oleh Dwi S. Wibowo
The Last Paradise adalah julukan yang, hingga kini, masih disandang
oleh pulau Bali sebagai destinasi utama yang dikunjungi wisatawan dari seluruh
dunia. Eksotika panorama alam tropis yang tergambar dalam birunya laut, lengkap
dengan pasir putih dan sunset sebagai ornamen pendukungnya. Citraan itulah yang
tentunya sudah melekat dalam benak semua orang dari seluruh penjuru dunia
sebagai ekses dari reproduksi citra yang ditopang oleh kuatnya modal dari para
penggerak industri pariwisata.
Tidak bisa dipungkiri memang,
godaan mata uang asing memang menggiurkan bagi masyarakat dari sebuah negara
berkembang. Kemandirian finansial yang belum tertata rapi secara sistematika
sosial, dan kultur masyarakat yang terbuka sangat memungkinkan masuknya para
investor di sektor wisata. Apalagi dengan modal dasar melimpah dari segi alam
dan kultural sebagai daya tarik utama wisatawan.
Di Bali, industri pariwisata
telah menjadi penggerak utama perekonomian masyarakatnya sejak kisaran tahun
1950-an. Hal ini tidak lepas dari peran pemerintah pusat yang terus membuka
kran bagi investor untuk masuk dan menggerakkan roda industrinya di Bali.
Mungkin sudah lebih dari seratus juta wisatawan yang datang ke Bali sejak kurun
waktu tersebut. Seolah-olah, wisatawan sudah menjadi bagian dari tata sosial masyarakat.
Mereka sudah begitu leluasa keluar masuk, berseliweran di antara aktifitas
sosial dan keagamaan yang dilakukan masyarakat. Bahkan masyarakatnya sendiri
pun, sudah tidak risih ketika tengah kusyuk berdoa, dan disampingnya seorang
wisatawan asyik memotretnya berulang kali.
Ekses utama dari penggembangan
industri prawisata secara jor-joran
yang paling nampak saat ini adalah semakin pudarnya relasi antara manusia dan
alam, yang padahal merupakan ruh dari tradisi masyarakat Bali secara turun
temurun. Alih fungsi lahan hijau menjadi bangunan-bangunan infrastruktur
penopang pariwisata tentu berimbas langsung pada makin tergerusnya eksistensi
alam sebagai penopang utama keseimbangan ekologi.
Berbagai elemen masyarakat yang
peduli terhadap persoalan tersebut berusaha melontarkan kritik terhadap
pemerintah, tidak luput beberapa perupa yang turut menyuarakan kritik dengan
menggelar pameran. Adalah Galangkangin, kelompok seni rupa yang dimotori oleh I Made Supena menggelar sebuah pameran dengan tajuk “Kesadaran Makro Ekologis” di
Bentara Budaya Bali (20/9/14) sebagai bentuk kepeduliannya terhadap
persoalan-persoalan ekologis yang terjadi di Bali.
Air menjadi elemen utama yang
disoroti oleh mereka. Dengan mengusung gagasan transformasi air dalam ruang
seni rupa, mereka mencoba menampilkan berbagai bentuk instalasi yang
menggunakan air sebagai pijakan berpikirnya. Bagi mereka, air merupakan sumber
kehidupan. Dalam aspek kosmologis, di Bali air juga menjadi komponen utama
penggerak sistem sosial dan ekonomi masyarakatnya yang masih didominasi oleh
tradisi agraris.
lukisan karya Made Bayak di atas medium plastik bekas |
Minimnya kesadaran masyarakat
dalam menjaga keberlangsungan hidup dengan melestarikan air sebagai komponen
utama penyangga alam, menjadi keprihatinan utamanya. Melalui pameran tersebut,
Galangkangin melakukan sebuah upaya edukasi terhadap masyarakat mengenai
pentingnya air bagi kehidupan, tentu dengan tujuan agar masyarakat semakin
peduli dan turut serta menjaga kelestarian alam.
Ini bukan kali pertama
Galangkangin mengusung tema pelestarian alam dalam pamerannya. Pada 2012 lalu,
Galangkangin juga menggelar pameran bertema serupa di Griya Santrian, Sanur.
Saat itu, isu utama yang diusung adalah mengenai peralihan fungsi lahan
pertanian menjadi hunian. Semakin meningkatnya jumlah populasi masyarakat yang
tinggal di Bali, tidak hanya dari semakin berkembangnya masyarakat lokal,
melainkan juga jumlah pendatang yang terus meningkat setiap tahunnya menuntut
semakin luasnya areal pemukiman yang dapat ditempati. Hal ini tentu menuntut
adanya alih fungsi lahan.
Di Bali sendiri, alam,
lingkungan, dan persoalan lingkungan masih menjadi tema utama yang disuarakan
oleh para perupa. Beberapa nama di luar kelompok Galangkangin, seperti Made
Bayak, Widodo Kabutdo, Bakti Wiyasa, hingga maestro Made Wianta masih
menunjukkan kepeduliannya terhadap persoalan ekologis yang kini menjadi
persoalan utama di Bali.
Made Bayak dan Widodo Kabutdo,
dalam beberapa karyanya cukup konsisten untuk bertransformasi media dari kanvas
ke plastik bekas. Mereka tidak lagi melukis di atas kanvas, melainkan di
plastik-plastik limbah rumah tangga yang mereka peroleh dari kehidupannya
sehari-hari. Kesadaran ini tumbuh dari kegelisahan mengenai tingginya
penggunaan plastik dalam kehidupan, padahal limbah plastik bersifat anorganik
dan membutuhkan waktu yang sangat panjang untuk dapat terurai sempurna.
Sejak disentuh oleh industri
pariwisata, secara perlahan-lahan, Bali mengalami degradasi ekologis yang cukup
signifikan. Persoalan-persoalan kelestarian lingkungan dan semakin menurunnya
jumlah lahan pertanian yang dialihfungsikan menjadi infrastruktur penopang
pariwisata, pada akhirnya menjadi isu yang terus berulang dan terngiang-ngiang
di telinga. Maka dibutuhkan kesadaran masyarakat untuk dapat mengembalikannya
ke kondisi semula, atau setidaknya mencegah kerusakan yang lebih parah. Dan para
perupa, bersiap untuk menggedor kesadaran mereka melalui karya-karya yang
bernas dan kritis.
*)catatan ini pernah dipublikasikan di Jogjareview.net
Tidak ada komentar:
Posting Komentar