Jumat, 05 Juni 2015

Latepost: Menggali Sisa Kekuatan dalam Ethnicpower #1


oleh Dwi S. Wibowo
"The Face of Another" karya Citra Sasmita
Di tengah arus globalisasi yang semakin menderas, apa yang masih kita miliki untuk menghadapinya? Atau setidaknya bertahan dari gerusan arusnya? Dewasa ini, berkembangnya teknologi informasi yang begitu pesat telah menyadarkan kita bahwa dunia telah berputar lebih cepat dari yang kita duga sebelumnya. Hal itu secara langsung berimbas pada posisi manusia yang tinggal di permukaannya, mereka bergeser dari posisinya semula.
Hampir setiap detik, jutaan informasi diproduksi dan disebarluaskan melalui media sosial. Baik itu facebook, twitter, path, dan lain-lain. Setiap individu dapat dengan leluasa mengeluarkan seluruh isi pikirannya melalui sentuhan-sentuhan kecil pada monitor ponsel pintarnya, dan dalam seketika, buah pikirannya tersebar ke seluruh penjuru dunia.
Informasi-informasi tersebut bisa diakses oleh siapapun, tanpa ada batasan-batasan yang melingkupinya, sejauh ia berada dalam jejaring internet. Isu-isu lokal yang tadinya hanya bisa diakses oleh segelintir orang, tiba-tiba berubah layaknya air bah yang tumpah kemana-mana menjadi isu global yang direspon oleh sekian juta responden dari berbagai penjuru dunia. Sudah banyak cerita mengenai hal tersebut.
Media sosial telah menciptakan kebudayaan daring (dalam jejaring/online), yaitu sebuah kebudayaan yang tercipta melaui interaksi antar individu di dalam dunia maya. Kebudayaan ini mampu mengubah hubungan antar manusia seolah menjadi tanpa sekat. Individu-individu yang tinggal berlainan negara, bahkan benua, bebas membangun komunitasnya dalam dunia maya. Tidak ada batasan ras, agama, warna kulit, kebangsaan sama sekali, semua melebur dalam satu ideologi; globalisasi.
Suatu arus besar kebudayaan, sekalipun dilahirkan dari cita-cita mulia untuk mempersatukan seluruh umat manusia di seluruh dunia, pada akhirnya harus mengakui bahwa ia tidak ada bedanya dengan banjir; selalu meninggalkan residu di sepanjang daerah yang dilaluinya.
Sebagaimana globalisasi, sekalipun mempersatukan individu dari berbagai ras, agama, dan kebangsaan secara mendunia, akan tetapi melepaskan individu tersebut dari lingkungan terkecil yang ada di sekelilingnya; keluarga dan tradisi. Ekses utama yang paling terlihat adalah individualisme dan liberalisme yang menjangkiti berbagai kalangan dan kelas sosial.
Bagi masyarakat timur yang memiliki nilai-nilai luhur dalam tradisinya, arus globalisasi bisa saja dipandang sebagai sesuatu yang dapat memberi ekses negatif. Suatu tatanan masyarakat baru yang dipandang melepaskan manusia dari nilai-nilai tradisi yang selama ini dianutnya.
Tradisi selalu erat kaitannya dengan komunalitas suatu masyarakat, baik yang dipersatukan oleh ras, agama, maupun teritori geografis. Struktur itulah yang kemudian membentuk suatu tatanan masyarakat terbatas bernama etnis.
Terbentuknya suatu etnis masyarakat tidak secara tiba-tiba, melainkan membutuhkan proses menahun sehingga mampu melahirkan nilai-nilai dalam masyarakatnya. Nilai-nilai tersebut diwariskan dan terus menerus  disempurnakan dari satu generasi ke generasi selanjutnya. Melalui peroses inilah, ikatan etnisitas dalam suatu masyarakat menjadi semakin erat bahkan melahirkan nilai-nilai persaudaraan. 
karya Nyoman Erawan dan Made Budiadnyana
Akan tetapi, gesekan dan himpitan dari arus globalisasi tersebut secara perlahan melepas satu persatu ikatan yang terjalin dalam masyarakat melalui iming-iming kebebasan individual. Manusia tidak lagi berkeinginan untuk berada dengan sesama etnisnya dalam satu wadah, melainkan melepaskan diri dari lingkungan sosialnya untuk memasuki lingkungan baru yang lebih global. Sekalipun harus melepas atribut entis yang melekat pada dirinya.
Hal ini, menimbulkan kegelisahan bagi sejumlah perupa Bali yang menyaksikan langsung bagaimana arus globalisasi secara perlahan mengikis nilai-nilai luhur yang melekat dalam tradisinya. Bali adalah sebuah potret mini globalisasi. Melalui arena pariwisata, manusia-manusia urban dari berbagai penjuru dunia berkumpul di lokasi yang sama dan untuk tujuan yang sama; memburu kesenangan. Pleasure.
Secara langsung, mereka menyaksikan bagaimana tradisi mulai dikomodifikasi, dilepaskan dari nilai-nilai yang melekat, demi kepentingan material dan kapital. Di bali, atau dimanapun, globalisasi telah mereduksi diri menjadi lebih dari sekedar arus kebudayaan. Melainkan menjangkau berbagai aspek kehidupan manusia yang meliputi ekonomi, politik, seni, pendidikan dan hukum. Bahkan menciptakan hegemoni tersendiri.
Oleh karenanya, melalui sebuah pameran yang mereka beri tajuk Ethnicpower#1, mereka mencoba menghadirkan kembali eksistensi nilai-nilai tradisi yang mereka miliki. Ada sekitar 31 perupa yang turut ambil bagian dalam pameran ini yang terdiri dari berbagai generasi. Mereka antara lain: Nyoman Gunarsa, Nyoman Erawan, Suklu, Budhiana, Putu Purwa, Wayan Suja, Kun Andyana, Putu Fenny, Jaya Putra, dan Citra Sasmita.  Pameran ini digelar di Art Centre Denpasar sejak 14 Oktober lalu.
Tema Ethnicpower yang disodorkan oleh kurator Bakti Wiyasa, direspon melalui olah visual yang kaya oleh para perupa tersebut. Kebanyakan dari mereka menghadirkan ornamen-ornamen tradisi yang begitu lekat dengan kesehariannya. Seperti misalnya Nyoman Gunarsa yang menampilkan lukisan wayang berukuran cukup besar (200x200cm). Gagasan mengenai tradisi dan kekuatan etnis dihadirkan melalui simbol wayang yang dilukis secara ekspresif, khas Gunarsa.
Dalam kebudayaan timur, wayang tidak sekedar menjadi tontonan, melainkan juga tuntunan yang di dalamnya terdapat nilai-nilai spiritual. Dalam sebuah perntunjukan wayang terdapat nilai-nilai edukasi yang ditampilkan melalui figur-figur yang terdapat dalam cerita Mahabarata ataupun Ramayana. Sebagai sebuah seni pertunjukan, Wayang memiliki daya sihir yang luar biasa untuk menarik perhatian penonton. Bahkan hingga kini, Wayang menjadi landasan kultural sekaligus spiritual bagi masyarakat Bali dan Jawa pada umumnya.
Sementara oleh Citra Sasmita, gagasan tentang etnisitas sebagai seorang gadis Bali, dihadirkan melalui rupa visual tiga dimensi yang menampilkan lukisan perempuan magis di atas potongan plat besi yang dibentuk menyerupai daun pisang. Dengan latar berwarna hitam, karya tersebut memiliki kesan mistis yang amat dalam. Sebagaimana realisme magis yang berkembang di Amerika Latin dan Afrika, mistisme Bali memiliki kekuatan luar biasa yang bergerak di luar rasio manusia.
Selama berabad-abad, masyarakat di Indonesia hidup dalam realitas yang menghadirkan mistisme sebagai bagian dari keseharian. Dalam pemahaman barat, barangkali ini dianggap absurd atau bahkan surrealis. Akan tetapi, bukankah setiap hari kita meyakininya ada di sekitar kita, dan hidup berdampingan dengannya?
Lain Gunarsa dan Citra Sasmita, Wayan Suja mencoba mengolah gagasan etnisitasnya melalui visual potret diri sebagai lelaki Bali yang mengalami tarik menarik antara tradisi di satu sisi, dan urbanitas global di sisi lainnya. Karya tiga dimensi dari plat besi yang dibentuk menyerupai remasan kertas tersebut membuat potret dirinya menjadi tampak semakin ironis, seolah wajah dengan ekspresi muram menghadapi tumpukan masalah sehari-hari.
"Potret Lelaki Bali" karya Wayan Suja
 Potret Lelaki Bali hari ini adalah tarik ulur antara tradisi dan urbanitas. Di satu sisi, secara sosial kemasyarakatan mereka dituntut untuk turut berperan aktif dalam kegiatan adat dan spiritual, di sisi lain kebutuhan hidup dan isu-isu yang mereka serap menuntutnya untuk bergerak secara individu. Lepas dari masyarakat. Hal semacam ini tentu tidak hanya dihadapi oleh Suja, melainkan juga oleh sekian juta lelaki Bali lainnya.
Hampir senada dengan Suja, Jaya Putra juga menghadirkan suatu persoalan tarik ulur antara tradisi dan urbanitas global yang terjadi di desanya, Seminyak. Dalam pameran ini ia menampilkan sebuah karya instalasi yang terdiri dari topeng barong, t shirt, sketsa, dan video dokumenter yang menampilkan keseharian masyarakat Seminyak yang bersinggungan secara langsung dengan para wisatawan asing, juga tidak adanya batas antara bangunan agama dengan etalase-etalase yang berjajar gemerlap.
Dalam karya Jaya Putra inilah, dapat kita saksikan pertarungan yang sebenarnya antara kekuatan etnis dengan globalisasi dalam satu arena. Kedua kubu saling menunjukkan daya dan upayanya. Di satu sisi, globalisasi menawarkan pleasure dengan segala kebebasan individualnya, di sisi lain, tradisi menopang kehidupan sosial melalui nilai-nilai luhur yang dimilikinya. Entah siapa yang akan mengakiri pertarungan ini dengan jumawa, kita liat saja seberapa besar kekuatan yang digalang oleh para perupa yang menjunjung tinggi nilai tradisi dan etnis yang dimilikinya ini.

*)tulisan ini pernah dipublikasikan di Jogjareview.net

Tidak ada komentar:

Posting Komentar