oleh Dwi S. Wibowo
karya Widjanarko Ismail |
Seni tidak selamanya menjadi
milik orang-orang tua usia yang lelah menempuh perjalanan hidup dengan segala
macam pengalaman, problematika dan juga renungan di dalamnya. Ungkapan tersebut
kedengarannya cukup pas untuk memasuki sebuah pameran yang digelar di Galeri
Lorong sejak Jumat (29/8/14) lalu.
Setelah melewati tangga sempit
untuk menuju ruang galeri yang terletak di lantai dua tersebut, perhatian kita akan
segera terseret untuk menuju ke sebuah karya yang terletak justru di pojok
ruangan; sebuah instalasi yang terdiri dari lukisan berukuran mini, sebuah peci,
dan topi hitam. Instalasi tersebut merupakan karya Wijanarko Ismail yang
menjadi bagian dari sebuah pameran bertajuk “Respice, Adspice, Prospice.”
Pameran tersebut digelar oleh
sekelompok perupa muda yang menamakan dirinya Memento Mori. Dengan dorongan dari
kelompok seni Ketjil Bergerak, mereka mencoba memberanikan diri untuk
menawarkan sebuah cerita melalui pameran seni rupa. Memento Mori sendiri
merupakan komunitas seni rupa yang rata-rata anggotanya adalah alumni dari
Sekolah Menengah Seni Rupa Yogyakarta.
Dari karya Wijanarko Ismail yang
berjudul “Dari Gelap ke Terang” tersebut, gambaran umum dari narasi yang
diusung dalam pameran ini secara samar sudah dapat diterka. Mereka, para perupa
muda, ingin menarasikan sebuah proses perubahan hidup yang mereka alami.
Ismail, yang baru lulus dari
SMSR tersebut, mengaku bahwa karyanya memang menggambarkan refleksi personalnya
tentang cara memandang spiritualitas. Terutama perubahan signifikan yang
dialaminya. “Saat kecil saya terbiasa di dalam masjid, dan memandang segala persoalan
dari sudut pandang agama. Tapi setelah mengenal seni, saya jadi bisa melihat
persoalan agama dari luar masjid,” katanya.
Pergulatan semacam itu wajar
dialami remaja yang beranjak menuju usia dewasa, dan merupakan bagian dari
proses untuk memasuki tatanan sosial masyarakat. Hal semacam itu barangkali
dialami oleh siapapun.
Sepaham dengan Ismail, Boby
Prabowo yang juga terlibat dalam pameran tersebut mengutarakan pendapat senada
bahwa karyanya merupakan refleksi personalnya. Darah muda, kurang lebih begitu,
identik dengan emosi yang tinggi. Hal itulah mendasari karyanya yang berjudul “Nirmaya
Kalaaji.”
Sosok ekspresif dalam lukisan tersebut
digambarkan berkepala api dengan latar yang seluruhnya merah. Kedua tangannya
menggenggam sebongkah bola berwarna biru yang merupakan metafora dari dunia. Menurut
Boby, refleksi personalnya mewakili persoalan global. “Dimana-mana orang penuh
dengan emosi,” katanya.
Mereka boleh dibilang masih
sangat belia, tapi kreatifitasnya juga boleh dibilang sangat luar biasa. Beberapa
refleksi yang mereka comot dari kehidupan pribadinya, coba ditawarkan pada
publik yang lebih luas. Selain untuk menilai karya mereka, juga mengajak untuk
kembali merenungkan perubahan-perubahan apa saja yang telah kita alami.
Sebagaimana tajuk pameran ini,
“Respice, Adspice, Prospice,” mereka mengajak kita untuk melihat kemarin, hari
ini, dan juga esok. Bisa jadi, perubahan telah terjadi sepertihalnya ulat yang
menjadi kepompong, dan kelak (mungkin) kupu-kupu. (*)
*) catatan ini pernah dipublikasikan di Jogjareview.net
Tidak ada komentar:
Posting Komentar