Rabu, 03 Juni 2015

Latepost: Metamorfosa Masa Muda



oleh Dwi S. Wibowo

karya Widjanarko Ismail
 Seni tidak selamanya menjadi milik orang-orang tua usia yang lelah menempuh perjalanan hidup dengan segala macam pengalaman, problematika dan juga renungan di dalamnya. Ungkapan tersebut kedengarannya cukup pas untuk memasuki sebuah pameran yang digelar di Galeri Lorong sejak Jumat (29/8/14) lalu.
Setelah melewati tangga sempit untuk menuju ruang galeri yang terletak di lantai dua tersebut, perhatian kita akan segera terseret untuk menuju ke sebuah karya yang terletak justru di pojok ruangan; sebuah instalasi yang terdiri dari lukisan berukuran mini, sebuah peci, dan topi hitam. Instalasi tersebut merupakan karya Wijanarko Ismail yang menjadi bagian dari sebuah pameran bertajuk “Respice, Adspice, Prospice.”
Pameran tersebut digelar oleh sekelompok perupa muda yang menamakan dirinya Memento Mori. Dengan dorongan dari kelompok seni Ketjil Bergerak, mereka mencoba memberanikan diri untuk menawarkan sebuah cerita melalui pameran seni rupa. Memento Mori sendiri merupakan komunitas seni rupa yang rata-rata anggotanya adalah alumni dari Sekolah Menengah Seni Rupa Yogyakarta.
Dari karya Wijanarko Ismail yang berjudul “Dari Gelap ke Terang” tersebut, gambaran umum dari narasi yang diusung dalam pameran ini secara samar sudah dapat diterka. Mereka, para perupa muda, ingin menarasikan sebuah proses perubahan hidup yang mereka alami.
Ismail, yang baru lulus dari SMSR tersebut, mengaku bahwa karyanya memang menggambarkan refleksi personalnya tentang cara memandang spiritualitas. Terutama perubahan signifikan yang dialaminya. “Saat kecil saya terbiasa di dalam masjid, dan memandang segala persoalan dari sudut pandang agama. Tapi setelah mengenal seni, saya jadi bisa melihat persoalan agama dari luar masjid,” katanya.
Pergulatan semacam itu wajar dialami remaja yang beranjak menuju usia dewasa, dan merupakan bagian dari proses untuk memasuki tatanan sosial masyarakat. Hal semacam itu barangkali dialami oleh siapapun. 

Sepaham dengan Ismail, Boby Prabowo yang juga terlibat dalam pameran tersebut mengutarakan pendapat senada bahwa karyanya merupakan refleksi personalnya. Darah muda, kurang lebih begitu, identik dengan emosi yang tinggi. Hal itulah mendasari karyanya yang berjudul “Nirmaya Kalaaji.”
Sosok ekspresif dalam lukisan tersebut digambarkan berkepala api dengan latar yang seluruhnya merah. Kedua tangannya menggenggam sebongkah bola berwarna biru yang merupakan metafora dari dunia. Menurut Boby, refleksi personalnya mewakili persoalan global. “Dimana-mana orang penuh dengan emosi,” katanya.
Mereka boleh dibilang masih sangat belia, tapi kreatifitasnya juga boleh dibilang sangat luar biasa. Beberapa refleksi yang mereka comot dari kehidupan pribadinya, coba ditawarkan pada publik yang lebih luas. Selain untuk menilai karya mereka, juga mengajak untuk kembali merenungkan perubahan-perubahan apa saja yang telah kita alami.
Sebagaimana tajuk pameran ini, “Respice, Adspice, Prospice,” mereka mengajak kita untuk melihat kemarin, hari ini, dan juga esok. Bisa jadi, perubahan telah terjadi sepertihalnya ulat yang menjadi kepompong, dan kelak (mungkin) kupu-kupu. (*)

*) catatan ini pernah dipublikasikan di Jogjareview.net

Tidak ada komentar:

Posting Komentar