oleh Dwi S. Wibowo
karya Nyoman Sukari |
Sejak pertama kali
diperkenalkan oleh jackson pollock pada pertengahan tahun1950-an di Amerika,
gerakan seni abstrak ekspresionisme yang mulanya ditolak karena dianggap tidak
memenuhi unsur-unsur seni rupa konservatif a la eropa, ternyata justru menjadi gelombang
besar yang tidak bisa dibendung di seluruh dunia. Teknik yang diciptakan oleh
pollock secara tidak sengaja ini, rupanya justru didukung oleh wacana
psikoanalisa yang justru tengah berkembang di eropa.
Sebagaimana dalam psikoanalisa
Freud, manusia dalam segala aktivitasnya selalu dipengaruhi oleh bawah
sadarnya. Termasuk di dalam seni. Wacana ini sontak saja meruntuhkan kaidah
seni eropa yang menjunjung tinggi akal dan logika dalam proses penciptaan
seninya.
Abstrak ekpresionisme lahir
sebagai peneguhan hakikat manusia dalam suatu proses penciptaan seni. Aliran
ini mengakomodir suara-suara yang menganggap bahwa seni merupakan puncak
ekspresi manusia, oleh karenanya seni bisa hadir dengan sangat natural tanpa
rekayasa intelektual apapun. Dalam hal ini, estetika hadir sebagai representasi
dari insting seniman.
Di Yogyakarta, gelombang ini
sempat menghadirkan keresahan dalam dunia seni rupa, sehingga disikapi secara
nyinyir dan sinis oleh sebagian pihak. Lukisan-lukisan abstrak ekpresionisme
ini kemudian disebut dengan istilah Jlebret
art, karena proses melukisnya yang
hanya menciprat-cipratkan cat di permukaan kanvas. Seakan-akan orang yang tak
mengerti seni pun sanggup membuatnya. Namun tanpa disangka, pandangan nyinyir
tersebut runtuh seketika, lukisan-lukisan ini justru menemukan tempat di hati
para kolektor seni.
Jlebret art sukses
menjadi jembatan dari periode surrealisme Yogyakarta menuju ke periode
lukisan-lukisan kontemporer yang menjamur di era 2000-an. Terbukti dengan
terjadinya periode boom seni yang
melahirkan nama-nama besar seperti Made Sukadana, Nyoman Sukari, dan Entang
Wiharso. Mereka adalah nama-nama yang sempat mencecap manisnya madu Jlebret Art, lukisan mereka dihargai dengan nilai yang terbilang fantastis
dan menjadi komoditas yang menarik minat para kolektor, sekaligus investor.
karya Entang Wiharso |
Booming Jlebret art memang tidak
sepenuhnya sebagai sebuah fenomena seni semata, melainkan juga merambah ke
wilayah ekonomi. Indonesia yang pada masa itu dilanda krisis ekonomi yang
melanda berbagai aspek, yang ditandai dengan merosotnya harga-harga saham
ternyata justru membawa angin segar bagi dunia seni. Kalangan investor
membutuhkan investasi yang cukup aman nilainya, dan seni, pada saat itu
dianggap sebagai salah satu pilihan yang menjanjikan.
Para gallerist dan makelar seni
bertebaran dimana-mana. Harga karya seni didongkrak naik melalui permainan isu.
Fenomena inilah yang kemudian memunculkan wacana goreng-menggoreng karya seni. Adi
Wicaksono, sebagai seorang kritikus muda pada masa itu memang sangat kritis
terhadap fenomena mendongkrak harga karya seni tersebut. Seni dianggap sebagai
komoditas semata sehingga kehilangan nilai-nilai adiluhungnya.
Padahal, di awal kelahirannya
di Yogyakarta, aliran abstrak ekspresionis ini dianggap sebagai bentuk ekpresi
jiwa, dan dikait-kaitkan dengan aspek spiritualitas para senimannya. Situasi
ini sempat memanas, karena sebagian seniman merasa terlecehkan dengan adanya
kritik tersebut. Namun pada akhirnya dapat redam dengan sendirinya, dan dunia
seni bergulir dengan dinamikanya sendiri.
Sejak dipopulerkan oleh para
perupa asal Bali di Yogyakarta pada kisaran tahun 90-an, hingga hari ini, para
seniman tersebut masih begitu konsisten untuk menjadi penganut mahzab pollock.
Meskipun sebagian dari mereka, mencoba mengembangkan gaya melukisnya ke arah
lukisan-lukisan dekoratif yang lebih mengakomodir gagasan-gagasan kontemporer
yang saat ini berkembang di dunia seni rupa Indonesia. Tanpa dipungkiri juga
bahwa gaya tersebut juga mengakomodir selera para kolektor.
*) tulisan ini pernah dipublikasikan di Jogjareview.net
Tidak ada komentar:
Posting Komentar