oleh Dwi S. Wibowo
karya Laksmi Shitaresmi |
Sepasang anjing beda ras,
berwarna merah, saling tatap dalam pandangan yang emosional. Keduanya berdiri
bersebelahan, dengan buritan yang saling mengait satu sama lain. Itulah
gambaran salah satu karya Laksmi Shitaresmi dalam pameran “Ibu Pertiwi” yang
digelar oleh Jogja Contemporary dan Bentara Budaya Yogyakarta dalam rangka
menyambut ulang tahun kemerdekaan Indonesia, sekaligus mempertanyakan ulang
maknanya.
Agustus identik dengan perayaan
kemerdekaan, sekalipun peristiwa tersebut telah berlalu 69 tahun silam. Bapak
pendiri bangsa ini, Bung Karno, memang pernah berujar “Jas Merah,” jangan
sekali-kali melupakan sejarah! Akan tetapi, sudah benarkah cara-cara yang
dilakukan saat ini dalam menyikapi makna kemerdekaan? Atau jangan-jangan, yang
dilakukan bangsa ini hanyalah sebuah euforia semu yang nirmakna.
Seni pada hakikatnya dekat
dengan politik, bisa jadi keduanya berjalan beriringan ataupun berdiri
berdampingan sebagaimana yang tergambar dalam karya Laksmi di atas. Sekalipun
adanya tarik menarik antara keduanya, maupun pergesekan, justru menciptakan
harmoni di antara keduanya. Hal tersebut tentu nampak dalam sikap seniman yang
selalu merasa nasionalis dengan menghadirkan karya-karya yang mengkritisi
kondisi sosial yang terjadi di Indonesia.
Pasca tergulingnya pemerintahan
orde lama, keterlibatan seniman secara langsung dalam politik praktis memang
dikikis habis oleh rezim Soeharto. Seniman ditempatkan di luar pemerintahan,
dicap sebagai golongan pembangkang karena bersikap kritis, dan dianggap
mengganggu stabilitas kekuasaan pemerintah. Sehingga ruang gerak dan
ekspresinya perlu dibatasi dan diawasi secara ketat.
Barulah usai reformasi, seniman
memperoleh kembali kebebasan ekspresinya, meskipun tanpa posisi dalam politik. Oleh
karenanya, peran seniman saat ini hanyalah pada konteks estetika dan
pengkaryaan. Melalui kedua hal itulah, seniman dapat melampirkan sikap dan
gagasannya dalam menyikapi situasi sosial yang terjadi di Indonesia. Mengkritisi
kelemahan-kelemahan pemerintahan, atau mendukung program-program pemerintah
yang dianggap pro-rakyat. Sikap semacam itulah yang kini perlu digalang bersama
di kalangan seniman, sehingga mampu menciptakan sebuah gerakan kesenian yang
masif.
karya anggar prasetyo |
Sebuah tindakan besar selalu
dimulai dari langkah kecil, dan itulah yang nampaknya sedang berusaha
ditampilkan melalui pameran “Ibu Pertiwi” yang digawangi oleh lima seniman. Laksmi
Shitaresmi, Anggar Prasetyo, Deddy Paw, Made Wiradana, dan Wahyu Santosa. Mereka
mencoba mempertanyakan ulang makna kemerdekaan yang setiap bulan Agustus tiba,
selalu diperingati dengan gegap gempita.
Laksmi Shitaresmi, dengan
simbol-simbol binatangnya mencoba menampilkan metafora yang barangkali terkesan
sarkasme, namun tetaplah kritis. Selain kedua anjing merahnya, Laksmi juga
menampilkan sebuah patung anak babi yang tengah tertidur pulas di atas bantal. Di
Indonesia, hal itu tentulah ganjil karena babi bukanlah termasuk peliharaan
rumah tangga, melainkan ternak yang tempatnya di antara lumpur. Akan tetapi,
karya tersebut seolah menjadi sebuah analogi dari bangsa Indonesia yang selama
ini tertidur, sebagaimana anak babi di atas bantal.
Anggar Prasetyo dengan gaya
andalannya, drapery texture, menghadirkan
sebuah refleksi dari peralihan kepemimpinan di Indonesia yang berlangsung
secara demokratis. Tidak jauh berbeda dengan yang coba diutarakan oleh Made
Wiradana melalui lukisannya yang menampilkan sekian banyak kuda, yang tentu
dapat dimaknai sebagai gambaran kolektifitas bangsa Indonesia yang terdiri dari
berbagai macam suku bangsa dan golongan. Bahwasanya bangsa yang kaya adalah
bangsa yang mampu menghargai perbedaan dalam dirinya.
Deddy Paw menghadirkan sosok Buddha
dalam balutan objek khas miliknya yaitu apel metalik. Karya-karyanya
menyiratkan sebuah pesan mendalam menyangkut spiritualitas yang diemban oleh
pemimpin baru bangsa ini, bahwa sanya pemimpin haruslah teruji secara
spiritual. Sedangkan Wahyu Santosa menghadirkan figur-figur yang identik dengan
nilai-nilai tradisi; sebuah patung setinggi tiga meter yang menggambarkan
seorang lelaki penabuh kendang. Ia mengajak kita untuk senantiasa menggali
khasanah dan budaya lokal sebagai basis dari kemajuan bangsa ini, bahwasanya
nilai budaya adalah identitas mendasar yang menjadi kepribadian bangsa
Indonesia.
Seperti diungkapkan di atas,
bahwasanya pameran ini hanyalah sebuah langkah kecil dari sebuah perjalanan. Dan apa yang disampaikan oleh para seniman
tersebut hanyalah perwakilan dari sekian banyak gagasan lain yang menunggu
untuk ditumpahkan di atas kanvas. Kita tentu menunggu kembalinya peran kesenian
dalam pembangunan bangsa dan negara Indonesia kedepan.
*)catatan ini pernah dipublikasikan di Jogjareview.net
Tidak ada komentar:
Posting Komentar