oleh Dwi S. Wibowo
Kekerasan
seksual merupakan momok yang menghantui setiap perempuan. Hingga saat ini,
belum banyak kasus kekerasan seksual di Indonesia yang dapat dituntaskan secara
adil dan menunjukkan keberpihakkan pada kondisi para korban. Fenomena itu
terutama menimpa para korban yang hidup di daerah. Bahkan naasnya, tragedi yang
menimpa mereka kerap luput dari perhatian aparat penegak hukum. Begitu banyak
laporan yang masuk ruang penyidik kepolisian, begitu banyak juga pemberitaan yang
dilakukan media massa, tapi semua itu seolah berakhir dengan antiklimaks.
Banyak kasus yang akhirnya mandeg di meja persidangan dan pada akhirnya
berimbas pada para korban yang tetap diam tanpa kejelasan nasib.
Di
tengah maraknya produksi film dokumenter pasca booming film ‘Senyap’ dan ‘Jagal’ di Indonesia, sebuah film
dokumenter garapan sutradara muda mencoba mengetengahkan isu kekerasan seksual
untuk diperbincangakan secara lebih lanjut. ‘Masih Ada Asa’ (Memory and Hope) garapan sutradara
Yudha Kurniawan mengisahkan dua cerita korban kekerasan seksual di Flores. Film
ini sempat diputar di Rumah Sanur, pada Kamis 7 Mei lalu yang dibarengi juga
dengan sesi diskusi.
Film
ini mengisahkan dua narasumber utamanya, yaitu Ati dan Ros. Ati merupakan
seorang tenaga pengajar lepas di sebuah sekolah dasar di pulau Pemana, Flores. Sedangkan
Ros adalah seorang pekerja rumah tangga asal Flores yang kini merantau di
Jakarta. Keduanya sama-sama menjadi korban kekerasan seksual (perkosaan) pada
rentang usia yang hampir sama, 19-20 tahun (2009) dan sama-sama harus
menanggung kehamilan akibat tragedi tersebut.
Ros
mengalami perkosaan saat masih tinggal di Flores, dalam sebuah perjalanan malam
ia dicegat dan diperkosa oleh sekelompok pria mabuk. Sedangkan Ati, semasa SMK pernah
menjadi korban perkosaan seorang oknum yang kini menjabat sebagai anggota DPRD
setempat. Laporan kepada pihak kepolisian telah dilayangkan saat itu juga, tapi
hingga hari ini tidak juga diproses. Seolah melalui film ini, penonton diajak
untuk menyaksikan sebuah paradoks kekuasaan yang selalu memaksa korban untuk
diam di tengah ketidakadilan hukum. Ros barangkali merasa sedikit lega, setelah
laporannya diproses dan para pelaku dijebloskan ke penjara. Lalu timbul
pertanyaan, apakah situasi itu cukup bagi korban untuk memperbaiki hidupnya?
Pertanyaan
semacam itu tentu akan membebani siapa saja karena tragedi kekerasan seksual
tidak hanya meninggalkan luka yang segera kering lalu sembuh, melainkan akan
meninggalkan bekas yang dibawa seumur hidup. Banyak korban yang akhirnya
memilih bungkam dengan alasan untuk menghindari luka sosial akibat cemoohan
dari masyarakat, dan memilih menyimpan sendiri luka tubuhnya. Sekalipun trauma
terus membayanginya. Beruntung Ati dan Ros menemukan TRUK-F, sebuah lembaga
perlindungan perempuan yang berbasis di Flores. Dalam lembaga inilah Ati dan
Ros menjalani pemulihan dan rehabilitasi dibantu oleh Suster Estochia.
Film
ini barangkali bukan satu-satunya dokumenter yang mengangkat isu kekerasan
seksual kepada perempuan. Di India, sebuah film dokumenter serupa bertajuk ‘India’s Daughter’ sempat merebut
perhatian publik. Bahkan menarik respon pemerintah India untuk melarang
pemutaran film ini di negaranya karena beberapa bagian menampakkan fakta
mencengangkan dari fenomena tragedi tersebut. Di salah satu bagian film,
seorang pelaku menuturkan bahwa masalah perkosaan bukan menjadi kesalahan pihak
pelaku yang laki-laki. Melainkan dianggap sebagai kesalahan perempuan yang
keluar malam atau mengenakan pakaian minim sehingga memungkinkan perkosaan itu
terjadi.
India
dan Indonesia memiliki kemiripan dalam berbagai konteks sosialnya, salah
satunya ialah budaya patriarkis yang mendominasi strata sosial. Fenomena
tragedi kekerasan seksual semacam ini seringkali menjadi tidak adil bagi para
korban, karena tudingan masyarakat justru bisa saja terbalik dan menuding
korban pada posisi bersalah. Perspektif semacam itu dapat muncul dikarenakan
adanya berbagai aspek sosial (faktor kuasa dan ekonomi) yang mempengaruhi opini
publik. Perspektif semacam itu pula yang kerap digunakan pada proses penegakkan
hukum di Indonesia yang cenderung tajam ke bawah dan tumpul ke atas.
Melalui
film Masih Ada Asa yang digalang oleh PWAG (Peace
Women Across the Globe) Indonesia dan Arts For Women ini, penonton
dihadapkan pada kehidupan baru yang tengah dibangun kedua korban tersebut pasca
tragedi. Film berdurasi 83 menit ini tentu tidak luput dari berbagai kelemahan,
termasuk narasi yang terlalu kabur terhadap peristiwa kelam yang dialami kedua
korban. Durasi yang panjang ternyata tidak sebanding dengan kekuatan gambar
yang diambil, sehingga pokok permasalahan yang seharusnya ditekankan justru
menjadi mengambang.
Barangkali
benar, film ini dibuat jauh setelah tragedi itu berlalu dan dalam kondisi
psikologis kedua korban telah mengalami pemulihan pasca konseling dan
rehabilitasi di lembaga TRUK-F, sehingga gambaran emosi korban terhadap tragedi
tersebut sudah jauh menurun. Efeknya jelas, bagi penonton film ini akan
terkesan monoton. Terlepas dari persoalan teknis semacam itu, upaya mengangkat
isu kekerasan dan pemulihan terhadap korban patut diapresiasi. Di tengah
lemahnya penegakan hukum dan upaya memperjuangkan kesetaraan gender, film
bertema serupa sudah semestinya terus diproduksi.
Korban
kekerasan seksual tidak hanya di Flores, di daerah lain barangkali masih banyak
korban yang menunggu masalahnya dituntaskan. Olin Monteiro selaku produser
menyatakan bahwa tujuan utama dari pembuatan film ini merupakan sebuah upaya
untuk meretas situasi korban yang selama ini sulit diakses karena cenderung
menutup diri. Sebagaimana Ati dan Ros, film ini berusaha mengajak sekaligus
membangun keyakinan bagi para korban lainnya bahwa harapan itu masih ada.
*) tulisan ini pernah dipublikasikan di Bali Post, Minggu 31 Mei 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar