Jumat, 05 Juni 2015

Bagaimana Orang Darat Memandang Laut



oleh Dwi S. Wibowo
 
Membicarakan ihwal pertentangan budaya daratan dan lautan, menjadi isu yang boleh dibilang cukup krusial sekaligus aktual jika dikaitkan dengan konteks keindonesiaan kita hari ini. Sejak pidato kemenangan Jokowi dibacakan di atas geladak kapal yang sandar di Sunda Kelapa pasca pilpres tahun lalu, sontak seluruh mata masyarakat dari berbagai lapisan mengalih ke bentangan samudra di lepas pantai kita. Berapa pulau yang kita miliki? Sepanjang apa garis pantai kita? Sumber daya apa saja yang tersimpan di dalamnya? pertanyaan semacam itu, kini mulai menjadi perbincangan umum.
Secara historis maupun geografis, tidak dapat dipungkiri bahwa bangsa Indonesia adalah manusia pesisir yang hidup dengan kebudayaan laut. Buku-buku sejarah kita mencatat tentang pelayaran lintas benua kapal-kapal dagang Sriwijaya yang mampu memberi keyakinan bahwa manusia Indonesia pada era Nusantara adalah manusia-manusia yang memiliki keunggulan di tengah laut. Hal semacam itu, tentu harus diiringi dengan pemahaman bahwa mereka tidak berjalan di atas air, melainkan membangun teknologi maritim dan perkapalan secara mumpuni.
Sebagai bangsa yang merdeka pasca kolonialisme berabad-abad, barangkali hari ini kita menjadi sesat pikir tentang sejarah maritim bangsa ini akibat pengerdilan daya pikir oleh pemerintah kolonial secara sistematis. Kejayaan kapal-kapal kita di tengah samudra seolah tinggal memori kolektif yang dihidupkan sekedar sebagai dongeng, bukan menjadi pemicu bangkitnya peradaban yang akan kembali menuntun kita pada kejayaan maritim pasca kemerdekaan.
Menurut budayawan Radhar Panca Dahana, persoalan budaya laut tidak semata-mata terjebak pada aspek ekonomi historis, melainkan secara lebih kompleks memandangnya sebagai sebuah tata sosial masyarakat hingga pada tataran kosmologis yang hidup dengan filosofi air; sama rata dan sama tinggi. Egalitarian. Budaya yang sama sekali bertolak belakang dengan apa yang berlangsung hari ini yang lebih didominasi budaya darat dengan tata sosial berlapis serupa anak tangga. Budaya semacam inilah yang menyuburkan feodalisme dan ekslusifitas dalam masyarakat yang cenderung tertutup (closed sosciety).
karya Ipong Purnama Sidhi
 Paparan di atas merupakan sebuah pemantik untuk membuka pintu dan memasuki sebuah pameran yang bertajuk Asam Garam Bentara. Sebuah pameran seni rupa yang melibatkan para awak (kurator dan kreator) yang selama ini bekerja di kapal Bentara Budaya yang tersebar di empat kota dalam diskursus “Memantik Negosiasi Budaya Darat dan Budaya Laut”. Mereka ialah Ipong Purnama Sidhi, Gm Sudarta, Hari Budiono, Hermanu dan Wiediantoro. 
Memasuki ruang pamer, perhatian pengunjung akan segera tersedot menuju sebuah lukisan yang cukup bombastis karya Hari Budiono; wajah menteri kelautan dan perikanan, Susi Pudjiastuti mengenakan kostum a la Lara Croft dalam film Tomb Raider, lengkap dengan sarung tangan dan senapan mesin di lengannya. Menariknya lagi, tubuh bagian bawahnya berbentuk sirip ikan persis putri duyung. Lukisan tersebut memang bertajuk “Susi Duyung”, sebuah paradoks untuk menggambarkan wajah sang menteri yang belakangan kerap menghiasi layar kaca dengan aksi-aksi heroiknya menangkap dan menenggelamkan kapal-kapal asing yang secara ilegal masuk wilayah laut indonesia.
Menteri Susi adalah anomali, berbekal ijazah SMP dan tato di betis kirinya, ia justru menjadi satu-satunya menteri dalam kabinet kerja Jokowi yang mampu menunjukkan kinerjanya dengan baik dibandingkan dengan menteri-menteri lainnya. Maka tak heran jika dirinya sontak menjadi sorotan publik sekaligus menjadi pemicu optimisme masyarakat bahwa Indonesia akan kembali berjaya di laut. Terutama pasca lepasnya pulau Sipadan-Ligitan dan selat Ambalat ke tangan Malaysia.
Lukisan lain yang juga menampilkan heroisme serupa ialah “Sebuah Potret dari Lamalera” karya GM Sudarta. Lamalera adalah sebuah desa tradisional di pesisir Nusa Tenggara Timur yang dikenal luas memiliki tradisi berburu paus. Lukisan itu menggambarkan seorang Lama fa (penombak paus) dengan latar sebuah nostalgi perburuan paus di atas paledang (kapal tradisional lamalera). Karya seni adalah sebuah potret subyektif atas sebuah realita yang terjadi dalam suatu masyarakat.  Sebagaimana tradisi berburu paus di Lamalera tersebut, menjadi gambaran bahwa masyarakat Indonesia yang diwakili sebuah entitas kecil desa tersebut adalah masyarakat yang hidup dan secara heroik dapat dimaknai sebagai penakluk lautan melalui metafora paus.
Sejarah selalu hadir menjadi sebuah ironi, sebagaimana kita melihat sejarah maritim Indonesia dengan sudut pandang hari ini. Mungkin benar, masyarakat tradisional kita adalah masyarakat yang hidup dengan budaya laut. Akan tetapi hal tersebut seolah tidak memiliki sinkronisasi dengan segala realita yang berlangsung hari ini. Bahwa budaya laut kita tidak beranjak kemana-mana, tidak berkembang. Kritik itu, mari kita lihat dalam lukisan Hermanu yang berjudul “Iwak Pindang.” Lukisan tersebut menjadi kritik atas persoalan ekonomi global yang menyangkut sumber daya laut.
karya Wiediantoro
 Nelayan kita, secara fisik adalah penjaring ikan yang unggul, akan tetapi memiliki kesadaran ekonomi yang amat lemah. Dari segi produksi, meskipun masih menggunakan teknologi tradisional, hasil yang diperoleh cukup melimpah. Namun proses itu berhenti disana, dalam proses distribusi nelayan kita tidak memiliki teknologi mutakhir untuk mengolah produksi perikanan tersebut agar memiliki nilai ekonomis yang lebih tinggi. sebagai contoh yang diulik dalam lukisan “Iwak Pindang” tersebut adalah soal industri pengalengan ikan yang selama ini dikuasai pemodal-pemodal besar dan belum menyentuh lapisan bawah. Yang bahkan menyangkut persoalan ekonomi global karena menyangkut jaringan industri lintas negara.
Sebagai pembanding, sebuah karya seni karya Hari Prasetyo pada ArtJog 2013 lalu yang berjudul Behind The Teritorry Lines (Conflict and Agreement) membahas persoalan yang sama, yaitu kuasa negara atas industri perikanan di wilayah kelautannya. Dimana kepentingan akan nilai ekonomi dari hasil perikanan ternyata seringkali ditumpangi kepentingan-kepentingan politis dan kerap menimbulkan konflik di wilayah perbatasan laut. Sebuah persoalan yang kerap kali diluar jangkauan pandangan kita yang telah sekian lama berada dalam kultur daratan bahkan pegunungan.
Pameran Asam Garam Bentara setidaknya telah menyumbang suara dalam perbincangan menuju indonesia maritim. Layar telah dibentangkan, tinggal menunggu angin, dan selanjutnya terserah anda; kemana kapal kebudayaan ini akan berlayar. Sebagai penutup mari kita bermain dengan peribahasa lama, “Asam di gunung dan garam di laut, toh akhirnya bertemu di Bentara”
*)Catatan apresiasi pameran "Asam Garam Bentara" yang dihelat di Bentara Budaya Bali, Maret 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar