Selasa, 02 Juni 2015

Latepost: Mempertanyakan Ulang Makna Kemerdekaan



oleh Dwi S. Wibowo
karya Laksmi Shitaresmi
Sepasang anjing beda ras, berwarna merah, saling tatap dalam pandangan yang emosional. Keduanya berdiri bersebelahan, dengan buritan yang saling mengait satu sama lain. Itulah gambaran salah satu karya Laksmi Shitaresmi dalam pameran “Ibu Pertiwi” yang digelar oleh Jogja Contemporary dan Bentara Budaya Yogyakarta dalam rangka menyambut ulang tahun kemerdekaan Indonesia, sekaligus mempertanyakan ulang maknanya.
Agustus identik dengan perayaan kemerdekaan, sekalipun peristiwa tersebut telah berlalu 69 tahun silam. Bapak pendiri bangsa ini, Bung Karno, memang pernah berujar “Jas Merah,” jangan sekali-kali melupakan sejarah! Akan tetapi, sudah benarkah cara-cara yang dilakukan saat ini dalam menyikapi makna kemerdekaan? Atau jangan-jangan, yang dilakukan bangsa ini hanyalah sebuah euforia semu yang nirmakna.
Seni pada hakikatnya dekat dengan politik, bisa jadi keduanya berjalan beriringan ataupun berdiri berdampingan sebagaimana yang tergambar dalam karya Laksmi di atas. Sekalipun adanya tarik menarik antara keduanya, maupun pergesekan, justru menciptakan harmoni di antara keduanya. Hal tersebut tentu nampak dalam sikap seniman yang selalu merasa nasionalis dengan menghadirkan karya-karya yang mengkritisi kondisi sosial yang terjadi di Indonesia.
Pasca tergulingnya pemerintahan orde lama, keterlibatan seniman secara langsung dalam politik praktis memang dikikis habis oleh rezim Soeharto. Seniman ditempatkan di luar pemerintahan, dicap sebagai golongan pembangkang karena bersikap kritis, dan dianggap mengganggu stabilitas kekuasaan pemerintah. Sehingga ruang gerak dan ekspresinya perlu dibatasi dan diawasi secara ketat.
Barulah usai reformasi, seniman memperoleh kembali kebebasan ekspresinya, meskipun tanpa posisi dalam politik. Oleh karenanya, peran seniman saat ini hanyalah pada konteks estetika dan pengkaryaan. Melalui kedua hal itulah, seniman dapat melampirkan sikap dan gagasannya dalam menyikapi situasi sosial yang terjadi di Indonesia. Mengkritisi kelemahan-kelemahan pemerintahan, atau mendukung program-program pemerintah yang dianggap pro-rakyat. Sikap semacam itulah yang kini perlu digalang bersama di kalangan seniman, sehingga mampu menciptakan sebuah gerakan kesenian yang masif.
karya anggar prasetyo
 Sebuah tindakan besar selalu dimulai dari langkah kecil, dan itulah yang nampaknya sedang berusaha ditampilkan melalui pameran “Ibu Pertiwi” yang digawangi oleh lima seniman. Laksmi Shitaresmi, Anggar Prasetyo, Deddy Paw, Made Wiradana, dan Wahyu Santosa. Mereka mencoba mempertanyakan ulang makna kemerdekaan yang setiap bulan Agustus tiba, selalu diperingati dengan gegap gempita.
Laksmi Shitaresmi, dengan simbol-simbol binatangnya mencoba menampilkan metafora yang barangkali terkesan sarkasme, namun tetaplah kritis. Selain kedua anjing merahnya, Laksmi juga menampilkan sebuah patung anak babi yang tengah tertidur pulas di atas bantal. Di Indonesia, hal itu tentulah ganjil karena babi bukanlah termasuk peliharaan rumah tangga, melainkan ternak yang tempatnya di antara lumpur. Akan tetapi, karya tersebut seolah menjadi sebuah analogi dari bangsa Indonesia yang selama ini tertidur, sebagaimana anak babi di atas bantal.
Anggar Prasetyo dengan gaya andalannya, drapery texture, menghadirkan sebuah refleksi dari peralihan kepemimpinan di Indonesia yang berlangsung secara demokratis. Tidak jauh berbeda dengan yang coba diutarakan oleh Made Wiradana melalui lukisannya yang menampilkan sekian banyak kuda, yang tentu dapat dimaknai sebagai gambaran kolektifitas bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai macam suku bangsa dan golongan. Bahwasanya bangsa yang kaya adalah bangsa yang mampu menghargai perbedaan dalam dirinya.
Deddy Paw menghadirkan sosok Buddha dalam balutan objek khas miliknya yaitu apel metalik. Karya-karyanya menyiratkan sebuah pesan mendalam menyangkut spiritualitas yang diemban oleh pemimpin baru bangsa ini, bahwa sanya pemimpin haruslah teruji secara spiritual. Sedangkan Wahyu Santosa menghadirkan figur-figur yang identik dengan nilai-nilai tradisi; sebuah patung setinggi tiga meter yang menggambarkan seorang lelaki penabuh kendang. Ia mengajak kita untuk senantiasa menggali khasanah dan budaya lokal sebagai basis dari kemajuan bangsa ini, bahwasanya nilai budaya adalah identitas mendasar yang menjadi kepribadian bangsa Indonesia.  
Seperti diungkapkan di atas, bahwasanya pameran ini hanyalah sebuah langkah kecil dari sebuah perjalanan.  Dan apa yang disampaikan oleh para seniman tersebut hanyalah perwakilan dari sekian banyak gagasan lain yang menunggu untuk ditumpahkan di atas kanvas. Kita tentu menunggu kembalinya peran kesenian dalam pembangunan bangsa dan negara Indonesia kedepan. 
 *)catatan ini pernah dipublikasikan di Jogjareview.net

Tidak ada komentar:

Posting Komentar