti polutan di wajahnya, bahkan karyanya seperti menjadi landmark di sejumlah lokasi. Visit
Bali Year, merupakan pameran tunggalnya yang pertama di dalam sebuah ruang
galeri konvensional. Pameran ini berlangsung dari tanggal 1-17 Juli 2017 di Uma
Seminyak. Meski secara tematik barangkali kita tetap bisa melihat pesamaan
karyanya di ruang publik dan yang ada dalam pameran ini, namun secara
intensitas tentu berbeda. Di ruang publik, Slinat bisa membuat mural dengan
ukuran gigantis, sedangkan di dalam galeri ada keterbatasan ruang yang
membuatnya harus berkarya dalam ukuran kecil.
Visit Bali Year
merupakan kritik yang dilancarkan oleh Slinat atas pola industrialisasi
pariwisata di Bali, termasuk kebijakan-kebijakan pemerintah dalam mendorong
peningkatan promosi pariwisata ini.
Figur ikoniknya, perempuan Bali bertelanjang dada yang mengenakan masker
antipolutan adalah bentuk kritiknya. Citra tentang pulau Bali nyaris tidak
pernah dilepaskan dari kesan eksotik perempuan-perempuan bertelanjang dada di
era kolonial, namun di tengah era industrialisasi masihkah eksotisme itu layak
untuk ditawarkan. Itulah mengapa Slinat menghadirkan ironi dengan menutup wajah
perempuan tersebut dengan masker anti polutan. Bahwa apa yang dibayangkan
tentang eksotisme alam dan manusia di Bali tidak lagi seperti dulu kala, kini
telah mengalami banyak perubahan yang kontras.
3. Tropica – Bali Street Art Festival
(Canggu)
Tropica
merupakan salah satu event seni tingkat internasional di Bali yang berhasil
mempertemukan para seniman jalanan (street
artist) dari Indonesia dan dunia. Sejak tanggal 26-30 Juli 2017, mereka
merespon ruang publik yang berada di sekitar kawasan Canggu, sebuah kawasan
wisata yang relatif baru di sisi barat pantai kuta. Dengan segmentasi wisatawan
mancanegara yang mayoritas dari kalangan muda, masuknya street art di kawasan
ini seperti menjadi ruh bagi spirit urban di wilayah ini.
Tahun
ini merupakan penyelenggaraan Tropica Festival yang kedua kalinya, yang pertama
berlangsung tahun lalu dan boleh dibilang berhasil menarik perhatian publik street art secara luas. Lantaran
minimnya perhelatan seni yang dapat mempertemukan seniman-seniman jalanan ini
secara masif. Sekaligus membuka peluang untuk mengetahui sejumlah seniman yang
selama ini menyembunyikan identitasnya dengan pseudonim pada karyanya.
Sebanyak
45 seniman dari Indonesia dan beberapa negara lain turut memeriahkan perhelatan
Tropica Festival tahun ini. Beberapa di antaranya The Popo, Drawmama, Peanut
Dog, Needsone, Seth Globepainter, Ricky Lee Gordon, dll. Penyelenggaraan
festival ini menjadi menarik lantaran sangat minimnya ruang gerak bagi seniman
jalanan di Bali, beberapa lokasi mungkin bisa mudah mereka akses untuk membuat
mural, tapi tidak menyeluruh di semua kawasan. Beruntung Tropica digelar di
kawasan Canggu, ruang-ruang yang relatif baru dan spirit urban dari wisatawan
muda di sana menjadi lokasi penyemaian yang cocok bagi seni urban tersebut.
4. Den Pasar – Pameran bersama
(Cushcush Gallery)
Menelusuri
sejarah sebuah kota, barangkali paling mudah melalui asal-usul namanya. Seperti
kota Denpasar, nama kota ini berasa dari dua kata dalam bahasa Bali yaitu Den dan Pasar. Den dalam bahasa Bali merupakan kependekan bunyi dari kata dajan yang berarti ‘di utara’, sedangkan
pasar tetap sebagaimana arti yang kita pahami. Sehingga jika diterjemahkan,
kota Denpasar dapat berarti sebagai kota yang berdiri di utara pasar. Berangkat
dari pemikiran itulah, Cushcush gallery mengajak sejumlah insan kreatif yang
tinggal di kota Denpasar untuk kembali menelusuri pasar dan membangun ulang
dialog tentang keberadaannya dalam pertumbuhan kota hari ini melalui sebuah
pameran berjudul “Den Pasar” yang dihelat sejak 26 Mei hingga 26 Agustus 2017.
Secara
keseluruhan, ada 17 insan kreatif yang berhasil lolos kurasi. Seleksi dilakukan
melalui sistem aplikasi terbuka yang dimulai sejak Februari lalu. Tidak semua
dari mereka adalah seniman yang bergelut dengan media visual, beberapa di
antaranya adalah desainer fashion, arsitek, bahkan penari. Mereka ialah Adhika
Anissa, Dian Suri, Myra Juliarti, Farhan Adityasmara, Mirah Rahmawati, Jaya
Putra, Andre Yoga, Suhartawan, Wayan Martino, Lugu Gumilar, Nadjma Achmad,
Sidhi Visathya, Syaifudin Vivick, Tri Haryoko Adi, Qomaruzzaman Alamry, Reevo
Saulus dan Yoga Wahyudi.
Sebelum
berkarya, mereka diajak serta untuk turun ke dua pasar yang menjadi landmark kota Denpasar, yaitu pasar
Badung dan pasar Kumbasari. Dua pasar tradisional yang saling berdampingan dan
hanya disekat oleh sungai Badung tersebut. Di sana, mereka dipersilakan untuk
melakukan observasi guna membekali dirinya dalam mencipta karya visual. Dari sejumlah karya yang kemudian tercipta,
beberapa di antaranya memang memotret secara langsung suasana pasar yang nampak
di hadapan mereka hari ini, beberapa lainnya mencoba menemukan ikonografi yang
endemik dan khas, sementara yang lainnya juga merentangkan jarak ke aspek
kesejarahan bagaimana pasar tersebut melakukan metamorfosis selama
bertahun-tahun.
5. Rumah Kaca Nagasepaha dan Batu
Belah – Pameran Seni Lukis Kaca (Bentara Budaya Bali)
Selain
seni lukis wayang tradisional Kamasan yang termasyur, ternyata Bali juga
memiliki seni lukis wayang tradisional pada medium kaca. Selama ini, mungkin
tidak terkenal luas sebagaimana seni lukis wayang kamasan. Seni lukis kaca ini
berkembang di sebuah desa di Bali Utara bernama Nagasepaha. Usia seni lukis
kaca di Nagasepaha memang belum selama seni lukis wayang kamasan ataupun seni
lukis kaca dari daerah Cirebon yang lebih dikenal luas. Berkembangnya seni
lukis kaca di daerah inipun, melalui sejumlah keterangan seperti bermula dari
sebuah kebetulan. Dipelopori oleh Jro Dalang Diah, seorang dalang yang mendapat
pesanan untuk membuat lukisan dengan medium kaca. Padahal sebelumnya, Ia tidak
pernah belajar melukis di medium tersebut. Dengan modal nekat, akhirnya sebuah
lukisan kaca yang dibawa oleh pemesan itu sebagai contoh itupun dikerik untuk
mengetahui bagaimana lukisan kaca itu dibuat. Dari sanalah kemudian seni lukis
kaca di Nagasepaha mulai berkembang dan diwariskan secara turun temurun.
Melalui
sebuah pameran yang digelar pada 26 september hingga 6 oktober 2017 lalu di
Bentara Budaya Bali, sejumlah karya dari para seniman ang bernaung di bawah
Rumah Kaca Nagasepaha dipamerkan, termasuk sejumlah sketsa dari Jro Dalang
Diah. Selain menghadirkan karya seni lukis kaca Nagasepaha, pameran ini juga
menghadirkan karya-karya seni lukis kaca yang lebih modern dari komunitas Batu
Belah Art Space yang dimotori oleh perupa Wayan Sujana Suklu. Dalam pameran ini, kita dapat melihat
perbandingan bagimana seni lukis kaca Nagasepaha tumbuh dan berkembang melalui
perluasan tematik, tidak hanya terbatas pada pakem-pakem pewayangan yang ada,
sekaligus melihatnya bersanding dengan karya-karya dari Batu Belah Art Space
yang lebih modern.