Rabu, 10 Januari 2018

5 PERISTIWA SENI DI BALI YANG LAYAK DIINGAT SEPANJANG TAHUN 2017



oleh Dwi S. Wibowo

Setiap kali tiba di masa pergantian tahun seperti ini, selalu terbersit hasrat untuk kembali mereka ulang ingatan mengenai perisitiwa-peristiwa seni yang telah berlangsung dalam kurun waktu setahun kebelakang. Adakah di antaranya yang menarik untuk dikenang, bahkan berharap dapat diulang kembali di tahun berikutnya. Bali sebagai daerah yang memiliki intensitas perhelatan seni yang relatif tinggi, hampir setiap bulan bisa tercatat lebih dari dua perhelatan seni yang diselenggarakan oleh ruang-ruang seni maupun dari hasil inisiasi para senimannya. Namun tidak semuanya memiliki cakupan yang cukup luas untuk dianggap sebagai peristiwa seni yang layak diingat, baik dari segi tematik yang ditawarkan, metode kesenian yang digunakan, maupun kecakapan penyelenggara dalam mengelola event hingga tuntas.

Kriteria yang muncul dalam menentukan peristiwa seni yang masuk dalam tulisan ini bukanlah merujuk pada yang terbaik dari seluruh peristiwa yang berlangsung, melainkan sekedar menyebut beberapa contoh peristiwa seni yang berhasil menarik perhatian publik secara luas, sekaligus memberikan tawaran tematik dan metode yang relatif berbeda dari sekedar memajang karya di ruang galeri layaknya pameran biasa. Tentu saja, harapannya penyelenggaraan event seni di Bali kedepannya akan semakin baik, dengan berpijak pada apa yang telah ada sebelumnya. Berikut ini adalah lima peristiwa seni yang berlangsung sepanjang tahun 2017 di Bali:

1.     Bare Journal vol. 3 – Devising Theatre (Cata Odata)

Sebagai salah satu ruang seni yang berada di Bali, Cata Odata memiliki sejumlah program regular. Selain pameran seni, Cata Odata yang mengundang sejumlah seniman dari berbagai kota untuk melakukan residensi di ruang miliknya. Bare Journal, merupakan platform residensi yang mereka gagas dengan menekankan pada aspek dokumentasi proses seniman selama masa residensi yang direkam melalui sebuah jurnal. Bare Journal tahun ini merupakan yang ketiga kalinya, biasanya mereka mengundang dua seniman dan seorang penulis untuk saling berkolaborasi selama sebulan masa residensi (April-Mei 2017)

Yang berbeda dari Bare Journal tahun ini adalah seniman yang diundang tidak hanya berlatar seni rupa, seperti sebelumnya. Melainkan penari, perupa, dan penulis naskah teater aitu Gianti Giady (Jakarta), Kanoko Takaya (Kyoto), dan Santiasa Putu Putra (Denpasar). Mereka dipertemukan dan berkolaborasi untuk menciptakan sebuah pertujukan teater dengan konsep devised theatre, yaitu sebuah pertunjukan yang tidak berawal dari sebuah naskah yang telah ada, melainkan tercipta melalui proses interaksi antar seniman yang terlibat selama masa residensi. Mereka saling memberi stimulan untuk memantik pola pertunjukkan yang akan mereka hasilkan nantinya. Tentu saja, semua itu direkam melalui sebuah jurnal yang dibawa oleh mereka masing-masing.


Selain pertunjukkan, Bare Journal juga ditutup dengan sebuah pameran yang menghadirkan jurnal dokumentasi seniman selama masa residensi. Publik dipersilakan untuk membaca setiap detail dari proses yang dicatat oleh masing-masing seniman, sehingga mereka dapat mengetahui bagaimana sebuah karya dihasilkan, berikut pergulatan yang dialami oleh seniman dalam berproses. Selama ini, publik hanya menikmati karya sebagai sesuatu yang purna, tanpa mengetahui bagaimana proses penciptaannya. termasuk bagaimana ide-ide kara tersebut dihasilkan, melalui jurnal ini, mereka bisa mengetahui apa yang selama ini menjadi dapur seniman.

2.    Visit Bali Year – Pameran Tunggal Slinat (Uma Seminyak)

Selama ini, publik seni di Bali lebih mengenal Slinat sebagai seorang street artist yang biasa mengerjakan mural di ruang publik kota Denpasar. Beberapa karyanya bahkan menjadi sangat ikonik dengan menampilkan figur perempuan Bali tempo dulu yang mengenakan masker anti polutan di wajahnya, bahkan karyanya seperti menjadi landmark di sejumlah lokasi.  Visit Bali Year, merupakan pameran tunggalnya yang pertama di dalam sebuah ruang galeri konvensional. Pameran ini berlangsung dari tanggal 1-17 Juli 2017 di Uma Seminyak. Meski secara tematik barangkali kita tetap bisa melihat pesamaan karyanya di ruang publik dan yang ada dalam pameran ini, namun secara intensitas tentu berbeda. Di ruang publik, Slinat bisa membuat mural dengan ukuran gigantis, sedangkan di dalam galeri ada keterbatasan ruang yang membuatnya harus berkarya dalam ukuran kecil.

Visit Bali Year merupakan kritik yang dilancarkan oleh Slinat atas pola industrialisasi pariwisata di Bali, termasuk kebijakan-kebijakan pemerintah dalam mendorong peningkatan promosi pariwisata ini.  Figur ikoniknya, perempuan Bali bertelanjang dada yang mengenakan masker antipolutan adalah bentuk kritiknya. Citra tentang pulau Bali nyaris tidak pernah dilepaskan dari kesan eksotik perempuan-perempuan bertelanjang dada di era kolonial, namun di tengah era industrialisasi masihkah eksotisme itu layak untuk ditawarkan. Itulah mengapa Slinat menghadirkan ironi dengan menutup wajah perempuan tersebut dengan masker anti polutan. Bahwa apa yang dibayangkan tentang eksotisme alam dan manusia di Bali tidak lagi seperti dulu kala, kini telah mengalami banyak perubahan yang kontras.

3.    Tropica – Bali Street Art Festival (Canggu)


Tropica merupakan salah satu event seni tingkat internasional di Bali yang berhasil mempertemukan para seniman jalanan (street artist) dari Indonesia dan dunia. Sejak tanggal 26-30 Juli 2017, mereka merespon ruang publik yang berada di sekitar kawasan Canggu, sebuah kawasan wisata yang relatif baru di sisi barat pantai kuta. Dengan segmentasi wisatawan mancanegara yang mayoritas dari kalangan muda, masuknya street art di kawasan ini seperti menjadi ruh bagi spirit urban di wilayah ini.


Tahun ini merupakan penyelenggaraan Tropica Festival yang kedua kalinya, yang pertama berlangsung tahun lalu dan boleh dibilang berhasil menarik perhatian publik street art secara luas. Lantaran minimnya perhelatan seni yang dapat mempertemukan seniman-seniman jalanan ini secara masif. Sekaligus membuka peluang untuk mengetahui sejumlah seniman yang selama ini menyembunyikan identitasnya dengan pseudonim pada karyanya.


Sebanyak 45 seniman dari Indonesia dan beberapa negara lain turut memeriahkan perhelatan Tropica Festival tahun ini. Beberapa di antaranya The Popo, Drawmama, Peanut Dog, Needsone, Seth Globepainter, Ricky Lee Gordon, dll. Penyelenggaraan festival ini menjadi menarik lantaran sangat minimnya ruang gerak bagi seniman jalanan di Bali, beberapa lokasi mungkin bisa mudah mereka akses untuk membuat mural, tapi tidak menyeluruh di semua kawasan. Beruntung Tropica digelar di kawasan Canggu, ruang-ruang yang relatif baru dan spirit urban dari wisatawan muda di sana menjadi lokasi penyemaian yang cocok bagi seni urban tersebut.

4.      Den Pasar – Pameran bersama (Cushcush Gallery)

Menelusuri sejarah sebuah kota, barangkali paling mudah melalui asal-usul namanya. Seperti kota Denpasar, nama kota ini berasa dari dua kata dalam bahasa Bali yaitu Den dan Pasar. Den dalam bahasa Bali merupakan kependekan bunyi dari kata dajan yang berarti ‘di utara’, sedangkan pasar tetap sebagaimana arti yang kita pahami. Sehingga jika diterjemahkan, kota Denpasar dapat berarti sebagai kota yang berdiri di utara pasar. Berangkat dari pemikiran itulah, Cushcush gallery mengajak sejumlah insan kreatif yang tinggal di kota Denpasar untuk kembali menelusuri pasar dan membangun ulang dialog tentang keberadaannya dalam pertumbuhan kota hari ini melalui sebuah pameran berjudul “Den Pasar” yang dihelat sejak 26 Mei hingga 26 Agustus 2017.

Secara keseluruhan, ada 17 insan kreatif yang berhasil lolos kurasi. Seleksi dilakukan melalui sistem aplikasi terbuka yang dimulai sejak Februari lalu. Tidak semua dari mereka adalah seniman yang bergelut dengan media visual, beberapa di antaranya adalah desainer fashion, arsitek, bahkan penari. Mereka ialah Adhika Anissa, Dian Suri, Myra Juliarti, Farhan Adityasmara, Mirah Rahmawati, Jaya Putra, Andre Yoga, Suhartawan, Wayan Martino, Lugu Gumilar, Nadjma Achmad, Sidhi Visathya, Syaifudin Vivick, Tri Haryoko Adi, Qomaruzzaman Alamry, Reevo Saulus dan Yoga Wahyudi.


Sebelum berkarya, mereka diajak serta untuk turun ke dua pasar yang menjadi landmark kota Denpasar, yaitu pasar Badung dan pasar Kumbasari. Dua pasar tradisional yang saling berdampingan dan hanya disekat oleh sungai Badung tersebut. Di sana, mereka dipersilakan untuk melakukan observasi guna membekali dirinya dalam mencipta karya visual.  Dari sejumlah karya yang kemudian tercipta, beberapa di antaranya memang memotret secara langsung suasana pasar yang nampak di hadapan mereka hari ini, beberapa lainnya mencoba menemukan ikonografi yang endemik dan khas, sementara yang lainnya juga merentangkan jarak ke aspek kesejarahan bagaimana pasar tersebut melakukan metamorfosis selama bertahun-tahun.

5.      Rumah Kaca Nagasepaha dan Batu Belah – Pameran Seni Lukis Kaca (Bentara Budaya Bali)


Selain seni lukis wayang tradisional Kamasan yang termasyur, ternyata Bali juga memiliki seni lukis wayang tradisional pada medium kaca. Selama ini, mungkin tidak terkenal luas sebagaimana seni lukis wayang kamasan. Seni lukis kaca ini berkembang di sebuah desa di Bali Utara bernama Nagasepaha. Usia seni lukis kaca di Nagasepaha memang belum selama seni lukis wayang kamasan ataupun seni lukis kaca dari daerah Cirebon yang lebih dikenal luas. Berkembangnya seni lukis kaca di daerah inipun, melalui sejumlah keterangan seperti bermula dari sebuah kebetulan. Dipelopori oleh Jro Dalang Diah, seorang dalang yang mendapat pesanan untuk membuat lukisan dengan medium kaca. Padahal sebelumnya, Ia tidak pernah belajar melukis di medium tersebut. Dengan modal nekat, akhirnya sebuah lukisan kaca yang dibawa oleh pemesan itu sebagai contoh itupun dikerik untuk mengetahui bagaimana lukisan kaca itu dibuat. Dari sanalah kemudian seni lukis kaca di Nagasepaha mulai berkembang dan diwariskan secara turun temurun.


Melalui sebuah pameran yang digelar pada 26 september hingga 6 oktober 2017 lalu di Bentara Budaya Bali, sejumlah karya dari para seniman ang bernaung di bawah Rumah Kaca Nagasepaha dipamerkan, termasuk sejumlah sketsa dari Jro Dalang Diah. Selain menghadirkan karya seni lukis kaca Nagasepaha, pameran ini juga menghadirkan karya-karya seni lukis kaca yang lebih modern dari komunitas Batu Belah Art Space yang dimotori oleh perupa Wayan Sujana Suklu.  Dalam pameran ini, kita dapat melihat perbandingan bagimana seni lukis kaca Nagasepaha tumbuh dan berkembang melalui perluasan tematik, tidak hanya terbatas pada pakem-pakem pewayangan yang ada, sekaligus melihatnya bersanding dengan karya-karya dari Batu Belah Art Space yang lebih modern.  

Senin, 28 Desember 2015

MENAKAR PERISTIWA KEKERASAN DI BALI



Oleh Dwi S. Wibowo

Selain citra surgawi yang melekat pada pulau dewata, ternyata Bali juga menyimpan sejumlah luka yang berakar pada berbagai peristiwa kekerasan. Peristiwa-peristiwa tersebut tidak hanya terjadi pada kurun waktu belakangan ini saja, melainkan telah tercatat dalam sejarah bahwa bali memiliki riwayat panjang mengenai sejarah kekerasan. Sebagai pulau kecil yang terbagi menjadi banyak wilayah kerajaan, sejak era Bali kuno memiliki potensi konflik yang tinggi akibat pergesekan kepentingan antar penguasa.

Seiring berjalannya waktu, ternyata peristiwa-peristiwa kekerasan tersebut seolah terus terjadi secara periodik. Hampir tiap dekade, peristiwa kekerasan itu berulang dengan motif dan pelaku yang berbeda. Untuk merefleksikan hal tersebut, Tony Raka gallery menginisiasi sebuah pameran besar dan mengajak para perupa Bali untuk ikut serta merenungkan sejarah kekerasan yang berlangsung sekian lama di pulau ini. Dengan mengusung tajuk “Bali Art Intervention #1: Violent Bali”, pameran yang digadang-gadang bakal digelar berkelanjutan ini seperti memberi interupsi sosial lewat medium seni.

Di tengah proses reduksi citra bali sebagai pulau surga untuk kepentingan promosi wisata oleh pemerintah daerah, pameran ini justru hadir sebagai antitesis dengan menawarkan sisi lain, untuk tidak menyebutnya sisi gelap, pulau dewata. Arif B. Prasetyo yang didapuk sebagai kurator dalam pameran ini, sedianya ingin mengundang sebanyak mungkin perupa. Total ada 85 perupa yang diundang, namun hingga batas akhir pengumpulan karya, hanya sekitar 60 perupa yang sanggup menggarap tema ini. Menurutnya, di Bali, sulit memang untuk mencari perupa yang suntuk menggarap persoalan-persoalan sosial sebagai fokus berkaryanya. Kebanyakan dari para perupa ini, justru lebih gemar mengejar aspek estetis dan artistik pencapaian karyanya.


Hal itu juga yang melandasinya menyodorkan tema-tema sosial dalam gelaran pameran di Bali ke depannya. Mengapa demikian? Bali nampaknya sedang dalam posisi yang riskan, di satu sisi seolah dikeluarkan dari peta seni rupa kontemporer Indonesia, baik secara pasar maupun wacana. Namun di sisi lain, posisi Bali sebagai wilayah yang diakses secara internasional memiliki potensi membangun jaringan dengan medan seni rupa di luar negeri, terutama di kawasan Asia timur.

Arah pergerakan seni rupa di kawasan Asia sudah semakin menunjukkan keberpihakkannya pada persoalan-persoalan sosial dan politik. Indikasi tersebut tentu tidak bisa dilepaskan dari aspek politik lokal di negara-negara tersebut, maupun geopolitik global yang mulai berpusat di kawasan Tiongkok, Jepang dan Korea. Pasca krisis ekonomi di Eropa, yang juga berimbas pada krisis kebudayaan, kekuatan pondasi seni Eropa yang dibangun sejak era Renaisans seolah runtuh dan tak berarti apa-apa di hadapan ringkihnya sistem perekonomian mereka saat ini. Dengan kekuatan modal yang dimiliki oleh negara-negara di kawasan Asia timur, terutama Tiongkok, untuk membangun pusat seni dunia sepertinya bukan hal mustahil.

Di samping itu, negara-negara Asia juga memiliki goncangannya sendiri di tingkat lokal dan regional. Sebagian negara Asia tersebut mulai menjalankan sistem pemerintahan yang represif terhadap rakyatnya, dengan tujuan untuk menjaga kestabilan politik. Hal ini menimbulkan dampak yang luas, termasuk dalam dunia seni rupanya. Tekanan terhadap rakyat dan seniman justru menimbulkan protes halus lewat karya seni. Sehingga tak mengherankan jika terjadi gelombang pergerakan seni rupa Asia yang menyoroti persoalan sosial politik di negara-negara tersebut.


Meski lepas dari tekanan orde baru, bukan berarti Indonesia terbebas dari berbagai persoalan politik yang melanda negeri ini. perebutan kekuasaan masih menjadi polemik yang tak berkesudahan, bahkan seolah mengesampingkan persoalan kemiskinan yang lebih nyata terlihat. Bali melihat ini sebagai sebuah potensi pergerakan yang besar, tentu dengan langkah-langkah bertahap dalam sekian tahun kedepan. Dan pijakan awal itu telah kita lihat saat ini lewat pameran Violent Bali. Meski tidak secara spesifik merujuk pada satu peristiwa kekerasan yang terjadi di Bali, keenam puluh perupa yang terlibat menunjukkan penjelajahan dalam cakupan yang lebih luas. Melihat kekerasan di Bali tidak hanya pada kekerasan fisik, melainkan juga psikologis yang dilakukan secara terselubung. Saya mencatat ada beberapa karya yang menunjukkan gejala tersebut, ada yang dikerjakan perseorangan, juga ada yg kolektif.

Salah satu karya yang paling menarik perhatian adalah milik bayak yang menghadirkan instalasi dengan mengokupasi salah satu sudut ruang galeri. Bayak menyajikan instalasi mekanis dengan sebuah lukisan, dan sebuah televisi yang menampilkan film legendaris “Pemebrontakan G30S PKI”. Bayak menarik akar kekerasan tidak hanya di Bali saja, melainkan dalam cakupan Indonesia pada masa orde baru. Melalui film garapan Arifin C. Noer itulah rezim Soeharto melakukan propaganda mengenai peristiwa kekerasan tahun 1965. Anak-anak sekolah dasar dijejali visual-visual kekerasan lewat adegan silet-menyilet jenderal dan pembunuhan sadis. Pasca film yang dibuat tahun 80-an tersebut, pandangan sejarah total berubah. Yang ada dalam benak masyarakat hari ini adalah kekejian PKI membunuh tujuh jenderal, bukan sebaliknya bahwa militer mendorong rakyat untuk saling bunuh sehari pasca gestapu. Film itu adalah klaim sepihak yang dilakukan rezim Soeharto untuk menyelamatkan mukanya di hadapan rakyat Indonesia, terutama di hadapan generasi yang lahir pasca peristiwa tersebut.

Dalam karya lukis, “Noda Merah 1965” milik Alit Suaja patut direnungkan juga saat ini. Potret seorang kakek yang mengenakan label PKI di lengan kirinya adalah sebuah realitas hari ini. Para penyintas yang selamat dari pembantaian tahun 65 masih dapat kita temui hari ini, mereka adalah saksi sekaligus korban. Luka yang mereka alami mungkin saja tidak hanya secara fisik saat peristiwa itu berlangsung, melainkan bertahun-tahun sesudahnya terus dihakimi oleh publik secara sosial. Selain tu, karya kolektif dari Upadana, Valasara, Budi Tomfreak, dan Ruth juga memberi tampilan menarik dengan memadukan video art dengan storry reading. Dalam karya yang diberi tajuk “Pseudo Estetic” itu perupa kolektif ini menyoroti pencitraan terhadap Bali yang dilakukan terus tanpa melihat persoalan-persoalan yang secara nyata berlangsung dalam masyarakat. Alam dan sosial menjadi lanskap yang berbeda, keindahan alam Bali ternyata menyimpan sejumlah persoalan sosial yang menunggu dituntaskan. Ibarat api dalam sekam, jika dibiarkan maka berpotensi membesar.

Dari 60 perupa yang turut menyumbang karya dalam pameran ini, setidaknya dapat terlihat berbagai sudut pandang menakar kekerasan yang terjadi di Bali dari masa silam hingga masa kini. Dari sana mungkin kita bisa menyusun sebuah diorama dalam benak, bagaimana peristiwa-peristiwa itu selama ini senyap  di balik citra surgawi yang melekat di pulau kecil ini.

Tulisan ini merupakan review pameran Bali Art Intervention: Violent in Bali, pernah dimuat di Bali Post Minggu edisi desember 2015


Sabtu, 28 November 2015

AKTIVASI RUANG PUBLIK SEBAGAI AREAL SENI TERBUKA

Isrol Triono tengah membuat mural disaksikan warga setempat

Oleh Dwi S. Wibowo

Memberi kesempatan pada masyarakat luas untuk mengenal dan menikmati karya seni ternyata tidak semudah membalik telapak tangan. Keberjarakan antara masyarakat umum dengan berbagai institusi kesenian seperti galeri, museum seni, institusi pendidikan, dan juga kalangan seniman cukup memberi andil besar dalam mengasingkan hubungan keduanya. Bahkan masyarakat di perkotaan sekalipun merasa awam terhadap seni rupa modern apalagi kontemporer, terutama kelas menengah ke bawahnya masih merasa canggung dan bertanya-tanya apa itu seni.

Persoalan semacam itu bahkan terjadi di kota-kota besar di Indonesia, terutama kota-kota yang selama ini berada di luar lingkaran utama arus seni rupa kontemporer seperti Jogja, Bandung, atau Jakarta. Salah satu kota yang masih mengalami kegagapan untuk mendekatkan masyarakatnya dengan karya seni adalah Denpasar, sesuatu yang mungkin dianggap ironis mengingat bahwa citra pulau dewata yang selama ini lekat dengan kesenian. Sayangnya, Denpasar ataupun Bali secara umum hanya lekat dengan kesenian tradisi yang masih dipertahankan sebagai salah satu komoditas wisata. Termasuk dalam benak masyarakatnya yang memahami seni sebatas pada khasanah tradisi yang sehari-hari dilihatnya.


Posisi kota Denpasar sebagai ibu kota propinsi, ternyata tidak juga menjadikannya sebagai pusat dari perkembangan seni di Bali. Justru kawasan Ubud, Sanur, dan Seminyak yang notabene sebagai destinasi wisata malah menjadi patokan berkembangnya sejumlah galeri seni yang sempat berpengaruh di Bali. Sementara Denpasar hanya bertumbuh sebagai pusat pemerintahan yang cenderung birokratik, hal tersebut juga secara tidak langsung memberi dampak signifikan terhadap pertumbuhan sosio-kultural masyarakat yang tinggal di dalamnya. Masyarakat di kota Denpasar adalah perpaduan antara urban dan tradisional yang cenderung menampilkan tarik menarik antara kedua sifat tersebut. Di satu sisi, sedang bertumbuh menjadi kota yang urban secara kultural, di sisi lain eksistensi banjar yang tradisional aristokratik menahan laju perkembangan itu.

Hadirnya karya seni di kota ini sebagai media wacana belum berjalan sepenuhnya, masyarakatnya (terutama kelas menengah ke bawah) masih berjarak dengan institusi-institusi seni. Sebagian besar dari mereka masih beranggapan bahwa karya seni semata-mata hanya sebagai dekorasi penghias dinding, bahkan soal harga karya seni yang bisa melambung selangit mungkin membuat mereka lebih berkerut dahi. Sementara itu, hadirnya karya seni jalanan (mural, grafiti, atau poster) yang bersifat politis di ruang publik masih belum diterima secara utuh. Stigma tentang karya street art yang dianggap mengotori wajah kota dan dikategorikan sebagai bentuk vandalisme masih begitu melekat di benak sebagian besar masyarakat kota ini. Mungkin berbeda dengan fenomena street art di Jogja yang diterima secara terbuka oleh berbagai lapisan masyarakat, bahkan sudah menjadi bagian dari langkah kota tersebut dalam mendekatkan seni dengan masyarakatnya.
Scetch Fredoon Expo karya kolaboratif yang dikuratori oleh Kianoush Ramezani (Iran)

Di Denpasar sendiri, hadirnya karya-karya street art berupa poster dan mural sudah cukup banyak menghiasi dinding-dinding di sejumlah kawasan. Pemanfaatan dinding-dinding bangunan ataupun tembok di kawasan pertokoan dinilai efektif oleh para street artist lokal untuk menyampaikan pesan kepada masyarakat melalui gambar-gambarnya yang berukuran gigantis tersebut. Sekaligus untuk meneguhkan eksistensinya dalam perebutan ruang dengan baliho-baliho reklame yang dilegalkan pemerintah kota, meskipun keberadaannya juga sama-sama mengambil posisi di ruang publik.

Pada 2 Oktober lalu, Micro Galleries sebuah organisasi jaringan seniman internasional yang berbasis di Australia bekerja sama dengan sejumlah seniman asal Indonesia menggelar sebuah program inisiasi di kota Denpasar untuk menghidupkan kembali ruang publik yang sudah terlupakan dan mengaktifkannya kembali sebagai galeri bagi berbagai karya seni secara terbuka. Area yang dipilih adalah di seputaran Pasar Badung karena dianggap sebagai lokasi yang memiliki nilai penting dalam denyut nafas masyarakat kota Denpasar. Ada tiga lokasi yang dipilih untuk menghadirkan karya sesuai dengan konteksnya yaitu di bantaran sungai antara Pasar Badung dan Pasar Kumbasari, areal Pasar Badung, dan di gang Ternate 3 yang berlokasi di sisi timur Pasar Badung.

Program ini bermula dari keterlibatan Christina Arum seorang fotografer yang menetap di Denpasar dalam penyelenggaraan program serupa di Nowra pada periode sebelumnya. Menurutnya, situasi kota Denpasar sebagaimana disebutkan sebelumnya dirasa sangat potensial untuk menyelenggarakan program tersebut. Bersama Bobby Arya Gana, Christina Arum menjadi kordinator lokal program ini di Denpasar. Setidaknya ada 42 seniman yang terlibat dalam penyelenggaraan kali ini yang terdiri dari 12 seniman Indonesia dan 30 seniman yang berasal dari berbagai negara seperti Australia, Amerika, Prancis, Finlandia, Iran, dan Hong kong. Tujuan dari program ini adalah untuk mendekatkan karya seni dengan berbagai lapisan masyarakat, oleh karena itulah pemilihan lokasi di pasar Badung dirasa tepat karena menjadi ruang yang mempertemukan masyarakat dari berbagai kelas. “Dengan memakai ruang publik (pasar Badung), semua orang ternyata bisa diajak menikmati karya seni, baik yang indah maupun yang sarat protes atas keadaan di sekitar kita,” menurut Aryo Dewa Bharata, salah satu seniman yang terlibat dalam program ini.

Meskipun respon yang diberikan oleh masyarakat tidak semuanya positif, terbukti dengan beberapa karya yang berada di areal pasar mengalami kerusakan, bahkan hilang. Termasuk sejumlah karya yang dipindahkan secara sepihak oleh petugas keamanan pasar. Sebagaimana diungkapkan oleh Bobby, “meski sudah mendapatkan ijin dari pengelola pasar, ternyata masih ada respon negatif dari petugas keamanan dan juga masyarakat.” Menurutnya, hal semacam itu juga menjadi bagian dari resiko karya seni di ruang publik. Untungnya, karya-karya di dua lokasi lainnya tidak mengalami nasib serupa. Penempatan karya seni di ruang publik tentu memiliki sistematika yang berbeda dengan karya-karya seni yang terpajang di dinding galeri. Kehadiran karya seni di ruang publik serta merta akan menimbulkan pertanyaan bagi siapapun mengenai konteks keberadaannya, bahkan mungkin akan sampai pada penilaian oleh sebagian pihak mengenai tepat atau tidaknya karya tersebut berada di lokasi itu. Pertimbangan-pertimbangan semacam itu tentu harus menjadi landasan dalam sebuah proyek seni di ruang publik.

Seperti dalam program ini, pemilihan lokasi di bantaran sungai antara  Pasar Badung dan Pasar Kumbasari bertujuan untuk menyampaikan pesan terkait persoalan sungai sebagai bagian dari ekologi kota. Persoalan-persoalan yang seringkali muncul di sekitar sungai yang melintasi kawasan perkotaan adalah lahirnya kawasan kumuh dan juga alih fungsi sungai sebagai tempat pembuangan sampah. Mungkin itu persoalan klise yang mungkin dapat dilihat di berbagai kota, karenanya beberapa seniman merasa bahwa persoalan tersebut sudah dalam kategori darurat. Diperlukan komunikasi untuk mengembalikan kesadaran masyarakat tentang fungsi sungai sebagai bagian dari ekologi kota, persoalan itu disoroti oleh sejumlah seniman yang secara kolaboratif menciptakan karya di bantaran sungai, mereka antara lain Billie Parsons yang berkolaborasi dengan Made bayak, dan MT Walker yang berkolaborasi dengan Jonas Sestakresna.

Sebagaimana tujuan program ini untuk menghidupkan kembali ruang yang mulai dilupakan orang, ada baiknya kita melihat ke sebuah lorong sempit di gang Ternate 3 yang terletak pada sisi timur Pasar Badung. Sehari-hari, gang ini adalah kawasan sepi yang hanya dilalui warga setempat dengan berjalan kaki sambil menuntun sepeda motor. Dinding di kedua sisinya sebagian rusak dan berlumut akibat cuaca. Pemandangan itulah yang direspon oleh sebagian besar seniman yang terlibat dalam program ini, gang dengan panjang sekitar 300 meter itu menjadi penuh sesak oleh poster-poster dan mural yang berjejer sangat padat. Menjadi sangat menarik untuk melihat berbagai karya seni dengan latar dinding yang kusam dan berlumut. Maka tidak mengherankan jika setelahnya gang itu mendadak ramai didatangi banyak orang yang semula memperoleh informasi tentang program Micro Galleries ini dari media sosial.
Salahkan siapa karya Lilu (Indonesia)

Interaksi para pendatang, seniman, dan warga setempat ternyata memberi pengalaman yang unik bagi ketiganya. Warga setempat justru antusias melihat lingkungannya menjadi kawasan seni, setidaknya itu memberi warna baru pada dinding kusam yang setiap hari mereka lihat, meskipun banyak juga karya-karya bernada kritik sosial yang ditempel disana. Program ini sekaligus menghidupkan ruang secara nyata, yang membuat mereka dapat bertemu dengan orang-orang baru dengan pengalaman dan pengetahuan yang menurutnya berbeda. Selanjutnya, karya-karya itu akan tetap dibiarkan berada disana hingga cuaca, waktu, ataupun tangan-tangan jahil orang yang lewat mengelupasnya.

tulisan ini pernah dimuat di majalah Sarasvati edisi November 2015

Kamis, 26 November 2015

RETROSPEKSI KEKERASAN DI PULAU DEWATA

DP ARSA_Where is Area of My Identity_Print acrylic neon box_2015
Oleh Dwi S. Wibowo

Di tengah maraknya perhelatan Biennale di sejumlah kota di Indonesia, mulai dari Makassar Biennale, Biennale Jatim, Biennale Jogja, hingga Jakarta Biennale, Bali sebagai salah satu lumbung perupa tidak ingin ketinggalan langkah. Meski belum berani memproklamirkan (kembali) Biennale yang sempat berjalan sekali di tahun 2005 lalu, pada pertengahan (sekitar tanggal 10) November ini sebuah pameran besar akan digelar di Tony Raka Gallery.

Barangkali bukan perkara mudah mengorganisir event besar dan kontinyu semacam biennale ataupun art fair. Bali memiliki catatan yang kurang apik soal penyelenggaraan event-event semacam itu. Bali Biennale yang digadang-gadang menjadi event berkelanjutan nan berkelas, justru kandas pada gelaran pertamanya. Lalu Bali Art Fair yang dimotori Bali Art Society juga bernasib serupa pada 2013 silam. Kini, diinisiasi oleh Tony Raka Gallery secara mandiri, upaya membangun sebuah event berkelanjutan itu coba didenyutkan kembali melalui pameran Bali Art Intervention yang mengangkat tema kekerasan di Bali (Violent Bali).
MANGU PUTRA_Botol Arak_95 x 70,5 cm_Acrylic on canvas_2015

Sebagai pameran yang rencananya bakal menjadi event rutin dan ikonik di Bali, pemilihan tema pada pameran pertama ini berusaha secara spesifik menyentuh persoalan sosial dan politik yang berlangsung di Bali. Tentu harapannya agar dapat menjadi ciri khas yang membedakannya dari pameran-pameran serupa di kota lain, sekaligus memberi kontribusi terhadap masyarakat melalui seni rupa. Selama ini Bali hanya dikenal melalui citra surgawi yang menggambarkan situasi damai nan sejahtera, padahal pulau ini memiliki sejarah kelam sepanjang perjalanannya.

Rentetan peristiwa kekerasan yang mengusik kemanusiaan itu mungkin kerap luput dari ingatan, di balik keindahan alam dan gemulai tariannya ternyata menyimpan sekian luka. Barangkali masih terngiang peristiwa terorisme pada periode awal 2000-an, bom Bali pertama di jalan Legian yang memakan korban hingga ratusan jiwa, bahkan tragedi tersebut berlanjut pada bom Bali kedua meski dengan korban yang lebih sedikit. Kedua peristiwa tersebut memberi efek domino bagi masyarakat luas yang masih menyimpan trauma hingga hari ini, bahkan membuat mereka menjadi cenderung defensif terhadap kalangan pendatang.

Jika dirunut lebih jauh, ternyata peristiwa kekerasan di Bali bukan hanya terjadi pada era kini saja, melainkan telah muncul pada masa kolonial, bahkan jauh sebelum itu. Menurut Arif B. Prasetyo yang mengkuratori pameran ini, “kekerasan telah dimulai sejak era Bali tempo dulu, sederetan kerajaan kecil selalu bersaing dan berperang satu sama lain. Bahkan muncul stigma pada masyarakat Bali sebagai kaum biadab yang suka berperang sehingga banyak dijadikan budak dan prajurit oleh penguasa kolonial.”
ALIT SUAJA_noda merah 1965 - 148 x 88 cm - oil on canvas -2015

Sejumlah kajian secara antropologis maupun historis yang mengupas sejarah panjang perilaku kekerasan di pulau dewata menyebutkan adanya paradoks yang muncul di Bali, di satu sisi masyarakatnya hadir sebagai pribadi yang luhur dengan kekayaan budaya, di sisi lain riwayat perilaku yang antikemanusiaan itu mustahil dielakkan. Salah satu peristiwa kekerasan yang paling disorot adalah perang Puputan melawan Belanda yang terjadi pada tahun 1908 yang memberi dampak besar bagi masyarakat Bali masa itu. Adrian Vickers, profesor pada bidang studi Asia Tenggara di Universitas Sidney yang juga menulis untuk pameran ini menyatakan bahwa perang penghabisan yang dilakukan oleh keluarga kerajaan dan rakyat sipil memberi dampak kekalahan moriil pada kubu Belanda.

Situasi tersebut menggiring Belanda untuk menjalankan politik ruste en orde dengan membangun citra surgawi demi memperbaiki nama baiknya di kancah Internasional, alih-alih menarik wisatawan dan merintis industri pariwisatanya pada masa itu. Namun sekali lagi, perlakuan diskriminatif Belanda terhadap pribumi mendapatkan respon keras sehingga tercipta situasi ketegangan antara keduanya. Vickers mencatat tentang berbagai penanda yang menjadi gejala tersebut antara lain, “lukisan-lukisan Bali pada periode ini tercatat sangat kelam dari para pelukis Batuan, menggambarkan suasana ketakutan yang dialami masyarakatnya. Lukisan-lukisan tersebut menunjukkan pada kita bahwa salah satu bentuk kekerasan adalah supernatural, kehadiran para penujum dan juga kutukan merupakan salah satu bentuk perlawanan secara fisik dan psikologis,” ungkap penulis buku Bali: A Paradise Created ini.

Perhatian Vickers juga tertuju pada peristiwa pembantaian para anggota dan simpatisan Partai Komunis Indonesia pada periode 1965-1968, Bali disebut sebagai penyumbang korban terbanyak oleh Vickers. Meskipun fakta tersebut bukan hanya menjadi aib bagi Bali, melainkan juga seluruh Indonesia. Peneliti lain yang juga mengupas peristiwa ini adalah I Ngurah Suryawan dalam bukunya Ladang Hitam di Pulau Dewa, buku ini membongkar mitos tentang kekerasan yang terjadi di Bali pada 1965 tersebut sebagai proses alamiah, argumentasi keseimbangan alam, dan mitologi letusan gunung agung yang meminta korban. Menurutnya, mitos-mitos tersebut tak lebih dari sebuah rekayasa yang sengaja diciptakan oleh penguasa saat itu.  
Citra Sasmita_TORMENT_150 x 120 cm_mix media on canvas_2015

Dengan riwayat peristiwa kekerasan sepanjang itu, ternyata hingga kini Bali masih enggan untuk mengungkapnya melalui berbagai praktik kesenian, termasuk seni rupa. Hal tersebut diungkapkan oleh Arif B. Prasetyo yang menyebut hanya ada segelintir  perupa yang tergugah dan mengangkatnya dalam karya, “jika dipaksa untuk menyebut nama, lagi-lagi kita hanya akan menemukan nama Mangu Putra, Wianta, atau  Tatang Bsp.” Sementara perupa lain cenderung mengejar aspek estetik dalam proses kekaryaannya. Kurangnya perupa yang mengangkat tema-tema sosial politik di Bali, dianggapnya sebagai sebuah kelemahan yang mengkhawatirkan bagi arah seni rupa Bali di masa mendatang.

Sementara arah seni rupa di negara-negara Asia sudah menunjukkan gejala menuju pada persoalan-persoalan sosial politik, sebagai bentuk respon dari situasi sosial maupun politik yang berlangsung di negara-negara tersebut. Korea, Tiongkok, India, Taiwan, dan Indonesia adalah negara-negara yang memiliki deret konflik yang dipicu oleh represi rezim penguasa. Sepanjang 32 tahun kekuasaan rezim Orde Baru, rakyat Indonesia mengalami tekanan politik oleh pemerintah dan militer. Pasca berakhirnya rezim Orba, memasuki era reformasi, tekanan politik oleh pemerintah dan militer boleh dibilang telah memudar. Namun yang lahir justru kelompok-kelompok masyarakat yang mengatasnamakan ideologi tertentu dan menggantikan peran negara dalam mengontrol masyarakatnya, termasuk yang menjamur di Bali saat ini.

Pameran Bali Art Intervention: Violent Bali ini semula berniat menghadirkan 85 perupa lintas disiplin, mulai dari fotografi, patung, instalasi, dua dimensi, hingga performance art.  Namun hanya sekitar 64 perupa yang menyatakan kesanggupannya menggarap tema kekerasan tersebut. Arif B. Prasetyo mengakui bahwa tema yang disodorkan olehnya memang menjadi kendala bagi sebagian perupa yang tidak terbiasa dengan tema sosial dan politik. “Meskipun demikian, dengan berbagai data historis dan fenomena sosial yang terjadi hari ini, persoalan kekerasan sebenarnya sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari para perupa. Tergantung mereka memiliki kepekaan untuk mengangkatnya atau tidak,” ungkapnya.

ANTHOK S_Stop War, 140 x 175 cm, oil on canvas, 2014

Sebagian besar karya-karya dari para perupa masih menunjukkan gejala malu-malu untuk mengangkat persoalan kekerasan di Bali secara terbuka, sehingga memilih jalur aman dengan menciptakan karya secara simbolik. Seperti Mangu Putra misalnya, meski terbiasa melukis berdasarkan potret-potret sejarah kekerasan yang terjadi di Indonesia, dalam pameran ini Mangu memilih jalur aman dengan hanya melukiskan sebuah botol arak yang pecah berlumur darah. Persoalan kekerasan itu dapat ditangkap melalui simbol arak (alkohol) sebagai sumber letupan konflik yang terjadi di Bali saat ini, hal yang juga kerap diungkap dalam sejumlah pemberitaan di media lokal. Persoalan akar kekerasan juga diangkat oleh Edy Asmara yang menuding permainan digital sebagai sumber perilaku kekerasan. Melalui lukisan bertajuk “Teror Game”, Edy menghadirkan paradoks keceriaan anak-anak yang ternyata berpotensi menanamkan perilaku kekerasan. Apalagi tidak ada lembaga yang dapat mengontrol sejauh apa konten dalam permainan digital memberi dampak psikologis pada anak-anak.


Salah satu lukisan yang mencoba mengulik luka sejarah antara lain karya Alit Suaja yang bertajuk “Noda Merah”, potret seorang kakek dengan logo PKI di lengan kirinya. Sampai hari ini, para penyintas tragedi 65 masih dapat ditemui. Mereka selamat dari pembunuhan massal, tapi mungkin tidak secara sosial. Banyak di antara mereka yang mengalami perubahan drastis dalam hidupnya, bahkan tidak jarang yang dikucilkan oleh lingkungan. Dari 64 perupa yang turut menyumbang karya dalam pameran ini, setidaknya dapat terlihat berbagai sudut pandang menakar kekerasan yang terjadi di Bali dari masa silam hingga masa kini. Dari sana mungkin kita bisa menyusun sebuah diorama dalam benak, bagaimana peristiwa-peristiwa itu selama ini senyap  di balik citra surgawi yang melekat di pulau kecil ini. 

Tulisan ini merupakan preview pameran Bali Art Intervention:Violent In Bali, pernah dimuat di Majalah Sarasvati edisi November 2015

Senin, 26 Oktober 2015

‘TUTUR’ EMPAT PERUPA LINTAS GENERASI

bakti wiyasa_sari pertiwi jati dan konstelasi pertiwi jati_2015
Oleh Dwi S. Wibowo

Sekitar pertengahan bulan Agustus lalu, saat sebagian orang tengah sibuk menata nasionalisme merah putih di dadanya, perupa asal Tabanan, I Made Bakti Wiyasa justru memilih untuk menyuntuki bulir-bulir padi yang mulai menguning di persawahan kampung halamannya, Penebel. Bukan untuk menimang masa panen yang akan segera tiba, melainkan tengah merenungkan alam dan tradisi Bali yang sangat kaya, namun naasnya justru mulai dikandaskan oleh orang-orang Bali sendiri.

Saat bertandang ke kediamannya di kota Denpasar, saya disambut oleh benih-benih padi yang baru disemai di atas beberapa tempeh (nampan anyaman bambu) yang disusun sedemikian rupa. Tentu ini bukanlah pemandangan yang wajar dalam proses pertanian di pelosok manapun, sebab biasanya benih padi akan langsung disemai di sawah. Bakti memang bukan bermaksud menyiapkan benih untuk sawah miliknya, melainkan tengah menyiapkan karya untuk sebuah pameran yang akan diikutinya.

Bersama tiga perupa lainnya, mereka tengah menyiapkan sebuah pameran dengan tajuk  “Tutur Nyatur” di Bentara Budaya Bali, pada 16-23 September. Mereka ialah I Nyoman Wirata, I Wayan Santrayana, dan I Wayan Sudiarta. Secara kebetulan, keempatnya punya latar belakang profesi yang sama, yaitu sebagai perupa cum pendidik. Bakti dan Sudiarta merupakan dosen seni rupa, sedangkan Wirata dan Santrayana adalah guru seni rupa. dengan kesamaan latar profesi itulah, keempatnya yang boleh dibilang lintas generasi saling bertemu dan membingkai wacana pameran ini.
wayan sudiarta_baris-an penjaga nilai_180x300cm_2015
Tanpa ingin terlalu berat mengusung gagasan, keempatnya sepakat untuk mengangkat tajuk “Tutur Nyatur” yang mereka pungut dari khasanah tradisi Bali. Dalam bahasa Bali, “tutur” berarti ucapan baik yang berupa nasihat ataupun suatu narasi, sedangkan “nyatur” berarti menuju ke empat penjuru. Meski memiliki latar belakang profesi yang sama, namun faktor pengalaman dan usia jelas membedakan keempatnya. Sehingga mereka memutuskan untuk tetap mengusung karakter masing-masing dalam pameran ini, tanpa terikat pada satu gagasan mengenai isu sosial tertentu.

Seperti yang dilakukan oleh perupa yang paling senior di antara mereka, I Nyoman Wirata. Perupa yang baru saja purna mengabdikan diri sebagai guru di sebuah sekolah negeri di Denpasar ini tetap mengusung prinsip kekaryaannya yang selalu dekat dengan dunia sastra, khususnya puisi. Dalam melukis, perupa yang alumni SSRI Denpasar tahun 1972 tersebut selalu mengolah puisi terlebih dahulu sebelum memindahkannya ke dalam citraan-citraan semi abstrak di atas kanvas. Sejak mengawali karirnya, Nyoman Wirata memang tak ingin melepaskan diri dari sastra, bahkan hingga kini setidaknya ada beberapa buku kumpulan puisi yang diterbitkannya.

Memasuki generasi kedua, adalah I Wayan Santrayana. Namanya mungkin asing di telinga para pecinta seni rupa kontemporer, namun tidak bagi sebagian perupa asal Bali seperti Putu Sutawijaya ataupun Made Sumadiyasa, sosok Santrayana adalah guru yang pernah mendidiknya semasa menempuh studi di Sekolah Menengah Seni Rupa. Dalam pameran kali ini, karya-karyanya cenderung mempertanyakan tentang hakikat-hakikat hidup dan kehidupan (mungkin merupakan bentuk spiritualitasnya) dijalaninya dengan menjadikan media melukis sebagai altar atau sajadah perenungan dimana jejak-jejak prosesnya terekam pada kanvas berupa aliran garis berirama, berpola bahkan berkoreografi yang kemudian juga meninggalkan jejak berupa suasana bathin yang melingkupi di dalam proses kontemplasinya.
karya nyoman wirata
Sedangkan Wayan Sudiarta di lapis ketiga, menampilkan sejumlah karya lukisan berukuran cukup besar yang menunjukkan kesuntukkannya menjajal teknik. Tema-tema seputar seni tradisi menjadi fokus utama dalam karya-karyanya, terutama dalam hal mempertanyakan konteks dan relevansinya hari ini. Sehingga terlihat dalam karyanya yang menampilkan sejumlah barong dalam pose yang kenes tengah berselfie ria seperti tren anak muda masa kini. Mungkin itulah ironi yang ingin dihadirkan olehnya sebagai bentuk kritik terhadap seni tradisi bali saat ini.

Sebagaimana tertera pada awal tulisan ini, I Made Bakti Wiyasa dalam pameran ini mengolah padi sebagai ide dasar dari karyanya, maka terciptalah sebuah instalasi berupa sebuah bulir padi berukuran raksasa yang tergantung di dinding ruang pamer Bentara Budaya Bali. Karya yang berukuran maksimal hingga 3 x 27 meter tersebut terbuat dari bahan organik yaitu bambu dan klangsah (anyaman daun kelapa) dan diberi judul “Sari Pertiwi Jati”. Pertiwi jati merupakan tatanan kemakmuran pada masyarakat agraris Bali yang diwariskan secara turun temurun melalui subak. Tatanan ekonomi tradisional yang bertaut secara langsung dengan alam dan spiritualitas, sehingga pada tataran kosmologis masyarakat memiliki kesadaran penuh bahwa melimpahnya sumber daya alam merupakan karunia dari Tuhan.


Keempat perupa cum pendidik lintas generasi tersebut hadir dengan karakter kekaryaannya masing-masing dalam pameran ini, dari sana kita bisa melihat bagaimana waktu merentang panjang. Antara yang senior dengan generasi sesudahnya tentu memiliki konteks berkesenian yang berbeda, termasuk cara pandang akan sebuah persoalan. Saya jadi teringat perkataan I Nyoman Wirata di sela persiapan pameran, “tidak semua orang yang dianggap senior memiliki kekayaan pengalaman melebihi juniornya, mungkin justru sebaliknya.”

Tulisan ini pernah dimuat di Majalah Sarasvati edisi oktober 2015

Selasa, 13 Oktober 2015

PERSILANGAN SENI RUPA DAN DESAIN

Citra Sasmita, The Red Hangman, 2015, Esther Metal Sheet, 55 x 28 x 7

oleh Dwi S. Wibowo
Ibarat sepasang rel kereta, seni rupa dan desain adalah dua bilah yang membentang berdampingan, meskipun sangat jarang kita lihat keduanya saling bersinggungan. Para perupa begitu kerap menyuntuki medium-medium ganjil dan kepiawaian teknis guna mencipta karya yang punya nilai artistik tinggi sekaligus adiluhung, sedangkan para desainer lebih banyak merancang benda-benda fungsional yang begitu lekat dengan keseharian. Ya, seni rupa memang seperti sebuah pemanggungan yang berjarak dengan kehidupan, sedangkan desain lebih menyerupai realitas kehidupan itu sendiri. Oleh karenanya, sebuah pameran yang dihelat oleh Sudakara Art Space sejak 27 Agustus lalu, mencoba menautkan dua dunia sekandung itu dalam kerangka tajuk “Portable Sculpture Objects Fungtional Arts”.
Sejumlah perupa yang terbiasa menggeluti seni rupa murni (lukis, patung, dan instalasi) ditantang untuk memperluas kecakapan berkaryanya dengan menerapkan pada benda-benda guna (fungsional). Sebagaimana terlihat dalam pameran ini, beberapa perupa yang terlibat antara lain Aan Juniartha, Art of Whatever (AOW), Atmi Kristiadewi, Budi Agung Kuswara, Budi ‘Boleng’ Santoso, Citra Sasmita, Dewa gede Jodi Saputra, IGK Adi Dewantara, Made Aswino Aji, Made Supena, Putu Suarjana, Made Muliana Bayak, Nyoman Suarnata, Putu Edy Asmara, dan Putu Suardana.
Budi Boleng, Table Lamp 1, 2015, Mixed Media, 41 x ++ 22
Alih-alih nampak selayaknya pameran seni rupa yang sarat gagasan, pameran ini seolah lebih ingin menampilkan kecakapan para perupa dalam mengolah karakter estetiknya ke dalam benda guna sehari-hari. Meskipun masing-masing dari mereka masih juga menyelipkan idiom-idiom khasnya dalam berkarya. Dalam perbincangan dengan Army (kordinator pameran ini) beberapa minggu sebelum pembukaan pameran, ia menuturkan bahwa pameran ini berupaya mengangkat konsep art bazaar yang bisa lebih mendekatkan karya para perupa tersebut dengan pemirsa, yang secara aktif dapat sekaligus menjadi buyers. Apalagi dengan posisi Sudakara Art Space yang merupakan bagian dari hotel Sudamala, membuatnya menjadi sangat strategis. Pameran yang akan digelar hingga 5 Oktober mendatang ini juga diniatkan menjadi alternatif untuk mengatasi kejenuhan aktifitas seni rupa di Bali yang melulu konvensional menampilkan lukisan dan patung.
Tak sekedar mengawinsilangkan antara seni rupa dan desain, ternyata pameran ini juga mensyaratkan para perupa untuk menciptakan karya yang portable (mudah dibawa) sebagaimana terlampir dalam judul pameran ini. Oleh karena itulah, kebanyakan perupa cenderung menggarap karya-karya berukuran mini seperti terlihat dalam beberapa karya Made Muliana Bayak. Ia membuat patung-patung dari kolase benda temuan sehari-hari seperti mouse komputer, kaleng minuman, potongan pensil, dan pisau dapur. Salah satunya diberi judul “Osama Bin Scorpion The Cyber Terror”, karya tahun 2015 itu tersusun dari mouse komputer yang dikolase dengan kawat dan roda bekas mainan. 
Aswino Aji, Display Installation View
Tak hanya Bayak yang piawai merangkai benda-benda temuan semacam itu, Budi ‘Boleng’ Santoso juga menggunakan pola yang sama. ia banyak mengumpulkan perkakas otomotif dan juga botol-botol bekas wine untuk dirakit menjadi sebuah karya. Dalam pameran ini, Budi menampilkan beberapa lampu meja yang dibuatnya dari bahan perkakas seperti pompa sepeda dan piringan rem motor yang dikombinasikan dengan potongan botol dan bohlam di dalamnya, sehingga bias cahaya yang dihasilkannya dari balik kaca botol menjadi sangat puitis.
Beberapa seniman yang lain mencoba mengelaborasikan konsep berkarya yang biasa mereka lakoni dalam bidang dua dimensi ke dalam benda guna sehari-hari. Di titik ini, kita diajak untuk melihat bahwa medium para perupa ternyata tidak hanya terbatas pada bidang datar seperti kanvas atau kertas, seperti terlihat dalam karya-karya yang diusung oleh kelompok perupa yang menamakan dirinya Art of Whatever. Latar belakang mereka sebagai perupa yang menekuni street art membuatnya lebih leluasa dalam menyikapi medium dalam berkarya, maka jadilah karya-karya mereka dalam medium seperti jaket, payung, dan sepatu. Tanpa mau meninggalkan karakteristik khas dan juga selipan gagasan, mereka mengombinasikan teknik lukis, grafis, dan digital printing dalam sandangan tersebut. Keuntungannya ialah, karya sekaligus pesan yang terlampir di dalamnya akan terbawa mengikuti kemanapun langkah orang yang menggunakan produknya.

Budi Agung Kuswara, After Murakami, 2015, Ceramics Teapot and cups (2 pcs)

Hal serupa terlihat juga dalam karya-karya Made Aswino Aji yang juga menerapkan pola berkarya dua dimensi ke dalam benda-benda guna seperti jam dinding ataupun mangkok dan nampan kayu. Dengan teknik drawing menggunakan pensil warnanya yang khas, ia juga tetap mengusung ikon-ikon gambarnya yang selama ini banyak muncul dalam karya-karya lukisnya. Selain itu, yang juga menarik adalah cangkir-cangkir keramik karya Budi Agung Kuswara yang disusun berjajar di atas lightbox. Beberapa seri karya keramik itu tampil dengan sangat rapi, salah satunya yang diberinya judul “After Murakami”, menampilkan motif-motif senyum bunga matahari serupa karya seniman ternama Jepang Takashi Murakami yang diolah dengan teknik pembuatan keramik yang sangat baik. Karya instalasi berbahan plat besi karya Citra Sasmita juga cukup menarik perhatian, menampilkan sepasang sosok malaikat yang dipajang berdampingan dengan warna yang sepenuhnya merah menyala. Karya yang diberi judul “The Red Hangman” itu berfungsi sebagai capstok yang diposisikan tepat pada posisi phalus sang malaikat, membuatnya menjadi sangat parodikal, sekaligus berani.
Pameran sejenis, bukan kali ini saja digelar di Bali, sebelumnya juga pernah digelar pameran yang menampilkan pertautan antara seni rupa dan desain yaitu “Art Expose” pada tahun 2014 di Maha Art Gallery yang diikuti oleh sejumlah perupa termasuk Edy Asmara dan Atmi Kristiadewi yang juga terlibat dalam pameran kali ini. Tanpa menurunkan nilai estetik dari karya-karya seni yang biasa mereka ciptakan, dari pameran tersebut setidaknya terlihat bahwa seni rupa ternyata bisa begitu dekat dengan desain. Meskipun selama ini sering muncul anggapan sinis yang menyebutnya sebagai seni rendahan, namun ternyata di belahan bumi lain, yaitu di Chicago pameran serupa yang mengusung tajuk SOFA (Sculpture Object Fungtional Art) juga digelar dan diikuti oleh banyak galeri ternama. Barangkali, seni memang semestinya melekat pada fungsi sehari-hari.

*)tulisan ini pernah dipublikasikan di majalah sarasvati edisi oktober 2015

Sabtu, 10 Oktober 2015

DALAM BAYANG-BAYANG RENAISANCE

9. Valasara,Carrousel, 370 x 1200 cm, acrylic on canvas, 2015

oleh Dwi S. Wibowo
Masa Renaisance merupakan era penting sekaligus penanda bagi kebangkitan seni rupa barat, juga dunia. Pada masa itu, para maestro seperti Da Vinci, Michelangelo, Boticceli, juga Carravaggio mengalami periode emas melalui pencapaian bentuk anatomi dalam lukisan-lukisannya yang mendekati sempurna. Lukisan-lukisan karya mereka juga menjadi kanon dalam sejarah seni rupa dunia yang terus dipelajari hingga hari ini. Berangkat dari asumsi itulah, Made Wiguna Valasara menciptakan sejumlah karya apropriasi yang bertolak dari lukisan-lukisan karya para maestro tersebut.
Sebagaimana lazimnya karya-karya apropriasi yang menyalin ulang karya-karya lama yang telah ada menjadi karya baru, Valasara juga mengolah kembali sekian banyak lukisan kanon dari para maestro tersebut menjadi karya-karya baru yang lebih segar. Sebutlah lukisan-lukisan seperti Monalisa, The Entombent Of Christ, The Birth Of Venus, hingga The Last Judgement karya Michelangelo yang menghiasi altar Sistine Chapel berpindah ke dalam kanvasnya. Karya-karya apropriasi tersebut akan dipamerkan di galeri Art:1 pada 8 Oktober mendatang dengan tajuk “Lukisan-Lukisan” yang dikuratori oleh Agung Hujatnikajenong.
Kita tentu bertanya mengapa tajuk yang diusung justru “Lukisan-Lukisan”, sementara masih ada kegamangan untuk menyebut apakah karya-karya dari perupa kelahiran sukawati ini termasuk lukisan atau justru karya trimatra. Disanalah Valasara sedang menempatkan diri, perupa yang pernah mengenyam studi patung sekaligus lukis di ISI Yogyakarta tersebut memang sedang mempertanyakan batas-batas itu. “Selama ini, lukisan memenjarakan bentuk ke dalam bidang datar melalui ilusi warna dan garis,” ungkap perupa yang dikenal dengan  teknik emboss tersebut. Sehingga melalui karya-karyanya kali ini, ia justru ingin melepaskan bentuk dengan menciptakan dimensi yang dapat diraba, sekaligus menghapus seluruh warna menjadi monokrom.
6. Valasara, Interpreting Caravaggio #2, 260 x 200 cm, acrylic on canvas , 2014

Dengan teknik emboss miliknya, karya-karya valasara memang menjadi bias antara karya dua dimensi ataukah tiga dimensi. Zona bias itu diperkuat dengan penggunaan kanvas sebagai medium yang begitu lekat dengan tradisi seni lukis (dua dimensi). Andaikan, medium yang digunakan olehnya berupa batu atau kayu, mungkin kita bisa lebih mudah mengkategorikannya. Namun bagi perupa yang pernah meraih penghargaan karya trimatra itu, kengototannya menggunakan medium kanvas justru untuk mempertegas sikapnya yang tidak hanya melihat kanvas sebagai media, tapi sekaligus menjadi esensi dari karyanya.
Termasuk dalam pameran ini, pertanyaan itu menjadi semakin menguat. Tanpa segan, ia melontarkan tanda tanya pada lukisan-lukisan yang telah menjadi kanon seni rupa dunia. Maka, kita akan diajak untuk bertamasya menuju masa renaisance melalui bidang-bidang cembung miliknya. Setidaknya ada sepuluh karya yang akan ia tampilkan dalam pameran ini, yang seluruhnya berwarna putih polos. Hanya efek bayangan dari sorot lampu galeri yang akan menuntun kita mengenali lekuk-lekuk anatomi karya para maestro tersebut.
Selain melakukan apropriasi secara utuh, seperti dalam karya “Interpreting Caravaggio #1” yang merupakan salinan dari karya legendaris The Incredulity Of Saint Thomas, Valasara juga memberi unsur parodi yang cukup menimbulkan daya ganggu. Secara hiperbolis, dalam karya  “Interpreting Caravaggio #2” menampilkan sebuah adegan dalam lukisan The Entombing of Christ dengan mengubah postur Yesus yang ramping menjadi tambun. Yang secara tidak langsung mengingatkan kita pada karya-karya terdahulunya yang dipengaruhi postur-postur figur dalam lukisan Lucien Freud, atau jangan-jangan dalam karya ini ia masih terngiang-ngiang pada si Venus dari Willendorf yang cantik nan tambun.
4.Valasara, Ateip, 150 x 150 cm, acrylic on canvas, 2013

Pertanyaan-pertanyaan seputar postur (anatomi tubuh) juga nampak dalam beberapa karyanya yang memadukan apropriasi dari dua lukisan berbeda ke dalam satu bidang kanvas. Seperti terlihat dalam karya “Michelangelo Greets Boticelli” yang merupakan salinan dari lukisan The Birth of Venus yang termasyur itu dengan sepotong fragmen adam dan eva yang berjalan terusir dari surga karya Michelangelo. Disana kita dapat melihat perbedaan persepsi tentang bentuk anatomi tubuh  dari kedua maestro tersebut berpadu dalam satu bidang, sehingga dapat dibandingkan satu sama lain.

Karya lainnya yang juga menyandingkan dua maestro dalam satu bidang adalah “The Sistine Chapel Smile” yang memadukan lukisan Monalisa dengan The Last Judgement. Di sana kita akan melihat keanggunan monalisa di tengah kemegahan altar Sistine Chapel tempat mural fresco itu tertera. Sekaligus akan nampak bagaimana kecenderungan karya Da Vinci yang didominasi lukisan potrait, sementara sang muralis Michelangelo justru sebaliknya, menyesakkan narasi sebanyak mungkin dalam karya-karyanya yang berukuran gigantis. Melalui pameran ini, kita akan diajak melihat penjelajahan estetik Valasara menuju masa silam, sekaligus mempertanyakan masih relevankah lukisan-lukisan kanon itu kita jadikan kiblat.
*)tulisan ini pernah dipublikasikan di majalah sarasvati edisi oktober 2015