oleh Dwi S. Wibowo
"The Face of Another" karya Citra Sasmita |
Hampir setiap detik, jutaan
informasi diproduksi dan disebarluaskan melalui media sosial. Baik itu
facebook, twitter, path, dan lain-lain. Setiap individu dapat dengan leluasa
mengeluarkan seluruh isi pikirannya melalui sentuhan-sentuhan kecil pada
monitor ponsel pintarnya, dan dalam seketika, buah pikirannya tersebar ke
seluruh penjuru dunia.
Informasi-informasi tersebut
bisa diakses oleh siapapun, tanpa ada batasan-batasan yang melingkupinya,
sejauh ia berada dalam jejaring internet. Isu-isu lokal yang tadinya hanya bisa
diakses oleh segelintir orang, tiba-tiba berubah layaknya air bah yang tumpah
kemana-mana menjadi isu global yang direspon oleh sekian juta responden dari
berbagai penjuru dunia. Sudah banyak cerita mengenai hal tersebut.
Media sosial telah menciptakan
kebudayaan daring (dalam jejaring/online), yaitu sebuah kebudayaan yang
tercipta melaui interaksi antar individu di dalam dunia maya. Kebudayaan ini
mampu mengubah hubungan antar manusia seolah menjadi tanpa sekat.
Individu-individu yang tinggal berlainan negara, bahkan benua, bebas membangun
komunitasnya dalam dunia maya. Tidak ada batasan ras, agama, warna kulit,
kebangsaan sama sekali, semua melebur dalam satu ideologi; globalisasi.
Suatu arus besar kebudayaan,
sekalipun dilahirkan dari cita-cita mulia untuk mempersatukan seluruh umat
manusia di seluruh dunia, pada akhirnya harus mengakui bahwa ia tidak ada
bedanya dengan banjir; selalu meninggalkan residu di sepanjang daerah yang
dilaluinya.
Sebagaimana globalisasi,
sekalipun mempersatukan individu dari berbagai ras, agama, dan kebangsaan
secara mendunia, akan tetapi melepaskan individu tersebut dari lingkungan
terkecil yang ada di sekelilingnya; keluarga dan tradisi. Ekses utama yang
paling terlihat adalah individualisme dan liberalisme yang menjangkiti berbagai
kalangan dan kelas sosial.
Bagi masyarakat timur yang
memiliki nilai-nilai luhur dalam tradisinya, arus globalisasi bisa saja
dipandang sebagai sesuatu yang dapat memberi ekses negatif. Suatu tatanan
masyarakat baru yang dipandang melepaskan manusia dari nilai-nilai tradisi yang
selama ini dianutnya.
Tradisi selalu erat kaitannya
dengan komunalitas suatu masyarakat, baik yang dipersatukan oleh ras, agama,
maupun teritori geografis. Struktur itulah yang kemudian membentuk suatu tatanan
masyarakat terbatas bernama etnis.
Terbentuknya suatu etnis
masyarakat tidak secara tiba-tiba, melainkan membutuhkan proses menahun
sehingga mampu melahirkan nilai-nilai dalam masyarakatnya. Nilai-nilai tersebut
diwariskan dan terus menerus disempurnakan
dari satu generasi ke generasi selanjutnya. Melalui peroses inilah, ikatan
etnisitas dalam suatu masyarakat menjadi semakin erat bahkan melahirkan
nilai-nilai persaudaraan.
karya Nyoman Erawan dan Made Budiadnyana |
Akan tetapi, gesekan dan
himpitan dari arus globalisasi tersebut secara perlahan melepas satu persatu
ikatan yang terjalin dalam masyarakat melalui iming-iming kebebasan individual.
Manusia tidak lagi berkeinginan untuk berada dengan sesama etnisnya dalam satu
wadah, melainkan melepaskan diri dari lingkungan sosialnya untuk memasuki
lingkungan baru yang lebih global. Sekalipun harus melepas atribut entis yang
melekat pada dirinya.
Hal ini, menimbulkan
kegelisahan bagi sejumlah perupa Bali yang menyaksikan langsung bagaimana arus
globalisasi secara perlahan mengikis nilai-nilai luhur yang melekat dalam
tradisinya. Bali adalah sebuah potret mini globalisasi. Melalui arena
pariwisata, manusia-manusia urban dari berbagai penjuru dunia berkumpul di
lokasi yang sama dan untuk tujuan yang sama; memburu kesenangan. Pleasure.
Secara langsung, mereka
menyaksikan bagaimana tradisi mulai dikomodifikasi, dilepaskan dari nilai-nilai
yang melekat, demi kepentingan material dan kapital. Di bali, atau dimanapun,
globalisasi telah mereduksi diri menjadi lebih dari sekedar arus kebudayaan.
Melainkan menjangkau berbagai aspek kehidupan manusia yang meliputi ekonomi,
politik, seni, pendidikan dan hukum. Bahkan menciptakan hegemoni tersendiri.
Oleh karenanya, melalui sebuah
pameran yang mereka beri tajuk Ethnicpower#1, mereka mencoba menghadirkan
kembali eksistensi nilai-nilai tradisi yang mereka miliki. Ada sekitar 31
perupa yang turut ambil bagian dalam pameran ini yang terdiri dari berbagai
generasi. Mereka antara lain: Nyoman Gunarsa, Nyoman Erawan, Suklu, Budhiana,
Putu Purwa, Wayan Suja, Kun Andyana, Putu Fenny, Jaya Putra, dan Citra Sasmita. Pameran ini digelar di Art Centre Denpasar
sejak 14 Oktober lalu.
Tema Ethnicpower yang
disodorkan oleh kurator Bakti Wiyasa, direspon melalui olah visual yang kaya
oleh para perupa tersebut. Kebanyakan dari mereka menghadirkan ornamen-ornamen
tradisi yang begitu lekat dengan kesehariannya. Seperti misalnya Nyoman Gunarsa
yang menampilkan lukisan wayang berukuran cukup besar (200x200cm). Gagasan
mengenai tradisi dan kekuatan etnis dihadirkan melalui simbol wayang yang
dilukis secara ekspresif, khas Gunarsa.
Dalam kebudayaan timur, wayang
tidak sekedar menjadi tontonan, melainkan juga tuntunan yang di dalamnya
terdapat nilai-nilai spiritual. Dalam sebuah perntunjukan wayang terdapat
nilai-nilai edukasi yang ditampilkan melalui figur-figur yang terdapat dalam
cerita Mahabarata ataupun Ramayana. Sebagai sebuah seni pertunjukan, Wayang
memiliki daya sihir yang luar biasa untuk menarik perhatian penonton. Bahkan
hingga kini, Wayang menjadi landasan kultural sekaligus spiritual bagi
masyarakat Bali dan Jawa pada umumnya.
Sementara oleh Citra Sasmita,
gagasan tentang etnisitas sebagai seorang gadis Bali, dihadirkan melalui rupa
visual tiga dimensi yang menampilkan lukisan perempuan magis di atas potongan
plat besi yang dibentuk menyerupai daun pisang. Dengan latar berwarna hitam,
karya tersebut memiliki kesan mistis yang amat dalam. Sebagaimana realisme
magis yang berkembang di Amerika Latin dan Afrika, mistisme Bali memiliki
kekuatan luar biasa yang bergerak di luar rasio manusia.
Selama berabad-abad, masyarakat
di Indonesia hidup dalam realitas yang menghadirkan mistisme sebagai bagian
dari keseharian. Dalam pemahaman barat, barangkali ini dianggap absurd atau
bahkan surrealis. Akan tetapi, bukankah setiap hari kita meyakininya ada di
sekitar kita, dan hidup berdampingan dengannya?
Lain Gunarsa dan Citra Sasmita,
Wayan Suja mencoba mengolah gagasan etnisitasnya melalui visual potret diri
sebagai lelaki Bali yang mengalami tarik menarik antara tradisi di satu sisi,
dan urbanitas global di sisi lainnya. Karya tiga dimensi dari plat besi yang
dibentuk menyerupai remasan kertas tersebut membuat potret dirinya menjadi
tampak semakin ironis, seolah wajah dengan ekspresi muram menghadapi tumpukan
masalah sehari-hari.
"Potret Lelaki Bali" karya Wayan Suja |
Potret Lelaki Bali hari ini
adalah tarik ulur antara tradisi dan urbanitas. Di satu sisi, secara sosial
kemasyarakatan mereka dituntut untuk turut berperan aktif dalam kegiatan adat
dan spiritual, di sisi lain kebutuhan hidup dan isu-isu yang mereka serap
menuntutnya untuk bergerak secara individu. Lepas dari masyarakat. Hal semacam
ini tentu tidak hanya dihadapi oleh Suja, melainkan juga oleh sekian juta
lelaki Bali lainnya.
Hampir senada dengan Suja, Jaya
Putra juga menghadirkan suatu persoalan tarik ulur antara tradisi dan urbanitas
global yang terjadi di desanya, Seminyak. Dalam pameran ini ia menampilkan
sebuah karya instalasi yang terdiri dari topeng barong, t shirt, sketsa, dan
video dokumenter yang menampilkan keseharian masyarakat Seminyak yang
bersinggungan secara langsung dengan para wisatawan asing, juga tidak adanya
batas antara bangunan agama dengan etalase-etalase yang berjajar gemerlap.
Dalam karya Jaya Putra inilah,
dapat kita saksikan pertarungan yang sebenarnya antara kekuatan etnis dengan
globalisasi dalam satu arena. Kedua kubu saling menunjukkan daya dan upayanya.
Di satu sisi, globalisasi menawarkan pleasure dengan segala kebebasan
individualnya, di sisi lain, tradisi menopang kehidupan sosial melalui
nilai-nilai luhur yang dimilikinya. Entah siapa yang akan mengakiri pertarungan
ini dengan jumawa, kita liat saja seberapa besar kekuatan yang digalang oleh
para perupa yang menjunjung tinggi nilai tradisi dan etnis yang dimilikinya
ini.
*)tulisan ini pernah dipublikasikan di Jogjareview.net
*)tulisan ini pernah dipublikasikan di Jogjareview.net
Tidak ada komentar:
Posting Komentar