Sabtu, 06 Juni 2015

Membaca Tubuh dan Luka Perempuan



oleh Dwi S. Wibowo 
 Kekerasan seksual merupakan momok yang menghantui setiap perempuan. Hingga saat ini, belum banyak kasus kekerasan seksual di Indonesia yang dapat dituntaskan secara adil dan menunjukkan keberpihakkan pada kondisi para korban. Fenomena itu terutama menimpa para korban yang hidup di daerah. Bahkan naasnya, tragedi yang menimpa mereka kerap luput dari perhatian aparat penegak hukum. Begitu banyak laporan yang masuk ruang penyidik kepolisian, begitu banyak juga pemberitaan yang dilakukan media massa, tapi semua itu seolah berakhir dengan antiklimaks. Banyak kasus yang akhirnya mandeg di meja persidangan dan pada akhirnya berimbas pada para korban yang tetap diam tanpa kejelasan nasib.
Di tengah maraknya produksi film dokumenter pasca booming film ‘Senyap’ dan ‘Jagal’ di Indonesia, sebuah film dokumenter garapan sutradara muda mencoba mengetengahkan isu kekerasan seksual untuk diperbincangakan secara lebih lanjut. ‘Masih Ada Asa’ (Memory and Hope) garapan sutradara Yudha Kurniawan mengisahkan dua cerita korban kekerasan seksual di Flores. Film ini sempat diputar di Rumah Sanur, pada Kamis 7 Mei lalu yang dibarengi juga dengan sesi diskusi.
Film ini mengisahkan dua narasumber utamanya, yaitu Ati dan Ros. Ati merupakan seorang tenaga pengajar lepas di sebuah sekolah dasar di pulau Pemana, Flores. Sedangkan Ros adalah seorang pekerja rumah tangga asal Flores yang kini merantau di Jakarta. Keduanya sama-sama menjadi korban kekerasan seksual (perkosaan) pada rentang usia yang hampir sama, 19-20 tahun (2009) dan sama-sama harus menanggung kehamilan akibat tragedi tersebut.
Ros mengalami perkosaan saat masih tinggal di Flores, dalam sebuah perjalanan malam ia dicegat dan diperkosa oleh sekelompok pria mabuk. Sedangkan Ati, semasa SMK pernah menjadi korban perkosaan seorang oknum yang kini menjabat sebagai anggota DPRD setempat. Laporan kepada pihak kepolisian telah dilayangkan saat itu juga, tapi hingga hari ini tidak juga diproses. Seolah melalui film ini, penonton diajak untuk menyaksikan sebuah paradoks kekuasaan yang selalu memaksa korban untuk diam di tengah ketidakadilan hukum. Ros barangkali merasa sedikit lega, setelah laporannya diproses dan para pelaku dijebloskan ke penjara. Lalu timbul pertanyaan, apakah situasi itu cukup bagi korban untuk memperbaiki hidupnya?
Pertanyaan semacam itu tentu akan membebani siapa saja karena tragedi kekerasan seksual tidak hanya meninggalkan luka yang segera kering lalu sembuh, melainkan akan meninggalkan bekas yang dibawa seumur hidup. Banyak korban yang akhirnya memilih bungkam dengan alasan untuk menghindari luka sosial akibat cemoohan dari masyarakat, dan memilih menyimpan sendiri luka tubuhnya. Sekalipun trauma terus membayanginya. Beruntung Ati dan Ros menemukan TRUK-F, sebuah lembaga perlindungan perempuan yang berbasis di Flores. Dalam lembaga inilah Ati dan Ros menjalani pemulihan dan rehabilitasi dibantu oleh Suster Estochia.
Film ini barangkali bukan satu-satunya dokumenter yang mengangkat isu kekerasan seksual kepada perempuan. Di India, sebuah film dokumenter serupa bertajuk ‘India’s Daughter’ sempat merebut perhatian publik. Bahkan menarik respon pemerintah India untuk melarang pemutaran film ini di negaranya karena beberapa bagian menampakkan fakta mencengangkan dari fenomena tragedi tersebut. Di salah satu bagian film, seorang pelaku menuturkan bahwa masalah perkosaan bukan menjadi kesalahan pihak pelaku yang laki-laki. Melainkan dianggap sebagai kesalahan perempuan yang keluar malam atau mengenakan pakaian minim sehingga memungkinkan perkosaan itu terjadi.
India dan Indonesia memiliki kemiripan dalam berbagai konteks sosialnya, salah satunya ialah budaya patriarkis yang mendominasi strata sosial. Fenomena tragedi kekerasan seksual semacam ini seringkali menjadi tidak adil bagi para korban, karena tudingan masyarakat justru bisa saja terbalik dan menuding korban pada posisi bersalah. Perspektif semacam itu dapat muncul dikarenakan adanya berbagai aspek sosial (faktor kuasa dan ekonomi) yang mempengaruhi opini publik. Perspektif semacam itu pula yang kerap digunakan pada proses penegakkan hukum di Indonesia yang cenderung tajam ke bawah dan tumpul ke atas.
Melalui film Masih Ada Asa yang digalang oleh PWAG (Peace Women Across the Globe) Indonesia dan Arts For Women ini, penonton dihadapkan pada kehidupan baru yang tengah dibangun kedua korban tersebut pasca tragedi. Film berdurasi 83 menit ini tentu tidak luput dari berbagai kelemahan, termasuk narasi yang terlalu kabur terhadap peristiwa kelam yang dialami kedua korban. Durasi yang panjang ternyata tidak sebanding dengan kekuatan gambar yang diambil, sehingga pokok permasalahan yang seharusnya ditekankan justru menjadi mengambang.
Barangkali benar, film ini dibuat jauh setelah tragedi itu berlalu dan dalam kondisi psikologis kedua korban telah mengalami pemulihan pasca konseling dan rehabilitasi di lembaga TRUK-F, sehingga gambaran emosi korban terhadap tragedi tersebut sudah jauh menurun. Efeknya jelas, bagi penonton film ini akan terkesan monoton. Terlepas dari persoalan teknis semacam itu, upaya mengangkat isu kekerasan dan pemulihan terhadap korban patut diapresiasi. Di tengah lemahnya penegakan hukum dan upaya memperjuangkan kesetaraan gender, film bertema serupa sudah semestinya terus diproduksi.
Korban kekerasan seksual tidak hanya di Flores, di daerah lain barangkali masih banyak korban yang menunggu masalahnya dituntaskan. Olin Monteiro selaku produser menyatakan bahwa tujuan utama dari pembuatan film ini merupakan sebuah upaya untuk meretas situasi korban yang selama ini sulit diakses karena cenderung menutup diri. Sebagaimana Ati dan Ros, film ini berusaha mengajak sekaligus membangun keyakinan bagi para korban lainnya bahwa harapan itu masih ada.  

*) tulisan ini pernah dipublikasikan di Bali Post, Minggu 31 Mei 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar