Jumat, 05 Juni 2015

dibuang sayang: Mengenang Jlebret Art



oleh Dwi S. Wibowo
karya Nyoman Sukari
Sejak pertama kali diperkenalkan oleh jackson pollock pada pertengahan tahun1950-an di Amerika, gerakan seni abstrak ekspresionisme yang mulanya ditolak karena dianggap tidak memenuhi unsur-unsur seni rupa konservatif a la eropa, ternyata justru menjadi gelombang besar yang tidak bisa dibendung di seluruh dunia. Teknik yang diciptakan oleh pollock secara tidak sengaja ini, rupanya justru didukung oleh wacana psikoanalisa yang justru tengah berkembang di eropa.
Sebagaimana dalam psikoanalisa Freud, manusia dalam segala aktivitasnya selalu dipengaruhi oleh bawah sadarnya. Termasuk di dalam seni. Wacana ini sontak saja meruntuhkan kaidah seni eropa yang menjunjung tinggi akal dan logika dalam proses penciptaan seninya.
Abstrak ekpresionisme lahir sebagai peneguhan hakikat manusia dalam suatu proses penciptaan seni. Aliran ini mengakomodir suara-suara yang menganggap bahwa seni merupakan puncak ekspresi manusia, oleh karenanya seni bisa hadir dengan sangat natural tanpa rekayasa intelektual apapun. Dalam hal ini, estetika hadir sebagai representasi dari insting seniman.
Di Yogyakarta, gelombang ini sempat menghadirkan keresahan dalam dunia seni rupa, sehingga disikapi secara nyinyir dan sinis oleh sebagian pihak. Lukisan-lukisan abstrak ekpresionisme ini kemudian disebut dengan istilah Jlebret art, karena proses melukisnya yang hanya menciprat-cipratkan cat di permukaan kanvas. Seakan-akan orang yang tak mengerti seni pun sanggup membuatnya. Namun tanpa disangka, pandangan nyinyir tersebut runtuh seketika, lukisan-lukisan ini justru menemukan tempat di hati para kolektor seni.
Jlebret art sukses menjadi jembatan dari periode surrealisme Yogyakarta menuju ke periode lukisan-lukisan kontemporer yang menjamur di era 2000-an. Terbukti dengan terjadinya periode boom seni yang melahirkan nama-nama besar seperti Made Sukadana, Nyoman Sukari, dan Entang Wiharso. Mereka adalah nama-nama yang sempat mencecap manisnya madu Jlebret Art, lukisan mereka dihargai dengan nilai yang terbilang fantastis dan menjadi komoditas yang menarik minat para kolektor, sekaligus investor. 
karya Entang Wiharso
 Booming Jlebret art memang tidak sepenuhnya sebagai sebuah fenomena seni semata, melainkan juga merambah ke wilayah ekonomi. Indonesia yang pada masa itu dilanda krisis ekonomi yang melanda berbagai aspek, yang ditandai dengan merosotnya harga-harga saham ternyata justru membawa angin segar bagi dunia seni. Kalangan investor membutuhkan investasi yang cukup aman nilainya, dan seni, pada saat itu dianggap sebagai salah satu pilihan yang menjanjikan.
Para gallerist dan makelar seni bertebaran dimana-mana. Harga karya seni didongkrak naik melalui permainan isu. Fenomena inilah yang kemudian memunculkan wacana goreng-menggoreng karya seni. Adi Wicaksono, sebagai seorang kritikus muda pada masa itu memang sangat kritis terhadap fenomena mendongkrak harga karya seni tersebut. Seni dianggap sebagai komoditas semata sehingga kehilangan nilai-nilai adiluhungnya.
Padahal, di awal kelahirannya di Yogyakarta, aliran abstrak ekspresionis ini dianggap sebagai bentuk ekpresi jiwa, dan dikait-kaitkan dengan aspek spiritualitas para senimannya. Situasi ini sempat memanas, karena sebagian seniman merasa terlecehkan dengan adanya kritik tersebut. Namun pada akhirnya dapat redam dengan sendirinya, dan dunia seni bergulir dengan dinamikanya sendiri.
Sejak dipopulerkan oleh para perupa asal Bali di Yogyakarta pada kisaran tahun 90-an, hingga hari ini, para seniman tersebut masih begitu konsisten untuk menjadi penganut mahzab pollock. Meskipun sebagian dari mereka, mencoba mengembangkan gaya melukisnya ke arah lukisan-lukisan dekoratif yang lebih mengakomodir gagasan-gagasan kontemporer yang saat ini berkembang di dunia seni rupa Indonesia. Tanpa dipungkiri juga bahwa gaya tersebut juga mengakomodir selera para kolektor. 

*) tulisan ini pernah dipublikasikan di Jogjareview.net

Tidak ada komentar:

Posting Komentar