oleh Dwi S. Wibowo
Membicarakan ihwal pertentangan
budaya daratan dan lautan, menjadi isu yang boleh dibilang cukup krusial
sekaligus aktual jika dikaitkan dengan konteks keindonesiaan kita hari ini. Sejak
pidato kemenangan Jokowi dibacakan di atas geladak kapal yang sandar di Sunda
Kelapa pasca pilpres tahun lalu, sontak seluruh mata masyarakat dari berbagai
lapisan mengalih ke bentangan samudra di lepas pantai kita. Berapa pulau yang
kita miliki? Sepanjang apa garis pantai kita? Sumber daya apa saja yang
tersimpan di dalamnya? pertanyaan semacam itu, kini mulai menjadi perbincangan
umum.
Secara historis maupun
geografis, tidak dapat dipungkiri bahwa bangsa Indonesia adalah manusia pesisir
yang hidup dengan kebudayaan laut. Buku-buku sejarah kita mencatat tentang
pelayaran lintas benua kapal-kapal dagang Sriwijaya yang mampu memberi
keyakinan bahwa manusia Indonesia pada era Nusantara adalah manusia-manusia
yang memiliki keunggulan di tengah laut. Hal semacam itu, tentu harus diiringi
dengan pemahaman bahwa mereka tidak berjalan di atas air, melainkan membangun
teknologi maritim dan perkapalan secara mumpuni.
Sebagai bangsa yang merdeka
pasca kolonialisme berabad-abad, barangkali hari ini kita menjadi sesat pikir
tentang sejarah maritim bangsa ini akibat pengerdilan daya pikir oleh
pemerintah kolonial secara sistematis. Kejayaan kapal-kapal kita di tengah
samudra seolah tinggal memori kolektif yang dihidupkan sekedar sebagai dongeng,
bukan menjadi pemicu bangkitnya peradaban yang akan kembali menuntun kita pada
kejayaan maritim pasca kemerdekaan.
Menurut budayawan Radhar Panca
Dahana, persoalan budaya laut tidak semata-mata terjebak pada aspek ekonomi
historis, melainkan secara lebih kompleks memandangnya sebagai sebuah tata
sosial masyarakat hingga pada tataran kosmologis yang hidup dengan filosofi
air; sama rata dan sama tinggi. Egalitarian. Budaya yang sama sekali bertolak
belakang dengan apa yang berlangsung hari ini yang lebih didominasi budaya
darat dengan tata sosial berlapis serupa anak tangga. Budaya semacam inilah
yang menyuburkan feodalisme dan ekslusifitas dalam masyarakat yang cenderung tertutup
(closed sosciety).
karya Ipong Purnama Sidhi |
Paparan di atas merupakan
sebuah pemantik untuk membuka pintu dan memasuki sebuah pameran yang bertajuk Asam
Garam Bentara. Sebuah pameran seni rupa yang melibatkan para awak (kurator dan
kreator) yang selama ini bekerja di kapal Bentara Budaya yang tersebar di empat
kota dalam diskursus “Memantik Negosiasi Budaya Darat dan Budaya Laut”. Mereka
ialah Ipong Purnama Sidhi, Gm Sudarta, Hari Budiono, Hermanu dan Wiediantoro.
Memasuki ruang pamer, perhatian
pengunjung akan segera tersedot menuju sebuah lukisan yang cukup bombastis
karya Hari Budiono; wajah menteri kelautan dan perikanan, Susi Pudjiastuti mengenakan
kostum a la Lara Croft dalam film Tomb Raider, lengkap dengan sarung tangan dan
senapan mesin di lengannya. Menariknya lagi, tubuh bagian bawahnya berbentuk
sirip ikan persis putri duyung. Lukisan tersebut memang bertajuk “Susi Duyung”,
sebuah paradoks untuk menggambarkan wajah sang menteri yang belakangan kerap
menghiasi layar kaca dengan aksi-aksi heroiknya menangkap dan menenggelamkan
kapal-kapal asing yang secara ilegal masuk wilayah laut indonesia.
Menteri Susi adalah anomali,
berbekal ijazah SMP dan tato di betis kirinya, ia justru menjadi satu-satunya
menteri dalam kabinet kerja Jokowi yang mampu menunjukkan kinerjanya dengan
baik dibandingkan dengan menteri-menteri lainnya. Maka tak heran jika dirinya
sontak menjadi sorotan publik sekaligus menjadi pemicu optimisme masyarakat
bahwa Indonesia akan kembali berjaya di laut. Terutama pasca lepasnya pulau Sipadan-Ligitan
dan selat Ambalat ke tangan Malaysia.
Lukisan lain yang juga
menampilkan heroisme serupa ialah “Sebuah Potret dari Lamalera” karya GM
Sudarta. Lamalera adalah sebuah desa tradisional di pesisir Nusa Tenggara Timur
yang dikenal luas memiliki tradisi berburu paus. Lukisan itu menggambarkan
seorang Lama fa (penombak paus) dengan latar sebuah nostalgi perburuan paus di
atas paledang (kapal tradisional lamalera). Karya seni adalah sebuah potret
subyektif atas sebuah realita yang terjadi dalam suatu masyarakat. Sebagaimana tradisi berburu paus di Lamalera tersebut,
menjadi gambaran bahwa masyarakat Indonesia yang diwakili sebuah entitas kecil
desa tersebut adalah masyarakat yang hidup dan secara heroik dapat dimaknai
sebagai penakluk lautan melalui metafora paus.
Sejarah selalu hadir menjadi
sebuah ironi, sebagaimana kita melihat sejarah maritim Indonesia dengan sudut
pandang hari ini. Mungkin benar, masyarakat tradisional kita adalah masyarakat
yang hidup dengan budaya laut. Akan tetapi hal tersebut seolah tidak memiliki
sinkronisasi dengan segala realita yang berlangsung hari ini. Bahwa budaya laut
kita tidak beranjak kemana-mana, tidak berkembang. Kritik itu, mari kita lihat
dalam lukisan Hermanu yang berjudul “Iwak Pindang.” Lukisan tersebut menjadi
kritik atas persoalan ekonomi global yang menyangkut sumber daya laut.
karya Wiediantoro |
Nelayan kita, secara fisik
adalah penjaring ikan yang unggul, akan tetapi memiliki kesadaran ekonomi yang
amat lemah. Dari segi produksi, meskipun masih menggunakan teknologi
tradisional, hasil yang diperoleh cukup melimpah. Namun proses itu berhenti
disana, dalam proses distribusi nelayan kita tidak memiliki teknologi mutakhir
untuk mengolah produksi perikanan tersebut agar memiliki nilai ekonomis yang
lebih tinggi. sebagai contoh yang diulik dalam lukisan “Iwak Pindang” tersebut
adalah soal industri pengalengan ikan yang selama ini dikuasai pemodal-pemodal
besar dan belum menyentuh lapisan bawah. Yang bahkan menyangkut persoalan
ekonomi global karena menyangkut jaringan industri lintas negara.
Sebagai pembanding, sebuah
karya seni karya Hari Prasetyo pada ArtJog 2013 lalu yang berjudul Behind The Teritorry Lines (Conflict and Agreement)
membahas persoalan yang sama, yaitu kuasa negara atas industri perikanan di
wilayah kelautannya. Dimana kepentingan akan nilai ekonomi dari hasil perikanan
ternyata seringkali ditumpangi kepentingan-kepentingan politis dan kerap
menimbulkan konflik di wilayah perbatasan laut. Sebuah persoalan yang kerap
kali diluar jangkauan pandangan kita yang telah sekian lama berada dalam kultur
daratan bahkan pegunungan.
Pameran Asam Garam Bentara setidaknya
telah menyumbang suara dalam perbincangan menuju indonesia maritim. Layar telah
dibentangkan, tinggal menunggu angin, dan selanjutnya terserah anda; kemana
kapal kebudayaan ini akan berlayar. Sebagai penutup mari kita bermain dengan
peribahasa lama, “Asam di gunung dan garam di laut, toh akhirnya bertemu di Bentara”
*)Catatan apresiasi pameran "Asam Garam Bentara" yang dihelat di Bentara Budaya Bali, Maret 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar