Senin, 28 Desember 2015

MENAKAR PERISTIWA KEKERASAN DI BALI



Oleh Dwi S. Wibowo

Selain citra surgawi yang melekat pada pulau dewata, ternyata Bali juga menyimpan sejumlah luka yang berakar pada berbagai peristiwa kekerasan. Peristiwa-peristiwa tersebut tidak hanya terjadi pada kurun waktu belakangan ini saja, melainkan telah tercatat dalam sejarah bahwa bali memiliki riwayat panjang mengenai sejarah kekerasan. Sebagai pulau kecil yang terbagi menjadi banyak wilayah kerajaan, sejak era Bali kuno memiliki potensi konflik yang tinggi akibat pergesekan kepentingan antar penguasa.

Seiring berjalannya waktu, ternyata peristiwa-peristiwa kekerasan tersebut seolah terus terjadi secara periodik. Hampir tiap dekade, peristiwa kekerasan itu berulang dengan motif dan pelaku yang berbeda. Untuk merefleksikan hal tersebut, Tony Raka gallery menginisiasi sebuah pameran besar dan mengajak para perupa Bali untuk ikut serta merenungkan sejarah kekerasan yang berlangsung sekian lama di pulau ini. Dengan mengusung tajuk “Bali Art Intervention #1: Violent Bali”, pameran yang digadang-gadang bakal digelar berkelanjutan ini seperti memberi interupsi sosial lewat medium seni.

Di tengah proses reduksi citra bali sebagai pulau surga untuk kepentingan promosi wisata oleh pemerintah daerah, pameran ini justru hadir sebagai antitesis dengan menawarkan sisi lain, untuk tidak menyebutnya sisi gelap, pulau dewata. Arif B. Prasetyo yang didapuk sebagai kurator dalam pameran ini, sedianya ingin mengundang sebanyak mungkin perupa. Total ada 85 perupa yang diundang, namun hingga batas akhir pengumpulan karya, hanya sekitar 60 perupa yang sanggup menggarap tema ini. Menurutnya, di Bali, sulit memang untuk mencari perupa yang suntuk menggarap persoalan-persoalan sosial sebagai fokus berkaryanya. Kebanyakan dari para perupa ini, justru lebih gemar mengejar aspek estetis dan artistik pencapaian karyanya.


Hal itu juga yang melandasinya menyodorkan tema-tema sosial dalam gelaran pameran di Bali ke depannya. Mengapa demikian? Bali nampaknya sedang dalam posisi yang riskan, di satu sisi seolah dikeluarkan dari peta seni rupa kontemporer Indonesia, baik secara pasar maupun wacana. Namun di sisi lain, posisi Bali sebagai wilayah yang diakses secara internasional memiliki potensi membangun jaringan dengan medan seni rupa di luar negeri, terutama di kawasan Asia timur.

Arah pergerakan seni rupa di kawasan Asia sudah semakin menunjukkan keberpihakkannya pada persoalan-persoalan sosial dan politik. Indikasi tersebut tentu tidak bisa dilepaskan dari aspek politik lokal di negara-negara tersebut, maupun geopolitik global yang mulai berpusat di kawasan Tiongkok, Jepang dan Korea. Pasca krisis ekonomi di Eropa, yang juga berimbas pada krisis kebudayaan, kekuatan pondasi seni Eropa yang dibangun sejak era Renaisans seolah runtuh dan tak berarti apa-apa di hadapan ringkihnya sistem perekonomian mereka saat ini. Dengan kekuatan modal yang dimiliki oleh negara-negara di kawasan Asia timur, terutama Tiongkok, untuk membangun pusat seni dunia sepertinya bukan hal mustahil.

Di samping itu, negara-negara Asia juga memiliki goncangannya sendiri di tingkat lokal dan regional. Sebagian negara Asia tersebut mulai menjalankan sistem pemerintahan yang represif terhadap rakyatnya, dengan tujuan untuk menjaga kestabilan politik. Hal ini menimbulkan dampak yang luas, termasuk dalam dunia seni rupanya. Tekanan terhadap rakyat dan seniman justru menimbulkan protes halus lewat karya seni. Sehingga tak mengherankan jika terjadi gelombang pergerakan seni rupa Asia yang menyoroti persoalan sosial politik di negara-negara tersebut.


Meski lepas dari tekanan orde baru, bukan berarti Indonesia terbebas dari berbagai persoalan politik yang melanda negeri ini. perebutan kekuasaan masih menjadi polemik yang tak berkesudahan, bahkan seolah mengesampingkan persoalan kemiskinan yang lebih nyata terlihat. Bali melihat ini sebagai sebuah potensi pergerakan yang besar, tentu dengan langkah-langkah bertahap dalam sekian tahun kedepan. Dan pijakan awal itu telah kita lihat saat ini lewat pameran Violent Bali. Meski tidak secara spesifik merujuk pada satu peristiwa kekerasan yang terjadi di Bali, keenam puluh perupa yang terlibat menunjukkan penjelajahan dalam cakupan yang lebih luas. Melihat kekerasan di Bali tidak hanya pada kekerasan fisik, melainkan juga psikologis yang dilakukan secara terselubung. Saya mencatat ada beberapa karya yang menunjukkan gejala tersebut, ada yang dikerjakan perseorangan, juga ada yg kolektif.

Salah satu karya yang paling menarik perhatian adalah milik bayak yang menghadirkan instalasi dengan mengokupasi salah satu sudut ruang galeri. Bayak menyajikan instalasi mekanis dengan sebuah lukisan, dan sebuah televisi yang menampilkan film legendaris “Pemebrontakan G30S PKI”. Bayak menarik akar kekerasan tidak hanya di Bali saja, melainkan dalam cakupan Indonesia pada masa orde baru. Melalui film garapan Arifin C. Noer itulah rezim Soeharto melakukan propaganda mengenai peristiwa kekerasan tahun 1965. Anak-anak sekolah dasar dijejali visual-visual kekerasan lewat adegan silet-menyilet jenderal dan pembunuhan sadis. Pasca film yang dibuat tahun 80-an tersebut, pandangan sejarah total berubah. Yang ada dalam benak masyarakat hari ini adalah kekejian PKI membunuh tujuh jenderal, bukan sebaliknya bahwa militer mendorong rakyat untuk saling bunuh sehari pasca gestapu. Film itu adalah klaim sepihak yang dilakukan rezim Soeharto untuk menyelamatkan mukanya di hadapan rakyat Indonesia, terutama di hadapan generasi yang lahir pasca peristiwa tersebut.

Dalam karya lukis, “Noda Merah 1965” milik Alit Suaja patut direnungkan juga saat ini. Potret seorang kakek yang mengenakan label PKI di lengan kirinya adalah sebuah realitas hari ini. Para penyintas yang selamat dari pembantaian tahun 65 masih dapat kita temui hari ini, mereka adalah saksi sekaligus korban. Luka yang mereka alami mungkin saja tidak hanya secara fisik saat peristiwa itu berlangsung, melainkan bertahun-tahun sesudahnya terus dihakimi oleh publik secara sosial. Selain tu, karya kolektif dari Upadana, Valasara, Budi Tomfreak, dan Ruth juga memberi tampilan menarik dengan memadukan video art dengan storry reading. Dalam karya yang diberi tajuk “Pseudo Estetic” itu perupa kolektif ini menyoroti pencitraan terhadap Bali yang dilakukan terus tanpa melihat persoalan-persoalan yang secara nyata berlangsung dalam masyarakat. Alam dan sosial menjadi lanskap yang berbeda, keindahan alam Bali ternyata menyimpan sejumlah persoalan sosial yang menunggu dituntaskan. Ibarat api dalam sekam, jika dibiarkan maka berpotensi membesar.

Dari 60 perupa yang turut menyumbang karya dalam pameran ini, setidaknya dapat terlihat berbagai sudut pandang menakar kekerasan yang terjadi di Bali dari masa silam hingga masa kini. Dari sana mungkin kita bisa menyusun sebuah diorama dalam benak, bagaimana peristiwa-peristiwa itu selama ini senyap  di balik citra surgawi yang melekat di pulau kecil ini.

Tulisan ini merupakan review pameran Bali Art Intervention: Violent in Bali, pernah dimuat di Bali Post Minggu edisi desember 2015


Sabtu, 28 November 2015

AKTIVASI RUANG PUBLIK SEBAGAI AREAL SENI TERBUKA

Isrol Triono tengah membuat mural disaksikan warga setempat

Oleh Dwi S. Wibowo

Memberi kesempatan pada masyarakat luas untuk mengenal dan menikmati karya seni ternyata tidak semudah membalik telapak tangan. Keberjarakan antara masyarakat umum dengan berbagai institusi kesenian seperti galeri, museum seni, institusi pendidikan, dan juga kalangan seniman cukup memberi andil besar dalam mengasingkan hubungan keduanya. Bahkan masyarakat di perkotaan sekalipun merasa awam terhadap seni rupa modern apalagi kontemporer, terutama kelas menengah ke bawahnya masih merasa canggung dan bertanya-tanya apa itu seni.

Persoalan semacam itu bahkan terjadi di kota-kota besar di Indonesia, terutama kota-kota yang selama ini berada di luar lingkaran utama arus seni rupa kontemporer seperti Jogja, Bandung, atau Jakarta. Salah satu kota yang masih mengalami kegagapan untuk mendekatkan masyarakatnya dengan karya seni adalah Denpasar, sesuatu yang mungkin dianggap ironis mengingat bahwa citra pulau dewata yang selama ini lekat dengan kesenian. Sayangnya, Denpasar ataupun Bali secara umum hanya lekat dengan kesenian tradisi yang masih dipertahankan sebagai salah satu komoditas wisata. Termasuk dalam benak masyarakatnya yang memahami seni sebatas pada khasanah tradisi yang sehari-hari dilihatnya.


Posisi kota Denpasar sebagai ibu kota propinsi, ternyata tidak juga menjadikannya sebagai pusat dari perkembangan seni di Bali. Justru kawasan Ubud, Sanur, dan Seminyak yang notabene sebagai destinasi wisata malah menjadi patokan berkembangnya sejumlah galeri seni yang sempat berpengaruh di Bali. Sementara Denpasar hanya bertumbuh sebagai pusat pemerintahan yang cenderung birokratik, hal tersebut juga secara tidak langsung memberi dampak signifikan terhadap pertumbuhan sosio-kultural masyarakat yang tinggal di dalamnya. Masyarakat di kota Denpasar adalah perpaduan antara urban dan tradisional yang cenderung menampilkan tarik menarik antara kedua sifat tersebut. Di satu sisi, sedang bertumbuh menjadi kota yang urban secara kultural, di sisi lain eksistensi banjar yang tradisional aristokratik menahan laju perkembangan itu.

Hadirnya karya seni di kota ini sebagai media wacana belum berjalan sepenuhnya, masyarakatnya (terutama kelas menengah ke bawah) masih berjarak dengan institusi-institusi seni. Sebagian besar dari mereka masih beranggapan bahwa karya seni semata-mata hanya sebagai dekorasi penghias dinding, bahkan soal harga karya seni yang bisa melambung selangit mungkin membuat mereka lebih berkerut dahi. Sementara itu, hadirnya karya seni jalanan (mural, grafiti, atau poster) yang bersifat politis di ruang publik masih belum diterima secara utuh. Stigma tentang karya street art yang dianggap mengotori wajah kota dan dikategorikan sebagai bentuk vandalisme masih begitu melekat di benak sebagian besar masyarakat kota ini. Mungkin berbeda dengan fenomena street art di Jogja yang diterima secara terbuka oleh berbagai lapisan masyarakat, bahkan sudah menjadi bagian dari langkah kota tersebut dalam mendekatkan seni dengan masyarakatnya.
Scetch Fredoon Expo karya kolaboratif yang dikuratori oleh Kianoush Ramezani (Iran)

Di Denpasar sendiri, hadirnya karya-karya street art berupa poster dan mural sudah cukup banyak menghiasi dinding-dinding di sejumlah kawasan. Pemanfaatan dinding-dinding bangunan ataupun tembok di kawasan pertokoan dinilai efektif oleh para street artist lokal untuk menyampaikan pesan kepada masyarakat melalui gambar-gambarnya yang berukuran gigantis tersebut. Sekaligus untuk meneguhkan eksistensinya dalam perebutan ruang dengan baliho-baliho reklame yang dilegalkan pemerintah kota, meskipun keberadaannya juga sama-sama mengambil posisi di ruang publik.

Pada 2 Oktober lalu, Micro Galleries sebuah organisasi jaringan seniman internasional yang berbasis di Australia bekerja sama dengan sejumlah seniman asal Indonesia menggelar sebuah program inisiasi di kota Denpasar untuk menghidupkan kembali ruang publik yang sudah terlupakan dan mengaktifkannya kembali sebagai galeri bagi berbagai karya seni secara terbuka. Area yang dipilih adalah di seputaran Pasar Badung karena dianggap sebagai lokasi yang memiliki nilai penting dalam denyut nafas masyarakat kota Denpasar. Ada tiga lokasi yang dipilih untuk menghadirkan karya sesuai dengan konteksnya yaitu di bantaran sungai antara Pasar Badung dan Pasar Kumbasari, areal Pasar Badung, dan di gang Ternate 3 yang berlokasi di sisi timur Pasar Badung.

Program ini bermula dari keterlibatan Christina Arum seorang fotografer yang menetap di Denpasar dalam penyelenggaraan program serupa di Nowra pada periode sebelumnya. Menurutnya, situasi kota Denpasar sebagaimana disebutkan sebelumnya dirasa sangat potensial untuk menyelenggarakan program tersebut. Bersama Bobby Arya Gana, Christina Arum menjadi kordinator lokal program ini di Denpasar. Setidaknya ada 42 seniman yang terlibat dalam penyelenggaraan kali ini yang terdiri dari 12 seniman Indonesia dan 30 seniman yang berasal dari berbagai negara seperti Australia, Amerika, Prancis, Finlandia, Iran, dan Hong kong. Tujuan dari program ini adalah untuk mendekatkan karya seni dengan berbagai lapisan masyarakat, oleh karena itulah pemilihan lokasi di pasar Badung dirasa tepat karena menjadi ruang yang mempertemukan masyarakat dari berbagai kelas. “Dengan memakai ruang publik (pasar Badung), semua orang ternyata bisa diajak menikmati karya seni, baik yang indah maupun yang sarat protes atas keadaan di sekitar kita,” menurut Aryo Dewa Bharata, salah satu seniman yang terlibat dalam program ini.

Meskipun respon yang diberikan oleh masyarakat tidak semuanya positif, terbukti dengan beberapa karya yang berada di areal pasar mengalami kerusakan, bahkan hilang. Termasuk sejumlah karya yang dipindahkan secara sepihak oleh petugas keamanan pasar. Sebagaimana diungkapkan oleh Bobby, “meski sudah mendapatkan ijin dari pengelola pasar, ternyata masih ada respon negatif dari petugas keamanan dan juga masyarakat.” Menurutnya, hal semacam itu juga menjadi bagian dari resiko karya seni di ruang publik. Untungnya, karya-karya di dua lokasi lainnya tidak mengalami nasib serupa. Penempatan karya seni di ruang publik tentu memiliki sistematika yang berbeda dengan karya-karya seni yang terpajang di dinding galeri. Kehadiran karya seni di ruang publik serta merta akan menimbulkan pertanyaan bagi siapapun mengenai konteks keberadaannya, bahkan mungkin akan sampai pada penilaian oleh sebagian pihak mengenai tepat atau tidaknya karya tersebut berada di lokasi itu. Pertimbangan-pertimbangan semacam itu tentu harus menjadi landasan dalam sebuah proyek seni di ruang publik.

Seperti dalam program ini, pemilihan lokasi di bantaran sungai antara  Pasar Badung dan Pasar Kumbasari bertujuan untuk menyampaikan pesan terkait persoalan sungai sebagai bagian dari ekologi kota. Persoalan-persoalan yang seringkali muncul di sekitar sungai yang melintasi kawasan perkotaan adalah lahirnya kawasan kumuh dan juga alih fungsi sungai sebagai tempat pembuangan sampah. Mungkin itu persoalan klise yang mungkin dapat dilihat di berbagai kota, karenanya beberapa seniman merasa bahwa persoalan tersebut sudah dalam kategori darurat. Diperlukan komunikasi untuk mengembalikan kesadaran masyarakat tentang fungsi sungai sebagai bagian dari ekologi kota, persoalan itu disoroti oleh sejumlah seniman yang secara kolaboratif menciptakan karya di bantaran sungai, mereka antara lain Billie Parsons yang berkolaborasi dengan Made bayak, dan MT Walker yang berkolaborasi dengan Jonas Sestakresna.

Sebagaimana tujuan program ini untuk menghidupkan kembali ruang yang mulai dilupakan orang, ada baiknya kita melihat ke sebuah lorong sempit di gang Ternate 3 yang terletak pada sisi timur Pasar Badung. Sehari-hari, gang ini adalah kawasan sepi yang hanya dilalui warga setempat dengan berjalan kaki sambil menuntun sepeda motor. Dinding di kedua sisinya sebagian rusak dan berlumut akibat cuaca. Pemandangan itulah yang direspon oleh sebagian besar seniman yang terlibat dalam program ini, gang dengan panjang sekitar 300 meter itu menjadi penuh sesak oleh poster-poster dan mural yang berjejer sangat padat. Menjadi sangat menarik untuk melihat berbagai karya seni dengan latar dinding yang kusam dan berlumut. Maka tidak mengherankan jika setelahnya gang itu mendadak ramai didatangi banyak orang yang semula memperoleh informasi tentang program Micro Galleries ini dari media sosial.
Salahkan siapa karya Lilu (Indonesia)

Interaksi para pendatang, seniman, dan warga setempat ternyata memberi pengalaman yang unik bagi ketiganya. Warga setempat justru antusias melihat lingkungannya menjadi kawasan seni, setidaknya itu memberi warna baru pada dinding kusam yang setiap hari mereka lihat, meskipun banyak juga karya-karya bernada kritik sosial yang ditempel disana. Program ini sekaligus menghidupkan ruang secara nyata, yang membuat mereka dapat bertemu dengan orang-orang baru dengan pengalaman dan pengetahuan yang menurutnya berbeda. Selanjutnya, karya-karya itu akan tetap dibiarkan berada disana hingga cuaca, waktu, ataupun tangan-tangan jahil orang yang lewat mengelupasnya.

tulisan ini pernah dimuat di majalah Sarasvati edisi November 2015

Kamis, 26 November 2015

RETROSPEKSI KEKERASAN DI PULAU DEWATA

DP ARSA_Where is Area of My Identity_Print acrylic neon box_2015
Oleh Dwi S. Wibowo

Di tengah maraknya perhelatan Biennale di sejumlah kota di Indonesia, mulai dari Makassar Biennale, Biennale Jatim, Biennale Jogja, hingga Jakarta Biennale, Bali sebagai salah satu lumbung perupa tidak ingin ketinggalan langkah. Meski belum berani memproklamirkan (kembali) Biennale yang sempat berjalan sekali di tahun 2005 lalu, pada pertengahan (sekitar tanggal 10) November ini sebuah pameran besar akan digelar di Tony Raka Gallery.

Barangkali bukan perkara mudah mengorganisir event besar dan kontinyu semacam biennale ataupun art fair. Bali memiliki catatan yang kurang apik soal penyelenggaraan event-event semacam itu. Bali Biennale yang digadang-gadang menjadi event berkelanjutan nan berkelas, justru kandas pada gelaran pertamanya. Lalu Bali Art Fair yang dimotori Bali Art Society juga bernasib serupa pada 2013 silam. Kini, diinisiasi oleh Tony Raka Gallery secara mandiri, upaya membangun sebuah event berkelanjutan itu coba didenyutkan kembali melalui pameran Bali Art Intervention yang mengangkat tema kekerasan di Bali (Violent Bali).
MANGU PUTRA_Botol Arak_95 x 70,5 cm_Acrylic on canvas_2015

Sebagai pameran yang rencananya bakal menjadi event rutin dan ikonik di Bali, pemilihan tema pada pameran pertama ini berusaha secara spesifik menyentuh persoalan sosial dan politik yang berlangsung di Bali. Tentu harapannya agar dapat menjadi ciri khas yang membedakannya dari pameran-pameran serupa di kota lain, sekaligus memberi kontribusi terhadap masyarakat melalui seni rupa. Selama ini Bali hanya dikenal melalui citra surgawi yang menggambarkan situasi damai nan sejahtera, padahal pulau ini memiliki sejarah kelam sepanjang perjalanannya.

Rentetan peristiwa kekerasan yang mengusik kemanusiaan itu mungkin kerap luput dari ingatan, di balik keindahan alam dan gemulai tariannya ternyata menyimpan sekian luka. Barangkali masih terngiang peristiwa terorisme pada periode awal 2000-an, bom Bali pertama di jalan Legian yang memakan korban hingga ratusan jiwa, bahkan tragedi tersebut berlanjut pada bom Bali kedua meski dengan korban yang lebih sedikit. Kedua peristiwa tersebut memberi efek domino bagi masyarakat luas yang masih menyimpan trauma hingga hari ini, bahkan membuat mereka menjadi cenderung defensif terhadap kalangan pendatang.

Jika dirunut lebih jauh, ternyata peristiwa kekerasan di Bali bukan hanya terjadi pada era kini saja, melainkan telah muncul pada masa kolonial, bahkan jauh sebelum itu. Menurut Arif B. Prasetyo yang mengkuratori pameran ini, “kekerasan telah dimulai sejak era Bali tempo dulu, sederetan kerajaan kecil selalu bersaing dan berperang satu sama lain. Bahkan muncul stigma pada masyarakat Bali sebagai kaum biadab yang suka berperang sehingga banyak dijadikan budak dan prajurit oleh penguasa kolonial.”
ALIT SUAJA_noda merah 1965 - 148 x 88 cm - oil on canvas -2015

Sejumlah kajian secara antropologis maupun historis yang mengupas sejarah panjang perilaku kekerasan di pulau dewata menyebutkan adanya paradoks yang muncul di Bali, di satu sisi masyarakatnya hadir sebagai pribadi yang luhur dengan kekayaan budaya, di sisi lain riwayat perilaku yang antikemanusiaan itu mustahil dielakkan. Salah satu peristiwa kekerasan yang paling disorot adalah perang Puputan melawan Belanda yang terjadi pada tahun 1908 yang memberi dampak besar bagi masyarakat Bali masa itu. Adrian Vickers, profesor pada bidang studi Asia Tenggara di Universitas Sidney yang juga menulis untuk pameran ini menyatakan bahwa perang penghabisan yang dilakukan oleh keluarga kerajaan dan rakyat sipil memberi dampak kekalahan moriil pada kubu Belanda.

Situasi tersebut menggiring Belanda untuk menjalankan politik ruste en orde dengan membangun citra surgawi demi memperbaiki nama baiknya di kancah Internasional, alih-alih menarik wisatawan dan merintis industri pariwisatanya pada masa itu. Namun sekali lagi, perlakuan diskriminatif Belanda terhadap pribumi mendapatkan respon keras sehingga tercipta situasi ketegangan antara keduanya. Vickers mencatat tentang berbagai penanda yang menjadi gejala tersebut antara lain, “lukisan-lukisan Bali pada periode ini tercatat sangat kelam dari para pelukis Batuan, menggambarkan suasana ketakutan yang dialami masyarakatnya. Lukisan-lukisan tersebut menunjukkan pada kita bahwa salah satu bentuk kekerasan adalah supernatural, kehadiran para penujum dan juga kutukan merupakan salah satu bentuk perlawanan secara fisik dan psikologis,” ungkap penulis buku Bali: A Paradise Created ini.

Perhatian Vickers juga tertuju pada peristiwa pembantaian para anggota dan simpatisan Partai Komunis Indonesia pada periode 1965-1968, Bali disebut sebagai penyumbang korban terbanyak oleh Vickers. Meskipun fakta tersebut bukan hanya menjadi aib bagi Bali, melainkan juga seluruh Indonesia. Peneliti lain yang juga mengupas peristiwa ini adalah I Ngurah Suryawan dalam bukunya Ladang Hitam di Pulau Dewa, buku ini membongkar mitos tentang kekerasan yang terjadi di Bali pada 1965 tersebut sebagai proses alamiah, argumentasi keseimbangan alam, dan mitologi letusan gunung agung yang meminta korban. Menurutnya, mitos-mitos tersebut tak lebih dari sebuah rekayasa yang sengaja diciptakan oleh penguasa saat itu.  
Citra Sasmita_TORMENT_150 x 120 cm_mix media on canvas_2015

Dengan riwayat peristiwa kekerasan sepanjang itu, ternyata hingga kini Bali masih enggan untuk mengungkapnya melalui berbagai praktik kesenian, termasuk seni rupa. Hal tersebut diungkapkan oleh Arif B. Prasetyo yang menyebut hanya ada segelintir  perupa yang tergugah dan mengangkatnya dalam karya, “jika dipaksa untuk menyebut nama, lagi-lagi kita hanya akan menemukan nama Mangu Putra, Wianta, atau  Tatang Bsp.” Sementara perupa lain cenderung mengejar aspek estetik dalam proses kekaryaannya. Kurangnya perupa yang mengangkat tema-tema sosial politik di Bali, dianggapnya sebagai sebuah kelemahan yang mengkhawatirkan bagi arah seni rupa Bali di masa mendatang.

Sementara arah seni rupa di negara-negara Asia sudah menunjukkan gejala menuju pada persoalan-persoalan sosial politik, sebagai bentuk respon dari situasi sosial maupun politik yang berlangsung di negara-negara tersebut. Korea, Tiongkok, India, Taiwan, dan Indonesia adalah negara-negara yang memiliki deret konflik yang dipicu oleh represi rezim penguasa. Sepanjang 32 tahun kekuasaan rezim Orde Baru, rakyat Indonesia mengalami tekanan politik oleh pemerintah dan militer. Pasca berakhirnya rezim Orba, memasuki era reformasi, tekanan politik oleh pemerintah dan militer boleh dibilang telah memudar. Namun yang lahir justru kelompok-kelompok masyarakat yang mengatasnamakan ideologi tertentu dan menggantikan peran negara dalam mengontrol masyarakatnya, termasuk yang menjamur di Bali saat ini.

Pameran Bali Art Intervention: Violent Bali ini semula berniat menghadirkan 85 perupa lintas disiplin, mulai dari fotografi, patung, instalasi, dua dimensi, hingga performance art.  Namun hanya sekitar 64 perupa yang menyatakan kesanggupannya menggarap tema kekerasan tersebut. Arif B. Prasetyo mengakui bahwa tema yang disodorkan olehnya memang menjadi kendala bagi sebagian perupa yang tidak terbiasa dengan tema sosial dan politik. “Meskipun demikian, dengan berbagai data historis dan fenomena sosial yang terjadi hari ini, persoalan kekerasan sebenarnya sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari para perupa. Tergantung mereka memiliki kepekaan untuk mengangkatnya atau tidak,” ungkapnya.

ANTHOK S_Stop War, 140 x 175 cm, oil on canvas, 2014

Sebagian besar karya-karya dari para perupa masih menunjukkan gejala malu-malu untuk mengangkat persoalan kekerasan di Bali secara terbuka, sehingga memilih jalur aman dengan menciptakan karya secara simbolik. Seperti Mangu Putra misalnya, meski terbiasa melukis berdasarkan potret-potret sejarah kekerasan yang terjadi di Indonesia, dalam pameran ini Mangu memilih jalur aman dengan hanya melukiskan sebuah botol arak yang pecah berlumur darah. Persoalan kekerasan itu dapat ditangkap melalui simbol arak (alkohol) sebagai sumber letupan konflik yang terjadi di Bali saat ini, hal yang juga kerap diungkap dalam sejumlah pemberitaan di media lokal. Persoalan akar kekerasan juga diangkat oleh Edy Asmara yang menuding permainan digital sebagai sumber perilaku kekerasan. Melalui lukisan bertajuk “Teror Game”, Edy menghadirkan paradoks keceriaan anak-anak yang ternyata berpotensi menanamkan perilaku kekerasan. Apalagi tidak ada lembaga yang dapat mengontrol sejauh apa konten dalam permainan digital memberi dampak psikologis pada anak-anak.


Salah satu lukisan yang mencoba mengulik luka sejarah antara lain karya Alit Suaja yang bertajuk “Noda Merah”, potret seorang kakek dengan logo PKI di lengan kirinya. Sampai hari ini, para penyintas tragedi 65 masih dapat ditemui. Mereka selamat dari pembunuhan massal, tapi mungkin tidak secara sosial. Banyak di antara mereka yang mengalami perubahan drastis dalam hidupnya, bahkan tidak jarang yang dikucilkan oleh lingkungan. Dari 64 perupa yang turut menyumbang karya dalam pameran ini, setidaknya dapat terlihat berbagai sudut pandang menakar kekerasan yang terjadi di Bali dari masa silam hingga masa kini. Dari sana mungkin kita bisa menyusun sebuah diorama dalam benak, bagaimana peristiwa-peristiwa itu selama ini senyap  di balik citra surgawi yang melekat di pulau kecil ini. 

Tulisan ini merupakan preview pameran Bali Art Intervention:Violent In Bali, pernah dimuat di Majalah Sarasvati edisi November 2015

Senin, 26 Oktober 2015

‘TUTUR’ EMPAT PERUPA LINTAS GENERASI

bakti wiyasa_sari pertiwi jati dan konstelasi pertiwi jati_2015
Oleh Dwi S. Wibowo

Sekitar pertengahan bulan Agustus lalu, saat sebagian orang tengah sibuk menata nasionalisme merah putih di dadanya, perupa asal Tabanan, I Made Bakti Wiyasa justru memilih untuk menyuntuki bulir-bulir padi yang mulai menguning di persawahan kampung halamannya, Penebel. Bukan untuk menimang masa panen yang akan segera tiba, melainkan tengah merenungkan alam dan tradisi Bali yang sangat kaya, namun naasnya justru mulai dikandaskan oleh orang-orang Bali sendiri.

Saat bertandang ke kediamannya di kota Denpasar, saya disambut oleh benih-benih padi yang baru disemai di atas beberapa tempeh (nampan anyaman bambu) yang disusun sedemikian rupa. Tentu ini bukanlah pemandangan yang wajar dalam proses pertanian di pelosok manapun, sebab biasanya benih padi akan langsung disemai di sawah. Bakti memang bukan bermaksud menyiapkan benih untuk sawah miliknya, melainkan tengah menyiapkan karya untuk sebuah pameran yang akan diikutinya.

Bersama tiga perupa lainnya, mereka tengah menyiapkan sebuah pameran dengan tajuk  “Tutur Nyatur” di Bentara Budaya Bali, pada 16-23 September. Mereka ialah I Nyoman Wirata, I Wayan Santrayana, dan I Wayan Sudiarta. Secara kebetulan, keempatnya punya latar belakang profesi yang sama, yaitu sebagai perupa cum pendidik. Bakti dan Sudiarta merupakan dosen seni rupa, sedangkan Wirata dan Santrayana adalah guru seni rupa. dengan kesamaan latar profesi itulah, keempatnya yang boleh dibilang lintas generasi saling bertemu dan membingkai wacana pameran ini.
wayan sudiarta_baris-an penjaga nilai_180x300cm_2015
Tanpa ingin terlalu berat mengusung gagasan, keempatnya sepakat untuk mengangkat tajuk “Tutur Nyatur” yang mereka pungut dari khasanah tradisi Bali. Dalam bahasa Bali, “tutur” berarti ucapan baik yang berupa nasihat ataupun suatu narasi, sedangkan “nyatur” berarti menuju ke empat penjuru. Meski memiliki latar belakang profesi yang sama, namun faktor pengalaman dan usia jelas membedakan keempatnya. Sehingga mereka memutuskan untuk tetap mengusung karakter masing-masing dalam pameran ini, tanpa terikat pada satu gagasan mengenai isu sosial tertentu.

Seperti yang dilakukan oleh perupa yang paling senior di antara mereka, I Nyoman Wirata. Perupa yang baru saja purna mengabdikan diri sebagai guru di sebuah sekolah negeri di Denpasar ini tetap mengusung prinsip kekaryaannya yang selalu dekat dengan dunia sastra, khususnya puisi. Dalam melukis, perupa yang alumni SSRI Denpasar tahun 1972 tersebut selalu mengolah puisi terlebih dahulu sebelum memindahkannya ke dalam citraan-citraan semi abstrak di atas kanvas. Sejak mengawali karirnya, Nyoman Wirata memang tak ingin melepaskan diri dari sastra, bahkan hingga kini setidaknya ada beberapa buku kumpulan puisi yang diterbitkannya.

Memasuki generasi kedua, adalah I Wayan Santrayana. Namanya mungkin asing di telinga para pecinta seni rupa kontemporer, namun tidak bagi sebagian perupa asal Bali seperti Putu Sutawijaya ataupun Made Sumadiyasa, sosok Santrayana adalah guru yang pernah mendidiknya semasa menempuh studi di Sekolah Menengah Seni Rupa. Dalam pameran kali ini, karya-karyanya cenderung mempertanyakan tentang hakikat-hakikat hidup dan kehidupan (mungkin merupakan bentuk spiritualitasnya) dijalaninya dengan menjadikan media melukis sebagai altar atau sajadah perenungan dimana jejak-jejak prosesnya terekam pada kanvas berupa aliran garis berirama, berpola bahkan berkoreografi yang kemudian juga meninggalkan jejak berupa suasana bathin yang melingkupi di dalam proses kontemplasinya.
karya nyoman wirata
Sedangkan Wayan Sudiarta di lapis ketiga, menampilkan sejumlah karya lukisan berukuran cukup besar yang menunjukkan kesuntukkannya menjajal teknik. Tema-tema seputar seni tradisi menjadi fokus utama dalam karya-karyanya, terutama dalam hal mempertanyakan konteks dan relevansinya hari ini. Sehingga terlihat dalam karyanya yang menampilkan sejumlah barong dalam pose yang kenes tengah berselfie ria seperti tren anak muda masa kini. Mungkin itulah ironi yang ingin dihadirkan olehnya sebagai bentuk kritik terhadap seni tradisi bali saat ini.

Sebagaimana tertera pada awal tulisan ini, I Made Bakti Wiyasa dalam pameran ini mengolah padi sebagai ide dasar dari karyanya, maka terciptalah sebuah instalasi berupa sebuah bulir padi berukuran raksasa yang tergantung di dinding ruang pamer Bentara Budaya Bali. Karya yang berukuran maksimal hingga 3 x 27 meter tersebut terbuat dari bahan organik yaitu bambu dan klangsah (anyaman daun kelapa) dan diberi judul “Sari Pertiwi Jati”. Pertiwi jati merupakan tatanan kemakmuran pada masyarakat agraris Bali yang diwariskan secara turun temurun melalui subak. Tatanan ekonomi tradisional yang bertaut secara langsung dengan alam dan spiritualitas, sehingga pada tataran kosmologis masyarakat memiliki kesadaran penuh bahwa melimpahnya sumber daya alam merupakan karunia dari Tuhan.


Keempat perupa cum pendidik lintas generasi tersebut hadir dengan karakter kekaryaannya masing-masing dalam pameran ini, dari sana kita bisa melihat bagaimana waktu merentang panjang. Antara yang senior dengan generasi sesudahnya tentu memiliki konteks berkesenian yang berbeda, termasuk cara pandang akan sebuah persoalan. Saya jadi teringat perkataan I Nyoman Wirata di sela persiapan pameran, “tidak semua orang yang dianggap senior memiliki kekayaan pengalaman melebihi juniornya, mungkin justru sebaliknya.”

Tulisan ini pernah dimuat di Majalah Sarasvati edisi oktober 2015

Selasa, 13 Oktober 2015

PERSILANGAN SENI RUPA DAN DESAIN

Citra Sasmita, The Red Hangman, 2015, Esther Metal Sheet, 55 x 28 x 7

oleh Dwi S. Wibowo
Ibarat sepasang rel kereta, seni rupa dan desain adalah dua bilah yang membentang berdampingan, meskipun sangat jarang kita lihat keduanya saling bersinggungan. Para perupa begitu kerap menyuntuki medium-medium ganjil dan kepiawaian teknis guna mencipta karya yang punya nilai artistik tinggi sekaligus adiluhung, sedangkan para desainer lebih banyak merancang benda-benda fungsional yang begitu lekat dengan keseharian. Ya, seni rupa memang seperti sebuah pemanggungan yang berjarak dengan kehidupan, sedangkan desain lebih menyerupai realitas kehidupan itu sendiri. Oleh karenanya, sebuah pameran yang dihelat oleh Sudakara Art Space sejak 27 Agustus lalu, mencoba menautkan dua dunia sekandung itu dalam kerangka tajuk “Portable Sculpture Objects Fungtional Arts”.
Sejumlah perupa yang terbiasa menggeluti seni rupa murni (lukis, patung, dan instalasi) ditantang untuk memperluas kecakapan berkaryanya dengan menerapkan pada benda-benda guna (fungsional). Sebagaimana terlihat dalam pameran ini, beberapa perupa yang terlibat antara lain Aan Juniartha, Art of Whatever (AOW), Atmi Kristiadewi, Budi Agung Kuswara, Budi ‘Boleng’ Santoso, Citra Sasmita, Dewa gede Jodi Saputra, IGK Adi Dewantara, Made Aswino Aji, Made Supena, Putu Suarjana, Made Muliana Bayak, Nyoman Suarnata, Putu Edy Asmara, dan Putu Suardana.
Budi Boleng, Table Lamp 1, 2015, Mixed Media, 41 x ++ 22
Alih-alih nampak selayaknya pameran seni rupa yang sarat gagasan, pameran ini seolah lebih ingin menampilkan kecakapan para perupa dalam mengolah karakter estetiknya ke dalam benda guna sehari-hari. Meskipun masing-masing dari mereka masih juga menyelipkan idiom-idiom khasnya dalam berkarya. Dalam perbincangan dengan Army (kordinator pameran ini) beberapa minggu sebelum pembukaan pameran, ia menuturkan bahwa pameran ini berupaya mengangkat konsep art bazaar yang bisa lebih mendekatkan karya para perupa tersebut dengan pemirsa, yang secara aktif dapat sekaligus menjadi buyers. Apalagi dengan posisi Sudakara Art Space yang merupakan bagian dari hotel Sudamala, membuatnya menjadi sangat strategis. Pameran yang akan digelar hingga 5 Oktober mendatang ini juga diniatkan menjadi alternatif untuk mengatasi kejenuhan aktifitas seni rupa di Bali yang melulu konvensional menampilkan lukisan dan patung.
Tak sekedar mengawinsilangkan antara seni rupa dan desain, ternyata pameran ini juga mensyaratkan para perupa untuk menciptakan karya yang portable (mudah dibawa) sebagaimana terlampir dalam judul pameran ini. Oleh karena itulah, kebanyakan perupa cenderung menggarap karya-karya berukuran mini seperti terlihat dalam beberapa karya Made Muliana Bayak. Ia membuat patung-patung dari kolase benda temuan sehari-hari seperti mouse komputer, kaleng minuman, potongan pensil, dan pisau dapur. Salah satunya diberi judul “Osama Bin Scorpion The Cyber Terror”, karya tahun 2015 itu tersusun dari mouse komputer yang dikolase dengan kawat dan roda bekas mainan. 
Aswino Aji, Display Installation View
Tak hanya Bayak yang piawai merangkai benda-benda temuan semacam itu, Budi ‘Boleng’ Santoso juga menggunakan pola yang sama. ia banyak mengumpulkan perkakas otomotif dan juga botol-botol bekas wine untuk dirakit menjadi sebuah karya. Dalam pameran ini, Budi menampilkan beberapa lampu meja yang dibuatnya dari bahan perkakas seperti pompa sepeda dan piringan rem motor yang dikombinasikan dengan potongan botol dan bohlam di dalamnya, sehingga bias cahaya yang dihasilkannya dari balik kaca botol menjadi sangat puitis.
Beberapa seniman yang lain mencoba mengelaborasikan konsep berkarya yang biasa mereka lakoni dalam bidang dua dimensi ke dalam benda guna sehari-hari. Di titik ini, kita diajak untuk melihat bahwa medium para perupa ternyata tidak hanya terbatas pada bidang datar seperti kanvas atau kertas, seperti terlihat dalam karya-karya yang diusung oleh kelompok perupa yang menamakan dirinya Art of Whatever. Latar belakang mereka sebagai perupa yang menekuni street art membuatnya lebih leluasa dalam menyikapi medium dalam berkarya, maka jadilah karya-karya mereka dalam medium seperti jaket, payung, dan sepatu. Tanpa mau meninggalkan karakteristik khas dan juga selipan gagasan, mereka mengombinasikan teknik lukis, grafis, dan digital printing dalam sandangan tersebut. Keuntungannya ialah, karya sekaligus pesan yang terlampir di dalamnya akan terbawa mengikuti kemanapun langkah orang yang menggunakan produknya.

Budi Agung Kuswara, After Murakami, 2015, Ceramics Teapot and cups (2 pcs)

Hal serupa terlihat juga dalam karya-karya Made Aswino Aji yang juga menerapkan pola berkarya dua dimensi ke dalam benda-benda guna seperti jam dinding ataupun mangkok dan nampan kayu. Dengan teknik drawing menggunakan pensil warnanya yang khas, ia juga tetap mengusung ikon-ikon gambarnya yang selama ini banyak muncul dalam karya-karya lukisnya. Selain itu, yang juga menarik adalah cangkir-cangkir keramik karya Budi Agung Kuswara yang disusun berjajar di atas lightbox. Beberapa seri karya keramik itu tampil dengan sangat rapi, salah satunya yang diberinya judul “After Murakami”, menampilkan motif-motif senyum bunga matahari serupa karya seniman ternama Jepang Takashi Murakami yang diolah dengan teknik pembuatan keramik yang sangat baik. Karya instalasi berbahan plat besi karya Citra Sasmita juga cukup menarik perhatian, menampilkan sepasang sosok malaikat yang dipajang berdampingan dengan warna yang sepenuhnya merah menyala. Karya yang diberi judul “The Red Hangman” itu berfungsi sebagai capstok yang diposisikan tepat pada posisi phalus sang malaikat, membuatnya menjadi sangat parodikal, sekaligus berani.
Pameran sejenis, bukan kali ini saja digelar di Bali, sebelumnya juga pernah digelar pameran yang menampilkan pertautan antara seni rupa dan desain yaitu “Art Expose” pada tahun 2014 di Maha Art Gallery yang diikuti oleh sejumlah perupa termasuk Edy Asmara dan Atmi Kristiadewi yang juga terlibat dalam pameran kali ini. Tanpa menurunkan nilai estetik dari karya-karya seni yang biasa mereka ciptakan, dari pameran tersebut setidaknya terlihat bahwa seni rupa ternyata bisa begitu dekat dengan desain. Meskipun selama ini sering muncul anggapan sinis yang menyebutnya sebagai seni rendahan, namun ternyata di belahan bumi lain, yaitu di Chicago pameran serupa yang mengusung tajuk SOFA (Sculpture Object Fungtional Art) juga digelar dan diikuti oleh banyak galeri ternama. Barangkali, seni memang semestinya melekat pada fungsi sehari-hari.

*)tulisan ini pernah dipublikasikan di majalah sarasvati edisi oktober 2015

Sabtu, 10 Oktober 2015

DALAM BAYANG-BAYANG RENAISANCE

9. Valasara,Carrousel, 370 x 1200 cm, acrylic on canvas, 2015

oleh Dwi S. Wibowo
Masa Renaisance merupakan era penting sekaligus penanda bagi kebangkitan seni rupa barat, juga dunia. Pada masa itu, para maestro seperti Da Vinci, Michelangelo, Boticceli, juga Carravaggio mengalami periode emas melalui pencapaian bentuk anatomi dalam lukisan-lukisannya yang mendekati sempurna. Lukisan-lukisan karya mereka juga menjadi kanon dalam sejarah seni rupa dunia yang terus dipelajari hingga hari ini. Berangkat dari asumsi itulah, Made Wiguna Valasara menciptakan sejumlah karya apropriasi yang bertolak dari lukisan-lukisan karya para maestro tersebut.
Sebagaimana lazimnya karya-karya apropriasi yang menyalin ulang karya-karya lama yang telah ada menjadi karya baru, Valasara juga mengolah kembali sekian banyak lukisan kanon dari para maestro tersebut menjadi karya-karya baru yang lebih segar. Sebutlah lukisan-lukisan seperti Monalisa, The Entombent Of Christ, The Birth Of Venus, hingga The Last Judgement karya Michelangelo yang menghiasi altar Sistine Chapel berpindah ke dalam kanvasnya. Karya-karya apropriasi tersebut akan dipamerkan di galeri Art:1 pada 8 Oktober mendatang dengan tajuk “Lukisan-Lukisan” yang dikuratori oleh Agung Hujatnikajenong.
Kita tentu bertanya mengapa tajuk yang diusung justru “Lukisan-Lukisan”, sementara masih ada kegamangan untuk menyebut apakah karya-karya dari perupa kelahiran sukawati ini termasuk lukisan atau justru karya trimatra. Disanalah Valasara sedang menempatkan diri, perupa yang pernah mengenyam studi patung sekaligus lukis di ISI Yogyakarta tersebut memang sedang mempertanyakan batas-batas itu. “Selama ini, lukisan memenjarakan bentuk ke dalam bidang datar melalui ilusi warna dan garis,” ungkap perupa yang dikenal dengan  teknik emboss tersebut. Sehingga melalui karya-karyanya kali ini, ia justru ingin melepaskan bentuk dengan menciptakan dimensi yang dapat diraba, sekaligus menghapus seluruh warna menjadi monokrom.
6. Valasara, Interpreting Caravaggio #2, 260 x 200 cm, acrylic on canvas , 2014

Dengan teknik emboss miliknya, karya-karya valasara memang menjadi bias antara karya dua dimensi ataukah tiga dimensi. Zona bias itu diperkuat dengan penggunaan kanvas sebagai medium yang begitu lekat dengan tradisi seni lukis (dua dimensi). Andaikan, medium yang digunakan olehnya berupa batu atau kayu, mungkin kita bisa lebih mudah mengkategorikannya. Namun bagi perupa yang pernah meraih penghargaan karya trimatra itu, kengototannya menggunakan medium kanvas justru untuk mempertegas sikapnya yang tidak hanya melihat kanvas sebagai media, tapi sekaligus menjadi esensi dari karyanya.
Termasuk dalam pameran ini, pertanyaan itu menjadi semakin menguat. Tanpa segan, ia melontarkan tanda tanya pada lukisan-lukisan yang telah menjadi kanon seni rupa dunia. Maka, kita akan diajak untuk bertamasya menuju masa renaisance melalui bidang-bidang cembung miliknya. Setidaknya ada sepuluh karya yang akan ia tampilkan dalam pameran ini, yang seluruhnya berwarna putih polos. Hanya efek bayangan dari sorot lampu galeri yang akan menuntun kita mengenali lekuk-lekuk anatomi karya para maestro tersebut.
Selain melakukan apropriasi secara utuh, seperti dalam karya “Interpreting Caravaggio #1” yang merupakan salinan dari karya legendaris The Incredulity Of Saint Thomas, Valasara juga memberi unsur parodi yang cukup menimbulkan daya ganggu. Secara hiperbolis, dalam karya  “Interpreting Caravaggio #2” menampilkan sebuah adegan dalam lukisan The Entombing of Christ dengan mengubah postur Yesus yang ramping menjadi tambun. Yang secara tidak langsung mengingatkan kita pada karya-karya terdahulunya yang dipengaruhi postur-postur figur dalam lukisan Lucien Freud, atau jangan-jangan dalam karya ini ia masih terngiang-ngiang pada si Venus dari Willendorf yang cantik nan tambun.
4.Valasara, Ateip, 150 x 150 cm, acrylic on canvas, 2013

Pertanyaan-pertanyaan seputar postur (anatomi tubuh) juga nampak dalam beberapa karyanya yang memadukan apropriasi dari dua lukisan berbeda ke dalam satu bidang kanvas. Seperti terlihat dalam karya “Michelangelo Greets Boticelli” yang merupakan salinan dari lukisan The Birth of Venus yang termasyur itu dengan sepotong fragmen adam dan eva yang berjalan terusir dari surga karya Michelangelo. Disana kita dapat melihat perbedaan persepsi tentang bentuk anatomi tubuh  dari kedua maestro tersebut berpadu dalam satu bidang, sehingga dapat dibandingkan satu sama lain.

Karya lainnya yang juga menyandingkan dua maestro dalam satu bidang adalah “The Sistine Chapel Smile” yang memadukan lukisan Monalisa dengan The Last Judgement. Di sana kita akan melihat keanggunan monalisa di tengah kemegahan altar Sistine Chapel tempat mural fresco itu tertera. Sekaligus akan nampak bagaimana kecenderungan karya Da Vinci yang didominasi lukisan potrait, sementara sang muralis Michelangelo justru sebaliknya, menyesakkan narasi sebanyak mungkin dalam karya-karyanya yang berukuran gigantis. Melalui pameran ini, kita akan diajak melihat penjelajahan estetik Valasara menuju masa silam, sekaligus mempertanyakan masih relevankah lukisan-lukisan kanon itu kita jadikan kiblat.
*)tulisan ini pernah dipublikasikan di majalah sarasvati edisi oktober 2015

Selasa, 15 September 2015

SENI LUKIS TRADISI DI AMBANG SENJA


oleh Dwi S. Wibowo
Di tengah arus perkembangan seni kontemporer di Indonesia, ternyata di sejumlah tempat para pelukis tradisi masih ngotot bertahan dan menolak untuk dianggap seni pinggiran. Di Bali, sebuah pameran yang mengusung seni lukis tradisi gaya Ubud digelar di ruang seni Bale Banjar Shankara (Sanur) dengan tajuk ‘Ubud Style Balinese Paintings’. Alih-alih sekedar menyusun direktori kecil tentang khasanah seni lukis tradisi gaya ubud, pameran ini justru mengakomodir sebuah kelompok yang terbilang sudah cukup tua sekaligus pernah malang melintang, bahkan jatuh bangun terdepak zaman.
Mereka adalah Kelompok Seniman Suamba, sebuah kelompok yang sudah berkembang di Ubud sejak dekade 70-an. Mengalami pasang surut dalam rentang usia yang panjang tersebut, kini mereka memiliki anggota sejumlah 30 seniman yang semuanya bermukim di seputar kawasan Ubud. Namun dalam pameran yang digelar sejak 1 Agustus hingga 1 September ini, kelompok yang diketuai oleh I Wayan Arka tersebut hanya menampilkan empat seniman terbaiknya yaitu I Made Reta, I Wayan Murja, I Made Karsa, dan I Ketut Suwela.
Seni lukis tradisi gaya Ubud telah memiliki catatan sejarah yang panjang meskipun tidak sepopuler seni lukis tradisi Bali lainnya, seperti seni lukis tradisi gaya Kamasan ataupun seni lukis tradisi gaya Batuan. Sejarah seni lukis tradisi yang berkembang di Bali barangkali akan lebih banyak merujuk pada seni lukis tradisi Kamasan yang secara dominan mengangkat cerita wayang dan panji. Perkembangan tersebut seiring dengan situasi sosial dan politik yang terjadi pada masa era Bali kerajaan yang dipimpin oleh kerajaan Gelgel (klungkung) sebagaimana seni lukis tradisi Kamasan tersebut berasal. Cerita wayang dan panji dalam seni lukis tradisi Kamasan menjadi bagian dari politik kebudayaan yang dijalankan oleh kerajaan, sehingga terjadi proses penciptaan dari kalangan seniman yang bersifat masif, sekaligus persebarannya.
Setelah runtuhnya kuasa politik kerajaan Gelgel di Bali, yang kemudian mengambil tongkat estafet kepemimpinan adalah kerajaan Ubud. Dengan pola yang serupa, raja Ubud juga melakukan politik kebudayaan terhadap rakyatnya melalui seni lukis tradisi yang dimilikinya. Berbeda dengan seni lukis tradisi Kamasan yang didominasi oleh cerita wayang dan panji yang diangkat dari narasi kitab suci ataupun lontar-lontar sastra, seni lukis tradisi Ubud justru berakar pada kehidupan masyarakat yaitu dengan lebih banyak menampilkan lukisan berlatar cerita rakyat ataupun gambaran hidup keseharian masyarakatnya. Salah satu ikon seni lukis Ubud yang paling tersohor adalah I Gusti Nyoman Lempad, yang juga masih termasuk kerabat Puri Ubud.
Perkembangan seni lukis tradisi Ubud tidak bisa dilepaskan dari sejarah kolonialisme, pasca penerapan politik etis Belanda di Indonesia yaitu dengan menjalankan Baliseering pada era 1920-an, terjadi perubahan arah seni tradisi di Bali, termasuk seni lukis tradisi. Perubahan pada seni lukis tradisi Ubud adalah yang paling kentara, terutama dikarenakan oleh pengaruh yang dibawa oleh dua seniman ekspatriat yang menetap di Bali yaitu Walter Spies dan Rudolf Bonnet. Kedua seniman eropa inilah yang mulai memperkenalkan seni lukis modern pada para pelukis tradisi di Ubud, dari segi material mereka mulai menggunakan cat sebagai medium melukis, meskipun tidak seratus persen meninggalkan material yang mereka gunakan sebelumnya, yaitu tinta.

Selain material, Bonnet dan Spies juga memberi pengaruh pada cara pembentukan anatomi dan komposisi lukisan dalam seni lukis tradisi Ubud. Jika sebelumnya anatomi manusia dalam lukisan tradisi masih mengambil bentuk wayang yang datar, pada era ini bentuk anatomi mulai mendekati sempurna dengan membentuk perspektif ruang. Selain itu, pada era ini juga ornamen dekoratif yang khas pada seni lukis tradisi mulai ditinggalkan. Bonnet dan Spies juga menginisiasi sebuah gerakan seni rupa Pita Maha bersama dengan Tjokorda Gede Agung Sukawati pada dekade 1930-an. Melalui gerakan itulah, seni lukis tradisi gaya Ubud menyebar semakin luas dan berkembang menjadi mahzab estetik yang menggabungkan antara unsur tradisional Bali dengan sentuhan modern khas Eropa.
Keempat seniman dalam pameran yang dihelat ruang seni Bale Banjar Shankara merupakan generasi terkini dari para penekun seni lukis tradisi gaya Ubud yang telah memiliki pamor luas tersebut. Masing-masing dari mereka memiliki kekhasan karakteristik teknik dan tema yang mewakili khasanah seni lukis tradisi gaya Ubud yang didominasi oleh lanskap mitologis yang berakar pada cerita rakyat maupun gambaran kehidupan sehari-hari masyarakatnya. Seperti dalam lukisan-lukisan I Made Reta misalnya, tema ritual keagamaan tampil secara dominan melalui lukisan monokrom bermedium tinta cina. I Made Reta merupakan salah satu seniman yang masih mempertahankan teknik tradisi menggunakan tinta cina untuk membentuk efek gelap terang (chiaroscuro), teknik tersebut dikenal dengan nama Sigar Mangsi. Karakteristik lukisan I Made Reta tersebut diperolehnya melalui penggabungan teknik yang dipelajarinya dari banyak guru melukisnya, mereka antara lain Ida Bangus Suryana, Wayan Suaka dari Katik Lantai, dan Wayan Garih dari Pengosekan Kelod.
I Wayan Murja tampil dengan mengeksplorsari dunia mistik dari berbagai mitologi yang berkembang dalam masyarakat Bali. Dalam salah satu lukisannya, pelukis kelahiran tahun 1965 ini mengangkat satu fragmen kisah Rajah Pala dengan menghadirkan figur menyeramkan di hadapan sepasang bayi. Suasana mistis sekaligus dibangun olehnya melalui latar yang serba gelap, khas karakter lukisannya. Tema-tema lukisan yang berlatar pada sastra lisan berupa cerita rakyat ataupun mitologi termasuk yang paling menonjol di kalangan pelukis tradisi Ubud, proses transformasi dari sastra ke lukisan ternyata justru memberi landasan bagi para pelukis tersebut sehingga memungkinkan melakukan tafsir yang luas terhadap cerita tersebut.
Mengamati lukisan-lukisan I Made Karsa sama halnya berwisata menuju Bali masa lalu. Lukisan-lukisannya lebih banyak menggambarkan potret kehidupan sehari-hari masyarakat Bali tempo dulu. Jika dilihat sekilas, barangkali lukisannya tidak ada bedanya dengan lukisan-lukisan tradisi lainnya yang diproduksi secara masif. Namun yang menjadi karakteristik khasnya adalah penggunaan teknik khas Pengosekan dalam membangun gradasi pada setiap figur dalam lukisannya yang kebanyakan berwarna cerah, sesuai dengan narasi keriangan masyarakat yang dilukiskannya.
Mengangkat potret dari peristiwa kesenian yang berlangsung hampir setiap hari di Bali, I Ketut Suwela lebih banyak melukiskan tarian-tarian tradisional. Sejak industri pariwisata mulai berkembang di Bali, kesenian (tarian) merupakan komoditas utama yang disajikan untuk menarik wisatawan. Hal itu membuat, peristiwa seni tersebut berlangsung tanpa mengenal waktu, dan hampir berjalan setiap hari di berbagai lokasi. Kondisi itulah yang juga berpengaruh pada nasib seni lukis tradisi Bali, termasuk para penganut gaya Ubud, perkembangan mereka berjalan beriringan dengan kondisi pariwisata yang terjadi di Bali. Di ruang-ruang galeri ternama, mereka hampir tidak mendapat tempat, padahal kekayaan khasanah seni lukis tradisi ini memiliki riwayat panjang. Barangkali, inilah gambaran usia senja mereka.
*)tulisan ini pernah dipublikasikan di majalah seni sarasvati edisi september 2015


Minggu, 13 September 2015

BUDAYA MINUM DAN IRONI HIDUP DI BALI


oleh Dwi S. Wibowo
Berawal dari kebiasaannya meminum kopi sembari membuat sketsa, Putu Sudiana yang karib disapa “Bonuz” mencoba merenungkan makna hidupnya sebagai seniman yang berbaur dalam lintasan tradisi dan situasi sosial yang berlangsung di Bali. Sebagai destinasi pariwisata yang mendunia, menjadi klise memang jika membicarakannya sebagai pulau surga yang tersisa di bumi. Arus kedatangan wisatawan yang terus meningkat setiap tahun, secara perlahan tapi pasti mengubah lanskap sosial pulau dewata. Jalanan yang dulu lengang, kini disesaki mobil-mobil yang terjebak kemacetan, pantai Kuta yang dulu senyap kini justru hingar bingar oleh deretan bar dan bermacam hiburan malam.
Melalui sebuah pameran yang mengusung tajuk “Because Life is Delicious” di Kubu Art Space Lodtunduh, Bonuz memberikan tawaran sudut pandang untuk melihat pulau kediamannya ini. Dalam pameran yang digelar di ruang seni milik komposer Wayan Gede Yudane sejak 29 Juli hingga 29 September mendatang ini, Bonuz menampilkan karya-karya di luar kebiasaannya sebagai pelukis abstrak. Karya-karyanya kali ini, lebih banyak diinspirasi oleh benda-benda yang lekat dengan budaya minum; gelas, cangkir, dan botol. Lebih dari itu, ia tidak ingin sekedar terjebak pada lukisan alam benda (still life), sekian pesan coba ia lampirkan disana.
Baginya, salah satu hal yang paling nampak dari perubahan lanskap sosial masyarakat Bali dewasa ini adalah maraknya budaya minum (minuman beralkohol) tersebut. “Kita melihat botol minuman telah menjelma menjadi simbol yang tidak bisa dilepaskan dari sebuah komunitas, dan bagaimana lingkup pergaulan di dalamnya terbentuk,” ungkap pelukis kelahiran Nusa Penida tersebut. Sehingga tidak aneh jika dalam setiap pertemuan selalu ada deretan botol-botol minuman, seolah sudah menjadi bagian tidak terpisahkan dari ritual komunikasi sosial semacam itu. Tren tersebut tentu dilatarbelakangi oleh pengaruh budaya yang dibawa oleh turis asal mancanegara, meskipun jika diulik lebih mendalam, masyarakat Bali juga memiliki tradisi minum sebagai medium sosialisasi yang klasik yaitu metuakan (meminum tuak). Oleh karena itu, menjadi menarik untuk menilik karya-karya yang ditampilkan oleh Bonuz melalui perspektif budaya minum tersebut.

Dalam tradisi masyarakat Bali, kebiasaan metuakan telah berkembang menjadi medium sosialisasi yang efektif di berbagai ruang komunikasi yang tersebar ke pelosok. Sebagaimana sifat minuman bekadar alkohol lainnya, tuak digunakan untuk mencairkan ketegangan suasana sehingga memungkinkan pembicaraan dapat lebih lancar dan mengalir. Tuak juga menjadi bagian penting dalam setiap ruang komunikasi formal yang berkembang dalam masyarakat tradisional Bali, seperti pertemuan banjar ataupun penyelesaian konfilk adat. Hal ini juga dikarenakan masyarakatnya yang berlatar budaya agraris dan komunal. Tuak merupakan minuman beralkohol kadar rendah yang diproduksi secara tradisional dari bahan nira yang difermentasi dalam rentang waktu tertentu. Tuak boleh disebut sebagai kearifan lokal dalam konteks di atas karena merupakan minuman yang diproduksi dengan memanfaatkan unsur-unsur alam lokal sekaligus untuk menunjang kultur lokal (metuakan) tersebut. Meskipun secara lebih luas, Bali tidak hanya dikenal memiliki tuak sebagai produk budaya minumnya, melainkan juga arak dan kopi yang juga sama populernya.
Di luar konteks tradisi tersebut, tren budaya minum yang berkembang, terutama di kalangan muda Bali hari ini lebih disebabkan oleh kultur hedonisme yang ditularkan melalui laku para wisatawan. Terbukanya ruang interaksi antara masyarakat lokal dengan wisatawan pada akhirnya menimbulkan pertautan-pertautan budaya antar keduanya. Hal tersebut juga dikarenakan menjamurnya ruang pertemuan dua kultur tersebut, yaitu berbagai pusat hiburan, bar, café ataupun yang lainnya di Bali. Secara umum, ada yang positif, sebagian juga negatif. Seperti tren budaya minum ini misalnya, bisa dinilai dari beberapa segi sekaligus. Positif, jika sebagaimana dalam tradisi lokal, digunakan sebagai medium bersosialisasi, dan mungkin negatif jika semata-mata mengikuti hasrat hedonisme.
Di titik ini, sudut pandang yang ditawarkan oleh Bonuz menjadi relevan, bahkan bisa menjadi kritik yang luas melalui 24 karya yang ditampilkan dalam pameran ini. Seperti dalam salah satu seri lukisannya yang menampilkan deretan botol berhadapan dengan gelas-gelas anggur dan dibumbui dengan kalimat verbal “tuak vs wine”. Melalui pesan tersebut, kita sudah bisa menangkap makna lukisan tersebut secara lugas. Namun dalam konteks realitas yang terjadi di Bali, tarikannya bisa diperluas hingga ke persoalan agraria dan pemanfaatan lahan. Di pesisir utara pulau Bali, sejak tahun 90-an terjadi perubahan kultur tanam secara besar-besaran. Lahan-lahan pertaniannya berubah menjadi ladang anggur, hal tersebut disebabkan oleh masuknya industri wine (anggur) yang mayoritas dimiliki kalangan ekspatriat yang bermukim di Bali. Kehadiran industri wine tersebut, tentu secara perlahan menggeser eksistensi minuman tradisional di mata para penikmatnya. Namun tidak hanya itu, lagi-lagi masuknya modal melalui industri pariwisata juga pelan tapi pasti menggeser eksistensi masyarakat lokal. Dengan mengatasnamakan pembangunan infrastruktur penunjang pariwisata, terjadi pengalihan fungsi dan kepemilikan lahan secara masif. Masyarakat secara sukarela melepas kepemilikan tanahnya karena tawaran finansial yang menggiurkan.
Stigma sosial yang melekat pada pulau Bali sebagai surga terakhir di bumi, barangkali membentuk anggapan banyak orang bahwa pulau ini adalah tempat tinggal terbaik. Alam yang indah, penduduk lokal yang ramah, makanan yang enak, dan kehidupan yang berlangsung dengan nyaman sebagaimana yang tertera dalam brosur-brosur wisata.  Namun realitas seringkali justru bertolak belakang dengan visual ideal yang dibayangkan. Bali hari ini telah mengalami berbagai perubahan sosial secara fluktuatif, pulau surga ini tidak lagi seperti yang diidamkan sejak dulu; persoalan ekologi, kesenjangan ekonomi, dan degradasi nilai tradisi sudah lazim dibicarakan dan dicari solusinya. Maka tidak heran jika lahir anekdot sosial di sini, “ jaen idup di Bali (nikmat hidup di Bali)”, yang kemudian dijawab, “yen suud ngadep tanah (kalau sehabis jual tanah)”. Barangkali itulah gambaran sosial masyarakat Bali hari ini, perlahan meninggalkan prinsip tradisi untuk mengejar kenikmatan duniawi. Mungkin, mereka ingin menjadi turis di rumahnya sendiri.
*)tulisan ini pernah dipublikasikan di majalah sarasvati edisi september 2015

Rabu, 26 Agustus 2015

TAMASYA KETAKUTAN DAN REPRODUKSI HANTU-HANTU




 oleh Dwi S. Wibowo
Rasa takut yang timbul dalam diri manusia merupakan hal yang wajar terjadi, ada berbagai hal yang bisa memicu bangkitnya rasa takut tersebut. Berhadapan dengan bahaya secara langsung bisa menyebabkan timbulnya rasa takut itu, alasan lainnya, bisa juga dikarenakan oleh gejala psikologis yang dialami manusia itu sendiri seperti fantasi tentang sesuatu hal yang berlebihan. Fantasi berlebihan inilah yang seringkali membuat manusia merasa takut terhadap sesuatu yang tidak nyata, seperti misalnya harus berjalan sendiri melewati kuburan saat malam jumat kliwon.
Apa yang salah dengan situasi tersebut? barangkali tidak ada, tapi fantasi manusia bisa saja tiba-tiba menghadirkan sosok-sosok ajaib di hadapannya; pocong yang minta dilepas ikatannya, perempuan cantik yang tak menginjak tanah, dan berbagai bentuk hantu lainnya. Pada dekade 70-an, atau mungkin sebelumnya, ketakutan manusia terhadap hantu-hantu itu dilihat sebagai sebuah komoditi. Melalui film-film yang dibintangi Suzanna, rasa takut itu dialihkan ke layar lebar dan justru dinikmati sebagai sebuah tamasya ketakutan yang ngetrend sampai hari ini kita sebut sebagai film horror.
Jeritan, jantung berdebar, hingga gemetar terkencing-kencing adalah sensasi yang justru dikejar dari tamasya ketakutan melalui film horror itu. Berawal dari trend kuntilanak dan sundel bolongnya suzanna, kini hantu-hantu selebritis itu berkembang lebih luas jadi nenek gayung, pocong keramas, hingga suster ngesot di skateboard. Sosok-sosok itu barangkali dipungut dari berbagai mitos ataupun urban legend yang menyebar dalam masyarakat, lalu dikembangkan dengan over-kreatif oleh para filmaker. Menariknya adalah animo penonton yang hampir tidak pernah turun terhadap film horror di Indonesia, hal ini dipicu oleh kesadaran penonton (kebanyakan remaja) yang justru ingin menantang diri melampaui rasa takutnya. Jadi rasanya tidak keliru, jika fenomena ini kita sebut sebagai tamasya ketakutan.
Beberapa paragraf di atas setidaknya bisa menjadi pengantar singkat untuk memasuki sebuah showcase foto yang digelar di Lingkara Photoart Community dengan mengangkat tema serupa, horror. Melalui sejumlah foto yang berderet itu, makna horror diretas ulang. Sebagaimana dalam catatan di atas, horror selalu identik dengan hantu-hantu, apapun jenisnya. Yang kemudian direduksi menjadi sebuah hiburan lewat layar lebar maupun televisi yang memacu adrenalin. Kehadiran hantu yang sebenarnya tidak nyata dan diperagakan oleh seorang aktor justru dinikmati, bahkan menjadi adiksi. Sesuatu yang justru dalam dunia nyata, malah dihindari. Dalam konteks ini, sosok hantu yang dihadirkan merupakan realisasi dari imajinasi si kreator (fotografer).
 Foto-foto hantu banyak dihadirkan oleh Ye Pe. Sebagaimana disinggung di atas soal hantu yang dihadirkan sebagai realisasi dari imajinasi Ye Pe sebagai fotografer. Melalui tubuh seorang model, imajinasi hantu itu dikonstruksi lewat foto dengan gaun putih, kaki mengambang, asap kabut, dan latar kegelapan. Sesuatu yang barangkali sudah lazim kita nikmati dalam berbagai adegan film saat si kuntilanak tiba-tiba menampakkan diri dari kegelapan malam. Itu soal pilihan visual, tapi yang menarik adalah menilik bagaimana posisi sosok hantu itu di mata kita saat ini.
Kuntilanak, sundel bolong, ataupun pocong merupakan bagian dari mitos ataupun urban legend yang menyebar di masyarakat. Secara nyata, sejumlah orang mengaku pernah melihat sosok itu, bahkan ada yang mengaku bisa memanggil, menangkap, lalu memenjarakannya dalam botol. Meskipun sulit kita terima dengan akal sehat, sebab seringkali orang-orang itu juga gagal menunjukkan bukti-bukti untuk menopang pengakuannya. Namun demikian, ketakutan akibat mitos-mitos tersebut telah diam-diam menyelinap dalam benak kita, sebagaimana kita seringkali memencet klakson tiap lewat pohon besar atau jembatan. Jangan-jangan, kita sedang membawa bekal imajinasi dari mitos itu dan membayangkan bahwa di pohon yang kita lewati ada sesosok perempuan cantik bergaun putih tanpa alas kaki, tapi punggungnya bolong.
Di titik ini, kehadiran foto-foto hantunya Ye Pe jadi menarik posisinya. Di satu sisi, foto-foto itu menjadi bagian dari mitos (urban legend, sastra lisan) yang menyebar dalam masyarakat dengan menjadi referensi visual bagi imajinasi banyak orang. Di sisi lain, foto-foto itu justru mengaburkan keberadaan mitos, sebab realitas kuntilanak itu telah dikonstruksi ulang melalui tubuh model yang aduhai nan seksi, sebagaimana mitos itu dulu dalam film-film dikonstruksi lewat wajah indo Suzanna (bintang hantu hari ini mungkin Dewi Persik atau Julia Peres yang tak kalah aduhai).
 Soal foto hantu, saya jadi teringat pengalaman saat SMP, saat itu beredar sebuah foto yang sudah berulangkali di fotokopi menampilkan sepasang muda mudi (konon asal kalimantan) bermesraan dan dibelakangnya nampak bayangan hantu dalam posisi tinggi kira-kira dua kali manusia normal. Cerita yang berkembang di kalangan anak SMP lugu macam saya, foto itu asli termasuk bayangan hantu, dan konon juga si pemudi meninggal sekian hari setelah kejadian itu. Hal serupa juga terjadi di televisi, tontonan berburu hantu atau uji nyali di bangunan tua seringkali memunculkan lingkaran merah dengan tanda panah untuk menunjukkan detail peristiwa ganjil; entah itu bayangan lewat atau bintik-bintik putih. Dan penonton televisi kita yang lugu meyakininya sebagai hantu narsis ingin masuk tv, dan berdecak dalam hati, “betapa canggihnya kamera milik stasiun tv swasta itu, bisa menyala dalam gelap sekaligus merekam gerakan hantu sekalipun.”
Bagi sebagian orang, horror barangkali tidak terlalu identik dengan hantu-hantu, melainkan semata-mata pada suasana yang memicu ketakutan sekaligus ngeri. Suasana semacam itu bisa disebabkan oleh banyak hal, melalui kesadisan misalnya, batas empati seseorang ditabrak begitu saja sehingga menimbulkan rasa takut sekaligus ngeri yang teramat dalam. Seperti sebuah peristiwa mutilasi yang menjadi akumulasi dari dua bentuk kesadisan yaitu pembunuhan sekaligus memotong mayatnya berulang-ulang. Perasaan siapa yang tidak terkoyak jika melihatnya? Ceceran darah, potongan tubuh, dan ekspresi bengis si pelaku. Dalam showcase ini, ada beberapa foto yang menarik dilihat dengan sudut pandang ini. 
 Seekor anak anjing (mungkin kucing) mati tergeletak di jalanan lengang, sekilas kita melihatnya sebagai korban tabrak lari. Lalu empati kita pun teriris, mengingat kelucuan si binatang kecil ini harus dirusak dengan ketegaan mencederainya. Namun di sampingnya tergeletak sepasang sendok-garpu, lagi kita disergap pertanyaan tentang sosok liyan yang dituju dengan paradoks sendok-garpu tersebut. Foto itu karya Nolandia Wijaya, tanpa sendok-garpu itu kita melihatnya sebagai foto dokumenter biasa. Tapi kehadiran piranti makan itu menimbulkan tanya, sebagai metafor dari peristiwa yang ‘memakan’ korban, atau justru secara verbal ingin bicara bahwa ada sosok liyan yang memakan bangkai si binatang kecil ini.
Lalu, sebuah foto yang berjudul ‘Nasib Akhir Alat Pikir’, sekilas foto yang nampak abstrak itu hanya menampilkan lanskap menjijikkan tentang sesuatu yang hangus terbakar dan meleleh. Berdasarkan referensi judul itulah lanskap itu baru nampak sebagai otak di kepala manusia dalam ritual ngaben, ritual sakral penyempurnaan maut manusia. Visual itu jelas mencederai empati siapapun yang melihatnya, membayangkan akibat suhu yang amat tinggi membuat batok tengkorak itu meletup dan melelehkan isinya. Foto itu menjadi menyayat karena menangkap detail peristiwa tepat di bagian yang ‘mengenaskan’. Barangkali dalam setiap ritual ngaben, peristiwa meletupnya batok kepala itu wajar terjadi, tanpa melihat lelehannya, dan hanya kobaran api, kengerian itu terabaikan. Foto ini secara jelas mengingatkan kita, bahwa dalam ritual penyempurnaan sekalipun, kita dipaksa melihat sebuah kengerian!
 Di luar itu masih ada sejumlah foto yang juga menampilkan kengerian, tidak secara verbal, namun puitis dengan menggiring memori sekaligus opini pemirsa. Salah satunya adalah foto karya Irawan Zuhri yang menampilkan foto rumah nomor 26, foto itu jelas langsung melemparkan pemirsa kepada sosok kecil Angeline. Rumah dalam foto itu adalah TKP penganiayaan sekaligus pembunuhan terhadap Angeline. Rumah yang kini berubah menjadi situs kengerian atas kekejaman seorang ibu angkat terhadap anaknya, sekaligus mencekam akibat memori kematian yang mengubahnya tak beda dengan sebuah kuburan.
Salah satu foto lainnya adalah karya Rudi Waisnawa berjudul “Last Kiss”, sepasang orang tua muda baru usai mengemas baju dalam tas, lalu mencium anak bayinya di lorong rumah sakit, di hadapannya seorang perawat nampak menanti. Meski ambigu (saya sengaja tidak mengkonfirmasi pada fotografer, semata-mata mengandalkan tafsir atas visual), sangat sayang seandainya melewatkan pembicaraan ini tanpa foto Rudi. Kita bisa saja bersilang pendapat soal peristiwa ‘asli’ itu, apakah benar itu sebuah ciuman terakhir yang berarti si pasangan muda itu akan meninggalkan anak bayinya di rumah sakit entah dengan alasan apa? Atau si anak bayi baru saja menghembuskan nafas terakhirnya akibat sakit? Atau justru sebuah ciuman haru biasa seorang ibu setelah melahirkan. Tapi, sudut pandang visual yang jauh, membuat foto Rudi mengarah pada peristiwa pertama. Di sana, sayatan itu seperti pisau tumpul yang digerakkan perlahan, melampaui sembilu. Kengerian itu hadir dari asumsi, “mengapa orang tua tega meninggalkan darah dagingnya sendiri.” Tanpa berkomentar, kita barangkali hanya bisa menahan kelu…